Satu-satunya kesalahan yang telah dibuat oleh Azura di dalam hidupnya kemarin, yaitu menandatangani kontrak kerja dengan Hansa tanpa membaca lebih dahulu.
Ucapan selamat dari Gauri benar-benar tidak membantu dirinya sama sekali. Sahabatnya itu jelas sangat senang melihat dia menderita karena pekerjaan barunya.
Tidak ada jalan keluar maupun kembali bagi Azura sekarang. Dia harus bekerja dengan Hansa sebagai asisten dosennya itu, entah itu jadi babysitter anaknya atau asisten Hansa di kampus.
"Aisssh, ini membuatku gila," rutuk Azura yang mengacak rambutnya ketika dia menatap cermin di kamarnya.
Bagaimana dia bisa menjaga anak-anak Hansa yang jumlahnya cukup banyak. Tiga bayi laki-laki kecil yang dilihatnya kemarin sudah cukup membuat Azura bisa membayangkan masa depannya kelak.
Akan ada banyak tangisan rewel bayi kecil yang harus dia hibur dan dijaga. Terlebih, dosennya itu ternyata sudah mempunyai istri yang lumayan cantik. Sangat mengherankan bagi Azura, kenapa Hansa merahasiakan status pernikahannya dan juga melihat hubungan keduanya membuat Azura sedikit yakin jika Hansa sepertinya terpaksa menikahi gadis cantik berlipstik merah kemarin.
"Apa mereka adalah pasangan yang dijodohkan?" Azura mulai bermonolog di depan kaca.
Lalu menyadari pertanyaan bodohnya itu Azura segera menggelengkan kepalanya. "Tidak mungkin." Dia tertawa renyah dan mengibaskan telapak tangannya.
"Walaupun mereka terlihat seperti bukan pasangan yang saling mengubar cinta di depan orang lain. Tidak mungkin mereka bisa punya tiga anak, Azura kau tidak boleh berpikiran buruk. Sekarang, kau harus fokus pada pekerjaanmu. Ini tidak akan lama," katanya meyakinkan dirinya sendiri untuk selalu berpikiran positif.
Sampai ketika dia selesai bercermin dan berpikir jika dirinya sudah memakai pakaian sopan. Azura akan memulai hari pertamanya bekerja dengan Hansa.
Berharap, nasib baik selalu bersamanya.
***
"Jadi, kau mau ke mana hari ini?" Oliver menatap kakaknya yang kini sedang menyemprotkan parfum ke bajunya.
Hansa enggan menjawab pertanyaan adik tirinya itu. Dia tidak mengerti kenapa adiknya tersebut selalu suka berada di sekitar dirinya.
"Apa aku boleh ikut?" tanya Oliver lagi penuh harap yang kali ini mendapat tatapan tajam dari Hansa.
"Tidak, pengganggu tidak boleh ikut," jawab Hansa membuat Oliver menghentakkan kakinya.
Gadis itu berdiri di belakang Hansa yang saat ini berdiri di depan cermin.
"Aah... kau takut aku mengganggu kencanmu dengan asisten barumu itu ya, hm?"
Hansa menatap cermin yang memantulkan entitas adik menyebalkannya itu. "Bukan kencan, jadi berhentilah bicara sebelum aku mengusirmu," ucap Hansa yang kali ini berbalik menghadap adiknya.
Oliver memainkan kuku jari tangannya yang sudah terpoles cat kuku merah.
"Kau sangat tidak seru kak. Aku bertanya baik-baik, tapi kau tidak mau menjawab. Haruskah aku beritahu ibu kalau ternyata kakakku sekarang mempunyai asisten cantik," goda Oliver jelas membuat leher Hansa menjadi merah karena malu.
"Oliver!"
"Apa? Kakak takut?"
Hansa menarik napasnya perlahan, entah kenapa kesabarannya terus diuji oleh adik perempuannya itu. Hansa sempat berpikir, seharusnya dia usir saja adiknya itu sejak kemarin dari apartemennya.
Hembusan napas keluar dari mulut Hansa. "Tolong, jangan beritahu ibu," pintanya dengan nada sedikit memohon sedangkan Oliver pura-pura tidak mendengar.
