Share

Bab 6

Bab 6

"Awas ya, kalau sampai kamu berani lakuin itu. Sekarang juga aku akan pergi dari rumah. Biar kalian mikir, hidup tanpa uang itu menyedihkan!!" ancamku tak main-main.

"Coba aja kalau berani. Emangnya kakak kuat hidup tanpa keluarga, nggak mungkin. Aku berani taruhan!!" Dion membalas dengan wajahnya yang mengejek.

Aku menghela nafas. Kukira adikku yang bajing*n itu akan gentar dengan ancamanku. Tapi ternyata aku salah. Orang-orang yang sudah digilakan oleh uang, bisa melakukan apa saja bahkan mencelakai saudara kandungnya sendiri. Miris.

"Dion, Sasty, apa-apaan kalian ini? Kerjaannya ribut terus. Dasar berandal. Lepasin Kakakmu, Dion. Kamu mau punya kakak yang kakinya cacat, iya? Siapa yang mau nikah sama dia nanti."

Ibu menarik-narik kaos oblong Dion dengan berbagai umpatan keluar dari bibirnya.

"Kak Sasty nggak mau ngasih uangnya, Bu! Bikin naik darah aja dia," balasnya tak mau disalahkan.

"Sasty, kamu ini kenapa sih jadi pelit gini, heran Ibu. Dan kamu Dion, ambil tuh uangnya di amplop coklat, terus pergi dan jangan coba-coba ganggu Sasty lagi!" sungutnya sambil mencebik.

"Cukup, Bu, itu uangku! Kenapa Ibu biarin diambil Dion?!" Aku meronta sekuat tenaga tapi Dion malah mendorongku ke belakang. Aku jatuh di ranjang dengan posisi terlentang. Berusaha untuk berdiri namun tetap saja kesulitan.

Ibu menarik tongkatku dan melemparnya ke sudut. Aku menganga tak percaya melihat ibuku tega melakukan itu padaku. Tanpa bantuan alat itu, aku hanya bisa menjerit dalam hati.

Mereka semua benar-benar keterlaluan dan harus dikasih pelajaran.

"Itu lebih baik daripada kamu tidak memberi jatah Dion. Sudah, Ibu dan Sinta mau pergi dulu. Kamu baik-baik di rumah." Ibu sudah keluar dari kamar disusul oleh Dion yang melempar amplop kosong ke wajahku. Kulihat setelahnya dia tersenyum puas.

***

"Apa kata kubilang, berhenti memanjakan mereka dan mulai pikirkan dirimu sendiri. Lagian sampai kapan kamu terus-terusan menjadi budak keluargamu sendiri, hm?"

Dika yang 'ku telepon tadi langsung datang ke rumah. Dia mengoceh begitu 'ku ceritakan duduk masalahnya.

Dika itu satu-satunya orang yang bisa kujadikan teman, sekaligus tempat berkeluh kesah. Aku tidak pernah nyaman berteman dengan perempuan, mengingat kadang-kadang mulutnya ember dan tidak bisa dipercaya, apalagi menjaga rahasia.

"Kau tahu, 'kan, Dik, hanya mereka yang kupunya."

Dika menghela nafas. Dia juga tentu tahu bagaimana sabarnya aku menanggung beban selama ini, atas dasar amanah dari ayah. Tapi aku sadar sekarang, apa yang kulakukan dan apa yang kuberikan tidak membuat mereka sepenuhnya puas.

Lembar-lembar rupiah di tangan Ibu dan kedua adikku hanya bertahan beberapa hari, setelah akhirnya kembali merengek dan menadahkan tangan. Dan secara tidak sadar aku terlalu lemah untuk menolak. Bodoh, bukan?

"Ayahmu mungkin menitipkan mereka padamu, namun bukan untuk menjadi budak mereka. Kamu itu terlalu polos dan mudah dimanfaatkan orang bahkan oleh keluargamu sendiri. Sekarang lihat keadaanmu sendiri, apa mereka perhatian padamu atau sekedar berempati, sedikitpun tidak. Kalau aku jadi kamu mending aku hidup sendiri." Dika menjelaskan dengan mimik serius.

Aku menghela nafas. Perkataan Dika ada benarnya. Tentunya dia pun sudah tahu, bukan sekali dua kali aku mengancam akan pergi dari rumah ini, namun Ibu selalu berhasil menggagalkannya dengan berbagai ancaman dan sumpah serapah.

Dika menyentuh bahuku lembut. Ditatapnya dalam-dalam manik mata hingga mata kami saling bertemu. Dari jarak ke berapa inci, bisa kulihat manik matanya yang kecoklatan tengah menatapku serius.

"Kau itu berharga, Sas. Kamu pantas bahagia. Mereka sudah dewasa dan kau sudah lebih dari cukup mengayomi mereka. Sekarang dengar saranku sebagai teman, pergi dan istirahatkan dirimu. Kamu perlu pikiran yang jernih untuk mengambil keputusan. Tapi tentunya tidak di rumah toxic ini."

Dika beranjak masuk ke dalam kamar. Sementara aku masih duduk menikmati makanan yang dikirim lewat ojol sambil merenungi kata-katanya. Sengaja membeli makanan lebih untuk Ibu, Dion dan Sinta. Sayangnya setelah mendapat uang, mereka memilih untuk pergi bersenang-senang.

***

Dika membawaku masuk ke ruangan bercat putih berpadu pink. Yang kutebak sebelumnya ini adalah kamar seorang gadis, terlihat dari gayanya yang feminim.

"Jadi ini tempatnya?" Dika mengangguk sambil membantuku masuk ke dalam ruangan enam kali empat meter persegi ini.

