Bab 24"Silahkan, Bu Sasty." Aish, kenapa pria itu begitu formal menyebut namaku."Pak Ibas, ssttt!" Kuletakkan telunjuk di bibir pada Ibas yang sengaja menggoda. Pria itu dengan cepat membuka pintu mobil samping.Bagaimana kalau ada yang dengar, Dion misalnya. Padahal dalam perjalanan ke mari, sudah kuwanti- wanti agar pria itu membantuku meluluskan sanggahan Dion yang menduga jika distro itu masih milikku. Kalau begini, alamat ketahuan sebelum rencana beres."Aku hanya bercanda. Lagian 'gak ada orang yang dengar kok." Ibas celingukkan melihat ke kiri dan ke kanan yang memang sedikit sepi. Benar juga. Kata Anita, biasanya distro akan ramai menjelang sore sampai malam hari.Aku menggelengkan kepala dengan gemas, kala pandangan mataku sampai di dalam ruangan. Dion tengah asik- asikan merebahkan diri di atas sofa, dengan kaki lebar yang diangkat ke atas. Kuberi kode pada Anita hingga wanita itu mendekat. Sebelumnya Anita sudah 'ku kirimi pesan tentang Ibas. Aku sendiri penasaran aka
Bab 25"Saya benar-benar sedang tidak memiliki uang sekarang, Pak. Uang itu habis untuk membiayai anak saya yang menikah, lalu memperbaiki rumah yang dihancurkan oleh para preman." Suara Ibu terdengar memelas. Menikah? Dion atau Sinta? Keduanya memang harus dinikahkan segera mungkin.Tiba-tiba rara kasihan menyelimuti dalam dada atas kesedihannya. Tapi tidak, biarkan Ibu menerima pelajaran berharga sebagai buah dari apa yang ditanamnya selama ini.Brakk!!Terdengar suara gebrakan meja. Bukan hanya aku sepertinya yang terkejut, bahkan pengunjung yang lain juga ikut terusik."Kami tidak butuh alasan apapun yang keluar dari mulut Ibu. Bayar hutangnya, atau kalau tidak, terpaksa kami menyita barang-barang berharga di rumah Ibu. Itu pun masih belum menutupi hutang-hutang Ibu yang banyak itu!!" ancamnya tak main- main."Tapi Pak, masalahnya bukan hanya saja yang berhutang. Harun yang lebih besar mengambil jatahnya. Masa' iya dia nggak ikut andil. Ini curang namanya!" Ibu menyanggah ucapa
Bab 26Entah ke mana Ibas akan membawaku. Tapi saat melihat toko sembako langgananku, seketika bayangan ibu yang berdiri di depan perusahaan membuatku sedih, aku berinisiatif memintanya untuk berhenti. Ini sudah awal bulan, dan aku lupa mengirimkan kebutuhan untuk di rumah."Kenapa, ada sesuatu yang ingin dibeli?" Aku mengangguk dan keluar dari mobil, tanpa kuduga Ibas turut mengikuti dari belakang.Aku masih kesal dengan Ibu, tapi kewajibanku harus tetap kutunaikan. Aku masuk ke dalam toko itu, kebetulan si pemilik mengenalku dan langsung menyapa ramah. "Seperti biasa ya, Pak haji," ujarku karena memang sudah lama berlangganan."Sekalian dikirim juga ke rumah?" tanya pria itu tersenyum ramah padaku. Aku mengangguk."Iya, tolong ya, Pak.""Bapak pikir tadi kamu orang lain lho, ternyata kamu beneran Sasty. Makin cantik aja dengan hijab.""Pak Haji bisa aja," ucapku sambil tersipu malu pada pria beristri dua itu. "Oh ya, satu jam yang lalu ibumu ke sini nanyain kamu. Katanya apa ka
Bab 27"Anda jangan khawatir, urusan hutang piutang keluarga saya itu bukan urusan Anda maupun urusan Ibas. Lagipula saya tidak tertarik untuk mengambil hati putra Anda. Sebaiknya Anda cari tahu lebih dulu tentang hubungan kami yang tidak lebih dari sekedar atasan dan bawahan! Permisi!"Aku berbalik setelah puas mematahkan argumen wanita itu. Tak memperdulikan meskipun wanita itu menggeram marah. Segera kubanting pintu dan keluar dari rumah mewah yang penghuninya sangat sombong dan dingin itu."Sas, Sasty! Tunggu!" Ibas menarik tanganku hingga aku terpaksa berbalik menatapnya marah."Kenapa Anda membawa saya ke sini hanya untuk dipermalukan, hah? Apakah Anda juga berpikir kalau saya ingin menjerat Anda dan menjadikanmu sebagai suamiku, lalu setelahnya saya akan menjadikan Anda mesin ATM untuk membayar hutang-hutang Ibu saya?! Jika iya, Anda keliru Pak Ibas! Saya tidak membutuhkan Anda. Bahkan saya tidak ingin menjalin hubungan lebih serius dari sekedar atasan dan bawahan!! Camka
