Home / Romansa / We Are Not Lovers / We Are Not Lovers

Share

We Are Not Lovers

Author: Lily Arriva
last update Last Updated: 2025-05-15 07:05:13

Semua di dunia ini bisa dibuat dengan teknologi. Akan tetapi secanggih apapun teknologi yang dibuat oleh manusia di bumi ini, tidak akan ada yang bisa membuat apalagi membohongi hati nurani.

Arika menatap gawai Dimas dengan tatapan kosong setelah melihat dirinya benar-benar ada di video akad nikah tersebut. "Tidak mungkin. Semua ini cuma rekayasa."

"Terserah kamu mau percaya atau tidak. Semua bukti sudah ada di depan kamu." Pandu berdiri dari duduknya. "Aku banyak kerjaan. Kalau mau tanya-tanya, tanya aja ke dia." Dia menunjuk ke arah Dimas.

Arika menoleh ke lelaki yang diperkenalkan sebagai kuasa hukum keluarga ini tadi. Wajah gadis itu penuh dengan kebingungan dan sorot matanya penuh dengan kesedihan.

"Saya akan bersedia membantu." Dimas menunduk dengan telapak tangan yang diletakkan di atas dada.

Pandu pergi begitu saja. Di wajahnya, Arika melihat guratan kepedulian yang diperlihatkan lelaki itu di awal hilang. Hal itu membuat Arika sedikit terhenyak dadanya, terlalu cepat untuk melihat orang berubah menjadi sangat dingin, seolah tidak perna peduli.

Arika melihat telapak kakinya yang masih terluka. Baru saja lelaki yang menutup pintu itu mengusap dan mengoleskan salep luka untuknya. Kini, dia ditinggalkan begitu saja dengan alasan sibuk.

"Pak Pandu memang begitu. Anda harus terbiasa dengan sikapnya yang gampang sok akrab dan gampang berubah." Dimas seakan bisa membaca apa yang ada di pikiran Arika.

Arika tidak peduli. Dia menarik kakinya untuk melihat luka akibat kecerobohannya sendiri. Dia menatap luka itu sejenak tapi yang terasa sakit adalah hatinya. Perlahan dia menitikkan air mata.

"Ah, maaf. Apakah saya membuat Anda tidak nyaman?" Dimas segera membawakan kotak tisu untuk Arika.

Arika menggeleng. "Semuanya terasa aneh. Aku dibilang sudah menikah padahal aku tidak ingat apa-apa. Lagi pula, aku dan orang itu tidak saling mencintai. Bukankah pernikahan harusnya berdasarkan oleh cinta?"

Dimas diam. Apa yang dikatakan gadis itu benar adanya. Tapi, apa yang sudah terjadi juga tidak bisa dibatalkan semudah itu. "Mungkin Anda bisa mendekati Pak Pandu dan membiasakan diri untuk berada di lingkungan ini terlebih dahulu."

Arika menghela napas panjang. "Mau tidak mau harus begitu, kan?"

Seseorang mengetuk pintu kamar Arika. "Nyonya, Tuan Pandu menyuruh saya untuk mengirim ulang sarapan Anda."

Arika melihat ke arah Dimas, berisyarat serta bertanya apa yang harus dia lakukan. Dimas hanya menjawab dengan anggukan.

"Silakan masuk," ucap Arika.

Dimas tersenyum maklum. "Tidak pakai 'silakan' sepertinya lebih cocok."

Arika tercerahkan. Dia mengangguk paham.

Wanita yang sama, masuk dengan membawa nampan yang berisikan menu yang sama pula. "Semoga Anda suka dengan masakan ini ketika mencicipinya, Nyonya. Jika ada sesuatu yang Anda inginkan, silakan sampaikan ke saya."

Arika melirik ke arah Dimas sejenak, bertanya lagi. Dimas hanya mengangguk. "Iya. Terima kasih."

"Saya berpamit dulu. Selamat makan, Nyonya."

Arika hanya tersenyum.

Pintu kamar ditutup. Dimas memberikan dua jempol kepada Arika.

"Sebelum sarapan, apakah ada sesuatu yang akan Anda tanyakan ke saya?" tanya Dimas menawarkan jasa.

