Share

Bab 4

"Tega-teganya ya, Kakak berpikir seperti itu. Padahal jelas Kakak tahu sendiri bagaimana kondisi jantung Ibu!" Sinta berteriak kesal sambil menatap nyalang. Duduk menyangga tubuh Ibu, tak menyurutkan wajahnya untuk mendongak memasang wajah kebencian.

Membuang napas berat, kutatap balik wajahnya. Enak saja dia meninggikan suaranya di depanku. Mungkin lupa kalau isi perut dan pakaiannya dibelikan olehku.

"Bawa ibu ke kamar dan suruh istirahat. Itupun kalau ibu benar-benar sakit. Dan kau, ajak kakakmu untuk membereskan kamarku. Lipat lagi baju-baju yang sudah kalian acak-acak. Aku tidak mau tahu, dalam waktu satu jam, kamarku harus kembali bersih!"

"Apa Kakak sudah gila? Aku nggak mau!!" teriaknya kesal. Makin lama sikapnya makin tidak bisa ditolerir.

"Terserah, jika kau ingin membangkang, itu artinya kau sudah siap kehilangan uang jajan dan biaya transport. Uang untuk kuliahmu juga kau yang tanggung sendiri!!"

Ancamanku tidak main-main. Mereka sudah dewasa dan seharusnya sudah lepas tanggung jawab dariku. Bodohnya aku, malah terus menjunjung tinggi dan memanjakan mereka. Orang-orang yang tidak bisa menghargai kerja kerasku.

"Bu." Sinta merengek pada ibu. Wanita itu memasang wajah sendu untuk meminta perlindungan.

"Sasty, tolong jangan lakukan hal itu pada Sinta. Dia nggak bisa melakukan pekerjaan apa-apa, lagi pula yang mengacak-acak kamarmu itu Ibu, bukan Sinta. Ibu pikir Ibu bisa menemukan uang untuk biaya ganti rugi pada orang-orang itu. Tapi ternyata Ibu nggak menemukan apa-apa."

Ibu terlihat lesu sambil memegangi dadanya. Wajahnya dibuat memelas mungkin untuk menarik simpatiku. Tapi jelas, wajah itu hanya penuh kepura-puraan, tidak tampak seperti orang yang sakit.

"Selama ini kalian selalu memerintahku untuk melakukan pekerjaan rumah, sekaligus mencarikan uang untuk isi perut kalian. Kenapa sekarang kita nggak bagi tugas saja? Ibu tolong masak di dapur dan bersihkan semuanya. Sementara kau Sinta, tugasmu adalah membereskan baju dan rumah ini sampai keadaannya bersih. Jangan lupa minta bantuan kepada kakakmu untuk membersihkan halaman rumah."

"Apa? Kau tak boleh memerintahku seenaknya di sini. Apa kau lupa kalau ayah sudah menitipkan kami padamu??"

Aku mendelik dan menatapnya dengan dingin.

"Jangan jadikan ayah yang sudah pergi sebagai alasan. Selama ini kalian berleha-leha di rumah yang sudah aku renovasi ini. Atau kau ingin mengusirku pergi dari sini, agar aku bisa bebas dan gajiku juga aman??"

Mata Sinta mengerjap sambil melirik ke sana ke mari. Tentu saja dia tidak ingin hal itu terjadi. Hanya aku seorang di rumah ini, pohon uang yang bisa dipetik kapan saja dia menginginkannya.

Ibu mendesah berat. Dia menyentuh tangan putrinya agar berhenti protes.

"Sudahlah, Sinta, kamu turuti saja perintah kakakmu. Jangan terus berdebat, Ibu pusing," ujarnya.

"Tapi aku 'kan nggak bisa bekerja, Bu. Nanti tanganku kotor," sahutnya seperti bisikan, tapi jelas aku bisa mendengar semuanya.

"Sudah, turuti saja. Kamu nggak mau 'kan tiap hari puasa di kampus?" Ibu berkata lagi dengan suara lebih tegas.

Sinta segera beranjak dan menghentak-hentakan kakinya, sebelum akhirnya masuk ke dalam kamarku.

Tak lama kemudian, entah apa yang dilakukannya di sana, aku tidak peduli. Namun, sesekali alat-alat kosmetik seperti berjatuhan dari atas nakas.

Benar-benar keterlaluan!

***

Sinta berjalan cepat keluar dari kamarku. Wajahnya penuh manipulatif. Dia memegang sesuatu di belakang punggungnya.

Teringat dengan uang yang diberikan oleh Pak Anton, aku segera berdiri meski sedikit kesulitan dan mendekat padanya.

"Apa yang kamu sembunyikan di belakang punggungmu?" tanyaku cepat. Gadis ini, selain pemalas juga kadang bertingkah seperti maling. Aku bahkan sering kehilangan uang dari tasku sendiri.

"Eh, apa? Aku nggak bawa apa-apa," kilahnya dengan cepat.

"Cepat tunjukkan, kalau tidak, aku terpaksa ...."

Sinta merengut sebal. Kedua tangannya segera bergerak ke bagian depan. Mataku memicing melihat dia membawa sweater warna coklat milikku.

"Aku pinjam untuk malam ini saja, aku janji akan mengembalikannya besok. Please."

Wajahnya dibuat semanis mungkin tapi aku tak terkecoh.

Kusambar sweater yang kubeli bulan lalu, kemudian sesuatu jatuh dari dalam sana. Amplop berwarna coklat dengan isinya yang tebal.

Aku melotot dengan tajam. Sinta segera berjongkok untuk meraihnya. Mata wanita itu berubah hijau, karena pasti sudah melihat tumpukan uang di dalamnya.

"Kau mau maling?!" Aku menginjak amplop itu dengan kaki kananku. Hingga adegan tarik menarik pun terjadi.

"Kakak, lepasin nggak. Aku juga butuh uang ini!!" Sinta berteriak. Sesekali meringis karena jari-jarinya ikut keinjak juga.

"Sekali kau maling uangku, siap-siap saja aku laporkan ke polisi. Biar kau mendekam sekalian bersama dengan kakakmu yang tidak berguna itu!" sahutku tegas.

Wajahku menunduk dingin, menatap bola matanya yang bergerak-gerak karena ketakutan.

"Ihh, dasar nyebelin! Aku akan laporkan ke Ibu kalau kakak memiliki banyak uang!" rutuknya penuh amarah. Bahkan telunjuknya menuding ke arahku.

"Laporkan saja kalau kau berani!" tantangku. "Asal kau tahu, uang ini milik perusahaan. Jika kau berani mengambilnya lagi, maka aku tidak segan-segan memberi pelajaran padamu!!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status