"Oliver," panggil Hansa.
"Aku tidak akan memberitahu ibu. Tapi, aku harus ikut perjalanan kalian kali ini," ucap Oliver yang sungguh keras kepala untuk ikut Hansa, Azura dan tiga anak angkat Hansa pergi jalan-jalan.
"Aku hanya penasaran, mau kau ajak ke mana asisten barumu itu. Selebihnya aku berjanji tidak akan banyak membuat ulah dan juga banyak bicara." Oliver mengangkat dua jarinya bersumpah. Hansa seratus persen tidak percaya dengan perkataan adiknya itu.
Selama sepuluh tahun hidup menjadi Kakak tiri gadis itu, Hansa tentunya sangat mengenal jelas otak licik dan mulut yang selalu dengan mudahnya mengumbar janji dan bersumpah.
"Pegang kata-katamu!" seru Hansa yang segera mendapat senyuman senang dari Oliver.
"Jadi, ke mana kita akan pergi?"
"Oliver."
"Aku hanya bercanda, hehehe... kalau begitu aku akan bersiap bersama bayi-bayi kecilmu!" Oliver puas tertawa dan berlari keluar dari kamar Hansa, khawatir jika kakaknya mungkin saja sudah berada di ujung kesabarannya.
Selepas kepergian Oliver, Hansa meraup wajahnya. "Dosa apa yang aku lakukan sehingga mendapatkan adik seperti itu Tuhan," ratap Hansa.
***
Azura untuk yang kedua kalinya menginjakkan kakinya di apartemen mewah milik Hansa. Juga, dirinya sekarang tentunya tidak duduk sendirian di sofa mahal dosennya tersebut.
Sekarang, ada wanita cantik yang kemarin dia lihat duduk di sebelahnya sambil tersenyum dan terus menatap dirinya dan itu jelas membuat Azura jadi gugup.
Keinginan untuk mengatakan keberatannya tentang isi dari surat kontrak kerja yang dibuat Hansa. Secara cepat menguap begitu saja, wanita yang Azura pikir adalah istrinya Hansa itu mengurungkan niatnya untuk protes.
Sedangkan tersangka Hansa mengamati Azura dan adiknya Oliver yang saat ini duduk bersebelahan.
Dia bisa melihat betapa canggung dan gugupnya Azura ditatap oleh predator wanita seperti Oliver. Meletakkan kembali cangkir tehnya yang mempunyai ukiran bunga peony di permukaan keramik, Hansa mulai membuka suara.
"Azura, apa kau sudah baca seluruh isi kontraknya?" Sebuah pertanyaan yang Azura tunggu akhirnya diangkat juga.
Azura mengangguk, ada kilatan kontra di mata Azura kala Hansa bertanya soal dirinya apakah sudah membaca kontrak kerjanya atau belum.
Menjaga suaranya agar tidak pecah Azura berujar, "Tentu saja sudah dibaca akan tetapi ada keanehan di kontrak kerja itu," terang Azura mendapat anggukan pelan dari Hansa.
"Keanehan seperti apa?"
"Ya, dari kontrak itu tertulis jika aku harus menjadi babysitter untuk anak-anakmu."
Oliver mengusap bawah dagunya sambil tersenyum, sudut bibirnya melengkung ke atas dan matanya diam-diam melirik ke arah Hansa yang saat ini terbatuk pelan.
"Aku pikir, pekerjaanku hanya menjadi asisten dosen saja. Yah, kau tahu seperti membantu pekerjaan dosen tentang urusan kampus dan pelajaran lainnya. Tapi ini ... menjadi babysitter, itu bukanlah keahlianku." Azura menyatakan keberatannya, karena setelah menjelaskan hal itu. Beban di pundak Azura seakan menghilang begitu saja.
Oliver sendiri yang mendengar ucapan Azura menutup mulutnya menahan tawa, tapi sekuat apa pun dia menahan gelak tawanya itu. Hansa dan Azura tetap bisa mendengarnya.