Arika terdiam sejenak. Ada banyak pertanyaan di kepalanya tapi dia tidak tahu harus menanyakan yang mana dulu. "Apakah kamu sibuk hari ini?" tanyanya polos dengan nada santai.

Dimas agak kaget dengan pertanyaan itu. "Ada beberapa jadwal yang harus saya lakukan hari ini. Masih ada waktu untuk memulai jadwal kedua saya."

"Jadwal pertamamu apa?"

"Ke rumah ini."

Bibir Arika mengerucut, membentuk huruf O. "Jadwal kedua? Jam berapa?"

Dimas melihat ke arah jam tangannya. "Masih sekitar setengah jam lagi."

Arika mengangguk. "Kalau aku memintamu untuk menemaniku sarapan, apa kamu keberatan?"

Dimas tertegun. Dia tidak salah dengar, kan?

"Bisa tidak?" tanya Arika kembali.

Dimas bingung harus bagaimana. Tetiba saja dia membeku. Dengan agak gagap dia mengangguk. "Ah, iya. Bisa."

"Duduklah di sana. Aku tidak akan mengganggumu juga. Aku hanya butuh teman."

Arika memosisikan dirinya di atas kasur dan sedikit menempelkan punggungnya di papan kepala kasur. Dia mengambil nampan dan meletakkannya di atas paha.

Melihat itu, Dimas segera bangkit. Dia mengangkat kembali nampan tersebut dan membenarkan cara pemakaiannya. "Nampan ini bisa jadi meja kecil, Nyonya." Dia menegakkan kaki nampan yang terlipat ke dalam hingga menjadi meja seperti yang dia katakan. Lalu dia memosisikan dua kaki meja itu di sisi luar paha Arika. "Selamat makan."

Diperlakukan seperti itu, Arika terdiam. Hatinya menghangat. Di tempat seasing ini dia masih mendapatkan perlakuan baik dari orang yang baru dikenalnya.

"Terima kasih," ucapnya lirih lalu menyendok sarapannya.

Di ruangan lain, Pandu melihat interaksi antara Dimas dan Arika yang terlihat sudah akrab itu dari layar CCTV kantor rumahnya. Bahkan mereka berdua kadang terlihat sedang berbicara santai. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya yang membuat jemari tangannya terkepal di atas meja.

Ah, apakah dia harus merasakan sesuatu yang aneh ini dalam hatinya? Padahal dia sendiri yang menyuruh Dimas untuk meladeni pertanyaan Arika.

Pandu pun memalingkan wajahnya ke berkas-berkas yang ada di hadapannya dan menyibukkan diri dengan pekerjaannya. Dia ingin tidak menggubris Arika dan Dimas di sana.

Namun, tiba-tiba saja dia berdiri dan melangkah ke kamar Arika. Dia membuka pintu dan menyembulkan diri di sana. "Kalau sudah selesai, kamu bisa balik ke kantor, Dimas."

Dimas dan Arika yang sedang berbicara jadi diam sambil melihat ke arah pintu. Mereka agak kaget dengan kehadiran Pandu yang tiba-tiba.

"Iya, Tuan." Dimas dengan patuh langsung berdiri, mengerti maksud tuannya yang sedikit mengusirnya.

Arika meraih tangan Dimas sambil mendongakkan wajahnya. "Tidak bisakah dia di sini sebentar. Masih ada sesuatu yang harus kutanyakan. Aku belum selesai."

Pandu merapatkan rahangnya. Genggaman tangannya di gagang pintu juga semakin menguat. Dia menatap Dimas dengan tajam dan membuat lelaki itu tak berkutik di tempatnya.

"Dia juga punya pekerjaan di kantor dan itu lebih penting daripada menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ada di kepalamu. Kalau kamu mau tanya, tanyakan saja kepadaku. Aku ada di kantor rumah."

Arika melepas tangannya dari Dimas. Dimas merasa lega karena tatapan mata Pandu tidak lagi mau mengirisnya. "Baiklah. Katanya kamu juga ada banyak jadwal tadi. Maaf, ya, sudah menahanmu di sini."

Dimas mengangguk sambil menahan napas. Tuannya yang ada di ambang pintu itu pasti sudah mengoyaknya kalau mereka sedang berdua saja. "Iya. Tak apa, Nyonya. Saya pamit kembali dulu ke kantor. Semoga luka Anda cepat sembuh dan bisa kembali bekerja."

