Share

Bab 5

Bab 5

Sinta segera berdiri sambil menghentakkan kakinya. Dia menatapku dengan wajah kesal, setelah itu langsung masuk ke dalam kamar Ibu dan berteriak-teriak, memanggil wanita yang selalu menjadi pelindungnya.

Benar-benar kekanak-kanakan.

"Bu, Ibu, aku sedang butuh uang. Dan ternyata Kakak memiliki uang banyak. Aku hendak meminjamnya, tapi dia tidak memberikannya, Bu. Ayo dong, Bu. Bantu aku!"

Dasar tukang ngadu.

"Apa, biar Ibu yang bicara dengan kakakmu!" Wanita yang rambutnya dicepol asal itu segera menghampiriku.

Kebetulan aku masih berdiri di tempatku, siap mendengar ceramah dan permintaannya soal uang. Jika berhubungan dengan uang, jangan harap Ibu akan mundur atau mengalah. Tidak akan pernah terjadi. Wanita itu rela melakukan apa saja asal mendapatkan sesuatu yang menjadi idolanya; yaitu uang.

"Mana uangnya, Sasty. Cepat berikan pada Ibu. Jangan sampai Sinta nangis-nangis hanya karena masalah ini," pintanya tak tahu diri.

"Kenapa aku harus memberikannya pada dia, Bu? Ini uangku, uang dari perusahaan untuk bekal di dapur. Aku tidak tahu kapan akan masuk bekerja lagi, mengingat kakiku yang terluka. Seharusnya Ibu mengerti dan jangan terus-terusan memanjakan Sinta dengan uang. Biar dia jadi wanita yang mandiri!"

Aku menatap Ibu dan Sinta bergantian. Tampak wajahnya kesal sambil bersungut-sungut, namun tidak berani mengeluarkan suaranya itu.

"Eh, sebenarnya kau ini kenapa, Sasty? Sejak pulang sikapmu itu makin keterlaluan, ya. Uangmu itu adalah uang kami juga. Berikan adikmu beberapa ratus ribu untuk kebutuhannya. Sudah satu minggu ini Sinta tidak masuk kuliah. Dia pasti malu karena tidak punya bekal."

Mendengar alasan Ibu, aku merasa jengkel dibuatnya.

"Bu, tolong jangan terus-terusan membela Sinta. Didikan Ibu itu tidak benar!"

"Tidak benar bagaimana? Selama ini Snta sudah menjadi anak yang baik dengan pergi kuliah dan menuntut ilmu, dia juga tidak pernah macam-macam, kecuali—"

"Kecuali lebih sering keluyuran dan pulang dalam keadaan mabuk. Begitu, 'kan?! potongku dengan perasaan geram.

"Kau tahu dari mana?!" tanya Ibu.

"Ibu pikir aku tidak tahu itu! Bahkan dinding pun punya mata dan telinga!"

Ibu memukul lengan putri bungsunya saat Sinta meraih lengannya untuk meminta perlindungan. Mungkin takut melihat mataku yang melotot tajam ke arahnya.

"Dan kau, Sinta. Kau tidak datang ketika aku memintamu ke rumah sakit untuk menemani, padahal semuanya tidak gratis. Aku hendak memberikanmu beberapa lembar rupiah, agar kau tidak kesulitan selama aku tinggal di luar rumah. Lalu sekarang, kau enak-enakan meminta Ibu untuk membujukku. Kau datang padaku hanya karena uang, lalu di mana perhatian karena kasih sayangmu padaku, hah! Kau selalu beralasan sibuk kuliah, sementara apa kenyataannya? Selama seminggu ini apa yang kau lakukan? Rumah kotor, pekerjaan tidak beres, kuliah pun tidak. Sikapmu benar-benar kelewatan!"

"Ya, itu 'kan karena—"

"Terus aja ngeles!" sambarku cepat. Geram rasanya aku dibuatnya.

"Ibu …!" Sinta merengek.

"Halah, udahlah Sasty, jangan diperpanjang lagi. Cepat beri Ibu uang agar Sinta berhenti merengek."

Ibu membuka tangannya persis seperti seorang pengemis. Aku meneleng menatap Sinta yang tersenyum sinis dibalik punggung ibu.

Awas, kau!

"Hanya untuk kali ini. Selebihnya lihat saja besok. Jika kamu dan Dion masih melalaikan tugasmu di rumah ini, maka jangan harap aku akan memberimu uang. Camkan itu baik-baik!" ancamku tidak main-main.

