LOGINDunia hanya begitu-begitu saja. Pasti ada hal baru yang harus dicoba. Bahkan kita selalu mendapatkan banyak masalah dalam satu waktu tanpa kita duga. Atau, kita mendapatkan anugerah dalam nestapa.
"Ini adalah kamar yang biasa digunakan oleh keluarga Tuan Pandu jika akan menginap di sini." Wanita berumur sekitar empat puluh lima tahun itu mengajak Arika berkeliling mansion. Perangainya sangat keibuan. Gerak-geriknya terukur dan senada dengan tutur bicaranya yang lembut. Kesan pertama Arika saat diperkenalkan dengan wanita tersebut adalah wanita ini mempunyai tata krama yang tinggi. Aura kuat sarat 'wanita mahal' benar-benar membuat Arika jadi segan. Akan tetapi kedudukan wanita itu tidak setinggi Arika di sini. Wanita itu adalah ketua pengurus mansion Pandu, bahkan sebelum Pandu menempati bangunan ini. Bisa dikatakan, dia tidak serta merta bekerja untuk Pandu tetapi bekerja untuk mansion ini. "Jangan segan, Nyonya. Saya akan membantu Anda untuk mengenali seluk beluk mansion ini. Toh, Anda adalah istri dari Tuan Pandu." Wanita itu mempersilakan Arika untuk memasuki ruangan yang pintunya sudah dibukakan olehnya. "Maaf kalau lancang. Nama Anda tadi ...." Arika tidak meneruskan ucapannya. "Nama saya Vania, Nyonya." Wanita itu menjawab dengan nada yang lembut dan sangat stabil. Arika merasa seperti sedang diemong. Arika mengangguk. Dia mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan. Luar ruangan ini terlalu besar untuk ukuran kamar tidur. Bahkan ada sofa dan televisi juga di dalamnya. Ini sudah seperti rumah di dalam rumah. "Saya memanggil Anda dengan sebutan apa? Tadi belum sempat saya tanyakan." "Cukup dengan Ci Vania. Lebih baik Anda memperlakukan saya seperti bawahan Anda pada umumnya. Tidak perlu begitu formal karena di sini saya yang bekerja untuk Anda dan Tuan Pandu, Nyonya." Arika menelan ludah. Dia belum terbiasa dengan ini. Pangkatnya yang tiba-tiba melambung di atas semua orang yang ada di rumah ini, membuatnya merasa aneh dan kaku. "Saya tahu Anda pasti sungkan atau belum bisa menyesuaikan diri dengan semua ini. Tapi tenang saja. Saya di sini ditugaskan khusus untuk membantu Anda beradaptasi." Arika mengangguk. Dia duduk di atas salah satu sofa yang membentuk later U ke sebuah televisi besar yang menempel di dinding. Kakinya terasa sedikit perih. Dia agak menyesal tadi menolak untuk berkeliling menggunakan kursi roda. "Anda bisa beristirahat di sini. Apa ada yang Anda butuhkan?" Arika yang semula melihat-lihat telapak kakinya, mendongak. Dia menggeleng sungkan. "Ah, tidak. Saya ... ekhm, maksudnya aku. Aku hanya ingin duduk sejenak." Vania tersenyum melihat cara Arika mengganti sebutan itu. "Semoga Anda cepat beradaptasi, Nyonya. Ke depannya Anda juga harus menemani Tuan Pandu di berbagai acara formal." Arika menaikkan kedua alisnya. "Acara formal? Apa aku memang sudah diakui menjadi istrinya?" Vania terkekeh kecil. "Kenapa Anda berpikir begitu? Tentu saja Tuan Pandu sangat mengakui gadis pilihannya dan ingin cepat-cepat membawa Anda di depan banyak orang." Pipi Arika terasa memanas. Entah gurauan yang dilontarkan Vania atau bayangan dia digandeng Pandu dengan posesifnyan yang membuat dirinya tenggelam dalam rasa malu. "Sepertinya itu tidak mungkin." "Sangat mungkin. Tuan Pandu tidak memiliki alasan lain untuk memilih Anda sebagai istri kecuali perasaannya yang sangat besar kepada Anda." Arika terdiam. Semua yang dia dengarkan tetiba saja