DENTINGAN piano memenuhi ruang keluarga, mengiringi tarian ballet seorang gadis Ballerina. Jari-jari pria dengan rambut pirang dan bermata biru itu terlihat sangat piawai merangkai nada, bergerak dengan lincah di atas tuts-tuts hitam-putih sebuah grand piano di depannya. Senyumannya yang menawan sesekali ia sematkan ketika bertemu pandang dengan sang gadis pujaan. Dia bernama Nardo Austerlitz, seorang pria tampan berkewarganegaraan Indonesia yang memiliki campuran darah Jerman di tubuhnya.
Sedangkan gadis yang menari tak jauh darinya terlihat begitu larut menghayati perannya sebagai Odette, seekor angsa putih yang cantik jelita. Dengan leotard berlengan pendek yang dipadukan dengan rok tutu berwarna pink, gadis itu tampak sangat mahir melakukan gerakan-gerakan tari ballet. Ia berjinjit, berputar, dan melompat dengan begitu anggun mengikuti nada yang pria di sana cipta.Naomi Putria Wardhani adalah namanya. Ia merupakan seorang Ballerina muda yang berbakat. Meskipun Naomi sudah sering kali sukses dalam mengikuti pementasan, namun ia selalu rajin berlatih untuk mengasah kemampuannya. Dan sore ini ia ditemani oleh Nardo; kekasih sekaligus calon suaminya. Ya, mereka berdua akan segera menikah dalam waktu dekat ini setelah merajut kasih hampir lima tahun lamanya.Namun, suara tepuk tangan yang menggema secara tiba-tiba membuyarkan konsentrasi mereka berdua. Naomi segera menghentikan gerakannya, diikuti oleh Nardo yang turut berhenti memainkan nada. Kedua pasang mata itu menemukan dua sosok mendekat ke arah mereka, masih dengan pakaian yang mereka gunakan untuk berangkat kuliah tadi pagi."Woah ... kakakku memang paling keren! Seperti angsa putih yang terbang!" seru si gadis manis dengan nada ceria serta senyuman cerahnya. Ia adalah Chiara Adriana Wardhani, adik kandung Naomi, gadis cantik berambut panjang sekelam malam, bermata hazel nan cemerlang serta pemilik lesung pipit di kedua pipinya yang cukup tembam. Seorang pemuda terlihat mengekori langkahnya. Ialah Evan Nugraha, sahabat Chiara."Sini kamu!"Tidak seperti dugaan Chiara yang mengira akan mendapatkan senyuman dari Kakaknya berkat pujian yang ia tebar. Naomi justru terlihat berkacak pinggang, menatap tajam ke arahnya. Hal itu sukses membuat senyum Chiara menghilang, berganti raut wajah tegang. "Mati aku!""Kamu kira pujianmu itu mempan, hm? Kamu ke mana saja? Kenapa jam segini baru pulang? Seharusnya pulang sekolah itu langsung pulang, ini malah keluyuran!" cecar Naomi. Kali ini dengan melipat tangan di depan dada."Chia cuma jalan-jalan keliling kota sebentar sama Evan. Ya kan, Van?" Chiara mencoba mencari pembelaan. Ekspresinya terlihat kesal. Ia menoleh sebentar pada Evan sebelum kembali menemukan tatapan mata dengan kakaknya. "Kenapa kakak jadi cerewet seperti nenek-nenek begitu?!""Kamu itu harus banyak istirahat, Chia. Ingat kondisi kesehatan kamu! Ini anak benar-benar bikin geram." Naomi mencoba menasihati, meskipun ada nada marah yang menyertai.Naomi memiliki alasan yang kuat kenapa ia bersikap over protektif begitu. Chiara, adiknya adalah seorang pengidap penyakit jantung bawaan sejak lahir. Ia hanya takut jika aktivitas yang dilakukan Chiara membuat adiknya itu kelelahan dan akhirnya membuat penyakit itu kambuh."Jangan terlalu keras sama adikmu, Sayang." Setelah terdiam sejak tadi, akhirnya Nardo buka suara. Ia mendekat ke arah Naomi, menepuk salah satu pundaknya dari belakang, berusaha menenangkan. Nardo adalah yang paling tahu bagaimana sayangnya Naomi pada adiknya.Sedangkan Naomi tampak menoleh ke belakang, hanya untuk memberikan Nardo tatapan kesal."Lagi pula Chia pergi juga tidak sendirian, ada Evan yang menjaganya. Ya kan, Van?" ketika kepala Nardo menoleh pada Evan, pemuda itu mengangguk mantap."Betul, Kak.""Kak Nardo memang yang terbaik! I love you, Kak!" mendapatkan pembelaan dari calon Kakak ipar, senyuman Chiara kembali mengembang. Ia melangkah cepat