Share

Bab 6

Author: Bun say
last update Last Updated: 2023-07-21 12:35:46

Bab 6

"Awas ya, kalau sampai kamu berani lakuin itu. Sekarang juga aku akan pergi dari rumah. Biar kalian mikir, hidup tanpa uang itu menyedihkan!!" ancamku tak main-main.

"Coba aja kalau berani. Emangnya kakak kuat hidup tanpa keluarga, nggak mungkin. Aku berani taruhan!!" Dion membalas dengan wajahnya yang mengejek.

Aku menghela nafas. Kukira adikku yang bajing*n itu akan gentar dengan ancamanku. Tapi ternyata aku salah. Orang-orang yang sudah digilakan oleh uang, bisa melakukan apa saja bahkan mencelakai saudara kandungnya sendiri. Miris.

"Dion, Sasty, apa-apaan kalian ini? Kerjaannya ribut terus. Dasar berandal. Lepasin Kakakmu, Dion. Kamu mau punya kakak yang kakinya cacat, iya? Siapa yang mau nikah sama dia nanti."

Ibu menarik-narik kaos oblong Dion dengan berbagai umpatan keluar dari bibirnya.

"Kak Sasty nggak mau ngasih uangnya, Bu! Bikin naik darah aja dia," balasnya tak mau disalahkan.

"Sasty, kamu ini kenapa sih jadi pelit gini, heran Ibu. Dan kamu Dion, ambil tuh uangnya di amplop coklat, terus pergi dan jangan coba-coba ganggu Sasty lagi!" sungutnya sambil mencebik.

"Cukup, Bu, itu uangku! Kenapa Ibu biarin diambil Dion?!" Aku meronta sekuat tenaga tapi Dion malah mendorongku ke belakang. Aku jatuh di ranjang dengan posisi terlentang. Berusaha untuk berdiri namun tetap saja kesulitan.

Ibu menarik tongkatku dan melemparnya ke sudut. Aku menganga tak percaya melihat ibuku tega melakukan itu padaku. Tanpa bantuan alat itu, aku hanya bisa menjerit dalam hati.

Mereka semua benar-benar keterlaluan dan harus dikasih pelajaran.

"Itu lebih baik daripada kamu tidak memberi jatah Dion. Sudah, Ibu dan Sinta mau pergi dulu. Kamu baik-baik di rumah." Ibu sudah keluar dari kamar disusul oleh Dion yang melempar amplop kosong ke wajahku. Kulihat setelahnya dia tersenyum puas.

***

"Apa kata kubilang, berhenti memanjakan mereka dan mulai pikirkan dirimu sendiri. Lagian sampai kapan kamu terus-terusan menjadi budak keluargamu sendiri, hm?"

Dika yang 'ku telepon tadi langsung datang ke rumah. Dia mengoceh begitu 'ku ceritakan duduk masalahnya.

Dika itu satu-satunya orang yang bisa kujadikan teman, sekaligus tempat berkeluh kesah. Aku tidak pernah nyaman berteman dengan perempuan, mengingat kadang-kadang mulutnya ember dan tidak bisa dipercaya, apalagi menjaga rahasia.

"Kau tahu, 'kan, Dik, hanya mereka yang kupunya."

Dika menghela nafas. Dia juga tentu tahu bagaimana sabarnya aku menanggung beban selama ini, atas dasar amanah dari ayah. Tapi aku sadar sekarang, apa yang kulakukan dan apa yang kuberikan tidak membuat mereka sepenuhnya puas.

Lembar-lembar rupiah di tangan Ibu dan kedua adikku hanya bertahan beberapa hari, setelah akhirnya kembali merengek dan menadahkan tangan. Dan secara tidak sadar aku terlalu lemah untuk menolak. Bodoh, bukan?

