Kalau ingin hidup dengan baik dan tidak mau terombang-ambing di lautan asing, maka kamu harus berani untuk menantang ombak dan mematahkan pusaran air.
Arika membuntuti Pandu ke kantor lelaki itu. Dia tidak peduli dengan kakinya yang terluka meski sudah dibalut dengan kasa. Dia tetap berjalan cepat, mengejar langkah lelaki itu. "Enggak bisa seenaknya gitu dong. Kalau memang ini pernikahan kita berdua, kamu enggak berhak untuk mengaturku tanpa persetujuanku." Arika menarik tangan Pandu agar menghentikan langkahnya. Lama-lama dia jengkel karena seperti tidak didengarkan. Pandu berhenti. Dia menghadap Arika yang tingginya hanya sebatas dagunya. "Suami enggak perlu persetujuan istrinya untuk mengatur keluarga." "Itu di keluarga yang kolot! Kalau memang kita menikah dengan resmi, seharusnya ada persyaratan-persyaratan yang diterapkan. Kita udah enggak hidup di jaman jahiliyah, ya, Pandu." Arika tidak bisa tinggal diam dengan semua ini. Apalagu jika berhubungan dengan nasibnya ke depan. Akan jadi apa kalau dia tidak bekerja? Hanya diam dan menunggu uang bulanan dari suami asingnya ini? Kenal saja tidak, apalagi harus percaya. Pandu duduk di sofa ruang kerjanya. Dia menyandarkan punggungnya. "Lalu, maumu apa?" Arika tersenyum kecil. Setidaknya ini adalah langkah pertama agar dia ke depannya tidak terlalu sengasara. Ya, kalau dia minta cerai sewaktu-waktu, dia tidak akan bergantung kepada kekayaan melimpah Pandu. "Kita bikin persyaratan nikah." Pandu tertawa. "Kita sudah nikah. Sudah terlanjur." "Persyaratan pasca nikah kalau begitu.""Aneh banget. Mana ada yang kayak gitu?" Pandu sedikit meremehkan. Dia juga sedang menguji ketangguhan Arika.
"Aneh atau memang pernikahan kita ini sebenarnya hanya rekayasa? Kalau kamu bilang yang seperti ini ada atau tidak ... enggak ada salahnya kalau kita adakan. Apa yang salah dalam memulai?"
Pandu merapatkan rahangnya. Dia tidak salah untuk memilih gadis ini sebagai istrinya. Tangguh, keras kepala, dan sangat ulet ... sama seperti yang dia inginkan.
"Oke kalau gitu. Tinggal kamu tulis apa saja yang menjadi persyaratanmu dan aku akan menulis apa yang jadi persyaratanku. Adil, kan?"
Arika berpikir sejenak. Agak aneh juga kalau dipikir-pikir bahwa Pandu menyetujui keinginannya begitu saja. Berarti dia harus lebih berhati-hati agar tidak salah langkah ke depannya. Nasibnya bisa jadi taruhan.
Pandu mengambil dua carik kertas dan membagi satu kepada Arika. Sudah ada pena di meja, mereka tinggal menulis persyaratan apa saja yang dimau. "Kamu sadar apa enggak kalau kamu malah bikin pernikahan kita seperti nikah kontrak."
Perkataan Pandu ada benarnya. Arika jadi terdiam sejenak dan diserang keraguan dalam sekian detik.
"Aku enggak peduli. Karena aku enggak merasa sudah menikah, jadi aku tidak boleh lengah." Arika meneruskan tulisannya.
Pandu hanya diam. Dia tidak menulis. Tangannya hanya memegangi kertas yang tadi dia ambil. Matanya tertuju ke Arika yang sedang tekun menulis sambil berpikir.
Melihat gadis ini dibalut dengan gaun tidur yang dia pilihkan, yang tentu saja harganya tidak murah, membuat dadanya sedikit berdesir. Gaun tidur Arika tidak bermodel terbuka, namuan elegan dan indah, menambah kecantikan wajah tegas milih gadis itu. Ah, memang tidak salah dia menghabiskan sedikit uangnya untuk membeli baju-baju baru demi istrinya.
"Kamu sudah selesai?" tanya Arika yang merasa risih karena dari tadi dipandangi.
"Sudah. Tidak perlu banyak-banyak. Toh, kamu istriku." Pandu sengaja menggoda Arika dan membuatnya kesal. Entah sejak kapan dia menyukai wajah gadis itu yang tampak sedang gusar.
"Jangan sampai menyesal."
"Tidak akan." Pandu sangat enteng menjawab.
Lima menit, Arika mengangkat kepalanya. "Aku dulu yang baca?" tanyanya sambil menunjuk diri sendiri.
Pandu mengangguk. Alisnya terangkat. Sungguh gestur sombong seperti itulah yang sangat dibenci oleh Arika.
"Pertama, istri boleh bekerja."
"Setuju."
Arika mengerutkan dahinya. Apa-apaan lelaki satu ini? Tadi dia dilarang bekerja dan sekarang malah setuju? Dasar lelaki plin-plan.