berdengung di kepalanya sebagai omong kosong. Bahkan sampai seminggu di mansion ini pun Arika masig tidak percaya bahwa dia sudah menikah dengan orang kaya seperti Pandu. Masalahnya hanya satu, dia sungguh tidak mengenali pria itu. "Apa aku amnesia?" tanya Arika kesekian kalinya kepada dirinya sendiri. Kini pertanyaan itu terlontar di depan Vania. Wanita itu tersenyum ramah dan sangat teduh. "Mungkin ingatan Anda masih belum bisa menemukan siapa Tuan Pandu. Namun saya yakin bahwa hati Anda pasti merasakan getaran yang sama seperti dulu." Arika tidak menjawab. Dia diam dan merenungi ucapan Vania barusan. Kalau memang getaran itu ada, lalu kenapa dia juga tidak merasakannya barang sedikitpun? Apa dia memang benar-benar amnesia? "Biasanya, kapan Pandu akan pulang? Sepertinya aku sudah tidak melihatnya beberapa hari di rumah ini." Arika dengan sengaja mengalihkan pembicaraan. Entah dia sedang tidak selera saja untuk membuka pertanyaan-pertanyaan tentang pernikahan dirinya dan Pandu meski masih terasa sangat aneh. "Tuan Pandu ada perjalanan bisnis ke luar kota selama beberapa hari. Beliau juga berpesan selalu untuk memantau keadaan Anda dengan baik." Dahi Arika mengerut. "Aku? Dipantau? Memangnya barang percobaan?" Vania tersenyum. "Itu bahasa beliau untuk saya, Nyonya. Tentu saja saya harus melihat perkembangan adaptasi Anda di sini. Sudah satu minggu Anda berada di rumah ini dan baru kali ini Anda mau saya ajak keliling." Bibir Arika merapat. "Maafkan aku. Aku hanya merasa semua ini hanyalah sandiwara yang dikarang oleh Pandu. Aku sungguh tidak bermaksud untuk menyusahkanmu. Maaf jika kesan pertamaku sangat buruk." "Tidak apa-apa. Saya sangat mengerti dengan perasaan Anda. Bagaimanapun menerima sesuatu yang dianggap baru dalam hidup memang cukup sulit." Mendengar kata-kata yang keluar dari bibir Vania membuat hati Arika menjadi adem. Setidaknya di dunia yang terasa sama sekali asing ini masig ada orang yang mendukungnya. Tak peduli jika Vania mengucapkannya hanya sekedar formalitas. Dia cukup terhibur dengan banyak ucapan wanita itu. "Jadi, dengan ini, apakah Anda bisa dikatakan sudah siap untuk menerima banyak pelajaran dari saya?" Pertanyaan Vania barusan membuat Arika membeku. Dia menatap Vania dengan sedikit was-was. Namun semua berganti dengan keheranan saat wanita itu tertawa. "Kenapa Anda terlihat ketakutan seperti itu, Nyonya. Pelajaran yang saya maksudkan adalah pelajaran untuk menjadi NYONYA di rumah ini. Saya tidak akan membalas apa-apa kok." Arika terkekeh. Dia sudah berburuk sangka. "Ah, iya. Begitu, ya? Hehehe." "Tawa Anda seperti barusan yang dirindukan oleh Tuan Pandu. Saya akan mengabari beliau bahwa Anda sudah bisa tertawa kecil seperti ini." Arika tidak memberikan jawaban apa-apa. Dia hanya diam dan melihat ke arah Vania. Masih ada rasa yang menjanggal di dadanya setiap Vania menyebutkan nama Pandu. Terasa asing di hatinya namun seakan sudah biasa di matanya. "Pelajaran apa yang akan aku terima? Seperti tata krama di depan publik sebagai istri konglomerat begitu?" tanyanya polos. Vania mengangguk. "Kurang lebih seperti itu. Saya akan mengajari Anda hal-hal dasar yang biasanya akan menjadi sorotan publik. Selebihnya Anda bisa menyesuaikan saat Anda sudah siap tampil di depan mereka." Tiba-tiba saja hati Arika diselimuti oleh rasa ragu. "Apa pergaulan kelas atas semengerikan itu? Jujur, aku tidak ingat jika sudah bergaul dengan mereka. Maksudku, dulu