'Kak Nardo ...'
Secara refleks tangan Chiara terangkat menyentuh dada. Entah karena terkejut atau bagaimana, gadis itu merasa jantungnya mendadak berdebar-debar ketika tatapannya menangkap presensi seseorang yang sangat tidak asing di ujung sana. Sosok seorang pria yang tampak tertidur sambil duduk bersandar pada laci abu yang Chiara tebak adalah milik Naomi, kakaknya. Apalagi ketika langkahnya semakin memutus ruang dengan si pria.Chiara memperhatikan wajah tampan dengan mata terpejam itu dalam diam. Binar jingga yang terbias di wajah itu membuatnya tampak lebih elok di matanya. Dia memegangi dada kiri, mencoba meredakan detakannya. Gadis itu merasa terkejut dan heran. Dia tidak biasanya begini ketika bertemu dengan Nardo, bahkan sejak dulu.Rasanya sangat sesak ketika melihat raut duka mendominasi rupa mantan calon suami kakaknya, namun di satu sisi ia merasa ... lega?'Kamu lihat, Kak? Kak Nardo terlihat hancur setelah kepergianmu.'Setelah membuang napas yang terdengar berat, Chiara mengalihkan atensi pada potret Naomi di dalam laci. Dia meletakkan sebuket bunga anyelir di sisi buket bunga mawar merah yang ia tebak, Nardo lah yang membawanya."Chia datang ... bagaimana kabar Kakak di sana? Pasti sekarang Kakak sudah bisa menari lagi di Surga." Gadis itu berucap disertai senyuman.Tentu saja tidak ada jawaban. Hanya angin dingin yang menerobos celah jendela yang seakan membelai wajahnya.Chiara menghela napas panjang, senyum yang awalnya terangkai indah itu menghilang, berubah sendu. "Sesak sekali rasanya saat tahu kalau Kakak sudah pergi. Kakak tahu, Chia kecewa sama Kakak. Chia tidak menyangka kalau Kakak bisa berpikiran sesempit itu."Lagi-lagi hanya hening yang menjawabnya."Tapi biar bagaimanapun, Chia hargai keputusan Kakak. Chia selalu berdoa kalau kebahagiaan abadi itu sudah ada dalam genggaman tangan Kakak sekarang." Kali ini Chiara kembali tersenyum, meskipun air mata kembali jatuh di kedua pipi. Entah sudah berapa liter air mata yang mengalir dari kedua mata indahnya hari ini. "Lihat, belum apa-apa Chia sudah kangen sama Kakak. Chia kangen nasihat Kakak, kangen rebutan remote teve sama Kakak, bahkan ... Chia kangen omelan Kakak." Ada kekehan pedih di akhir kata.Ketika angin dingin kembali menerbangkan beberapa helai rambutnya, Chiara memejamkan mata. Dia merasa jika terpaan angin itu adalah balasan dari setiap kalimat yang dirinya ucapkan untuk sang kakak tercinta."Maafkan Chia, maaf kalau selama ini Chia belum bisa menjadi adik yang baik buat Kakak. Chia sayang banget sama Kakak." Dia menghapus air mata, kemudian mengatupkan kedua tangan di depan dada, berdoa dengan menutup mata."Sudah berdoanya, Chia?"Chiara tersentak lalu membuka mata segera. Ketika suara maskulin itu berhasil menyapa telinga, lagi-lagi jantungnya berdegup kencang. Ketika dia menoleh ke kanan, sosok jangkung mantan calon suami kakaknya sudah berdiri di sisinya. "K-kak Nardo sudah bangun?""Baru beberapa detik yang lalu." Nardo memberinya senyuman manis sebelum kembali melanjutkan kata. "Kakak sedikit terkejut saat melihat kamu ada di sini. Kamu ke sini sama siapa?""Sendirian."Sontak saja wajah Nardo berubah cemas. "Astaga! Nao bisa khawat—" pria itu menggantung kata, urung melanjutkan kalimatnya. Dia baru sadar kalau Naomi sudah tiada."Tidak apa-apa, Chia sudah bilang sama Kak Nao tadi." Seakan paham dengan apa yang Nardo rasakan, Chiara menyentuh lengan atas pria itu dengan jantungnya yang ricuh, lalu memberikannya senyuman kecil. "Kakak terlihat kacau," lanjutnya.Nardo tersenyum hambar menanggapinya. "Kelihatan banget, ya?"Chiara mengangguk."Yah, mau bagaimana lagi?" Kedua bahu itu terangkat singkat, masih dengan senyum yang tak sampai ke mata, menatap potret Naomi di dalam laci sana. "Kakak merasa kalau separuh nyawa Kakak ikut pergi bersama Nao. Sejujurnya Kakak belum siap kehilangan dia."DENTINGAN piano memenuhi ruang keluarga, mengiringi tarian ballet seorang gadis Ballerina. Jari-jari