untuk memeluk lengan kanan Nardo dengan manja. Dan dia dihadiahi dengkusan kesal kakaknya."Jangan membelanya terus, Mas! Nanti dia makin ngelunjak!" protes Naomi, berbalik badan kembali menatap mata biru Nardo sebelum berganti menatap sebal pada adiknya. "Sini, kakak jitak kepala kamu!" tangan kanan Naomi sudah terangkat, tapi Chiara terlalu cepat menghindar. Ia bersembunyi di belakang punggung lebar sang calon Kakak ipar untuk menghindari serangan. Kini posisi Nardo berada di tengah-tengah antara dua kakak beradik itu."Wleee ... tidak kena!" Chiara menjulurkan lidah, mengejek kakaknya. Sedangkan Nardo hanya bisa tertawa sambil merentangkan kedua lengannya di depan Naomi, berusaha menjadi penengah pertengkaran kecil mereka."Awas, ya!""Astaga ... kalian ini seperti anak kecil saja." Suara lembut yang berasal dari ambang pintu menyita atensi mereka. Ambar, ibu dari dua saudari itu datang memasuki ruangan, menggeleng-gelengkan kepala sambil tertawa melihat interaksi anak-anaknya. "Chia sudah pulang, Nak? Ke mana saja tadi, Nak Evan?" mata teduh Ambar menatap Chiara, kemudian beralih ke Evan."Cuma berkeliling sebentar di Mall, Tante ... Chia lagi nyari novel The—" sebelum Evan meneruskan kalimatnya, Chiara buru-buru membekap mulut sahabatnya itu agar tidak melanjutkan ucapannya. Meskipun harus dengan susah payah karena Evan jauh lebih tinggi darinya. Bisa gawat kalau ibunya sampai tahu jika Chiara gemar membaca novel dewasa."Berani ngomong sekali lagi, habis riwayat kamu, Van!" ancam Chiara ketika Evan berusaha melepaskan bekapan tangannya di mulut lelaki itu. Yah, walaupun pada akhirnya Evan memang berhasil melepaskan diri, kemudian menghela napas panjang untuk mengisi kembali paru-parunya dengan oksigen."Fuahh ... ampun, Tuan putri!"Ambar hanya mampu menghela napas panjang melihat kelakuan putri bungsunya. "Ya sudah. Lain kali kalau mau pergi, setidaknya jangan lupa mengabari orang rumah, Sayang. Biar kakakmu itu tidak panik berlebihan.""Malas ah, Kak Nao suka ngomel-ngomel. Bikin pusing kepala, Ma." Chiara membuang muka, menatap ke arah mana pun asal bukan pada ibu atau kakaknya."Jangan seperti gitu sama Kakakmu, Chia. Naomi begitu karena dia sayang sama kamu. Dia cuma khawatir." Nardo berusaha memberikan nasihatnya."Tuh, dengerin kata calon Kakak ipar kamu!" ujar Naomi, turut menambahi kalimat calon suaminya, membuat Chiara memutar kedua bola mata."Iya-iya! kalian memang pasangan yang serasi kalau soal menasihati."Ambar kedapatan terkekeh melihatnya. Yah, meskipun Chiara dan Naomi sering kali bertengkar, hal itu tak menutup fakta bahwa keduanya memang saling menyayangi pada kenyataannya. Mata teduh Ambar beralih ke arah Evan setelahnya. "Nak Evan sudah makan?""Belum, Tante. Hehe." Dengan sedikit malu-malu Evan menjawabnya."Kalau begitu lebih baik kita makan malam bersama, ya? Tante baru saja selesai memasak.""Terima kasih, Tante. Saya memang sudah kangen masakan Tante." Aku Evan dengan polosnya. Hal yang sukses kembali memancing kekehan Si wanita baya."Ya sudah, kita ke meja makan sekarang saja." Ambar berucap dengan senyuman, kemudian menatap pada presensi Sang calon menantu. "Yuk, Nak Nardo ... Mama memasak makanan favorit kamu malam ini.""Wah ... terima kasih, Mama.""Cieee ... sama calon menantu idaman mah beda perlakuan." Celetukan yang baru saja Chiara lontarkan dihadiahi cubitan gemas Sang Kakak pada salah satu daun telinganya."Minta dijewer memang nih kuping.""Aw! Aw! Aw! Sakit, tahu!"Begitulah interaksi keluarga mereka setiap harinya, begitu damai dihiasi canda tawa nan ceria. Namun, siapa yang mampu mengira bahwa salah satu sumber kebahagiaan dari keluarga itu akan segera menghilang dari peredarannya?