“Kami hanya menyukai Revan,” sahut mereka seolah mengerti tatapan bingung Diana.
Diana terdiam.
Pengemar yang sangat setia, batin Diana mendengus dalam hati. Memangnya kesetiaan mereka itu memberikan keuntungan?
“Oh, jadi begitu. Apa kalian ingin mendekati temanku Revan?” tanya Diana menekankan suaranya pada kata ‘temanku’.
“Ikuti aku, aku bisa mempertemukan kalian dengannya,” lanjut Diana hendak berjalan melewati mereka tapi ternyata ia dihalangi.
Mereka mencegah Diana pergi.
“Kami hanya mau bicara denganmu,” kata mereka sembari memojokkan Diana.
“Oh, begitu ya. Jadi apa yang ingin kalian bicarakan?” tanya
“Aku mengerti itu. Tapi aku akan berhati-hati dan seperti yang aku katakan sebelumnya, aku akan membela diri jika keadaan benar-benar darurat. Mungkin saja bela diri lebih banyak manfaatnya asal dipakai dengan bijak. Jadi, apa kau mau mengajariku?” tanya Diana penuh harap. “Apa kau pikir berkelahi itu butuh pelajaran?” tanya Revan membuat Diana seolah tersadar akan sesuatu. Diana mengerutkan keningnya. “Benar juga. Jadi kau hanya melakukannya begitu saja? Apa tidak ada teknik apa-apa saat berkelahi?” tanya Diana penasaran. “Tentu saja tidak jika hanya asal pukul seperti preman jalanan tanpa ilmu beladiri. Tapi kalau berkelahi dengan salah satu beladiri seperti karate atau petinju itu butuh pelajaran. Kau tidak akan menang jika berkelahi dengan asal-asalan, kan.” Revan menyeringai. “Kalau begitu untuk apa bertanya padaku?” Diana menyipitkan mat
“Kau sadar tidak? Dulu kau tidak akan mendekati perempuan satupun dan selalu sendirian,” lanjut Diana sembari memandang Michael.Ternyata Diana tidak membicarakan sifat Michael yang menjadi pendiam sejak Michael memukul Diana. Tapi Diana bertanya ternyata sedang mengungkit masa lalu Michael. Saat Michael masih sekolah menengah di tempat yang sama dengan Diana. Mereka pernah satu sekolah sebelumnya. Dulu Diana tahu jika Michael tidak suka didekati perempuan sama seperti Revan saat ini.Michael yang tahu apa yang dimaksud Diana berkata, “Mungkin memang benar. Kalau kau penasaran aku tidak bisa memberikan jawabannya."Michael mengangkat bahunya santai."Sebenarnya aku juga tidak tahu. Sepertinya aku menjadi seperti ini karena punya teman yang aneh,” kata Michael tak keberatan menjawab.
“Kalian sudah melakukan banyak tugas tapi mau membantuku lagi. Aku jadi merasa bersalah membuat," ucap Diana pada Revan dan Kevin, hanya mereka berdua karena Michael sudah asyik atau sibuk dengan para penggemarnya setelah presentasi.“Hanya kebetulan aku menguasai bagian materi yang tadi," balas Kevin menggaruk kepalanya yang tidak gatal.“Yah, iya sih. Kau tidak mungkin berani jika kau tidak tahu. Tapi kau tetap saja membantu. Jangan lupa saat aku sempat bingung karena tindakanmu dan Michael yang tiba-tiba. Untung Revan berhasil menanganinya.” Diana melirik Revan.“Hahaha, Dia memang bisa diandalkan.” Kevin tertawa sambil memukul pelan bahu Revan beberapa kali.Diana sadar Kevin memuji Revan dan ia hanya tersenyummelihat keakraban mereka.“Bagaimana dengan rencana kal
Diana berkedip sekali. Lalu ia bisa melihat kedua tangannya tengah digenggam oleh dua sosok berbeda di samping kanan dan kirinya.Kepalanya terangkat untuk melihat tangan siapa yang menggenggamnya. Bibir Diana melengkung saat melihat siapa sosok yang memegang tangannya."Ayah, Ibu, kita mau kemana?" tanya Diana dengan antusias.Matanya menampakkan kebahagiaan yang menyilaukan.Orang yang dipanggil ayah dan ibu itu hanya tersenyum pada Diana tanpa menjawab.Perlahan keduanya melepaskan tangan mereka dari tangan Diana. Diana terdiam dengan kebingungan yang jelas."Ada apa, ibu? Ayah?" tanya Diana.Bukannya menjawab, kedua sosok itu memalingkan wajah dan menghadap ke depan.Mereka mulai melangkah dari samping Diana. Diana melebarkan matanya dan rasa takut tiba-tiba mencengkeram dadanya saat meli