memang aku sudah terbiasa berinteraksi dengan mereka tapi hanya sekedar antara klien dan penyedia jasa. Tidak lebih." "Saya mengerti perasaan Anda, Nyonya. Maka dari itu Tuan Pandu menunjuk saya untuk mendampingi Nyonya." Arika menghembuskan napas kasar. Rasanya ini terlalu berlebihan. Dia bahkan merasa tidak siap. "Boleh aku di sini sebentar? Kakiku masih terasa sedikit perih." Vania mengangguk ramah. "Tentu saja. Ruangan ini juga bagian dari rumah Anda. Kalau begitu, saya permisi terlebih dahulu dan akan kemari beberapa menit lagi." "Tiga puluh menit. Jalan dari kamarku ke sini cukup capek juga dengan kaki yang terluka." Vania memaklumi. Dia pun undur diri dan keluar dari kamar tersebut, membiarkan Arika sendiri di sana. Di tengah jalannya menuju bagian belakang mansion, dia mendapatkan satu notifikasi pesan dari Pandu. 'Apakah semua berjalan seperti yang telah direncanakan?'Pandu memandang hidangan yang ada di atas meja di hadapannya. Hanya ada satu piring dengan menu pakai sejumput nasi. Sisanya ada bergelas-gelas smoothie. Dia menatap tak percaya ke arah Arika. Gadis itu masih memasang muka betenya. "Wah, ternyata kayak gini caranya kamu ngabisin duit? Kurang enggak, sih?" Pandu mencoba untuk membuka pembicaraan dengan Arika setelah semua pergi dan meninggalkan dirinya dengan gadis itu di balkon. Masalahnya, meski sedang berada di ruangan terbuka, atmosfer sekitar mereka seperti di ruangan pengap tanpa jendela. "Kalau kamu cuma mau mengejekku, mendingan kamu lompat aja lewat pagar itu." Arika menyuap nasinya dan tidak memedulikan ucapan Pandu. Dia anggap saja lelaki itu tidak ada. "Enggak ada kata makasih atau semacamnya, nih?" Pandu masih mencari bahan untuk bisa berbicara dengan leluasa bersama Arika. Sungguh setelah cekcok di ruang baru mereka tadi dan aksi sok tangguh Pandu, rasanya ketika bersama seperti ini adalah berada dalam selimut cang
"Seharusnya kamu bela aku sebagai wanita yang harus dilindungi saat dilecehkan seperti itu." Arika berhadapan dengan Dimas yang tadinya berdiri di lorong. Dimas diam. Percuma saja kalau dia menjawab. Jawabannya pasti salah semua dan dia mendapatkan nilai minus karena nol nilainya lebih besar untuk ukuran seorang wanita yang sedang marah. Dia harus banyak bersabar menghadapi keluarga ini. Bagaimanapun sumber uangnya juga dari mereka. "Aku mau ruangan di pojok sana. Kalau Pandu tidak setuju, bilang saja ke dia kalau bukan aku yang menempatkan diriku sendiri di posisi ini." Arika langsung pergi setelah mengatakan hal itu dengan tegas dan tanpa ada jeda. Dimas hanya mengangguk paham. Tak selang beberapa detik, Pandu keluar dari balik pintu ruangan luas itu. Dimas mengangkat kedua alisnya kepada tuannya. "Anda pasti dengar apa yang barusan diucapkan oleh Nyonya Arika, kan?" Pandu mengangguk. "Lakukan apa yang dia mau. Kasihan juga dari tadi dia harus marah-marah." "Itu juga karen
Arika meninggalkan ruangan Johan dengan hati yang tidak sepenuhnya bisa menerima apa yang baru saja dikatakan oleh bosnya. Bahkan dia malah jadi dongkol sekali. Hatinya sudah seperti sekerat daging yang sedang dipanggang di atas kayu menyala. Panas. "Kenapa kamu nurut aja, sih, sama si Pandu?" tanya Arika yang sudah kelewat kesal. "Ah, kamu kuasa hukumnya dan emang udah kerjaan kamu buat melaksanakan apa yang Pandu mau. Oke. Aku yang kurang tanggap." Dimas yang tadinya akan menjawab dengan jawaban senada pun akhirnya menutup mulutnya kembali. Arika sudah menjawab sendiri pertanyaan yang dilontarkannya. Sungguh berjalan di belakang Arika sekarang terasa lebih menyeramkan ketimbang saat berjalan mengawal Pandu. Bahkan Dimas harus menarik napas sedikit dalam berkali-kali. Langkah Arika begitu cepat dan derap kaki gadis itu seakan bisa menghancurkan marmer di bawahnya. Dimas menekan tombol lift untuk membuka pintunya. Kemudian dia memosisikan diri lagi di belakang Arika. "Lama ba