Mereka tidak memperdulikan ucapanku, malah terlihat sumringah saat beberapa lembar rupiah kusodorkan padanya. Ibu bahkan merampas beberapa lembar lagi ketika aku masih menghitungnya.

"Gunakan uang itu sampai gajian turun. Mungkin kedepannya kita harus berhemat mengingat aku tidak bekerja," ujarku mewanti-wanti.

"Iya gampang, bisa diatur itu," sahut Ibu yang sedang bertransaksi dengan putri bungsunya, membagi-bagi uang dengan senyum ceria mereka. Aku tak habis pikir dengan keduanya. Dasar.

Hal paling kejam di dunia ini adalah keluarga sendiri menggunakan dirimu sebagai alat untuk menghasilkan uang. Dan itu terbukti sekarang. Bagaimana Ibu dan dua adikku hanya memikirkan uangku saja.

Kurebahkan diri di atas tempat tidur yang spreinya saja terlihat masih acak-acakan. Sinta benar-benar mengerjakan semuanya dengan asal. Anak perempuan yang terlalu dimanjakan olehku dan Ibu itu, nyatanya tumbuh menjadi pribadi yang pemalas.

Mengenyahkan sedikit kekesalan, aku berinisiatif memesan makanan. Sejak tadi perutku meronta minta diisi. Ibu dan Sinta pasti tidak mau masak kali ini.

Tak lama kemudian suara pintu diketuk, lalu kepala Dion menyembul setelahnya.

"Ngapain kamu ketuk pintu, biasanya juga masuk kayak orang yang nggak dididik," ujarku dengan kesal. Kejadian terakhir saat si pengadu datang belum juga tuntas. Lalu ditambah dia menonton bokep membuat kekesalanku padanya tidak ada habis-habisnya.

"Kak, Ibu dan Sinta Kakak kasih duit. Terus jatahku mana?"

"Ya salam, ya, minta sama Ibu sana! Tutup lagi pintunya dan jangan ganggu Kakak!"

Disuruh seperti itu, Dion menerobos masuk dan duduk di tepi tempat tidur. Sontak aku mundur.

"Ibu bilang uangnya nggak cukup, itu cuma buat arisan. Terus bagianku suruh minta sama Kakak, katanya. Ayo dong, Kak. Bagi duit. Boring di rumah terus. Kali-kali pengen nongkrong sama anak-anak!"

"Memangnya hasil dari penjualan di distro kemana? Masak udah abis?"

"Nggak ada, Kak. Jualan sepi."

Dion mengacak-acak rambutnya kesal.

"Sepi katamu. Distro kamu itu terletak di jantung kota. Nggak mungkin sepi. Temen-temen Kakak juga banyak yang belanja ke sana."

"Ah, bacot lu. Mo ngasih nggak?!"

Dion berdecak kesal. Wajahnya terlihat frustasi. Dia berdiri dan mondar-mandir tidak jelas. Aku yang menatapnya kesal sontak dibuat pusing oleh kelakuannya.

"Kerja yang bener, jangan bisanya minta-minta terus. Gak malu apa punya badan sehat, tenaga kuat, tapi nggak dimanfaatin," sahutku ketus.

"Jadi kakak nggak mau masih duit, nih?

Lah, terus, gimana dengan ganti rugi itu? Kalau gini caranya aku bisa di penjara, tahu nggak!"

"Nah itu tahu. Lain kali kalau mau ugal-ugalan itu mikir. Jangan asal terabas aja, mentang-mentang jagoan di jalan raya mobil orang pake ditabrak."

"Kak!!"

"Kakak nggak mau ya sampai kamu ngelibatin kakak lagi dalam urusan itu. Cukup selama ini Kakak menghambur-hamburkan uang untuk kamu. Sekarang sana keluar!!" usirku dengan kekesalan yang semakin memuncak. Kalau terus-terusan seperti ini, lama-lama aku bisa stress sih buatnya.

Dion malah nyeringai dan mulai menepi ke tempat tidur lalu memegang kakiku yang terluka.

"Dion, mau ngapain kamu? Lepasin nggak? Lepas! Bu, Ibu …! Sinta!" Aku berteriak memanggil mereka berharap Ibu datang dan menghentikan aksi rintih padaku.

"Ok, kalau Kakak nggak mau ngasih aku uang, biar aku patahin sekalian kaki Kakak. Biar kakak pincang dan dipecat dari perusahaan!" ancamnya dengan seringai mengerikan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status