"Tega-teganya ya, Kakak berpikir seperti itu. Padahal jelas Kakak tahu sendiri bagaimana kondisi jantung Ibu!" Sinta berteriak kesal sambil menatap nyalang. Duduk menyangga tubuh Ibu, tak menyurutkan wajahnya untuk mendongak memasang wajah kebencian.
Membuang napas berat, kutatap balik wajahnya. Enak saja dia meninggikan suaranya di depanku. Mungkin lupa kalau isi perut dan pakaiannya dibelikan olehku. "Bawa ibu ke kamar dan suruh istirahat. Itupun kalau ibu benar-benar sakit. Dan kau, ajak kakakmu untuk membereskan kamarku. Lipat lagi baju-baju yang sudah kalian acak-acak. Aku tidak mau tahu, dalam waktu satu jam, kamarku harus kembali bersih!""Apa Kakak sudah gila? Aku nggak mau!!" teriaknya kesal. Makin lama sikapnya makin tidak bisa ditolerir."Terserah, jika kau ingin membangkang, itu artinya kau sudah siap kehilangan uang jajan dan biaya transport. Uang untuk kuliahmu juga kau yang tanggung sendiri!!"Ancamanku tidak main-main. Mereka sudah dewasa dan seharusnya sudah lepas tanggung jawab dariku. Bodohnya aku, malah terus menjunjung tinggi dan memanjakan mereka. Orang-orang yang tidak bisa menghargai kerja kerasku."Bu." Sinta merengek pada ibu. Wanita itu memasang wajah sendu untuk meminta perlindungan."Sasty, tolong jangan lakukan hal itu pada Sinta. Dia nggak bisa melakukan pekerjaan apa-apa, lagi pula yang mengacak-acak kamarmu itu Ibu, bukan Sinta. Ibu pikir Ibu bisa menemukan uang untuk biaya ganti rugi pada orang-orang itu. Tapi ternyata Ibu nggak menemukan apa-apa."Ibu terlihat lesu sambil memegangi dadanya. Wajahnya dibuat memelas mungkin untuk menarik simpatiku. Tapi jelas, wajah itu hanya penuh kepura-puraan, tidak tampak seperti orang yang sakit."Selama ini kalian selalu memerintahku untuk melakukan pekerjaan rumah, sekaligus mencarikan uang untuk isi perut kalian. Kenapa sekarang kita nggak bagi tugas saja? Ibu tolong masak di dapur dan bersihkan semuanya. Sementara kau Sinta, tugasmu adalah membereskan baju dan rumah ini sampai keadaannya bersih. Jangan lupa minta bantuan kepada kakakmu untuk membersihkan halaman rumah.""Apa? Kau tak boleh memerintahku seenaknya di sini. Apa kau lupa kalau ayah sudah menitipkan kami padamu??"Aku mendelik dan menatapnya dengan dingin."Jangan jadikan ayah yang sudah pergi sebagai alasan. Selama ini kalian berleha-leha di rumah yang sudah aku renovasi ini. Atau kau ingin mengusirku pergi dari sini, agar aku bisa bebas dan gajiku juga aman??"Mata Sinta mengerjap sambil melirik ke sana ke mari. Tentu saja dia tidak ingin hal itu terjadi. Hanya aku seorang di rumah ini, pohon uang yang bisa dipetik kapan saja dia menginginkannya.Ibu mendesah berat. Dia menyentuh tangan putrinya agar berhenti protes. "Sudahlah, Sinta, kamu turuti saja perintah kakakmu. Jangan terus berdebat, Ibu pusing," ujarnya."Tapi aku 'kan nggak bisa bekerja, Bu. Nanti tanganku kotor," sahutnya seperti bisikan, tapi jelas aku bisa mendengar semuanya."Sudah, turuti saja. Kamu nggak mau 'kan tiap hari puasa di kampus?" Ibu berkata lagi dengan suara lebih tegas.Sinta segera beranjak dan menghentak-hentakan kakinya, sebelum akhirnya masuk ke dalam kamarku.Tak lama kemudian, entah apa yang dilakukannya di sana, aku tidak peduli. Namun, sesekali alat-alat kosmetik seperti berjatuhan dari atas nakas.Benar-benar keterlaluan!