Share

Bab 5

Author: Bun say
last update Last Updated: 2023-05-15 17:11:00

Bab 5

Sinta segera berdiri sambil menghentakkan kakinya. Dia menatapku dengan wajah kesal, setelah itu langsung masuk ke dalam kamar Ibu dan berteriak-teriak, memanggil wanita yang selalu menjadi pelindungnya.

Benar-benar kekanak-kanakan.

"Bu, Ibu, aku sedang butuh uang. Dan ternyata Kakak memiliki uang banyak. Aku hendak meminjamnya, tapi dia tidak memberikannya, Bu. Ayo dong, Bu. Bantu aku!"

Dasar tukang ngadu.

"Apa, biar Ibu yang bicara dengan kakakmu!" Wanita yang rambutnya dicepol asal itu segera menghampiriku.

Kebetulan aku masih berdiri di tempatku, siap mendengar ceramah dan permintaannya soal uang. Jika berhubungan dengan uang, jangan harap Ibu akan mundur atau mengalah. Tidak akan pernah terjadi. Wanita itu rela melakukan apa saja asal mendapatkan sesuatu yang menjadi idolanya; yaitu uang.

"Mana uangnya, Sasty. Cepat berikan pada Ibu. Jangan sampai Sinta nangis-nangis hanya karena masalah ini," pintanya tak tahu diri.

"Kenapa aku harus memberikannya pada dia, Bu? Ini uangku, uang dari perusahaan untuk bekal di dapur. Aku tidak tahu kapan akan masuk bekerja lagi, mengingat kakiku yang terluka. Seharusnya Ibu mengerti dan jangan terus-terusan memanjakan Sinta dengan uang. Biar dia jadi wanita yang mandiri!"

Aku menatap Ibu dan Sinta bergantian. Tampak wajahnya kesal sambil bersungut-sungut, namun tidak berani mengeluarkan suaranya itu.

"Eh, sebenarnya kau ini kenapa, Sasty? Sejak pulang sikapmu itu makin keterlaluan, ya. Uangmu itu adalah uang kami juga. Berikan adikmu beberapa ratus ribu untuk kebutuhannya. Sudah satu minggu ini Sinta tidak masuk kuliah. Dia pasti malu karena tidak punya bekal."

Mendengar alasan Ibu, aku merasa jengkel dibuatnya.

"Bu, tolong jangan terus-terusan membela Sinta. Didikan Ibu itu tidak benar!"

"Tidak benar bagaimana? Selama ini Snta sudah menjadi anak yang baik dengan pergi kuliah dan menuntut ilmu, dia juga tidak pernah macam-macam, kecuali—"

"Kecuali lebih sering keluyuran dan pulang dalam keadaan mabuk. Begitu, 'kan?! potongku dengan perasaan geram.

"Kau tahu dari mana?!" tanya Ibu.

"Ibu pikir aku tidak tahu itu! Bahkan dinding pun punya mata dan telinga!"

Ibu memukul lengan putri bungsunya saat Sinta meraih lengannya untuk meminta perlindungan. Mungkin takut melihat mataku yang melotot tajam ke arahnya.

"Dan kau, Sinta. Kau tidak datang ketika aku memintamu ke rumah sakit untuk menemani, padahal semuanya tidak gratis. Aku hendak memberikanmu beberapa lembar rupiah, agar kau tidak kesulitan selama aku tinggal di luar rumah. Lalu sekarang, kau enak-enakan meminta Ibu untuk membujukku. Kau datang padaku hanya karena uang, lalu di mana perhatian karena kasih sayangmu padaku, hah! Kau selalu beralasan sibuk kuliah, sementara apa kenyataannya? Selama seminggu ini apa yang kau lakukan? Rumah kotor, pekerjaan tidak beres, kuliah pun tidak. Sikapmu benar-benar kelewatan!"

"Ya, itu 'kan karena—"

"Terus aja ngeles!" sambarku cepat. Geram rasanya aku dibuatnya.

"Ibu …!" Sinta merengek.

"Halah, udahlah Sasty, jangan diperpanjang lagi. Cepat beri Ibu uang agar Sinta berhenti merengek."

Ibu membuka tangannya persis seperti seorang pengemis. Aku meneleng menatap Sinta yang tersenyum sinis dibalik punggung ibu.