Hansa menatap tajam adik perempuannya tersebut dengan menginjak kakinya dari bawah meja. Oliver otomatis segera membungkam mulutnya, suara tawanya segera hilang dan digantikan dengan wajah meringis. Azura melihat interaksi keduanya dengan muka polos.
Sehingga gadis muda itu berpikir jika hubungan dosen mudanya itu dengan istrinya tidak cukup baik.
"Itu sebabnya kemarin aku memintamu untuk membaca kontrak kerja itu terlebih dahulu," balas Hansa sambil tersenyum atau lebih tepatnya di mata Azura itu adalah seringai yang mencurigakan.
Azura tidak bisa lagi menjawab, itu adalah kesalahannya sejak awal yang terlalu percaya pada orang lain. Apalagi ini menyangkut pekerjaannya yang sepertinya akan membutuhkan waktu lama, agar dia bisa mengumpulkan pundi-pundi uang dan kemudian segera berhenti dari pekerjaannya ini.
Azura sendiri bahkan sudah mengundurkan diri dari pekerjaan part time-nya. Dia tidak mungkin bisa memegang dua perkejaan sekaligus.
Oliver dengan keakrabannya merangkul pundak kecil Azura. Parfum mahal dari tubuh Oliver membuat Azura mengernyit.
"Apa kau menyesal sudah menandatangani kontrak kerja itu gadis manis?" tanya Oliver sambil menyentuh ujung hidung Azura.
Azura menelan ludah dan melirik wanita yang tengah merangkulnya sekarang. "T-tidak, lagi pula menyesal pun tidak ada gunanya lagi yang harus kulakukan adalah menjalankannya saja, Nyonya," jawab Azura dengan wajah kalem.
Oliver tersenyum lebar dan dia terlihat sangat cantik, Azura terperangah melihat wajah mulus wanita itu.
"Oh, astaga ... jangan panggil aku Nyonya. Kau tahu Azura, aku masih muda. Cukup panggil Oliver saja." Oliver menusuk-nusuk pelan pipi chubby Azura yang masih memiliki lemak bayi itu.
Azura mengangguk dan membalas senyuman Oliver. "Baik, aku akan mengingatnya."
"Bagus, lalu satu lagi. Aku harus memberitahumu agar tidak salah paham tentang hubungan aku dan Hansa," kata Oliver membuat Azura menatapnya penasaran.
"Hubungan?"
"Hm, sejujurnya aku adalah adik perempuan Hansa. Jadi, aku harap Azura tidak menyebar rumor jika Pak Hansa dosen muda nan bersahaja di seberang kita itu sudah punya istri," terang Oliver membuat manik mata Azura melebar.
"Kau adiknya?"
Azura yang baru tahu jika wanita cantik di sampingnya itu adalah adik dari Hansa seketika berkeringat dingin. Dia pikir Oliver adalah istri Hansa, tapi ternyata dia salah dan juga Azura pada kenyataannya telah menyebar rumor palsu jika Hansa dosen di kampusnya itu sudah memiliki istri pada Gauri.
'Gawat,' batin Azura yang mulai mengalami kepanikan internal.