"Yups. Kurasa ini cukup nyaman untuk ibu manager lapangan sepertimu. Dulu kamar ini ditempati oleh sepupuku. Sekarang dia sudah pulang ke kampung, tinggal barang-barangnya saja yang dipindahkan. Untuk sementara waktu, kamu bisa menggunakan perabotan dan alat-alat masak lainnya. Jika sungguh-sungguh betah tinggal di sini, aku akan membantumu sebisa mungkin."

"Terima kasih, Dik. Meski aku nggak yakin akan bertahan lama di tempat ini. Eum, kamu tahu 'kan bagaimana watak mereka. Nggak akan berhenti berulah sebelum aku kembali ke rumah."

Dika meniup ujung rambut yang jatuh ke matanya. "Kali ini kamu harus kuat, Sas. Jangan biarkan mereka menginjak-nginjak kamu terus. Jujur saja sebagai teman aku tidak tega melihatnya."

"Ya udah, makasih, Dik."

Aku tersenyum dan duduk di atas tempat tidur. Dika memilih kembali ke kamarnya yang ternyata berseberangan dengan kamarku.

Kos-kosan ini memiliki 18 kamar, yang penghuninya dibebaskan antara perempuan dan laki-laki. Entah bagaimana pikiran si pemilik jika penghuninya berbuat maksiat, misalnya memasukkan pria lain dan melakukan perbuatan haram.

Bukankah jaman sekarang itu bukan hal yang tabu lagi, mengingatnya banyak sekali wanita yang hamil diluar nikah, gara-gara memasukkan pria lain ke tempat kostnya.

Naudzubillah.

***

Beberapa hari aku merasa hidupku aman dan nyaman, meskipun sedikit bosan karena tidak ada teman untuk diajak bicara. Beruntung laptop dan barang-barang aku sudah ada di sini. Bisa menjadi hiburan tersendiri untuk membuang rasa jenuh.

Dika pergi ke kantor setelah membeli sarapan, lalu kembali sore hari atau kadang malam setelah lembur. Itupun kami berinteraksi hanya beberapa menit saja, karena Dika kelelahan dan butuh istirahat.

Aku cukup memaklumi kesibukannya mengingat begitupun halnya aku, ketika disibukkan dengan banyaknya pekerjaan di kantor. Ah, mengingat tempat itu aku jadi ingin segera sembuh dan kembali ke tempat aktivitasku.

Lalu Ibu, Sinta dan Dion, bagaimana kabar mereka setelah kepergianku. Terlebih setelah uangku dihabiskannya untuk berfoya-foya. Tapi bodoh amat. Kupikir sudah saatnya sekarang aku memikirkan diri sendiri, Lagi pula usiaku sudah 30 tahun. Benar kata Dika. Aku tidak mungkin terus-terusan mengabdi pada mereka, yang notabene tidak pernah sekalipun berterima kasih atas kerja kerasku selama ini.

Semoga saja ini bisa menjadi jalan untuk mereka agar bisa hidup mandiri, dan berpikir jika uang tidak akan terus-terusan mengalir tanpa adanya kerja keras.

Ponselku berdering. Nama seseorang yang belakangan ini sedikit terlupakan menghubungi. Arkan.

"Assalamualaikum, Mas," sapaku lebih dulu. Mas Arkan adalah pria yang beberapa waktu lalu pernah dekat denganku. Pria itu bahkan beberapa kali mengajakku untuk menikah. Sayangnya Ibu bersikukuh menolak, karena takut aku berhenti kerja dan tidak lagi menafkahinya. Mas Arkan yang kuduga sakit hati pun perlahan menjauh.

"Halo, Sas. Bagaimana keadaanmu sekarang? Mas dengar dari Ibu katanya kamu kecelakaan di tempat kerja."

"Mas ketemu Ibu?" tanyaku penasaran.

"I-iya, tadi nggak sengaja ketemu," jawabnya terkesan gugup.

Tiba-tiba terdengar suara krasak-krusuk dari seberang sana. Lalu tak lama kemudian suara yang familiar terdengar di ujung telepon.

"Halo, Sasty, dimana kamu sekarang? Jawab Ibu. Cepat pulang ke rumah dan nggak usah sok-sokan ngambek dengan cara kabur segala. Usiamu sudah menginjak kepala tiga, bukan saatnya kamu berlagak ingin diperhatikan!"

Deg! Setelah lebih dari empat hari tidak bertemu, inikah watak asli seorang ibu padaku?

"Maaf Bu, aku pergi atas dasar keinginanku sendiri. Lagi pula tuduhan ibu itu salah. Aku tidak butuh perhatian Ibu lagi sekarang, dan biarkan aku tenang!"

"Jangan jadi pembangkang kamu, ya. Pulang sekarang juga!"

"Untuk sementara aku lebih nyaman tinggal jauh dari kalian! Tak usah menyuruhku pulang. Aku sudah dewasa dan jelas tahu mana yang terbaik untukku. Untuk kalian yang ada di rumah, bersiap-siap saja karena jatah bulanan akan kupangkas setengahnya," ujarku sambil menutup sambungan telepon.

Lelah rasanya bicara dengan ibu yang toxic seperti itu.

Aku menjatuhkan diriku di atas tempat tidur. Tega-teganya Ibu berkata demikian. Bukannya khawatir atau menanyakan keadaanku, malah seenaknya menyuruhku kembali.

Ya Tuhan, keluarga seperti apa yang kupunya selama ini. Yang nyatanya tidak pernah menghargai ketulusan dan pengabdianku.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Yeni Sipayung
parah nih cerita nya bikin jengkel masa tokoh utama nya mau dibodohin terus bertahun tahun ...‍♂️
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status