Awas, kau!

"Hanya untuk kali ini. Selebihnya lihat saja besok. Jika kamu dan Dion masih melalaikan tugasmu di rumah ini, maka jangan harap aku akan memberimu uang. Camkan itu baik-baik!" ancamku tidak main-main.

Mereka tidak memperdulikan ucapanku, malah terlihat sumringah saat beberapa lembar rupiah kusodorkan padanya. Ibu bahkan merampas beberapa lembar lagi ketika aku masih menghitungnya.

"Gunakan uang itu sampai gajian turun. Mungkin kedepannya kita harus berhemat mengingat aku tidak bekerja," ujarku mewanti-wanti.

"Iya gampang, bisa diatur itu," sahut Ibu yang sedang bertransaksi dengan putri bungsunya, membagi-bagi uang dengan senyum ceria mereka. Aku tak habis pikir dengan keduanya. Dasar.

Hal paling kejam di dunia ini adalah keluarga sendiri menggunakan dirimu sebagai alat untuk menghasilkan uang. Dan itu terbukti sekarang. Bagaimana Ibu dan dua adikku hanya memikirkan uangku saja.

Kurebahkan diri di atas tempat tidur yang spreinya saja terlihat masih acak-acakan. Sinta benar-benar mengerjakan semuanya dengan asal. Anak perempuan yang terlalu dimanjakan olehku dan Ibu itu, nyatanya tumbuh menjadi pribadi yang pemalas.

Mengenyahkan sedikit kekesalan, aku berinisiatif memesan makanan. Sejak tadi perutku meronta minta diisi. Ibu dan Sinta pasti tidak mau masak kali ini.

Tak lama kemudian suara pintu diketuk, lalu kepala Dion menyembul setelahnya.

"Ngapain kamu ketuk pintu, biasanya juga masuk kayak orang yang nggak dididik," ujarku dengan kesal. Kejadian terakhir saat si pengadu datang belum juga tuntas. Lalu ditambah dia menonton bokep membuat kekesalanku padanya tidak ada habis-habisnya.

"Kak, Ibu dan Sinta Kakak kasih duit. Terus jatahku mana?"

"Ya salam, ya, minta sama Ibu sana! Tutup lagi pintunya dan jangan ganggu Kakak!"

Disuruh seperti itu, Dion menerobos masuk dan duduk di tepi tempat tidur. Sontak aku mundur.

"Ibu bilang uangnya nggak cukup, itu cuma buat arisan. Terus bagianku suruh minta sama Kakak, katanya. Ayo dong, Kak. Bagi duit. Boring di rumah terus. Kali-kali pengen nongkrong sama anak-anak!"

"Memangnya hasil dari penjualan di distro kemana? Masak udah abis?"

"Nggak ada, Kak. Jualan sepi."

Dion mengacak-acak rambutnya kesal.

"Sepi katamu. Distro kamu itu terletak di jantung kota. Nggak mungkin sepi. Temen-temen Kakak juga banyak yang belanja ke sana."

"Ah, bacot lu. Mo ngasih nggak?!"

Dion berdecak kesal. Wajahnya terlihat frustasi. Dia berdiri dan mondar-mandir tidak jelas. Aku yang menatapnya kesal sontak dibuat pusing oleh kelakuannya.

"Kerja yang bener, jangan bisanya minta-minta terus. Gak malu apa punya badan sehat, tenaga kuat, tapi nggak dimanfaatin," sahutku ketus.

"Jadi kakak nggak mau masih duit, nih?

Lah, terus, gimana dengan ganti rugi itu? Kalau gini caranya aku bisa di penjara, tahu nggak!"

"Nah itu tahu. Lain kali kalau mau ugal-ugalan itu mikir. Jangan asal terabas aja, mentang-mentang jagoan di jalan raya mobil orang pake ditabrak."

"Kak!!"

"Kakak nggak mau ya sampai kamu ngelibatin kakak lagi dalam urusan itu. Cukup selama ini Kakak menghambur-hamburkan uang untuk kamu. Sekarang sana keluar!!" usirku dengan kekesalan yang semakin memuncak. Kalau terus-terusan seperti ini, lama-lama aku bisa stress sih buatnya.