pria dengan rambut pirang dan bermata biru itu terlihat sangat piawai merangkai nada, bergerak dengan lincah di atas tuts-tuts hitam-putih sebuah grand piano di depannya. Senyumannya yang menawan sesekali ia sematkan ketika bertemu pandang dengan sang gadis pujaan. Dia bernama Nardo Austerlitz, seorang pria tampan berkewarganegaraan Indonesia yang memiliki campuran darah Jerman di tubuhnya.Sedangkan gadis yang menari tak jauh darinya terlihat begitu larut menghayati perannya sebagai Odette, seekor angsa putih yang cantik jelita. Dengan leotard berlengan pendek yang dipadukan dengan rok tutu berwarna pink, gadis itu tampak sangat mahir melakukan gerakan-gerakan tari ballet. Ia berjinjit, berputar, dan melompat dengan begitu anggun mengikuti nada yang pria di sana cipta.Naomi Putria Wardhani adalah namanya. Ia merupakan seorang Ballerina muda yang berbakat. Meskipun Naomi sudah sering
Malam sudah semakin larut saat Chiara melangkahkan kakinya untuk turun ke lantai pertama. Ia baru saja selesai mandi setelah makan malam bersama keluarga, calon Kakak ipar, serta sahabatnya tadi. Dan sekarang Chiara berencana untuk mencari ibu dan ayahnya, mau menonton televisi bersama di ruang keluarga. Tapi sebelum kedua kakinya menjejak tangga, kedua mata gadis itu sudah lebih dulu melihat presensi Naomi dari celah pintu kamar yang tidak tertutup sempurna. Kakaknya itu terlihat sedang sibuk merapikan sesuatu di dalam sana. Setelah berpikir sejenak, akhirnya Chiara urung untuk turun ke bawah, langkah kakinya memutar memasuki kamar kakaknya."Wah, Kakak rajin banget! Chia makin yakin, pasti pentas Kakak akan sukses besar nanti," ucap Chiara sambil melongokkan kepalanya ke dalam kamar kakaknya. Naomi menoleh, tersenyum ketika melihat Chiara menghampirinya dan bergegas duduk di sisinya pada tepi ranjang."Ameen. Semoga saja, ya ... lumayan, hitung-hitung buat beli tiket honeymoon." Na
"CUT!" Nardo berteriak cukup keras, menghentikan segala adegan para pemain dalam set yang telah ia rancang di depannya. Raut tampan pria itu terlihat tak puas. Baginya, akting aktor dan aktrisnya kali ini belum mencapai titik sempurna, tidak sesuai dengan ekspektasinya.Nardo adalah seorang Sutradara muda yang terkenal perfeksionis. Lewat tangan dinginnya, telah lahir beberapa judul film yang meledak di pasaran, mengantarkan dirinya beserta para pemain yang tergabung di dalamnya mendapatkan beberapa penghargaan bergengsi. Dan kali ini Nardo tengah mengerjakan sebuah project film horor. Ia menggandeng banyak aktor dan aktris yang namanya tengah berkibar di blantika perfilman Indonesia. Salah satunya adalah Almera, aktris yang tergabung dalam naungan MK Entertainment; sebuah agency yang didirikan oleh kedua orang tua Nardo. MK merupakan singkatan dari nama keduanya, Manfredo Austerlitz dan Karina Wibisono.Kedua pemain film berbeda jenis kelamin di sana terlihat membungkukkan badannya
Universitas Nusa Bangsa merupakan sebuah perguruan tinggi yang terletak di pusat kota Jakarta, didirikan pada tahun 1924. Universitas ini adalah universitas berkelas dunia yang menjadi pelopor perguruan tinggi nasional berkelas dunia yang unggul dan inovatif. Perguruan tinggi inilah tempat Chiara, Evan, beserta teman-temannya menimba ilmu.Suasana di salah satu ruang kelas yang terletak di lantai 2 itu masih cukup lengang pagi ini. Hanya ada beberapa bangku yang sudah terisi. Salah satunya adalah bangku paling depan paling pojok sebelah kanan, tempat Chiara dan salah satu teman perempuannya sedang bergurau ria.Gadis itu memang berangkat lebih pagi karena hari ini merupakan jadwalnya melakukan piket kelas. Tentu dia berangkat bersama Evan, seperti biasanya. Mereka memang seringkali kedapatan tengah bersama berdua, sehingga jika ada yang tidak tahu tentang keakraban keduanya pasti akan mengira bahwa mereka adalah pasangan kekasih."Menurut Diana, lebih tampan yang mana? Hyunjin Straykid