"Ayahmu mungkin menitipkan mereka padamu, namun bukan untuk menjadi budak mereka. Kamu itu terlalu polos dan mudah dimanfaatkan orang bahkan oleh keluargamu sendiri. Sekarang lihat keadaanmu sendiri, apa mereka perhatian padamu atau sekedar berempati, sedikitpun tidak. Kalau aku jadi kamu mending aku hidup sendiri." Dika menjelaskan dengan mimik serius.

Aku menghela nafas. Perkataan Dika ada benarnya. Tentunya dia pun sudah tahu, bukan sekali dua kali aku mengancam akan pergi dari rumah ini, namun Ibu selalu berhasil menggagalkannya dengan berbagai ancaman dan sumpah serapah.

Dika menyentuh bahuku lembut. Ditatapnya dalam-dalam manik mata hingga mata kami saling bertemu. Dari jarak ke berapa inci, bisa kulihat manik matanya yang kecoklatan tengah menatapku serius.

"Kau itu berharga, Sas. Kamu pantas bahagia. Mereka sudah dewasa dan kau sudah lebih dari cukup mengayomi mereka. Sekarang dengar saranku sebagai teman, pergi dan istirahatkan dirimu. Kamu perlu pikiran yang jernih untuk mengambil keputusan. Tapi tentunya tidak di rumah toxic ini."

Dika beranjak masuk ke dalam kamar. Sementara aku masih duduk menikmati makanan yang dikirim lewat ojol sambil merenungi kata-katanya. Sengaja membeli makanan lebih untuk Ibu, Dion dan Sinta. Sayangnya setelah mendapat uang, mereka memilih untuk pergi bersenang-senang.

***

Dika membawaku masuk ke ruangan bercat putih berpadu pink. Yang kutebak sebelumnya ini adalah kamar seorang gadis, terlihat dari gayanya yang feminim.

"Jadi ini tempatnya?" Dika mengangguk sambil membantuku masuk ke dalam ruangan enam kali empat meter persegi ini.

"Yups. Kurasa ini cukup nyaman untuk ibu manager lapangan sepertimu. Dulu kamar ini ditempati oleh sepupuku. Sekarang dia sudah pulang ke kampung, tinggal barang-barangnya saja yang dipindahkan. Untuk sementara waktu, kamu bisa menggunakan perabotan dan alat-alat masak lainnya. Jika sungguh-sungguh betah tinggal di sini, aku akan membantumu sebisa mungkin."

"Terima kasih, Dik. Meski aku nggak yakin akan bertahan lama di tempat ini. Eum, kamu tahu 'kan bagaimana watak mereka. Nggak akan berhenti berulah sebelum aku kembali ke rumah."

Dika meniup ujung rambut yang jatuh ke matanya. "Kali ini kamu harus kuat, Sas. Jangan biarkan mereka menginjak-nginjak kamu terus. Jujur saja sebagai teman aku tidak tega melihatnya."

"Ya udah, makasih, Dik."

Aku tersenyum dan duduk di atas tempat tidur. Dika memilih kembali ke kamarnya yang ternyata berseberangan dengan kamarku.

Kos-kosan ini memiliki 18 kamar, yang penghuninya dibebaskan antara perempuan dan laki-laki. Entah bagaimana pikiran si pemilik jika penghuninya berbuat maksiat, misalnya memasukkan pria lain dan melakukan perbuatan haram.

Bukankah jaman sekarang itu bukan hal yang tabu lagi, mengingatnya banyak sekali wanita yang hamil diluar nikah, gara-gara memasukkan pria lain ke tempat kostnya.

Naudzubillah.

***

Beberapa hari aku merasa hidupku aman dan nyaman, meskipun sedikit bosan karena tidak ada teman untuk diajak bicara. Beruntung laptop dan barang-barang aku sudah ada di sini. Bisa menjadi hiburan tersendiri untuk membuang rasa jenuh.

Dika pergi ke kantor setelah membeli sarapan, lalu kembali sore hari atau kadang malam setelah lembur. Itupun kami berinteraksi hanya beberapa menit saja, karena Dika kelelahan dan butuh istirahat.