"Kedua, istri boleh healing kapan saja dan tidak ada batasan tempat."
"Orang sepertimu mau ke diskotik?" Pandu memandang Arika dengan tatapan ejekan.
"Enggak di tempat begitu juga maksudnya."
"Ya, diperinci dong."
Arika menggembungkan kedua pipinya. Dia menulis sejenak. "Kecuali di tempat maksiat," ucapnya menyambung persyaratan kedua.
Pandu mengangguk. "Setuju."
"Ketiga, siapa saja dari kedua belah pihak yang terbukti selingkuh, maka harus menyerahkan hartanya kepada pihak yang diselingkuhi sekurang-kurangnya 20% dari keseluruhan harta."
Pandu mendesis. "Terlalu sedikit kalau segitu. Seluruh hartamu saja aku yakin tidak bisa untuk membeli jam tanganku. Naikkan jadi 50%."
Mata Arika terbelalak. Dalam hati, dia mengumpat. Sepertinya gertakan dengan harta bukanlah hal yang bagus untuk dipilih. Tandingannya ini adalah orang yang terlihat tidak butuh uang.
"Baiklah." Arika mengganti angka di kertasnya. Tapi kalau dipikir-pikir, dia juga bisa untung kalau mendapati Pandu selingkuh. Toh, orang kaya biasanya punya banyak simpanan.
"Yang terakhir, selama bersama, kedua belah pihak harus saling mendukung dengan berkata jujur dan tidak menutupi apapun dari pihak yang lain." Senyuman Arika menjadi lebar. Dia yakin Pandu tidak akan bisa menyetujui syarat terakhir ini jika memang pernikahan mereka adalah sebuah kebohongan.
"Kecuali dalam keadaan terdesak yang tidak memungkinkan."
"Hah? Apa?"
"Tambahin kayak gitu. Kamu juga pasti setuju kalau salah satu dari kita sedang kritis, tidak bisa berbicara. Mau pakai bahas kalbu?"
Arika mendesis. Lelaki di depannya ini sungguh cerewet sekali. Tinggal setuju apa yang dia katakan, kan, beres. "Oke." Dia menambahkan perkataan Pandu tadi. "Sekarang punyamu."
Pandu mengangguk. "Syaratku sangat mudah dan hanya dua. Satu, istri boleh bekerja di tempat yang sudah ditentukan oleh suami. Dua, bertahan dan berada di sisi suami dalam suka dan duka. Selesai. Ada tambahan."
Arika terkesiap dengan persyaratan yang diajukan oleh Pandu. Tidak ada yang menekan sama sekali. Bahkan terlalu gampang untuk dijalani. "Kamu yakin hanya itu? Enggak terlalu gampang?"
Pandu tersenyum miring. "Kamu pikir syarat yang kedua gampang?"
Arika diam. Tidak ada bayangan apa-apa di dalam kepalanya.
Pandu berdiri dan mendatangi Arika. Dia memosisikan kedua tangannya seperti sedang mengungkung gadis itu di tengah. Sama seperti apa yang dia lakukan tadi di kamar. Tatapannya intens. "Kalau kamu masih berpikir bahwa persyaratan yang aku ajukan itu terlalu gampang, maka kamu memang harus belajar lagi, Arika."
Mendengar ucapan Pandu barusan, bulu kuduk Arika jadi merinding. Dia sampai menggeser duduknya hingga mepet di sandaran belakang sofa. "Ma-maksudnya?"
Pandu menyeringai. Istrinya ini tangguh tapi tetap saja masih polos. "Seiring dengan berjalannya waktu, kamu pasti akan mengerti apa yang aku maksudkan." Dia menarik tubuhnya menjauh dari Arika saat melihat wajah gadis itu mulai memucat.
Lelaki itu berjalan menuju mejanya. Dia mengambil gelas yang berisikan air putih dan meminumnya sambil menghadap ke jendela.
"Selamat datang, Nyonya Pandu Baskara. Kamu akan segera mengerti bagaimana beratnya nama itu harus tersemat di pundakmu."
Arika menelan ludah. Apakah itu berarti ini adalah awal dari akhir hidupnya?