Kevin berlari mendekati Revan yang sedang berjalan di halaman sekolah."Hei! Kita jadi ke rumahmu hari ini 'kan?" tanya Kevin mendadak pada Revan.Revan hanya melirik dari sudut matanya dan menjawab dengan gumaman."Hm."Saat ini mereka berdua sedang berjalan melewati lapangan basket sekolah menuju kelas.Saat mereka masuk ke dalam kelas, mereka menemukan Diana sedang tertidur di antara murid di kelas.Diana tidur dengan tangan yang menyembunyikan kepalanya di atas meja. Ia ternyata bisa tidur di tengah berisiknya murid dalam kelas yang asyik mengobrol.Kevin dengan semangat tinggi mendekati meja Diana dan menggoyangkan bahunya agar terbangun.Revan hanya melihat tingkah temannya itu dan tidak melakukan apa pun.Diana mengangkat kepal
Pada malam harinya, Diana dan David duduk menghadap dokter psikiater yang sebelumnya menangani Diana.“Kabar baik untuk kalian,” kata dokter.Diana dan David berpandangan lalu kembali menghadap ke depan lagi pada sang dokter.“Tentang penyembuhan untuk Diana...” David dan Diana saling memandang lagi, menunggu lanjutan kalimat dari orang dihadapan mereka.“Aku sudah bisa menjamin untuk menyembuhkan Diana,” lanjut sang dokter.“Benarkah?” mata David berbinar.Sang dokter mengangguk, “Aku sudah melihat peluangnya dan bagaimana caranya. Diana bisa sembuh dengan tetap datang teratur ke sini lalu melakukan terapi, aku sudah menentukan terapi yang digunakan."David tersenyum lega sembari menggenggam tangan adiknya."Karena Diana hanya bisa datang seminggu se
“Kita akan mulai dengan memisahkan dulu siapa yang sudah jadi peserta dan siapa yang tidak,” sahut ketua kelas.Murid di kelas segera saja membagi wilayah kelas menjadi dua, deretan kursi sebelah kanan dan kiri.Sebelah kanan bagi yang sudah ikut jadi perwakilan untuk lomba dan sebelah kiri untuk murid yang tidak ikut.Kemudian dimulailah pemilihan untuk lomba yang belum ada pesertanya.Diana santai saja karena ia percaya diri tidak akan terpilih. Entah dari mana kepercayaan diri itu.Tapi ia merasa teman dikelasnya tidak akan menunjukknya karena mereka tidak dekat dengannya dan kurang tahu apa yang bisa dia lakukan.Kecuali Diana bisa menjadi peserta lomba cerdas cermat mewakili kelasnya. Tapi lomba itu tidak ada sehingga Diana tidak perlu berpartisipasi dalam ulang tahun sekolah.“Lomba yang pertama adalah lomba pertunjukan alat musik. Belum ada yang percaya diri untuk mendaftarkan dir
Tiba-tiba Michael datang menghampiri Diana.“Selamat, ya," ucap Michael sambil tersenyum.“Selamat? Aku sedang mendapat masalah bukannya hadiah,” kata Diana membalas sembari menggeleng-gelengkan kepalanya frustrasi.“Kenapa bukan kau saja yang terpilih? Kau 'kan banyak penggemarnya," kata Diana mengoceh tidak jelas karena panik.“Tapi aku tidak menguasai alat musik satupun.” Michael membalas.“Lagi pula sangat tidak mungkin. Kau pasti tahu aturannya 'kan? Aku sudah ikut lomba lari jarak dekat mewakili kelas,” balas Michael.“Bagaimana mungkin ini bisa terjadi?” tanya Diana masih frustasi.“Kenapa? Apa kau tidak percaya diri?” tanya Michael.“Itu sudah jelas, kan. Aku hanya bisa mempermalukan diri sendiri. Belum lagi mereka akan menyalahkanku karena sudah mempermalukan kelas.” Diana menghela napas.Diana lalu mengangkat kedua t