Home / Romansa / We Are Not Lovers / Jadi, Seperti Apa Dia?

Share

Jadi, Seperti Apa Dia?

Author: Lily Arriva
last update Last Updated: 2025-08-13 00:39:56

Manusia tidak akan pernah tahu apa yang ada di hadapannya. Menjalani hidup di dunia ini bagai berjalan di hutan yang penuh kabut. Tidak ada yang tahu rintangan apa yang menyambut di langkah selanjutnya. Bisa saja itu adalah ranting pohon bisa menjerat kaki atau ular yang menggigit dan menyebarkan bisanya. Bisa juga itu adalah pohon dengan buah rindang yang menyelamatkanmu dari kelaparan.

Arika sudah berkeliling bersama Vania di mansion Pandu selama dua hari. Tidak butuh waktu yang lama bagi nyonya baru itu untuk menghafal tata letak dan bangunan besar ini. Dia sudah terbiasa dengan profesinya sebagai penyedia jasa dekorasi dan tata ruang.

Kini dia menikmati secangkir teh bunga mawar dari Belanda yang disajikan oleh Vania khusus untuk mereka berdua. Mereka sedang duduk di kursi taman sambil menikmati asrinya halaman belakang mansion ini.

"Anda cepat belajar, Nyonya." Vania memuji dengan tulus. Ternyata memberikan pelajaran kepada Arika tidak semengerikan yang dia bayangkan. Dia sudah banyak menangani wanita-wanita kaya baru dan Arika memang berbeda.

Arika tersenyum simpul. "Terima kasih atas pujiannya. Tapi, apa aku sudah mendapatkan semua yang harus kupelajari?"

Alis Vania terangkat. "Well, sejauh ini semuanya cukup. Saya juga tidak meragukan kemampuan Anda untuk beradaptasi. Harus saya akui, kemampuan Anda sangat mengesankan. Banyak tata krama wanita kelas atas yang sangat natural Anda lakukan."

"Seperti memegang cangkir dan meminum teh dengan gaya seperti ini?" Arika mengangkat cangkirnya dengan ujung ibu jari, telunjuk, dan jari tengah. Lalu sisa kedua jarinya yang lain tampak terbuka di udara. Dia menyeruput sedikit tehnya tanpa ada suara sedikitpun.

Vania sangat puas dengan Arika. "Anda memang tidak mengecewakan sama sekali, Nyonya."

Arika menaruh cangkir tehnya dan menutupi bibirnya yang melebar dengan ujung jemarinya. Dia terkekeh pelan. "Seharusnya aku yang berterima kasih karena sudah mendapatkan guru yang hebat."

"Maka Anda harus berterima kasih kepada Tuan Pandu. Beliau yang langsung memilih saya."

Arika mengangguk kecil dengan kedua alis yang sedikit terangkat. "Baiklah. Kalau aku bisa bertemu dengannya, aku akan berterima kasih. Masalahnya, dia sudah seminggu tidak ada di rumah. Bagaimana aku bisa berterima kasih?"

"Anda bisa menghubungi beliau lewat telepon."

"Aku tidak punya nomornya."

"Saya malah tidak yakin dengan Anda. Apakah Anda sudah melihat kontak Anda?"

Arika diam sejenak lalu mengambil gawainya yang ada di saku celana. Dia melebarkan matanya saat mendapatkan kontak dengan nama 'Hubby' tersematkan menjadi nomor utama di daftar teleponnya. Sejak kapan?

Gadis itu mengangkat kepalanya, menatap Vania dengan wajah penuh tanda tanya. "Aku tidak pernah memasukkan nama Hubby di teleponku. Maksudku, selama ini aku tidak pernah mempunyai kekasih. Bagaimana bisa?"

Dengan senyum maklum, Vania mengangguk. "Tidak ada orang yang bisa Anda panggil dengan sebutan itu kalau bukan Tuan Pandu, Nyonya."

"Ini pasti bohong." Arika menjauhkan gawainya. "Kalian pasti sudah merencanakan semua ini."

Gejolak itu kembali lagi di dada Arika, tidak terima, merasa dibohongi dan dijebak. Dia betul-betul tidak mempunyai memori apapun tentang kontak itu.

"Itu memang benar nomor Tuan Pandu, Nyonya. Beliau yang mengganti nama kontaknya. Jujur saja, meski dingin begitu beliau juga mengkhawatirkan Anda." Vania angkat bicara, mencoba menenangkan Arika yang sedang ditimpa kebingungan itu lagi.

"Kapan dia mengganti namanya? Aku tidak pernah memasukkan nomornya, bahkan." Arika masih ingkar.