Kalau ingin hidup dengan baik dan tidak mau terombang-ambing di lautan asing, maka kamu harus berani untuk menantang ombak dan mematahkan pusaran air.Arika membuntuti Pandu ke kantor lelaki itu. Dia tidak peduli dengan kakinya yang terluka meski sudah dibalut dengan kasa. Dia tetap berjalan cepat, mengejar langkah lelaki itu."Enggak bisa seenaknya gitu dong. Kalau memang ini pernikahan kita berdua, kamu enggak berhak untuk mengaturku tanpa persetujuanku." Arika menarik tangan Pandu agar menghentikan langkahnya. Lama-lama dia jengkel karena seperti tidak didengarkan.Pandu berhenti. Dia menghadap Arika yang tingginya hanya sebatas dagunya. "Suami enggak perlu persetujuan istrinya untuk mengatur keluarga.""Itu di keluarga yang kolot! Kalau memang kita menikah dengan resmi, seharusnya ada persyaratan-persyaratan yang diterapkan. Kita udah enggak hidup di jaman jahiliyah, ya, Pandu." Arika tidak bisa tinggal diam dengan semua ini. Apalagu jika berhubungan dengan nasibnya ke depan. Aka
Semua di dunia ini bisa dibuat dengan teknologi. Akan tetapi secanggih apapun teknologi yang dibuat oleh manusia di bumi ini, tidak akan ada yang bisa membuat apalagi membohongi hati nurani. Arika menatap gawai Dimas dengan tatapan kosong setelah melihat dirinya benar-benar ada di video akad nikah tersebut. "Tidak mungkin. Semua ini cuma rekayasa." "Terserah kamu mau percaya atau tidak. Semua bukti sudah ada di depan kamu." Pandu berdiri dari duduknya. "Aku banyak kerjaan. Kalau mau tanya-tanya, tanya aja ke dia." Dia menunjuk ke arah Dimas. Arika menoleh ke lelaki yang diperkenalkan sebagai kuasa hukum keluarga ini tadi. Wajah gadis itu penuh dengan kebingungan dan sorot matanya penuh dengan kesedihan. "Saya akan bersedia membantu." Dimas menunduk dengan telapak tangan yang diletakkan di atas dada. Pandu pergi begitu saja. Di wajahnya, Arika melihat guratan kepedulian yang diperlihatkan lelaki itu di awal hilang. Hal itu membuat Arika sedikit terhenyak dadanya, terlalu cepat
Lautan luas memiliki banyak lapisan. Arika merasa dirinya sudah hidup di lapisan laut yang gelap. Namun sekarang dia malah diseret untuk memulai hidup di lapisan yang lebih gelap lagi.Semua berawal dari perpisahan kedua orang tuanya karena ada pihak ketiga yang merusak hubungan suci itu. Karena keputusan pengadilan agama, dia dan kakaknya berpisah. Arika ikut sang ibu dan kakaknya, Amar si beban hidup itu, ikut sang ayah.Kehidupan mereka lumayan jauh berbeda. Arika hidup dengan penuh kedisiplinan dan berkecukupan bersama sang ibu. Amar hidup seadanya dengan sang ayah. Amar mulai merecoki kehidupan Arika saat mereka sudah masuk kuliah. Dia sering memakai nama adiknya untuk utang di kantin dan membuat banyak keonaran yang membikin Arika malu. Tak sampai situ, Amar terus mengungkit 'keberuntungan' yang diperoleh Arika dengan ikut sang ibu saat gadis itu menampakkan rasa tidak terima atas perilaku kakaknya. Hingga pada puncaknya, Amar melakukan kesalahan fatal dengan mencuri handphon
Kadang hidup menyadarkan kita bukan dengan sapaan lembut atau pelukan hangat. Tapi dengan tamparan bertubi-tubi seakan kita tak bisa menganggungnya lagi. Arika terbangun dengan kepala berat dan pandangan buram. Cahaya pagi menembus jendela besar kamar yang sama sekali asing baginya. Langit-langit kamar tinggi dengan lampu gantung kristal. Dindingnya dihiasi lukisan klasik, dan ranjang tempat dia terbaring terlalu mewah untuk ukuran seorang event organizer dari perusahaan start up seperti dirinya. Dia bangkit perlahan, menahan pusing di pelipis, mencoba mengingat apa yang terakhir terjadi. Ingatan itu seperti mozaik yang pecah dalam beberapa bagian. Dia ingat acara ulang tahun, suara seorang pria, lorong toilet lalu ... gelap. “Di mana ini?” bisiknya parau kepada dirinya sendiri. Banyak pertanyaan yang muncul di kepalanya yang terasa berputar. Lagi, dia mengamati ruangan tempatnya berada sekarang. Kamar ini benar-benar asing di memorinya. Dia tidak yakin pernah ada di sini. Ata
Terkadang, lelah yang dipikul oleh badan tidak sebanding dengan lelah yang dipikul oleh hati. Itulah yang Arika rasakan sekarang. Dia menyibukkan diri untuk mengecek setiap sudut ruangan aula hotel bintang lima yang terkenal di Sidoarjo itu. Dia tidak ingin ada yang terlewat sama sekali. Sudah tugasnya juga sebagai penanggung jawab acara untuk memastikan keberlangsungan acara dengan baik. Lebih lagi, acara ulang tahun yang dia pegang kali ini bukan acara ulang tahun orang sembarangan. Dia sudah diwanti-wanti oleh bosnya untuk bekerja dengan sesempurna mungkin. Keluarga Baskara adalah keluarga terpandang di kota, sepupu dari keluarga Anggari. Mereka lebih vokal daripada keluarga Anggari jika ada kesalahan barang sedikitpun. Arika memanggil salah satu petugas acaranya. "Semua minuman, makanan ringan, hingga hidangan manis sudah siap?" Jaka, lelaki kepercayaan Arika, mengangguk. "Beres." "Sip." Untungnya, konsep yang diinginkan oleh pemilik acara tidaklah ribet, sama seperti acara