Share

Warungku Ditutup Jin
Warungku Ditutup Jin
Penulis: Maymey

Bungkusan

"Woiii ... kamu jualan apa?!Berani-beraninya, ya, jualan di sini!" Kudengar ada seseorang berbicara dengan volume yang begitu keras dari seberang jalan. Aku hendak melihat, tapi hanya mengangkat muka. Tidak menghiraukan karena sedang sibuk.

Lagi-lagi ada suara orang berteriak, aku mencari suara itu, ternyata si abang penjual nasi uduk. Ia menyeberang jalan berdiri di atas pembatas jalan raya yang ditanami pohon palem sambil berkacak pinggang.

"Kamu, jualan apa?! Dengar nggak, sih, kamu?!" Matanya melotot, rambutnya yang gondrong melambai-lambai tertiup angin yang terhempas akibat kendaraan yang sedang lalu-lalang di jalan raya tepat di depan warungku.

“Kamu nggak tau apa aku juga jualan nasi! Ngapain kamu ikut-ikutan!" sambungnya lagi.

Aku masih berkutat dengan pekerjaan. Pelangganku sudah lama mengantri, kasihan kalau tidak segera dilayani. Bang Udin yang kuketahui namanya semenjak menyewa kontrakan ini, tiba tiba menghampiri dan menggebrak meja. Reflek aku menoleh hingga harus menghentikan aktivitasku menggoreng nasi.

Bang Udin langsung jadi pusat perhatian para pelanggan yang menunggu. Semua yang tertata rapi di meja ia obrak-abrik. Sendok, garpu, sedotan, tisu, serbet bahkan kerupuk porak poranda jatuh berhamburan di lantai. Semua pembeli melihat ke arahnya, beberapa dari mereka menatapnya dengan tatapan kesal. Sejenak aku berhenti dengan pekerjaan yang sedari tadi menyibukkan. Lalu bergegas menghampiri Bang Udin.

"Kenapa, Bang? Apakah ada yang salah denganku?" Dengan ramah aku bertanya, raut wajahnya sedang tidak bersahabat. Tiba-tiba saja jantung ini berdegup.

"Gara-gara kamu pembeliku jadi berkurang!" Semua pada lari ke sini!" jawabnya penuh emosi. Aku mematung, lalu memperhatikannya yang tengah berkacak pinggang dan menatapku dengan api yang membara. Berusaha tenang, agar diri ini juga tak tersulut emosi.

"Pembeli yang datang ke sini sendiri ... kok, Abang yang sewot?" ujarku pelan sambil menatapnya dengan raut yang sedemikian rupa kubuat manis. Namun tak disangka, detik itu juga Bang Udin meludahiku, hampir mengenai kaki. Sebagai balasan, aku hanya mengulum senyum.

"Udah, ya, Bang! Kasian pelangganku dari tadi nungguin." Aku berlalu meninggalkannya dan memutuskan untuk segera menyelesaikan pesanan pelanggan.

Abang penjual nasi uduk itu menggerutu kesal. Lalu melenggang pergi begitu saja seraya melempar sendok ke meja. Benar-benar tidak ada sopan santun. Aku diam saja. Tak ingin menanggapi lebih lanjut nanti ia akan berhenti sendiri juga pikirku.

"Yang sopan napa, Bang!" seru ibu-ibu salah satu pelanggan setiaku. Aku tersenyum kecut melihat kepergian Bang Udin, para pelanggan pasti merasa sedikit tidak nyaman. Nampak beberapa orang memandang kesal ke arah penjual nasi uduk itu.

"Apa ini, Bang?! seru istriku yang baru saja datang. Kedua netranya mengamati Dengan seksama ke segala arah. Adel pun hanya bengong sembari menarik-narik rambut panjang mamanya yang tergerai.

Ia berjalan mendekati meja, sebentar-sebentar melihat ke arahku. Aku pun masih tetap fokus melayani pembeli. Ia lalu memindahkan gendonganku Adel ke belakang dengan memakai kain jarik.

"Kok berantakan banget emang barusan ada apa, Bang?" tanya wanita yang sudah kunikahi selama lima tahun itu menatapku tajam meminta sebuah kejelasan.

Ia membungkuk, tangannya meraih semua barang-barang yang berhamburan di lantai lalu diletakkan kembali ke meja. Sesekali ia membenarkan letak gendongan yang miring.