Bab 28"Mau apa kamu kemari?" sergahku. Saat Dion ingin masuk ke dalam rumah, segera kutahan badannya dan mendorongnya dengan kasar. Pria itu hampir terjengkang ke belakang dengan wajah yang memerah, setelah mendapat perlakuan kasar dariku.Biar dia tahu siapa sekarang kakaknya ini. Wanita bodoh yang berubah menjadi kasar akibat perlakuan mereka sebelumnya. "Kenapa Kakak kasar padaku? Awas, aku mau masuk!" Dion tidak menggubris pandanganku yang semakin menajam badannya."Siapa yang menyuruhmu masuk ke rumahku? Pergi kalau tidak ingin kuteriaki maling!" Dion mendecih sinis. Dia melihat penampilanku dari atas hingga ke bawah. Lalu senyum merendahkan tersungging di bibirnya. Senyum yang sama saat dia berhasil mengambil uang tunjangan ketika aku sakit."Mentang- mentang sudah keluar dari rumah, sepertinya banyak sekali orang yang mempengaruhi Kakak hingga melepaskan tanggung jawab dari Ibu dan kami berdua." Dion mendecih. Apa? Aku ingin terbahak mendengar perkataannya."Tanggung j
Bab 29Segera kubereskan berkas-berkas yang bertumpuk di atas meja, kebetulan jam kerja baru saja usai. Seharian ini tidak ada yang mengganggu. Ponsel kunonaktifkan agar tidak ada telepon nyasar yang meminta sedekah dari para benalu. Pun tadi siang aku sengaja tidak pergi ke kantin, setelah sekalian memesan makanan online dengan yang lain.Kalau dihitung dengan jari, pertemuan Ibu dengan dua pria di resto waktu itu, maka hari ini jatuh tempo di mana Ibu harus membayar sebagian besar utangnya. Makanya ponselku aman karena mati.Kuhembuskan nafas sambil meregangkan otot-ototku yang terasa kaku. Di depan pintu, Dika sudah menunggu dengan senyum menghias di bibirnya."Yuk, pergi sekarang," ajaknya sambil berjalan bersisian denganku."Ke mana kita sore ini?" Aku bertanya sambil menyampirkan tas ke bahu. "Nyari tempat nongki. Udah lama kita nggak pergi bersama.""Baiklah sesekali kurasa nggak apa-apa. Semoga nggak ada orang yang motret terus laporin ke istrimu."Dika mengangkat bahu cue
Bab 30"Ok, jika itu keputusanmu, kebetulan kantor cabang di daerah Surabaya tengah membutuhkan manajer lapangan yang cekatan dan disiplin sepertimu. Ini masih berupa tawaran, jika kamu setuju, dua hari dari sekarang kamu bisa mulai bekerja di sana." Bu Sonia menjelaskan lebih lanjut. "Ya ampun, Bu, serius?" Aku tersenyum dengan mata berkaca-kaca saat kulihat Bu Sonia mengangguk yakin."Tentu saja, Sasty. Masa' untuk berita sebesar ini saya bohong. Tapi ingat, masa percobaannya dua minggu. Kamu bisa survey dulu ke sana, jika dalam dua minggu itu kamu tidak betah dan merasa jika di sana tidak seperti yang kamu pikirkan, maka kamu masih bisa kembali lagi ke kantor pusat," ujarnya lagi. Aku cukup senang dengan tawaran dari Bu Sonia dan menanggapinya dengan antusias.Yes, setelah memikirkan berkali-kali akhirnya benar-benar keputusan ini yang akan kutempuh sekarang. Aku butuh tempat dan kehidupan yang baru untuk memulai segalanya dari awal.Bismillah ….Pembicaraan dengan Bu Sonia tadi s
Bab 31"Kenapa kau datang kemari dengan membawa para preman ini? Dasar perempuan kepa rat, tega-teganya kau membuat Pakde terluka!!" Dion balik menyerangku dengan kata-katanya. Namun aku tidak gentar. Para debt kolektor yang kuajak mendatangi rumah Ibu, menjadi tameng untukku."Kenapa memangnya, bukankah seharusnya kau juga turut membantu ibumu untuk melunasi hutangnya? Lalu kenapa kau malah menyerahkan semuanya padaku, dasar pria tidak berguna!!' ucapku kesal.Apa dia lupa, wanita yang disebutnya keparat ini adalah orang yang didatanginya kemarin pagi, saat hendak memberondong masuk ke dalam rumahku."Kau benar, Mbak. Adikmu yang tidak berguna ini malah memanfaatkanku juga!!" sambar Isma tanpa kuminta. Entah apa maksudnya itu, aku tak tahu. "Sudah, sudah, tidak usah diperpanjang. Sebaiknya sekarang cari solusi. Terutama Anda Pak Harun dan Bu Erna. Lunasi semua hutang-hutangnya, agar kami tidak perlu mendatangi kalian dengan cara kekerasan seperti ini." Pria berjaket kulit yang ber