Share

Bab 1 - damai sebelum badai datang

DENTINGAN piano memenuhi ruang keluarga, mengiringi tarian ballet seorang gadis Ballerina. Jari-jari pria dengan rambut pirang dan bermata biru itu terlihat sangat piawai merangkai nada, bergerak dengan lincah di atas tuts-tuts hitam-putih sebuah grand piano di depannya. Senyumannya yang menawan sesekali ia sematkan ketika bertemu pandang dengan sang gadis pujaan. Dia bernama Nardo Austerlitz, seorang pria tampan berkewarganegaraan Indonesia yang memiliki campuran darah Jerman di tubuhnya.

Sedangkan gadis yang menari tak jauh darinya terlihat begitu larut menghayati perannya sebagai Odette, seekor angsa putih yang cantik jelita. Dengan leotard berlengan pendek yang dipadukan dengan rok tutu berwarna pink, gadis itu tampak sangat mahir melakukan gerakan-gerakan tari ballet. Ia berjinjit, berputar, dan melompat dengan begitu anggun mengikuti nada yang pria di sana cipta.

Naomi Putria Wardhani adalah namanya. Ia merupakan seorang Ballerina muda yang berbakat. Meskipun Naomi sudah sering kali sukses dalam mengikuti pementasan, namun ia selalu rajin berlatih untuk mengasah kemampuannya. Dan sore ini ia ditemani oleh Nardo; kekasih sekaligus calon suaminya. Ya, mereka berdua akan segera menikah dalam waktu dekat ini setelah merajut kasih hampir lima tahun lamanya.

Namun, suara tepuk tangan yang menggema secara tiba-tiba membuyarkan konsentrasi mereka berdua. Naomi segera menghentikan gerakannya, diikuti oleh Nardo yang turut berhenti memainkan nada. Kedua pasang mata itu menemukan dua sosok mendekat ke arah mereka, masih dengan pakaian yang mereka gunakan untuk berangkat kuliah tadi pagi.

"Woah ... kakakku memang paling keren! Seperti angsa putih yang terbang!" seru si gadis manis dengan nada ceria serta senyuman cerahnya. Ia adalah Chiara Adriana Wardhani, adik kandung Naomi, gadis cantik berambut panjang sekelam malam, bermata hazel nan cemerlang serta pemilik lesung pipit di kedua pipinya yang cukup tembam. Seorang pemuda terlihat mengekori langkahnya. Ialah Evan Nugraha, sahabat Chiara.

"Sini kamu!"

Tidak seperti dugaan Chiara yang mengira akan mendapatkan senyuman dari Kakaknya berkat pujian yang ia tebar. Naomi justru terlihat berkacak pinggang, menatap tajam ke arahnya. Hal itu sukses membuat senyum Chiara menghilang, berganti raut wajah tegang. "Mati aku!"

"Kamu kira pujianmu itu mempan, hm? Kamu ke mana saja? Kenapa jam segini baru pulang? Seharusnya pulang sekolah itu langsung pulang, ini malah keluyuran!" cecar Naomi. Kali ini dengan melipat tangan di depan dada.

"Chia cuma jalan-jalan keliling kota sebentar sama Evan. Ya kan, Van?" Chiara mencoba mencari pembelaan. Ekspresinya terlihat kesal. Ia menoleh sebentar pada Evan sebelum kembali menemukan tatapan mata dengan kakaknya. "Kenapa kakak jadi cerewet seperti nenek-nenek begitu?!"

"Kamu itu harus banyak istirahat, Chia. Ingat kondisi kesehatan kamu! Ini anak benar-benar bikin geram." Naomi mencoba menasihati, meskipun ada nada marah yang menyertai.

Naomi memiliki alasan yang kuat kenapa ia bersikap over protektif begitu. Chiara, adiknya adalah seorang pengidap penyakit jantung bawaan sejak lahir. Ia hanya takut jika aktivitas yang dilakukan Chiara membuat adiknya itu kelelahan dan akhirnya membuat penyakit itu kambuh.

"Jangan terlalu keras sama adikmu, Sayang." Setelah terdiam sejak tadi, akhirnya Nardo buka suara. Ia mendekat ke arah Naomi, menepuk salah satu pundaknya dari belakang, berusaha menenangkan. Nardo adalah yang paling tahu bagaimana sayangnya Naomi pada adiknya.

Sedangkan Naomi tampak menoleh ke belakang, hanya untuk memberikan Nardo tatapan kesal.

"Lagi pula Chia pergi juga tidak sendirian, ada Evan yang menjaganya. Ya kan, Van?" ketika kepala Nardo menoleh pada Evan, pemuda itu mengangguk mantap.

"Betul, Kak."