Nyatanya, Tuhan tidak membiarkan manusia untuk tahu segalanya. Bukan menjadikan sebuah ketidaktahuan sebagai alasan untuk dicela. Akan tetapi, terkadang lebih baik tidak tahu daripada tahu segalanya dan tak bisa sembuh dari luka. Ilmu terbatas juga sebuah anugerah, sama seperti ketika manusia bisa dan lekat dengan kata 'lupa'. Arika membuka pintu ruang kerja Johan dengan sangat hati-hati. Tubuhnya bahkan menunduk sedikit sarat akan segan dan tak mau ambil resiko. Sejenak, dia menilik ke seluruh ruangan dengan desain elegan yang dominan hitam putih itu, memastikan bahwa tidak ada alasan untuk takut dipanggil bosnya itu. "Oh, hai Arika!" Seruan Johan malah membuat gadis yang seperti kelinci ketakutan itu terlonjak. Suara bariton Johan dan tubuh tegapnya mendekati gadis itu dengan langkah yang sangat teratur. Sangat persis sekali dengan perawakan Tom Lembong tapi ini versi yang tidak lembut. "Apa kabar?" tanyanya lagi, membuat si gadis menggigit bibir bawahnya. "Bapak ada perlu apa, y
Waktu yang berjalan mengiringi kehidupan manusia selalu memberikan kesan yang berbeda-beda dari satu masa ke masa. Kenangan indah atau kenangan yang tidak pernah diinginkan pun akan hadir untuk mengisi perjalanan usia. Tinggal manusia saja yang perlu menentukan arah; mau meninggalkannya di waktu dia mendapatkannya atau terus membawanya sampai tumbuh dewasa? Arika mengembuskan napas dalam dan duduk lagi di kubikel miliknya. Berjarak dua kubikel ke kanan, Fatina sedang mencuri-curi kesempatan untuk berbicara kepada sahabatnya. Akan tetapi, nihil adanya karena Arika kembali serius dengan laptop dan kerjaannya. Sepertinya kesempatan untuk ngerumpi harus ditunda dulu sampai waktu istirahat tiba. Untungnya tinggal tiga jam. Gawai Arika berdering saat dia hendak memindahkan file yang ada di benda itu ke laptop. Sengaja dia tidak mengunggahnya ke penyimpanan awan agar tidak gagal muat kalau internet sedang tidak mendukung. Terkesan sedikit ribet namun dia lebih menyukai cara klasik nan me
Kejutan di hidup bisa saja membuatmu bahagia. Tapi tak satu juga yang mendapatkan kejutan yang lebih menyusahkan. Tergantung dari sudut pandang mana kamu melihatnya. Arika sibuk dengan pekerjaan yang menumpuk di kubikelnya. Sudah hampir sebulan pekerjaan itu tidak disentuh olehnya sama sekali. Sungguh keterlaluan nasib di dunia ini. Bukan hanya dia yang terlahir jablay ternyata pekerjaannya pun juga. Ah, lebih tepatnya dia bukan jablay, tapi jomlo. Lalu Pandu? Seperti yang dia katakan kepada Fatina, dia masih tidak percaya dengan pernikahan mereka. Di kepalanya, semua itu tidak masuk akal. Sudahlah, dia harus serius lagi mengerjakan tumpukan kertas dan file yang ada di foldernya. Tidak lama setelah itu, dia baru saja menyelesaikan tiga pekerjaan utama untuk memindah ilustrasi yang diminta para klien ke dalam galeri bersama. Masih ada pekerjaan yang lain yang membutuhkan tenaga dan konsentrasinya. Akan tetapi hari tenang pasti sudah dihapuskan dari kalender hidupnya. Dengan la







