Share

Penasaran

Tolong siapkan segelas air dong, Bang!" pinta Bang Deni. Adel masih menangis, anehnya ia menangis, tapi tidak mengeluarkan air mata. Tatapannya fokus pada satu tempat.

"Iya, Bang," jawabku singkat.

Lekas aku ke dapur mengambil gelas di rak piring lalu menuangkan air dari teko. Napasku ngos-ngosan karena sangat panik.

"Ini, Bang!" ucapku seraya menyodorkan segelas air putih kepada Bang Deni.

Sambil memegang gelas Bang Deni  menggendong Adel yang masih menangis kejang-kejang dan mulutnya mulai komat-kamit seperti membaca ayat Al-Quran. Entah apa yang dibacanya akupun tak mengetahuinya.

Ani gemetaran, buliran-buliran kristal meluncur dari netranya. Sambil menyeka air matanya dengan kain jarik yang masih disampirkan di bahunya. Setelah selesai membaca Bang Deni meniup juga sedikit meludah ke dalam gelas lalu segera meminumkan kepada Adel. Laki-laki kekar itu menuangkan air di tangannya kemudian membasuh wajah Adel.

Tak berselang lama putri kami berhenti juga menangisnya. Aku meraih Adel dari gendongan Bang Deni. Setelah itu istriku menghambur dan meraih Adel dari gendonganku.

"Maaf, Bang, Ani ke kamar dulu mau menidurkannya. Kasihan udah berjam-jam lamanya juga belum menyusu sedari tadi," ucap istriku kepada lelaki di hadapanku lantas Ani berjalan menuju kamar.

"Bang Deni, sini duduk dulu!" ajakku seraya mengarahkan ke ruang tamu. Kami melangkah saling bersisian.

Kami menghenyakkan bokong di kursi panjang dan menyenderkan punggung. Kejadian tadi membuat jantungku berdegup kencang. Aku menatap langit-langit rumah dan sejenak memejamkan mata. Sesaat kemudian baru teringat kalau masih ada lelaki kekar itu.

"Besok-besok kalau ada bungkusan seperti itu lagi langsung dibakar aja, ya, Bang! Sepertinya ada yang nggak suka sama Abamg dan sepertinya disengaja. Akan tetapi kita juga nggak boleh langsung su'udzon dulu pada seseorang, kita harus mutawarik dan bertabbayyun terlebih dahulu. Pokoknya harus terus berhati-hati, kita lihat apakah nanti malam Adel menangis lagi apa enggak. Nanti kalau ada apa-apa panggil aku aja, Bang!" ucap Bang Deni penuh empati.

"Iya, Bang" jawabku lesu karena kejadian tadi sangat menguras energi juga.

"Ya udah aku pulang dulu, Bang. Assalamu'alaikum!" Bang Deni berpamitan dan bersalaman denganku. Aku segera membukakan pintu depan.

"Wa'alaikumsalam, Bang. Terimakasih banyak ya, Bang," sahutku seraya menjabat tangannya.

Setelah mengunci pintu, gegas diri ini melangkah menuju kamar. Pintunya yang agak sedikit terbuka membuatku bisa melihat jelas wajah dua perempuan tercinta, mereka sudah tidur terlelap. "Aku rasa Adel sudah tidak kesurupan lagi," batinku.

Aku mendekati dan memandangi wajah mereka secara bergantian. Sungguh tega sekali orang yang sudah menjahili kami.

"Apakah aku harus tetap melanjutkan jualan nasi goreng atau harus berhenti demi keselamatan keluargaku?" gumamku sambil menatap langit-langit rumah.

Takutnya besok, lusa atau entah kapan lagi orang itu jahil lagi.

"Ah, sebaiknya aku ikut tidur juga," lirihku seraya merebahkan raga di samping Ani.

***

Seperti biasa usai subuh aku belanja kebutuhan jualan mengendarai motor tuaku.  Namun sebelum itu, aku berpamitan terlebih dahulu dengan istri tercinta. Ani masih bersimpuh di atas sajadah sedang berdzikir.

***

Selesai belanja kebutuhan jualan, sengaja kulajukan motor ini dengan kecepatan sedang menuju rumah karena udara masih agak dingin.

Kini aku sudah hampir sampai tepatnya di Masjid Faturrahman yang hanya berjarak beberapa langkah dari rumah. Akan tetapi, sungguh terkejutnya aku ketika melihat sebuah mobil Avanza hampir menyerempetku. Tampaknya si pengendara sengaja ingin menyelakaiku. Mobil berwarna gold itu berhenti di dekat pohon asem.

Kulajukan motor sampai di depan pintu rumah. Kuparkirkan motor di bawah pohon mangga, warung dan rumah kontrakanku bersebelahan. Ketika hendak membuka pintu, "Andi! Tolong dong bantu Kakak! Gendongin Rara!" Sontak aku menoleh ketika mendengar suara seorang wanita berteriak memanggilku.

Ternyata Kak Mira yang datang, sampai bikin pangling karena satu bulan yang lalu Kak Mira belum memiliki mobil. Kuletakkan belanjaan yang aku tenteng ini di kursi panjang terlebih dahulu. Aku segera menghampirinya, membuka pintu tengah mobil dan menggendong Rara yang sedang tidur.

"Ani mana? Aku ke sini mau ngambil uang yang katanya sudah ada, makanya aku ke sini," ucapnya sambil sibuk dengan ponselnya. Dandanannya memang 'wah'.

"Ada di dalam Kak, aku juga baru aja pulang dari pasar," jawabku.

"Panggil saja Ani ke sini aku malas masuk begah di dalam!" titahnya.

"Iya, Kak, aku panggil dulu!" Aku melangkah masuk ke rumah.

"Assalamu'alaikum, Dek ... Abang udah pulang," ucapku seraya membuka pintu kamar. Ani yang sedang melipat pakaian seketika menoleh.

"Wa'alaikumsalam, Bang ...."

"Eh, Rara ... pagi-pagi udah sampai sini aja, sini Bang, Adek gendong!"

"Itu di luar ada Kak Mira, Dek. Mau ngambil uang," ucapku seraya memindahkan Rara ke pangkuan Ani.

Tiba-tiba ada yang berteriak,

"Aniii keluar buruan sini, Kakak udah mau pergi lagi nih!" suara Kak Mira keras sekali. Adel yang tadinya masih tertidur langsung bangun dan menangis.

"Sini, Dek, Rara biar aku gendong lagi, Adek tenangin Adel aja," ucapku. Kini Rara sudah berada dalam gendonganku.

"Ani kenapa lama banget? Tuh, iya 'kan Kakak jadi masuk ... padahal kalau bukan karena Kakak butuh uang juga nggak bakalan masuk!" omelnya sambil mengangkat bajunya takut terkena lantai.

"Eh itu Adel kenapa kok matanya sembab?" tanya Kak Mira.

"Em, itu Kak, Adel semalem habis kesurupan," sahut Ani.

"Apa?! Udah kubilang jualan itu nggak enak, tutup aja warungnya! Nah, ada yang jahil `kan!" Wanita bergaya 'wah' itu sewot.

"Padahal bung—" suara Kak Mira terputus. Entah apa yang akan diucapkan selanjutnya. Tiba-tiba tangan kanannya menutup mulut dan matanya melebar.

"Bung ... apa, Kak?" tanya Ani penasaran.

Kak Mira seperti salah tingkah dan bergegas keluar mengajak kami duduk di depan rumah kontrakan kami.

Mayme

Kra354

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status