***Tbc...Malam sudah semakin larut saat Chiara melangkahkan kakinya untuk turun ke lantai pertama. Ia baru saja selesai mandi setelah makan malam bersama keluarga, calon Kakak ipar, serta sahabatnya tadi. Dan sekarang Chiara berencana untuk mencari ibu dan ayahnya, mau menonton televisi bersama di ruang keluarga. Tapi sebelum kedua kakinya menjejak tangga, kedua mata gadis itu sudah lebih dulu melihat presensi Naomi dari celah pintu kamar yang tidak tertutup sempurna. Kakaknya itu terlihat sedang sibuk merapikan sesuatu di dalam sana. Setelah berpikir sejenak, akhirnya Chiara urung untuk turun ke bawah, langkah kakinya memutar memasuki kamar kakaknya."Wah, Kakak rajin banget! Chia makin yakin, pasti pentas Kakak akan sukses besar nanti," ucap Chiara sambil melongokkan kepalanya ke dalam kamar kakaknya. Naomi menoleh, tersenyum ketika melihat Chiara menghampirinya dan bergegas duduk di sisinya pada tepi ranjang."Ameen. Semoga saja, ya ... lumayan, hitung-hitung buat beli tiket honeymoon." Na
"CUT!" Nardo berteriak cukup keras, menghentikan segala adegan para pemain dalam set yang telah ia rancang di depannya. Raut tampan pria itu terlihat tak puas. Baginya, akting aktor dan aktrisnya kali ini belum mencapai titik sempurna, tidak sesuai dengan ekspektasinya.Nardo adalah seorang Sutradara muda yang terkenal perfeksionis. Lewat tangan dinginnya, telah lahir beberapa judul film yang meledak di pasaran, mengantarkan dirinya beserta para pemain yang tergabung di dalamnya mendapatkan beberapa penghargaan bergengsi. Dan kali ini Nardo tengah mengerjakan sebuah project film horor. Ia menggandeng banyak aktor dan aktris yang namanya tengah berkibar di blantika perfilman Indonesia. Salah satunya adalah Almera, aktris yang tergabung dalam naungan MK Entertainment; sebuah agency yang didirikan oleh kedua orang tua Nardo. MK merupakan singkatan dari nama keduanya, Manfredo Austerlitz dan Karina Wibisono.Kedua pemain film berbeda jenis kelamin di sana terlihat membungkukkan badannya
Universitas Nusa Bangsa merupakan sebuah perguruan tinggi yang terletak di pusat kota Jakarta, didirikan pada tahun 1924. Universitas ini adalah universitas berkelas dunia yang menjadi pelopor perguruan tinggi nasional berkelas dunia yang unggul dan inovatif. Perguruan tinggi inilah tempat Chiara, Evan, beserta teman-temannya menimba ilmu.Suasana di salah satu ruang kelas yang terletak di lantai 2 itu masih cukup lengang pagi ini. Hanya ada beberapa bangku yang sudah terisi. Salah satunya adalah bangku paling depan paling pojok sebelah kanan, tempat Chiara dan salah satu teman perempuannya sedang bergurau ria.Gadis itu memang berangkat lebih pagi karena hari ini merupakan jadwalnya melakukan piket kelas. Tentu dia berangkat bersama Evan, seperti biasanya. Mereka memang seringkali kedapatan tengah bersama berdua, sehingga jika ada yang tidak tahu tentang keakraban keduanya pasti akan mengira bahwa mereka adalah pasangan kekasih."Menurut Diana, lebih tampan yang mana? Hyunjin Straykid
Tepat jam sebelas menjelang siang ketika Evan memarkirkan motor vespa antiknya di parkiran rumah sakit yang Chiara sebutkan. Seakan tak mau membuang waktu, Chiara segera turun dari boncengannya, melepas helm bogo di kepalanya, lalu menaruhnya asal pada jok motor Evan.Langkahnya tergesa, tertatih. Namun Chiara tetap terus berjalan, terus mengayunkan kedua kakinya menuju bangunan di muka rumah sakit tempat Naomi berada; instalasi gawat darurat. Tangannya tak berhenti memegangi dada kiri, tempat jantungnya bersarang. Di titik itu rasanya sangat sakit, sangat menyesakkan. Saat ini bukan hanya jantungnya saja yang nyeri, hati dan perasaannya juga. Dia masih sulit untuk percaya ketika tadi menerima telepon dari nomor Naomi, tetapi bukan suara Sang Kakak yang menyapa telinganya. Seseorang di ujung telepon sana berkata bahwa Naomi mengalami kecelakaan lalu lintas, menghubungi dirinya karena nomornya adalah nomor terakhir yang Naomi hubungi. Setelah menghubungi kedua orang tuanya, dia dan Eva