"Siapa bilang dia boleh bekerja?" tanya Pandu dengan nada menusuk.

Mata Arika dan Dimas membulat.

"Tunggu, kenapa aku tidak boleh bekerja?" tanya Arika tak terima.

"Sudah jadi keputusanku. Tak ada yang bisa ganggu." Pandu hendak menutup pintu kamar Arika.

"Hei! Tunggu! Sepertinya kita perlu bicara tentang ini!" teriak Arika.

Pandu tak menggubris dan menutup pintu. Dia tersenyum kecil. Apakah rencananya akan berhasil?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • We Are Not Lovers   Sisi Yang Tak Diketahui Oleh Arika

    Nyatanya, Tuhan tidak membiarkan manusia untuk tahu segalanya. Bukan menjadikan sebuah ketidaktahuan sebagai alasan untuk dicela. Akan tetapi, terkadang lebih baik tidak tahu daripada tahu segalanya dan tak bisa sembuh dari luka. Ilmu terbatas juga sebuah anugerah, sama seperti ketika manusia bisa dan lekat dengan kata 'lupa'. Arika membuka pintu ruang kerja Johan dengan sangat hati-hati. Tubuhnya bahkan menunduk sedikit sarat akan segan dan tak mau ambil resiko. Sejenak, dia menilik ke seluruh ruangan dengan desain elegan yang dominan hitam putih itu, memastikan bahwa tidak ada alasan untuk takut dipanggil bosnya itu. "Oh, hai Arika!" Seruan Johan malah membuat gadis yang seperti kelinci ketakutan itu terlonjak. Suara bariton Johan dan tubuh tegapnya mendekati gadis itu dengan langkah yang sangat teratur. Sangat persis sekali dengan perawakan Tom Lembong tapi ini versi yang tidak lembut. "Apa kabar?" tanyanya lagi, membuat si gadis menggigit bibir bawahnya. "Bapak ada perlu apa, y

  • We Are Not Lovers   Masa Lalu Yang Melekat

    Waktu yang berjalan mengiringi kehidupan manusia selalu memberikan kesan yang berbeda-beda dari satu masa ke masa. Kenangan indah atau kenangan yang tidak pernah diinginkan pun akan hadir untuk mengisi perjalanan usia. Tinggal manusia saja yang perlu menentukan arah; mau meninggalkannya di waktu dia mendapatkannya atau terus membawanya sampai tumbuh dewasa? Arika mengembuskan napas dalam dan duduk lagi di kubikel miliknya. Berjarak dua kubikel ke kanan, Fatina sedang mencuri-curi kesempatan untuk berbicara kepada sahabatnya. Akan tetapi, nihil adanya karena Arika kembali serius dengan laptop dan kerjaannya. Sepertinya kesempatan untuk ngerumpi harus ditunda dulu sampai waktu istirahat tiba. Untungnya tinggal tiga jam. Gawai Arika berdering saat dia hendak memindahkan file yang ada di benda itu ke laptop. Sengaja dia tidak mengunggahnya ke penyimpanan awan agar tidak gagal muat kalau internet sedang tidak mendukung. Terkesan sedikit ribet namun dia lebih menyukai cara klasik nan me

  • We Are Not Lovers   Bosnya Bos

    Kejutan di hidup bisa saja membuatmu bahagia. Tapi tak satu juga yang mendapatkan kejutan yang lebih menyusahkan. Tergantung dari sudut pandang mana kamu melihatnya. Arika sibuk dengan pekerjaan yang menumpuk di kubikelnya. Sudah hampir sebulan pekerjaan itu tidak disentuh olehnya sama sekali. Sungguh keterlaluan nasib di dunia ini. Bukan hanya dia yang terlahir jablay ternyata pekerjaannya pun juga. Ah, lebih tepatnya dia bukan jablay, tapi jomlo. Lalu Pandu? Seperti yang dia katakan kepada Fatina, dia masih tidak percaya dengan pernikahan mereka. Di kepalanya, semua itu tidak masuk akal. Sudahlah, dia harus serius lagi mengerjakan tumpukan kertas dan file yang ada di foldernya. Tidak lama setelah itu, dia baru saja menyelesaikan tiga pekerjaan utama untuk memindah ilustrasi yang diminta para klien ke dalam galeri bersama. Masih ada pekerjaan yang lain yang membutuhkan tenaga dan konsentrasinya. Akan tetapi hari tenang pasti sudah dihapuskan dari kalender hidupnya. Dengan la