Vania diam sejenak. Dia memberikan ruang kepada Arika untuk bernapas. Dia mengangkat telapak tangan kemudian membalikkannya sambil digerakkan menurun, isyarat untuk Arika agar mengambil sedikit waktu demi menenangkan diri.

"Aku masih bingung dengan semua ini." Arika menyangga kepalanya di atas meja dengan siku yang menempel di sana. Dia kembali ke mode santai dan mengabaikan tata krama kelas atas yang sedang berlangsung. Jemarinya meremat kulit kepalanya lembut.

"Tak apa. Semua membutuhkan waktu untuk bisa menjadi sempurna, Nyonya." Vania berdiri. Dia sedikit membungkuk kepada Arika. "Silakan ambil waktu Anda terlebih dahulu. Jika sudah tenang, Anda bisa memanggil saya."

Arika mengangkat tangan, mencegah Vania untuk pergi. "Cici di sini dulu. Temani aku. Ada banyak yang ingin aku tanyakan tentang Pandu."

Ucapan Nyonya baru itu membuat kedua alis Vania terangkat. Dia duduk kembali dengan punggung yang tetap tegak seperti biasanya.

"Kenapa Pandu sampai sekarang belum pulang?" Pertanyaan pertama Arika sangat di luar perkiraan. Bahkan dia sendiri juga tidak menyangka akan mengeluarkan pertanyaan itu terlebih dahulu.

"Apakah Anda sudah merindukan beliau?" Vania tersenyum kecil. Tatapan teduhnya itu sarat akan rasa gemas dengan gadis yang ada di depannya tersebut.

"Aku butuh jawaban, Ci. Bukan pertanyaan."

Vania mengangguk. "Baiklah. Baiklah. Beliau akan datang nanti malam kalau tidak mundur dari jadwal. Perjalanan bisnis beliau tidak bisa ditentukan begitu saja. Kadang beliau akan mengubah jadwal di tengah perjalanan atau menambahnya."

"Kalau dia khawatir denganku, kenapa dia tidak pernah menanyakan kabarku?"

"Kata siapa? Saya selalu berkabar dengan beliau tentang keadaan Anda." Kedua bahu Vania agak terangkat.

Alis Arika mengerut. Bibir bawah dan atasnya agak berjarak. "Aneh. Kalau dia memang khawatir seharusnya sebagai lelaki yang baik dia menghubungiku langsung. Pecundang!"

Kepala Vania menggeleng. "Beliau hanya takut kalau Anda tidak bisa menerima beliau lagi dalam waktu dekat. Maka dari itu beliau memberikan Anda waktu untuk beradaptasi dengan suasana mansion ini juga orang-orang yang ada di dalamnya."

"Aku bahkan merasa lebih jago untuk jadi seperti dirimu dan merangkap menjadi ketua pelayan daripada jadi Nyonya di rumah ini. Aneh, yang mau menjadikanku nyonya siapa. Yang meninggalkanku juga siapa. Ternyata orang kaya seaneh itu pemikirannya." Arika mendumel dengan nada yang tidak dia pelankan sama sekali.

Ketahuilah bahwa para pelayan yang ada di jarak beberapa meter dari mereka bisa mendengarkan semua keluhan Arika. Mereka malah cekikikan karena gemas.

"Ya, dan Anda harus menyesuaikan diri dengan hal itu, Nyonya."

"Aakhh!"

Vania terkekeh. Wajak Arika terlihat muak sekali dengan semua ini. "Setidaknya hidup Anda jadi terjamin di sini, Nyonya. Pengamanan ketat, semua fasilitas lengkap dan Anda bisa mengatur semua itu."

"Padahal aku tidak bercita-cita menikah dengan gaya seperti ini." Arika menumpuk kedua telapak tangannya di atas meja dan menjadikannya alas untuk dagunya. "Aku sudah terbiasa melihat kebiasaan orang-orang kaya yang menjadi klienku. Dan aku tidak pernah mempunyai pikiran untuk menjadi seperti mereka. Repot."

"Lalu Anda ingin yang bagaimana?"

"Well, aku ingin berkecukupan dan tidak terlalu waw seperti ini. Buat apa kalau bergelimang harta tapi bertemu saja jarang. Berbicara pun rasanya enggak nyambung. Aneh. Semua ini aneh."

"Meski orang yang Anda nikahi masuk dalam kriteria lelaki yang Anda inginkan?"

"Apa?" Arika memutar bola matanya sambil terkekeh mengejek. "Pandu? Orang yang aku inginkan? Mimpi."

"Baiklah. Apakah ini mimpi?" Tanpa aba-aba, Vania mencubit kelingking Arika.