Tepat jam sebelas menjelang siang ketika Evan memarkirkan motor vespa antiknya di parkiran rumah sakit yang Chiara sebutkan. Seakan tak mau membuang waktu, Chiara segera turun dari boncengannya, melepas helm bogo di kepalanya, lalu menaruhnya asal pada jok motor Evan.Langkahnya tergesa, tertatih. Namun Chiara tetap terus berjalan, terus mengayunkan kedua kakinya menuju bangunan di muka rumah sakit tempat Naomi berada; instalasi gawat darurat. Tangannya tak berhenti memegangi dada kiri, tempat jantungnya bersarang. Di titik itu rasanya sangat sakit, sangat menyesakkan. Saat ini bukan hanya jantungnya saja yang nyeri, hati dan perasaannya juga. Dia masih sulit untuk percaya ketika tadi menerima telepon dari nomor Naomi, tetapi bukan suara Sang Kakak yang menyapa telinganya. Seseorang di ujung telepon sana berkata bahwa Naomi mengalami kecelakaan lalu lintas, menghubungi dirinya karena nomornya adalah nomor terakhir yang Naomi hubungi. Setelah menghubungi kedua orang tuanya, dia dan Eva
Linglung. Naomi tidak pernah menyangka akan bernasib seperti ini. Padahal karirnya sedang bagus-bagusnya, namun malapetaka malah dengan kejam menimpa dirinya, menghancurkan segala mimpi yang ia bangun semenjak masih balita. Kehilangan fungsi kedua kaki, artinya mau tidak mau ia harus merelakan karir menarinya berakhir cukup sampai di sana.Hatinya belum juga merasa lebih baik meskipun di sisi ranjangnya Nardo dengan setia menggenggam tangan kirinya, menciumnya kadang-kadang. Kedua calon mertuanya baru saja datang, mereka berdiri di sisi lain ranjang, menatap dirinya dengan simpati. Sejujurnya, Naomi paling tidak suka dikasihani."Bagaimana keadaan kamu, Nak?" Karina, Sang calon ibu mertua bertanya mengawali pembicaraan. Suara wanita itu begitu lembut, penuh kasih sayang. "Nao baik, Ma." Mau tak mau, Naomi memaksakan sebuah senyuman untuk memberikan respons pada pertanyaan calon ibu mertuanya, mengingkari apa yang ia rasa."Jangan bersedih, ya ... Mama dan Papa juga akan membantu Nard
Jam dinding yang tergantung pada dinding putih ruang Instalasi Gawat Darurat sudah menunjukkan pukul delapan malam ketika Naomi memasukinya menggunakan kursi roda. Di belakang tubuhnya, Nardo tampak begitu setia mendorong kursi roda yang dinaiki calon istrinya itu.Setelah sekali lagi mengusap air mata, sudut bibir Naomi ia paksa tarik untuk mencipta senyuman. Sosok adiknya masih berada di atas ranjang di depan sana, lengkap dengan alat bantu hidup yang terpasang di mana-mana. Hal tersebut berhasil mencipta sesak di dada, namun dirinya pun tak bisa berbuat apa-apa. "Hai, Chia ..." Naomi bersusah payah untuk tidak membuat suaranya bergetar ketika menyapa sang adik. Dan perlahan kedua mata Chiara terbuka saat sapaan halus kakaknya membelai telinga. "Kakak.""Bagaimana kondisimu?""Kakak dulu. Bagaimana kondisi Kakak?" meskipun dengan suara lirih nyaris tak terdengar, Chiara justru balik bertanya."Seperti yang kamu lihat, Kakak baik-baik saja. Yah, meskipun Kakak belum bisa menggerakk
Beberapa piagam penghargaan dan berbagai bentuk piala yang terpajang di dalam lemari kaca hanya akan menjadi kenangan bagi Naomi, sebagai simbol jika dirinya pernah memiliki bermacam prestasi di dalam dunia tari-menari, dunia yang telah membesarkan namanya. Naomi menatap semua itu dengan tatapan hampa, sebab ia tahu jika puncak kejayaannya kini telah habis tak bersisa. Setelah menghela napas panjang satu kali, kedua tangannya kembali memutar roda di sisi kanan dan kiri kursi roda yang ia duduki, menggerakkan tempat duduk beroda yang hampir dua minggu ini menjadi teman akrabnya menuju meja rias tempat yang beberapa hari ini ia gunakan untuk merias wajah di kamar barunya. Setelah tidak lagi bisa berjalan, ia memang pindah kamar ke lantai dasar.Dari laci yang berada di sisi kiri, tangan kanan kurus itu meraih sebuah album foto yang tampak usang di makan usia. Sebuah album foto khusus yang berisi segala potret ketika dirinya sedang berlatih menari semenjak masih belia. Air mata itu men