Aku cukup memaklumi kesibukannya mengingat begitupun halnya aku, ketika disibukkan dengan banyaknya pekerjaan di kantor. Ah, mengingat tempat itu aku jadi ingin segera sembuh dan kembali ke tempat aktivitasku.

Lalu Ibu, Sinta dan Dion, bagaimana kabar mereka setelah kepergianku. Terlebih setelah uangku dihabiskannya untuk berfoya-foya. Tapi bodoh amat. Kupikir sudah saatnya sekarang aku memikirkan diri sendiri, Lagi pula usiaku sudah 30 tahun. Benar kata Dika. Aku tidak mungkin terus-terusan mengabdi pada mereka, yang notabene tidak pernah sekalipun berterima kasih atas kerja kerasku selama ini.

Semoga saja ini bisa menjadi jalan untuk mereka agar bisa hidup mandiri, dan berpikir jika uang tidak akan terus-terusan mengalir tanpa adanya kerja keras.

Ponselku berdering. Nama seseorang yang belakangan ini sedikit terlupakan menghubungi. Arkan.

"Assalamualaikum, Mas," sapaku lebih dulu. Mas Arkan adalah pria yang beberapa waktu lalu pernah dekat denganku. Pria itu bahkan beberapa kali mengajakku untuk menikah. Sayangnya Ibu bersikukuh menolak, karena takut aku berhenti kerja dan tidak lagi menafkahinya. Mas Arkan yang kuduga sakit hati pun perlahan menjauh.

"Halo, Sas. Bagaimana keadaanmu sekarang? Mas dengar dari Ibu katanya kamu kecelakaan di tempat kerja."

"Mas ketemu Ibu?" tanyaku penasaran.

"I-iya, tadi nggak sengaja ketemu," jawabnya terkesan gugup.

Tiba-tiba terdengar suara krasak-krusuk dari seberang sana. Lalu tak lama kemudian suara yang familiar terdengar di ujung telepon.

"Halo, Sasty, dimana kamu sekarang? Jawab Ibu. Cepat pulang ke rumah dan nggak usah sok-sokan ngambek dengan cara kabur segala. Usiamu sudah menginjak kepala tiga, bukan saatnya kamu berlagak ingin diperhatikan!"

Deg! Setelah lebih dari empat hari tidak bertemu, inikah watak asli seorang ibu padaku?

"Maaf Bu, aku pergi atas dasar keinginanku sendiri. Lagi pula tuduhan ibu itu salah. Aku tidak butuh perhatian Ibu lagi sekarang, dan biarkan aku tenang!"

"Jangan jadi pembangkang kamu, ya. Pulang sekarang juga!"

"Untuk sementara aku lebih nyaman tinggal jauh dari kalian! Tak usah menyuruhku pulang. Aku sudah dewasa dan jelas tahu mana yang terbaik untukku. Untuk kalian yang ada di rumah, bersiap-siap saja karena jatah bulanan akan kupangkas setengahnya," ujarku sambil menutup sambungan telepon.

Lelah rasanya bicara dengan ibu yang toxic seperti itu.

Aku menjatuhkan diriku di atas tempat tidur. Tega-teganya Ibu berkata demikian. Bukannya khawatir atau menanyakan keadaanku, malah seenaknya menyuruhku kembali.