"Penjual nasi uduk di depan itu, Dek, barusan ngamuk di sini. Katanya gegara Abang warungnya jadi sepi,” jelasku seraya meletakkan nasi di atas kertas nasi.

Aku sembari membungkus lalu memasukkan lima bungkus nasi goreng ke dalam kantong kresek dan mengangsurkan kepada pembeli.

"Berapa, Bang?" tanya sang pembeli seraya merogoh lembaran uang dari dalam dompet.

"Total enam puluh ribu, Pak," jawabku ramah.

"Ini, ya, Bang," ucap pembeli seraya menyerahkan uang kepadaku.

"Abang gondrong yang tadi kasar sekali, sepertinya dia iri pada keramaian warung Abang," celetuk pembeli kemudian menaiki motornya.

"Makasih, Pak," ucapku ramah sambil melengkungkan bibir.

***

Tepat pukul 22.00 daganganku sudah habis.

Ketika hendak mengunci warung, tiba-tiba saja ada sebuah bungkusan di dekatku. Sepertinya ada yang sengaja melempar ke sini. Aku segera menoleh ke belakang. Sekilas terlihat seseorang berlalu dari pembatas jalan. Netra ini mengamati ternyata dia adalah si Abang penjual nasi uduk.

Entah kenapa aku mengambilnya lalu membawa masuk ke dalam rumah. Mengunci pintu lalu berjalan ke kamar.

"Itu apa, Bang?" tanya istriku yang sedang menggendong putri kecil kami. Ia melirik bungkusan yang ada di tangan ini.

"Nggak tau, nih, Dek! Ini Abang baru mau membukanya. Tadi Bang Udin yang melempar," jawabku seraya duduk menyelonjorkan kaki.

Kuletakkan bungkusan itu di kasur dan berniat membukanya. Sungguh, betapa terkejutnya ketika aku membukanya ternyata ....

Tatkala Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam menikah dan membawa istrinya ke rumah, beliau mengadakan suatu walimah yang dihadiri oleh beberapa sahabat. Dalam walimah itu sambil menikmati hidangan yang terbatas, para sahabat berbincang-bincang, sementara Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam sedang salat.

Setelah selesai dari salatnya, Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam bertanya kepada para sahabatnya, "Tentang apa yang kalian bicarakan?" Para sahabat pun menjawab, "Soal rezeki Ya Rasulullah."

Lalu, Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam menceritakan kepada para sahabatnya, suatu cerita yang diceritakan Malaikat Jibril Alaihi Salam kepadanya, yaitu :

Pada suatu ketika, Nabi Sulaiman Alaihi Salam sedang melaksanakan salat di tepi laut, setelah selesai salat, beliau melihat seekor semut melata yang menggigit di mulutnya selembar daun hijau. Dilihatnya semut itu berteriak, sewaktu sudah sampai di tepi air keluarlah seekor katak, kemudian membawanya menyelam ke dasar laut.

Setelah satu jam lewat, keluarlah si semut terapung di atas air, kemudian dengan rasa penasaran Nabi Sulaiman Alaihi Salam pun bertanya kepada semut kecil itu, "Apa yang kamu lakukan di dasar laut?"

"Di bawah dasar laut terdapat sebuah batu besar yang di tengah-tengahnya hidup seekor ulat yang aku diperintahkan untuk memberikannya makan. Pada tiap hari aku membawa makanannya dua kali, diantar oleh Malaikat yang menjelma sebagai katak yang membawaku ke dasar laut, kemudian setelah aku memberi makan ulat tersebut, dibawanya aku kembali ke permukaan laut. Dan tiap kali sehabis makan rezeki yang kubawakan, si ulat bersyukur kepada Allah Subhanahu Wata Ala dan berkata, "Maha Besar Allah yang telah menciptakanku serta mentakdirkanku hidup di dasar laut ini, tetapi tidaklah melupakan rezekiku," jawab si semut.

Adakah Allah Subhanahu Wata Ala akan melupakan umat Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam dari pemberian rezeki dan Rahmat-Nya?

Semoga bermanfaat.

وَ الـلَّــــهُ اَعْــلَـــمْ بِالصَّــــوَابِ

Note: Jangan mengotori hati dengan rasa iri pada rezeki orang lain. Setiap manusia sudah ada takaran rezekinya masing-masing. Bahkan, seekor ulat yang hidup di dasar lautpun Allah tidak pernah melupakan rezekinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status