Dion malah nyeringai dan mulai menepi ke tempat tidur lalu memegang kakiku yang terluka.

"Dion, mau ngapain kamu? Lepasin nggak? Lepas! Bu, Ibu …! Sinta!" Aku berteriak memanggil mereka berharap Ibu datang dan menghentikan aksi rintih padaku.

"Ok, kalau Kakak nggak mau ngasih aku uang, biar aku patahin sekalian kaki Kakak. Biar kakak pincang dan dipecat dari perusahaan!" ancamnya dengan seringai mengerikan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Watak Asli Keluargaku ketika Aku Sakit   Bab 35 Ending

    Bab 35"Tentu saja tentang pertanyaanku waktu itu. Kurasa sepertinya sudah cukup waktu yang kuberikan padamu. Sasty, jadi gimana jawabannya. Aku nungguin kamu selama 8 bulan ini dengan harap-harap cemas, lho." Ibas terus mendesak jawaban atas permintaannya waktu itu. Sesekali dia melirik, namun selebihnya berpandangan ke depan mengingat jalanan sore ini sedikit macet dan Ibas harus tetap mengemudi dengan aman."Apa harus aku jawab sekarang, ya?" Ibas terkekeh sambil menyentuh ujung jilbabku."Kalau nggak sekarang, kapan lagi? Masa' aku harus menunggu sampai 2 atau 3 tahun lagi. Bisa keburu putih rambutku," ujarnya setengah bercanda. "Kita cari tempat yang enak buat ngobrol," kata Ibas lagi.Aku mengalihkan pandangan pada jalanan yang dilewati oleh kendaraan ini, kemudian mobil terus melewati jalan-jalan yang dikelilingi gunung dan lembah, sebelum akhirnya kendaraan itu membawa kami menepi.Ibas memarkirkan mobil di tepi jalan, lalu mengajakku turun kemudian berjalan menyusuri panta

  • Watak Asli Keluargaku ketika Aku Sakit   Bab 34

    Bab 34"Dari mana kamu? Kenapa sampai sore begini baru pulang?!" Mia langsung menatap suaminya dengan tatapan nyalang dan penuh rasa curiga. Wanita yang pura-pura hamil demi untuk dinikahi Dika itu, selalu saja cemburuan dan curiga manakala suaminya berada di luar rumah."Apa kau tidak lihat keadaanku?" tanya Dika sambil memperlihatkan keadaan dirinya; yang selain lusuh terdapat bercak darah di bagian perut dan juga pergelangan tangannya."Apa yang terjadi padamu?" tanyanya dengan intonasi suara sedikit melembut. Sejak awal mereka menikah, keduanya tidak pernah akur, terlebih setelah borok Mia ketahuan oleh Dika."Seseorang masuk rumah sakit tepat di depan mataku. Dan aku merasa bertanggung jawab hingga mengantarnya ke sana dan menunggunya hingga beberapa jam. Apa jawabanku ini cukup puas untuk membuatmu tenang?!" ujar Dika lagi sambil melepas jaket dan kaos, yang kemudian melemparnya ke keranjang cucian dan masuk ke dalam kamar mandi.Sedikit percaya dengan ucapan Dika, tapi wanit

  • Watak Asli Keluargaku ketika Aku Sakit   Bab 33

    Bab 33"Kalian benar-benar keterlaluan!" hardik Dika sambil membopong Isma dan menyetop mobil yang lewat. Dia melempar kunci motor miliknya berharap Dion agar ikut menyusul.Seseorang turun dari kendaraan hitam dan terkejut saat Dika meminta bantuan."Ada apa ini?" tanyanya melihat wanita hamil itu sudah bersimbah darah."Tolong antar kami ke rumah sakit," jawab Dika dengan panik. Pria itu kemudian segera membukakan pintu mobil agar Dika dan wanita tersebut bisa masuk. Tak lama kemudian, kendaraan hitam itu segera melaju membelah jalanan kota menuju ke rumah sakit."Bagaimana ini, Dion? Dia pendarahan dan sudah pasti keguguran," ujar Erna dengan cemas sambil menatap mobil yang perlahan menjauh. "Tenang aja, Bu. Aku yakin Isma nggak akan apa-apa," jawab Dion padahal hatinya tak kalah cemas.Pria itu bukan mencemaskan Isma, tapi takut andaikan Raka dan keluarganya kembali menyerang dirinya, dan mungkin saja kali ini membuat nyawanya melayang setelah menyakiti adiknya."Ya udah, cepat k