Ya Tuhan, keluarga seperti apa yang kupunya selama ini. Yang nyatanya tidak pernah menghargai ketulusan dan pengabdianku.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Yeni Sipayung
parah nih cerita nya bikin jengkel masa tokoh utama nya mau dibodohin terus bertahun tahun ...‍♂️
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Watak Asli Keluargaku ketika Aku Sakit   Bab 35 Ending

    Bab 35"Tentu saja tentang pertanyaanku waktu itu. Kurasa sepertinya sudah cukup waktu yang kuberikan padamu. Sasty, jadi gimana jawabannya. Aku nungguin kamu selama 8 bulan ini dengan harap-harap cemas, lho." Ibas terus mendesak jawaban atas permintaannya waktu itu. Sesekali dia melirik, namun selebihnya berpandangan ke depan mengingat jalanan sore ini sedikit macet dan Ibas harus tetap mengemudi dengan aman."Apa harus aku jawab sekarang, ya?" Ibas terkekeh sambil menyentuh ujung jilbabku."Kalau nggak sekarang, kapan lagi? Masa' aku harus menunggu sampai 2 atau 3 tahun lagi. Bisa keburu putih rambutku," ujarnya setengah bercanda. "Kita cari tempat yang enak buat ngobrol," kata Ibas lagi.Aku mengalihkan pandangan pada jalanan yang dilewati oleh kendaraan ini, kemudian mobil terus melewati jalan-jalan yang dikelilingi gunung dan lembah, sebelum akhirnya kendaraan itu membawa kami menepi.Ibas memarkirkan mobil di tepi jalan, lalu mengajakku turun kemudian berjalan menyusuri panta

  • Watak Asli Keluargaku ketika Aku Sakit   Bab 34

    Bab 34"Dari mana kamu? Kenapa sampai sore begini baru pulang?!" Mia langsung menatap suaminya dengan tatapan nyalang dan penuh rasa curiga. Wanita yang pura-pura hamil demi untuk dinikahi Dika itu, selalu saja cemburuan dan curiga manakala suaminya berada di luar rumah."Apa kau tidak lihat keadaanku?" tanya Dika sambil memperlihatkan keadaan dirinya; yang selain lusuh terdapat bercak darah di bagian perut dan juga pergelangan tangannya."Apa yang terjadi padamu?" tanyanya dengan intonasi suara sedikit melembut. Sejak awal mereka menikah, keduanya tidak pernah akur, terlebih setelah borok Mia ketahuan oleh Dika."Seseorang masuk rumah sakit tepat di depan mataku. Dan aku merasa bertanggung jawab hingga mengantarnya ke sana dan menunggunya hingga beberapa jam. Apa jawabanku ini cukup puas untuk membuatmu tenang?!" ujar Dika lagi sambil melepas jaket dan kaos, yang kemudian melemparnya ke keranjang cucian dan masuk ke dalam kamar mandi.Sedikit percaya dengan ucapan Dika, tapi wanit

  • Watak Asli Keluargaku ketika Aku Sakit   Bab 33

    Bab 33"Kalian benar-benar keterlaluan!" hardik Dika sambil membopong Isma dan menyetop mobil yang lewat. Dia melempar kunci motor miliknya berharap Dion agar ikut menyusul.Seseorang turun dari kendaraan hitam dan terkejut saat Dika meminta bantuan."Ada apa ini?" tanyanya melihat wanita hamil itu sudah bersimbah darah."Tolong antar kami ke rumah sakit," jawab Dika dengan panik. Pria itu kemudian segera membukakan pintu mobil agar Dika dan wanita tersebut bisa masuk. Tak lama kemudian, kendaraan hitam itu segera melaju membelah jalanan kota menuju ke rumah sakit."Bagaimana ini, Dion? Dia pendarahan dan sudah pasti keguguran," ujar Erna dengan cemas sambil menatap mobil yang perlahan menjauh. "Tenang aja, Bu. Aku yakin Isma nggak akan apa-apa," jawab Dion padahal hatinya tak kalah cemas.Pria itu bukan mencemaskan Isma, tapi takut andaikan Raka dan keluarganya kembali menyerang dirinya, dan mungkin saja kali ini membuat nyawanya melayang setelah menyakiti adiknya."Ya udah, cepat k