"Auw!" Arika menegakkan badannya. "Aku tahu ini bukan mimpi. Tapi setidaknya yang realistis sedikit gitu. Masa tiba-tiba aku sudah menikah? Padahal aku ingin merasakan bagaimana fitting baju pengantin."

Vania terkekeh. "Akan saya catat."

Arika mengabaikan ucapam Vania barusan. Dia tenggelam dalam pikiran sejenaknya. Kemudian matanya sedikit menyala dengan percikan api penasaran. "Pandu itu seperti apa? Memang sedingin itu?"

"Beliau yang mengobati luka di kaki Anda, kan, Nyonya? Bukankah itu perlakuan hangat?"

Arika tidak menjawab. Dia menggigit pipinya bagian dalam. "Baiklah kalau begitu. Ceritakan tentang Pandu kepadaku. Keluarga atau apanyalah yang bisa diceritakan. Asalkan kamu jujur."

Vania mengangguk dengan kedua ujung bibirnya yang turun. "Baiklah. Yang pertama adalah beliau tidak mempunyai cerita hidup sesempurna itu. Yang kedua karena itulah beliau membutuhkan wanita seperti Anda untuk tetap berada di sampingnya dalam suka dan duka. Menikahi Anda adalah pilihan paling tepat yang pernah beliau ambil selama hidupnya."

Diam-diam Arika merasakan ada desiran halus dalam dadanya. Apakah kehadirannya seberarti itu? Ini pertanda baik untuk hidupnya ke depan, kan?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • We Are Not Lovers   Lelaki Yang Mempunyai Dua Sisi

    Pandu memandang hidangan yang ada di atas meja di hadapannya. Hanya ada satu piring dengan menu pakai sejumput nasi. Sisanya ada bergelas-gelas smoothie. Dia menatap tak percaya ke arah Arika. Gadis itu masih memasang muka betenya. "Wah, ternyata kayak gini caranya kamu ngabisin duit? Kurang enggak, sih?" Pandu mencoba untuk membuka pembicaraan dengan Arika setelah semua pergi dan meninggalkan dirinya dengan gadis itu di balkon. Masalahnya, meski sedang berada di ruangan terbuka, atmosfer sekitar mereka seperti di ruangan pengap tanpa jendela. "Kalau kamu cuma mau mengejekku, mendingan kamu lompat aja lewat pagar itu." Arika menyuap nasinya dan tidak memedulikan ucapan Pandu. Dia anggap saja lelaki itu tidak ada. "Enggak ada kata makasih atau semacamnya, nih?" Pandu masih mencari bahan untuk bisa berbicara dengan leluasa bersama Arika. Sungguh setelah cekcok di ruang baru mereka tadi dan aksi sok tangguh Pandu, rasanya ketika bersama seperti ini adalah berada dalam selimut cang

  • We Are Not Lovers   Saudara atau Hama?

    "Seharusnya kamu bela aku sebagai wanita yang harus dilindungi saat dilecehkan seperti itu." Arika berhadapan dengan Dimas yang tadinya berdiri di lorong. Dimas diam. Percuma saja kalau dia menjawab. Jawabannya pasti salah semua dan dia mendapatkan nilai minus karena nol nilainya lebih besar untuk ukuran seorang wanita yang sedang marah. Dia harus banyak bersabar menghadapi keluarga ini. Bagaimanapun sumber uangnya juga dari mereka. "Aku mau ruangan di pojok sana. Kalau Pandu tidak setuju, bilang saja ke dia kalau bukan aku yang menempatkan diriku sendiri di posisi ini." Arika langsung pergi setelah mengatakan hal itu dengan tegas dan tanpa ada jeda. Dimas hanya mengangguk paham. Tak selang beberapa detik, Pandu keluar dari balik pintu ruangan luas itu. Dimas mengangkat kedua alisnya kepada tuannya. "Anda pasti dengar apa yang barusan diucapkan oleh Nyonya Arika, kan?" Pandu mengangguk. "Lakukan apa yang dia mau. Kasihan juga dari tadi dia harus marah-marah." "Itu juga karen