***Sinta berjalan cepat keluar dari kamarku. Wajahnya penuh manipulatif. Dia memegang sesuatu di belakang punggungnya.Teringat dengan uang yang diberikan oleh Pak Anton, aku segera berdiri meski sedikit kesulitan dan mendekat padanya."Apa yang kamu sembunyikan di belakang punggungmu?" tanyaku cepat. Gadis ini, selain pemalas juga kadang bertingkah seperti maling. Aku bahkan sering kehilangan uang dari tasku sendiri."Eh, apa? Aku nggak bawa apa-apa," kilahnya dengan cepat."Cepat tunjukkan, kalau tidak, aku terpaksa ...."Sinta merengut sebal. Kedua tangannya segera bergerak ke bagian depan. Mataku memicing melihat dia membawa sweater warna coklat milikku."Aku pinjam untuk malam ini saja, aku janji akan mengembalikannya besok. Please."Wajahnya dibuat semanis mungkin tapi aku tak terkecoh.Kusambar sweater yang kubeli bulan lalu, kemudian sesuatu jatuh dari dalam sana. Amplop berwarna coklat dengan isinya yang tebal.Aku melotot dengan tajam. Sinta segera berjongkok untuk meraihnya. Mata wanita itu berubah hijau, karena pasti sudah melihat tumpukan uang di dalamnya."Kau mau maling?!" Aku menginjak amplop itu dengan kaki kananku. Hingga adegan tarik menarik pun terjadi."Kakak, lepasin nggak. Aku juga butuh uang ini!!" Sinta berteriak. Sesekali meringis karena jari-jarinya ikut keinjak juga."Sekali kau maling uangku, siap-siap saja aku laporkan ke polisi. Biar kau mendekam sekalian bersama dengan kakakmu yang tidak berguna itu!" sahutku tegas.Wajahku menunduk dingin, menatap bola matanya yang bergerak-gerak karena ketakutan."Ihh, dasar nyebelin! Aku akan laporkan ke Ibu kalau kakak memiliki banyak uang!" rutuknya penuh amarah. Bahkan telunjuknya menuding ke arahku."Laporkan saja kalau kau berani!" tantangku. "Asal kau tahu, uang ini milik perusahaan. Jika kau berani mengambilnya lagi, maka aku tidak segan-segan memberi pelajaran padamu!!"Bab 5Sinta segera berdiri sambil menghentakkan kakinya. Dia menatapku dengan wajah kesal, setelah itu langsung masuk ke dalam kamar Ibu dan berteriak-teriak, memanggil wanita yang selalu menjadi pelindungnya. Benar-benar kekanak-kanakan."Bu, Ibu, aku sedang butuh uang. Dan ternyata Kakak memiliki uang banyak. Aku hendak meminjamnya, tapi dia tidak memberikannya, Bu. Ayo dong, Bu. Bantu aku!" Dasar tukang ngadu."Apa, biar Ibu yang bicara dengan kakakmu!" Wanita yang rambutnya dicepol asal itu segera menghampiriku.Kebetulan aku masih berdiri di tempatku, siap mendengar ceramah dan permintaannya soal uang. Jika berhubungan dengan uang, jangan harap Ibu akan mundur atau mengalah. Tidak akan pernah terjadi. Wanita itu rela melakukan apa saja asal mendapatkan sesuatu yang menjadi idolanya; yaitu uang."Mana uangnya, Sasty. Cepat berikan pada Ibu. Jangan sampai Sinta nangis-nangis hanya karena masalah ini," pintanya tak tahu diri."Kenapa aku harus memberikannya pada dia, Bu? Ini uang