  • Watak Asli Keluargaku ketika Aku Sakit   Bab 32

    Bab 32"Oh, Bapak sudah tahu rupanya. Syukurlah, jadi saya tidak perlu repot-repot menjelaskannya lagi pada bapak," balasku setelah memaksa lepas dari pelukannya."Kenapa kau lakukan hal ini padaku, Sasty? Kau sengaja ingin menghindariku, menghindari keluargamu dan keluargaku?" Bertubi-tubi Ibas bertanya yang kutanggapi dengan santai."Jangan salah paham, Pak Ibas. Banyak hal yang sudah saya pikirkan matang-matang dan inilah pilihan saya," jawabku berharap dia mengerti dan menghargai keputusanku untuk pergi."Dengar, Sasty, aku sudah menjelaskan kalau kita sebaiknya menikah saja. Urusan mereka, aku akan turut bertanggung jawab sepenuhnya. Uang yang kuhasilkan lebih dari cukup, hingga kamu tidak perlu menanggungnya sendirian." Panjang lebar Ibas berkata, tapi sama sekali tidak membuatku iba atau terharu."Terima kasih, aku menghargai niat baik Bapak. Tapi itu bukan solusi untuk semuanya. Bapak harus tahu, memang sudah saatnya aku meninggalkan mereka. Lagi pula aku butuh suasana yang b

  • Watak Asli Keluargaku ketika Aku Sakit   Bab 31

    Bab 31"Kenapa kau datang kemari dengan membawa para preman ini? Dasar perempuan kepa rat, tega-teganya kau membuat Pakde terluka!!" Dion balik menyerangku dengan kata-katanya. Namun aku tidak gentar. Para debt kolektor yang kuajak mendatangi rumah Ibu, menjadi tameng untukku."Kenapa memangnya, bukankah seharusnya kau juga turut membantu ibumu untuk melunasi hutangnya? Lalu kenapa kau malah menyerahkan semuanya padaku, dasar pria tidak berguna!!' ucapku kesal.Apa dia lupa, wanita yang disebutnya keparat ini adalah orang yang didatanginya kemarin pagi, saat hendak memberondong masuk ke dalam rumahku."Kau benar, Mbak. Adikmu yang tidak berguna ini malah memanfaatkanku juga!!" sambar Isma tanpa kuminta. Entah apa maksudnya itu, aku tak tahu. "Sudah, sudah, tidak usah diperpanjang. Sebaiknya sekarang cari solusi. Terutama Anda Pak Harun dan Bu Erna. Lunasi semua hutang-hutangnya, agar kami tidak perlu mendatangi kalian dengan cara kekerasan seperti ini." Pria berjaket kulit yang ber

  • Watak Asli Keluargaku ketika Aku Sakit   Bab 30

    Bab 30"Ok, jika itu keputusanmu, kebetulan kantor cabang di daerah Surabaya tengah membutuhkan manajer lapangan yang cekatan dan disiplin sepertimu. Ini masih berupa tawaran, jika kamu setuju, dua hari dari sekarang kamu bisa mulai bekerja di sana." Bu Sonia menjelaskan lebih lanjut. "Ya ampun, Bu, serius?" Aku tersenyum dengan mata berkaca-kaca saat kulihat Bu Sonia mengangguk yakin."Tentu saja, Sasty. Masa' untuk berita sebesar ini saya bohong. Tapi ingat, masa percobaannya dua minggu. Kamu bisa survey dulu ke sana, jika dalam dua minggu itu kamu tidak betah dan merasa jika di sana tidak seperti yang kamu pikirkan, maka kamu masih bisa kembali lagi ke kantor pusat," ujarnya lagi. Aku cukup senang dengan tawaran dari Bu Sonia dan menanggapinya dengan antusias.Yes, setelah memikirkan berkali-kali akhirnya benar-benar keputusan ini yang akan kutempuh sekarang. Aku butuh tempat dan kehidupan yang baru untuk memulai segalanya dari awal.Bismillah ….Pembicaraan dengan Bu Sonia tadi s

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status