"Kak Nardo memang yang terbaik! I love you, Kak!" mendapatkan pembelaan dari calon Kakak ipar, senyuman Chiara kembali mengembang. Ia melangkah cepat untuk memeluk lengan kanan Nardo dengan manja. Dan dia dihadiahi dengkusan kesal kakaknya.

"Jangan membelanya terus, Mas! Nanti dia makin ngelunjak!" protes Naomi, berbalik badan kembali menatap mata biru Nardo sebelum berganti menatap sebal pada adiknya. "Sini, kakak jitak kepala kamu!" tangan kanan Naomi sudah terangkat, tapi Chiara terlalu cepat menghindar. Ia bersembunyi di belakang punggung lebar sang calon Kakak ipar untuk menghindari serangan. Kini posisi Nardo berada di tengah-tengah antara dua kakak beradik itu.

"Wleee ... tidak kena!" Chiara menjulurkan lidah, mengejek kakaknya. Sedangkan Nardo hanya bisa tertawa sambil merentangkan kedua lengannya di depan Naomi, berusaha menjadi penengah pertengkaran kecil mereka.

"Awas, ya!"

"Astaga ... kalian ini seperti anak kecil saja." Suara lembut yang berasal dari ambang pintu menyita atensi mereka. Ambar, ibu dari dua saudari itu datang memasuki ruangan, menggeleng-gelengkan kepala sambil tertawa melihat interaksi anak-anaknya. "Chia sudah pulang, Nak? Ke mana saja tadi, Nak Evan?" mata teduh Ambar menatap Chiara, kemudian beralih ke Evan.

"Cuma berkeliling sebentar di Mall, Tante ... Chia lagi nyari novel The—" sebelum Evan meneruskan kalimatnya, Chiara buru-buru membekap mulut sahabatnya itu agar tidak melanjutkan ucapannya. Meskipun harus dengan susah payah karena Evan jauh lebih tinggi darinya. Bisa gawat kalau ibunya sampai tahu jika Chiara gemar membaca novel dewasa.

"Berani ngomong sekali lagi, habis riwayat kamu, Van!" ancam Chiara ketika Evan berusaha melepaskan bekapan tangannya di mulut lelaki itu. Yah, walaupun pada akhirnya Evan memang berhasil melepaskan diri, kemudian menghela napas panjang untuk mengisi kembali paru-parunya dengan oksigen.

"Fuahh ... ampun, Tuan putri!"

Ambar hanya mampu menghela napas panjang melihat kelakuan putri bungsunya. "Ya sudah. Lain kali kalau mau pergi, setidaknya jangan lupa mengabari orang rumah, Sayang. Biar kakakmu itu tidak panik berlebihan."

"Malas ah, Kak Nao suka ngomel-ngomel. Bikin pusing kepala, Ma." Chiara membuang muka, menatap ke arah mana pun asal bukan pada ibu atau kakaknya.

"Jangan seperti gitu sama Kakakmu, Chia. Naomi begitu karena dia sayang sama kamu. Dia cuma khawatir." Nardo berusaha memberikan nasihatnya.

"Tuh, dengerin kata calon Kakak ipar kamu!" ujar Naomi, turut menambahi kalimat calon suaminya, membuat Chiara memutar kedua bola mata.

"Iya-iya! kalian memang pasangan yang serasi kalau soal menasihati."

Ambar kedapatan terkekeh melihatnya. Yah, meskipun Chiara dan Naomi sering kali bertengkar, hal itu tak menutup fakta bahwa keduanya memang saling menyayangi pada kenyataannya. Mata teduh Ambar beralih ke arah Evan setelahnya. "Nak Evan sudah makan?"

"Belum, Tante. Hehe." Dengan sedikit malu-malu Evan menjawabnya.

"Kalau begitu lebih baik kita makan malam bersama, ya? Tante baru saja selesai memasak."

"Terima kasih, Tante. Saya memang sudah kangen masakan Tante." Aku Evan dengan polosnya. Hal yang sukses kembali memancing kekehan Si wanita baya.

"Ya sudah, kita ke meja makan sekarang saja." Ambar berucap dengan senyuman, kemudian menatap pada presensi Sang calon menantu. "Yuk, Nak Nardo ... Mama memasak makanan favorit kamu malam ini."

"Wah ... terima kasih, Mama."

"Cieee ... sama calon menantu idaman mah beda perlakuan." Celetukan yang baru saja Chiara lontarkan dihadiahi cubitan gemas Sang Kakak pada salah satu daun telinganya.

"Minta dijewer memang nih kuping."

"Aw! Aw! Aw! Sakit, tahu!"

Begitulah interaksi keluarga mereka setiap harinya, begitu damai dihiasi canda tawa nan ceria. Namun, siapa yang mampu mengira bahwa salah satu sumber kebahagiaan dari keluarga itu akan segera menghilang dari peredarannya?

***

Tbc...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status