Bab 6"Awas ya, kalau sampai kamu berani lakuin itu. Sekarang juga aku akan pergi dari rumah. Biar kalian mikir, hidup tanpa uang itu menyedihkan!!" ancamku tak main-main."Coba aja kalau berani. Emangnya kakak kuat hidup tanpa keluarga, nggak mungkin. Aku berani taruhan!!" Dion membalas dengan wajahnya yang mengejek. Aku menghela nafas. Kukira adikku yang bajing*n itu akan gentar dengan ancamanku. Tapi ternyata aku salah. Orang-orang yang sudah digilakan oleh uang, bisa melakukan apa saja bahkan mencelakai saudara kandungnya sendiri. Miris."Dion, Sasty, apa-apaan kalian ini? Kerjaannya ribut terus. Dasar berandal. Lepasin Kakakmu, Dion. Kamu mau punya kakak yang kakinya cacat, iya? Siapa yang mau nikah sama dia nanti." Ibu menarik-narik kaos oblong Dion dengan berbagai umpatan keluar dari bibirnya."Kak Sasty nggak mau ngasih uangnya, Bu! Bikin naik darah aja dia," balasnya tak mau disalahkan."Sasty, kamu ini kenapa sih jadi pelit gini, heran Ibu. Dan kamu Dion, ambil tuh uangny
Bab 7Ponselku berkedip beberapa kali, nama Dika tercetak di sana. Kusambar ponsel kemudian mendekatkannya ke arah telinga. Tumben di jam kantor seperti ini Dika menghubungi. Tiba-tiba saja entah kenapa perasaanku tidak enak."Ya, Dik. Apa kamu ketinggalan sesuatu?" tanyaku."Eum, nggak, sih. Tapi …." Ragu-ragu Dika bicara."Ada apaan sih, kok malah diem?!""Ibumu datang ke kantor, Sas. Sengaja menemuiku untuk mencarimu. Ketika kukatakan kamu belum masuk kerja karena kakimu cedera, Ibumu bersimpuh di depan para karyawan. Dia juga menjelek-jelekkanmu. Imbasnya, Pak Anton yang melihat itu langsung membawanya ke ruangan dan memberikan sejumlah uang.""Ya ampun Ibu, bisa-bisanya dia datang ke kantor," ucapku geram. Aku tak sangka ibu akan melakukan hal nekat sejauh itu. Sejak minggat aku memang memblokir nomor orang rumah, hingga baik Dion maupun Sinta tidak bisa menghubungiku. Siapa sangka Ibu malah bertindak nekat."Lalu sekarang bagaimana, apa Ibu masih ada di sana?" tanyaku penasara
Bab 8"Kamu udah siap?" tanya Dika begitu aku keluar dari kamar kos. "Udah, yuk." Pria itu tersenyum simpul dan membawaku ke parkiran. Dika tampak telaten membantuku menuruni satu persatu tangga, tidak peduli meskipun beberapa penghuni lain yang berlalu lalang kerap melirik aneh ke arahku.Sampai di pinggir jalan, mobil yang dipesan oleh Dika datang. Kami langsung pergi ke rumah sakit untuk kontrol sore itu. Mengganti perban sekaligus mengecek keadaan kaki di bagian dalam."Lumayan bagus. Tapi masih butuh beberapa minggu lagi untuk bisa berdiri normal. Pastikan jangan terkena air dan jangan terlalu dipaksa berjalan." Penjelasan dari dokter membuatku lega. Setelah menyelesaikan administrasi dan mengambil obat, Dika membawaku ke kantin dekat rumah sakit. Memesan beberapa makanan, lalu menikmatinya sambil sesekali bercanda."Kakak ada di sini rupanya!" Aku dan Dika sontak menoleh. Dia lagi.Entah dari mana datangnya hingga Dion tiba-tiba saja ada di sini. Kuperhatikan dengan malas pe
Bab 9Otot-ototku terasa lemas dan tak bertulang melihat pemandangan miris di depanku. Teganya Dion melakukan hal ini. Satu-satunya sumber mata pencaharian yang kusediakan untuknya, malah dia sia-siakan begitu saja."Padahal dua minggu yang lalu saat aku datang bareng temanku, tempat ini baik-baik saja, Sas. Meski ya nggak banyak stok baju yang dijual. Lalu kenapa sekarang jadi begini?" Dika yang berdiri menopang tubuhku pun merasa heran. Aku menggeleng lemah. Bukan hanya dia yang heran, aku lebih dari itu tentu saja. Aku sengaja mengarahkan Dion dengan membuka usaha untuk menghidupi keluarga dari hasil penjualannya. Tapi ternyata, nggak ada gunanya jika di empunya nggak berniat maju. Tak ingin dirundung kesedihan terlalu lama akhirnya aku memilih kembali ke dalam mobil, lalu pulang sambil memikirkan rencana selanjutnya.Tidak. Mereka tak bisa dibiarkan. Ibu, Dion dan Sinta mereka benar-benar menguras pikiranku. Jika seperti ini caranya, bahkan sampai aku membungkuk tua dengan ra