  • Watak Asli Keluargaku ketika Aku Sakit   Bab 32

    Bab 32"Oh, Bapak sudah tahu rupanya. Syukurlah, jadi saya tidak perlu repot-repot menjelaskannya lagi pada bapak," balasku setelah memaksa lepas dari pelukannya."Kenapa kau lakukan hal ini padaku, Sasty? Kau sengaja ingin menghindariku, menghindari keluargamu dan keluargaku?" Bertubi-tubi Ibas bertanya yang kutanggapi dengan santai."Jangan salah paham, Pak Ibas. Banyak hal yang sudah saya pikirkan matang-matang dan inilah pilihan saya," jawabku berharap dia mengerti dan menghargai keputusanku untuk pergi."Dengar, Sasty, aku sudah menjelaskan kalau kita sebaiknya menikah saja. Urusan mereka, aku akan turut bertanggung jawab sepenuhnya. Uang yang kuhasilkan lebih dari cukup, hingga kamu tidak perlu menanggungnya sendirian." Panjang lebar Ibas berkata, tapi sama sekali tidak membuatku iba atau terharu."Terima kasih, aku menghargai niat baik Bapak. Tapi itu bukan solusi untuk semuanya. Bapak harus tahu, memang sudah saatnya aku meninggalkan mereka. Lagi pula aku butuh suasana yang b

  • Watak Asli Keluargaku ketika Aku Sakit   Bab 31

    Bab 31"Kenapa kau datang kemari dengan membawa para preman ini? Dasar perempuan kepa rat, tega-teganya kau membuat Pakde terluka!!" Dion balik menyerangku dengan kata-katanya. Namun aku tidak gentar. Para debt kolektor yang kuajak mendatangi rumah Ibu, menjadi tameng untukku."Kenapa memangnya, bukankah seharusnya kau juga turut membantu ibumu untuk melunasi hutangnya? Lalu kenapa kau malah menyerahkan semuanya padaku, dasar pria tidak berguna!!' ucapku kesal.Apa dia lupa, wanita yang disebutnya keparat ini adalah orang yang didatanginya kemarin pagi, saat hendak memberondong masuk ke dalam rumahku."Kau benar, Mbak. Adikmu yang tidak berguna ini malah memanfaatkanku juga!!" sambar Isma tanpa kuminta. Entah apa maksudnya itu, aku tak tahu. "Sudah, sudah, tidak usah diperpanjang. Sebaiknya sekarang cari solusi. Terutama Anda Pak Harun dan Bu Erna. Lunasi semua hutang-hutangnya, agar kami tidak perlu mendatangi kalian dengan cara kekerasan seperti ini." Pria berjaket kulit yang ber

  • Watak Asli Keluargaku ketika Aku Sakit   Bab 30

    Bab 30"Ok, jika itu keputusanmu, kebetulan kantor cabang di daerah Surabaya tengah membutuhkan manajer lapangan yang cekatan dan disiplin sepertimu. Ini masih berupa tawaran, jika kamu setuju, dua hari dari sekarang kamu bisa mulai bekerja di sana." Bu Sonia menjelaskan lebih lanjut. "Ya ampun, Bu, serius?" Aku tersenyum dengan mata berkaca-kaca saat kulihat Bu Sonia mengangguk yakin."Tentu saja, Sasty. Masa' untuk berita sebesar ini saya bohong. Tapi ingat, masa percobaannya dua minggu. Kamu bisa survey dulu ke sana, jika dalam dua minggu itu kamu tidak betah dan merasa jika di sana tidak seperti yang kamu pikirkan, maka kamu masih bisa kembali lagi ke kantor pusat," ujarnya lagi. Aku cukup senang dengan tawaran dari Bu Sonia dan menanggapinya dengan antusias.Yes, setelah memikirkan berkali-kali akhirnya benar-benar keputusan ini yang akan kutempuh sekarang. Aku butuh tempat dan kehidupan yang baru untuk memulai segalanya dari awal.Bismillah ….Pembicaraan dengan Bu Sonia tadi s

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status