  • We Are Not Lovers   Drama Ruangan Baru

    Arika meninggalkan ruangan Johan dengan hati yang tidak sepenuhnya bisa menerima apa yang baru saja dikatakan oleh bosnya. Bahkan dia malah jadi dongkol sekali. Hatinya sudah seperti sekerat daging yang sedang dipanggang di atas kayu menyala. Panas. "Kenapa kamu nurut aja, sih, sama si Pandu?" tanya Arika yang sudah kelewat kesal. "Ah, kamu kuasa hukumnya dan emang udah kerjaan kamu buat melaksanakan apa yang Pandu mau. Oke. Aku yang kurang tanggap." Dimas yang tadinya akan menjawab dengan jawaban senada pun akhirnya menutup mulutnya kembali. Arika sudah menjawab sendiri pertanyaan yang dilontarkannya. Sungguh berjalan di belakang Arika sekarang terasa lebih menyeramkan ketimbang saat berjalan mengawal Pandu. Bahkan Dimas harus menarik napas sedikit dalam berkali-kali. Langkah Arika begitu cepat dan derap kaki gadis itu seakan bisa menghancurkan marmer di bawahnya. Dimas menekan tombol lift untuk membuka pintunya. Kemudian dia memosisikan diri lagi di belakang Arika. "Lama ba

  • We Are Not Lovers   Sisi Yang Tak Diketahui Oleh Arika

    Nyatanya, Tuhan tidak membiarkan manusia untuk tahu segalanya. Bukan menjadikan sebuah ketidaktahuan sebagai alasan untuk dicela. Akan tetapi, terkadang lebih baik tidak tahu daripada tahu segalanya dan tak bisa sembuh dari luka. Ilmu terbatas juga sebuah anugerah, sama seperti ketika manusia bisa dan lekat dengan kata 'lupa'. Arika membuka pintu ruang kerja Johan dengan sangat hati-hati. Tubuhnya bahkan menunduk sedikit sarat akan segan dan tak mau ambil resiko. Sejenak, dia menilik ke seluruh ruangan dengan desain elegan yang dominan hitam putih itu, memastikan bahwa tidak ada alasan untuk takut dipanggil bosnya itu. "Oh, hai Arika!" Seruan Johan malah membuat gadis yang seperti kelinci ketakutan itu terlonjak. Suara bariton Johan dan tubuh tegapnya mendekati gadis itu dengan langkah yang sangat teratur. Sangat persis sekali dengan perawakan Tom Lembong tapi ini versi yang tidak lembut. "Apa kabar?" tanyanya lagi, membuat si gadis menggigit bibir bawahnya. "Bapak ada perlu apa, y

  • We Are Not Lovers   Masa Lalu Yang Melekat

    Waktu yang berjalan mengiringi kehidupan manusia selalu memberikan kesan yang berbeda-beda dari satu masa ke masa. Kenangan indah atau kenangan yang tidak pernah diinginkan pun akan hadir untuk mengisi perjalanan usia. Tinggal manusia saja yang perlu menentukan arah; mau meninggalkannya di waktu dia mendapatkannya atau terus membawanya sampai tumbuh dewasa? Arika mengembuskan napas dalam dan duduk lagi di kubikel miliknya. Berjarak dua kubikel ke kanan, Fatina sedang mencuri-curi kesempatan untuk berbicara kepada sahabatnya. Akan tetapi, nihil adanya karena Arika kembali serius dengan laptop dan kerjaannya. Sepertinya kesempatan untuk ngerumpi harus ditunda dulu sampai waktu istirahat tiba. Untungnya tinggal tiga jam. Gawai Arika berdering saat dia hendak memindahkan file yang ada di benda itu ke laptop. Sengaja dia tidak mengunggahnya ke penyimpanan awan agar tidak gagal muat kalau internet sedang tidak mendukung. Terkesan sedikit ribet namun dia lebih menyukai cara klasik nan me

  • We Are Not Lovers   Bosnya Bos

    Kejutan di hidup bisa saja membuatmu bahagia. Tapi tak satu juga yang mendapatkan kejutan yang lebih menyusahkan. Tergantung dari sudut pandang mana kamu melihatnya. Arika sibuk dengan pekerjaan yang menumpuk di kubikelnya. Sudah hampir sebulan pekerjaan itu tidak disentuh olehnya sama sekali. Sungguh keterlaluan nasib di dunia ini. Bukan hanya dia yang terlahir jablay ternyata pekerjaannya pun juga. Ah, lebih tepatnya dia bukan jablay, tapi jomlo. Lalu Pandu? Seperti yang dia katakan kepada Fatina, dia masih tidak percaya dengan pernikahan mereka. Di kepalanya, semua itu tidak masuk akal. Sudahlah, dia harus serius lagi mengerjakan tumpukan kertas dan file yang ada di foldernya. Tidak lama setelah itu, dia baru saja menyelesaikan tiga pekerjaan utama untuk memindah ilustrasi yang diminta para klien ke dalam galeri bersama. Masih ada pekerjaan yang lain yang membutuhkan tenaga dan konsentrasinya. Akan tetapi hari tenang pasti sudah dihapuskan dari kalender hidupnya. Dengan la

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status