  • We Are Not Lovers   Kehidupan Yang Memuakkan Tapi Dirindukan

    Terlalu lama berapa pada pusaran waktu dengan orang-orang yang sama kadang membosankan. Akan tetapi manusia selalu mempunyai rasa rindu jika sudah keluar darinya. Yang parah, jika mereka malah tenggelam dan tak bisa menyelamatkan diri dari hal tersebut. Arika memasuki lantai tiga, tempat dia bekerja dahulu. Dia berjalan di antara kubikel yang berjajar. Tidak seperti perkantoran biasa yang memiliki kubikel sempit, kantornya menyediakan kubikel yang cukup leluasa dan nyaman. "Arika?" Seseorang memanggil namanya. Arika pun menoleh dan mendapati Fatina yang berdiri di depan pintu ruang rapat. Segera, mereka berdua saling menghampiri. "Kangen banget." Arika memeluk Fatina dengan erat. Begitu juga dengan Fatina yang membalas pelukan itu dengan tak kalah eratnya. Melepas rindu memang momen yang membahagiakan serta mengharukan. "Gila. Kenapa lo enggak nelepon gue sih?" tanya Fatina dengan nada jengkel. Dia sedikit menggeplak pundak temannya. Namun seketika dia membelalak dan menark ta

  • We Are Not Lovers   Kembali Masuk Kerja

    Manusia sering menganggap remeh sesuatu yang telah dimilikinya. Mereka berpikir bahwa hal itu tidak akan bisa lenyap dari genggaman tangan. Namun bukan begitu cara semesta bekerja. Maka dari itu kita mengenal kata sakral yang sangat menyakitkan yang bernama kehilangan. Arika hanya diam saat para pelayan mendatanginya untuk menawarkan tempat duduk. Dia kesal. Duduk di atas anak tangga teras begini saja dijadikan masalah. Padahal dia belum merasa memiliki semua ini seutuhnya. Ya, sama dengan keraguannya tentang pernikahan mereka. Semua terdengar seperti dongeng. Para pelayan itu menjauh saat Pandu keluar dan menghentikan langkahnya di sebelah Arika. "Berdirilah. Kamu enggak mau, kan, terlihat seperti gembel dengan baju mahal begitu?" Arika tidak menjawab dan tetap duduk. Malas sekali memerespons ucapan lelaki yang sok berkuasa. Kalau bukan karena kepentingan perjanjian pasca nikah itu, mungkin dia sudah kabur saja dari rumah ini. "Arika, jaga sikapmu. Banyak pelayan yang melihat

  • We Are Not Lovers   Sarapan Bersama Pandu

    Kadang jebakan dalam hidup tidak hanya untuk menjatuhkanmu. Akan tetapi terkadang ia juga menyelamatkanmu dari jebakan yang lebih mematikan. Arika sudah rapi dengan setelan kantoran semi kasualnya. Dia sudah memakai riadan tipis dan wajahnya terlihat sangat segar pagi ini. Akan tetapi pikirannya masih saja berputar pada ucapan Pandu kemarin malam bahwa mereka akan berangkat bersama.Gadis itu melihat wajahnya di cermin. Dia sendiri saja masih ragu dengan hubungannya bersama Pandu. Dia sengaja tidak mempermasalahkan pernikahan mereka lagi hanya karena menghindari konflik. Selagi dia dibiarkan berada di kamar sendiri dan privasinya terjaga dengan baik, dia tidak akan protes. Toh selama ini Pandu tidak menjamahnya. Dugaannya semakin kuat bahwa mereka hanya sedang bersandirwara menjadi sepasang suami istri.Namun, selagi semua yang dia dapatkan bisa menguntungkan dirinya, bersandiwara pun tidak jadi masalah. Dia malah akan melayani dengan senang hati, mau sampai mana Pandu membawa sandiw

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status