Bab 10Sekuat apapun aku mencoba menghindari Pakde, nyatanya pria itu tidak akan pernah berhenti sebelum memarahiku habis-habisan. Ibu. Kenapa dia begitu dekat dengan pria itu, padahal bude sudah lama meninggal. Seharusnya mereka jaga jarak karena bukan mahram. Rasanya risih saja saat melihat mereka tetap saling berhubungan."Ada apa, Pakde?" tanyaku to the point setelah panggilan kesekian kalinya masuk ke ponsel."Kamu tentu tahu untuk apa Pakde nelpon kalau bukan atas aduan ibumu.Kenapa kamu tega pada mereka, Sas? Kamu tidak memberikan uang serta meninggalkan rumah begitu saja, lepas tanggung jawab. Kamu biarkan ibu dan adik-adikmu kelaparan. Jawab. Apa kamu sengaja? Atau ada seseorang yang mempengaruhimu?!" "Itukah yang Ibu katakan?" tanyaku balik. Pintar sekali ibu bersandiwara."Kau pikir ibumu berdusta?" hardik Pakde. Suara baritonnya terdengar bergemuruh. "Bukankah Ibu selalu seperti itu. Menjual namaku pada orang-orang, lalu menjelek-jelekkanku demi meraih simpati, te
Bab 11"Apa yang terjadi di rumah?" tanyaku cepat. Melihat wajah Sinta yang pias entah karena apa."Kak, Dion digebukin oleh orang-orang yang datang ke rumah tempo hari. Kasihan dia, Kak. Aku mohon, pulanglah. Penyakit Ibu juga kumat lagi.""Kau tidak bohong, 'kan?" Tatapanku menyelidik. Keluargaku yang manipulatif membuatku sedikit tidak percaya pada setiap aduan mereka."Aku nggak bohong, Kak. Kasihan Dion. Tolong pulanglah, hanya Kakak yang bisa menyelamatkan dia," ujarnya setengah memohon. Aku mengangguk pelan, tapi karena kesulitan aku hanya bisa berjalan pelan-pelan. "Kalau tidak keberatan, biarkan saya mengantar kalian apalagi jika rumahnya jauh. Kebetulan saya punya mobil." Pria yang baru kukenal beberapa menit itu menawarkan bantuan. Dengan cepat pula aku menolaknya. "Tidak usah, saya bisa naik angkutan umum," ujarku tak enak hati."Kak, terima aja tawarannya. Nanti Dion keburu mati." Aku melotot pada Sinta. Bisa-bisanya dia menerima bantuan orang asing. Tapi Ibas m
Bab 12Sepertinya bukan hanya aku yang terkejut. Dika yang berdiri bersama dengan seorang wanita berambut panjang itu, juga melotot tajam ke arahku."Sasty?" "Oh jadi wanita ini yang sudah mengambil alih tempat kostku? Pantas saja kamu ngelarang aku masuk ke tempat ini. Katakan siapa dia, Mas? Apa dia simpananmu yang lain?" tanya wanita itu yang sepertinya pacar Dika."Jaga mulut kamu, Nia. Dia seniorku di kantor. 'Gak pantas kamu ngomong seperti itu pada Sasty," ucap Dika menjelaskan."Oh halo, kenalkan saya Sasty," sapaku. Mencoba bersikap ramah. Meskipun wanita itu memasang wajah jutek, 'tak urung menyambut juga uluran tanganku."Maaf kalau kamu merasa terganggu kamarnya aku tempati. Aku kira kamu nggak ngekost lagi di sini." Wanita itu memindaiku dari atas hingga ke bawah, lalu terpaku pada kaki yang diperban."Eumh, nggak apa-apa, kok. Lagian aku mau tinggal dengan suamiku sekarang," jawab wanita itu melirik ke arah Dika. Sontak saja aku terkejut. Sementara Dika kulihat me