Linglung. Naomi tidak pernah menyangka akan bernasib seperti ini. Padahal karirnya sedang bagus-bagusnya, namun malapetaka malah dengan kejam menimpa dirinya, menghancurkan segala mimpi yang ia bangun semenjak masih balita. Kehilangan fungsi kedua kaki, artinya mau tidak mau ia harus merelakan karir menarinya berakhir cukup sampai di sana.Hatinya belum juga merasa lebih baik meskipun di sisi ranjangnya Nardo dengan setia menggenggam tangan kirinya, menciumnya kadang-kadang. Kedua calon mertuanya baru saja datang, mereka berdiri di sisi lain ranjang, menatap dirinya dengan simpati. Sejujurnya, Naomi paling tidak suka dikasihani."Bagaimana keadaan kamu, Nak?" Karina, Sang calon ibu mertua bertanya mengawali pembicaraan. Suara wanita itu begitu lembut, penuh kasih sayang. "Nao baik, Ma." Mau tak mau, Naomi memaksakan sebuah senyuman untuk memberikan respons pada pertanyaan calon ibu mertuanya, mengingkari apa yang ia rasa."Jangan bersedih, ya ... Mama dan Papa juga akan membantu Nard
Jam dinding yang tergantung pada dinding putih ruang Instalasi Gawat Darurat sudah menunjukkan pukul delapan malam ketika Naomi memasukinya menggunakan kursi roda. Di belakang tubuhnya, Nardo tampak begitu setia mendorong kursi roda yang dinaiki calon istrinya itu.Setelah sekali lagi mengusap air mata, sudut bibir Naomi ia paksa tarik untuk mencipta senyuman. Sosok adiknya masih berada di atas ranjang di depan sana, lengkap dengan alat bantu hidup yang terpasang di mana-mana. Hal tersebut berhasil mencipta sesak di dada, namun dirinya pun tak bisa berbuat apa-apa. "Hai, Chia ..." Naomi bersusah payah untuk tidak membuat suaranya bergetar ketika menyapa sang adik. Dan perlahan kedua mata Chiara terbuka saat sapaan halus kakaknya membelai telinga. "Kakak.""Bagaimana kondisimu?""Kakak dulu. Bagaimana kondisi Kakak?" meskipun dengan suara lirih nyaris tak terdengar, Chiara justru balik bertanya."Seperti yang kamu lihat, Kakak baik-baik saja. Yah, meskipun Kakak belum bisa menggerakk
Beberapa piagam penghargaan dan berbagai bentuk piala yang terpajang di dalam lemari kaca hanya akan menjadi kenangan bagi Naomi, sebagai simbol jika dirinya pernah memiliki bermacam prestasi di dalam dunia tari-menari, dunia yang telah membesarkan namanya. Naomi menatap semua itu dengan tatapan hampa, sebab ia tahu jika puncak kejayaannya kini telah habis tak bersisa. Setelah menghela napas panjang satu kali, kedua tangannya kembali memutar roda di sisi kanan dan kiri kursi roda yang ia duduki, menggerakkan tempat duduk beroda yang hampir dua minggu ini menjadi teman akrabnya menuju meja rias tempat yang beberapa hari ini ia gunakan untuk merias wajah di kamar barunya. Setelah tidak lagi bisa berjalan, ia memang pindah kamar ke lantai dasar.Dari laci yang berada di sisi kiri, tangan kanan kurus itu meraih sebuah album foto yang tampak usang di makan usia. Sebuah album foto khusus yang berisi segala potret ketika dirinya sedang berlatih menari semenjak masih belia. Air mata itu men
"Serius, ini buatan Diana?" Chiara berucap tak percaya ketika kedua matanya menatapi banyak sekali bangau kertas di dalam kotak di atas pangkuannya, kotak berbahan kardus yang baru saja Evan berikan padanya. Kata pemuda itu, ada seribu jumlah bangaunya."Untuk apa aku bercanda, hm? Tidak ada untungnya." Nada bicara Evan terdengar malas, ia bersedekap menatap Chiara. "Dia berkata, jika kamu menggantung seribu bangau kertas, maka segala keinginanmu akan segera terkabulkan. Makanya dia dan teman-teman yang lain membuat itu banyak-banyak untuk kamu, agar keinginan kamu untuk segera sembuh bisa segera terwujud.""Aku terharu." Mata indah itu berkaca, namun senyuman justru terpetak di wajah ayunya. Sungguh, Chiara merasa tersentuh mendengar kalimat yang Evan lontarkan. Ternyata teman-temannya begitu peduli padanya.Melihatnya, dada pemuda itu menghangat tanpa mampu ia kira. Ia tersenyum, ia begitu bahagia bisa kembali melihat senyuman Chiara. "Banyak orang yang sayang dengan kamu, termasuk