Awalnya Azura sama sekali berpikir jika Hansa memang ingin memberikan istirahat penuh untuknya yang sudah bekerja keras dalam mengurus tiga anak dosennya itu. Sehingga Azura merasa bahwa Hansa memiliki rasa perhatian terhadap dirinya karena Azura pada dasarnya perlu mempersiapkan proyek tugas kelompoknya untuk ujian akhir beberapa minggu ke depan. Meskipun begitu, dua hari tidak bekerja dirasa sudah cukup bagi Azura menganggur dan dia sudah memiliki energi penuh kembali agar bisa mengurus anak-anak Hansa. Lagi pula, Azura sudah sangat merindukan Ilhan, Ilkay dan Ihsan. Akan tetapi, ini sudah lewat dua hari bahkan lebih parahnya sudah lima hari Azura tidak mendapat kabar berupa sebuah pesan dari Hansa dan juga Oliver bahwa dia bisa bekerja kembali. Bukannya Azura tidak berusaha menghubungi keduanya, baik Hansa dan Oliver sama-sama tidak menjawab panggilan Azura dan kedua nomor itu selalu dalam mode sibuk “Kenapa kau terlihat murung seperti itu? Apakah mereka masih tidak menjawab pang
"Nyonya, anda bilang kita akan mengikuti Tuan Muda Hansa. Tapi, kenapa sekarang anda meminta saya untuk mengantar pulang ke rumah?" tanya Nike ketika asisten dari Nyonya Helga tersebut sambil menyetir dan memperhatikan jalan.Nyonya Helga bersandar di kursi penumpang, "Aku berubah pikiran, lebih baik pulang saja. Energiku sudah habis untuk mengikuti Hansa. Besok saja kita cari tahu siapa yang Hansa temui," jawab Nyonya Helga yang sepertinya sudah mengantuk."Baiklah Nyonya."Hansa yang sedang menyetir dengan santai melirik Luisa yang saat ini melamun menatap pemandangan jalanan dari balik jendela."Hm Luisa? Kau baik-baik saja?" tanya Hansa kepada Luisa yang segera menoleh ketika ditanya.
“Hansa, siapa yang menelpon itu nak?” tanya Nyonya Helga pada Hansa yang sekarang berjalan menuju kamarnya mengambil jaket.Oliver mengernyit, “siapa yang membuatmu terburu-buru seperti ini? Apakah ada hal yang penting.”Hansa menyimpan kunci mobilnya di saku celananya dan berkata, “aku akan kembali setengah jam lagi, kalian bertiga silakan lanjutkan makan. Aku menyusul nanti,” ucap Hansa yang berjalan keluar dari apartemen.“Aku rasa kau harus cepat pulang atau makanan ini akan dingin… atau yang lebih parah ini semua akan habis,” ujar Oliver yang mana tulang keringnya ditendang pelan oleh ibunya dari bawah meja makan.“Ouwh! Mama!”&nb
Quirin baru saja kembali ke rumahnya, tempat di mana suasana dingin dan sepi terus menghantui rumah tersebut sejak anak keduanya Hansa dan juga anak tirinya Oliver kini lebih memilih tinggal secara terpisah dari rumah utama.Walaupun begitu Ansel anak sulungnya masih setia tinggal di rumah besar yang sepi tersebut. Atmosfer ini sangat berbeda dengan belasan tahun silam, di mana rumah yang dia bangun untuk istri dan juga dua anak-anaknya yang berharga itu sangat hangat dan penuh dengan canda tawa dari kedua anaknya.Akan tetapi, itu semua hanyalah masa lalu yang tidak bisa dilihat lagi sekarang. Quirin Ehren telah menikah lagi dengan seorang wanita beranak satu yakni Helga. Ketika dia mengatakan dirinya hendak menikahi wanita itu, Hansa yang dulu masih remaja menentang keputusannya. Remaja yang baru berumur tiga belas tahun itu tidak
“Azura? Azura! Apakah kau sudah pulang?” Gauri mengetuk pintu kamar kos Azura karena dia beberapa waktu lalu mendengar suara dari kamar sebelahnya.Azura yang tadinya berada di balik pintu menegakkan kembali kepalanya dan mengusap wajahnya. “Ya! Aku sudah pulang, tunggu sebentar,” jawab Azura yang buru-buru beranjak dari duduknya dan segera membuka pintu.Gauri tersenyum ketika pintu terbuka, sangat jarang sekali Azura pulang cepat seperti sekarang ini. Sampai ketika Gauri melihat perubahan ekspresi yang tidak biasanya dari Azura, gadis itu mengernyit. “Ada apa denganmu? Wajahmu terlihat kusut Azura,” kata Gauri membuat Azura mengangkat kedua bahunya dan mengizinkan Gauri masuk.“Ini adalah hari yang berat bagiku, tapi tenang saja. A
"Aku pulang!" Azura kembali ke kos miliknya yang sudah lama sangat dia rindukan.Tidak ada jawaban atau suasana hangat yang menyambutnya saat dia pulang ke rumah. Namun, Azura sudah terbiasa hidup sendirian sekarang. Hari ini nampaknya adalah hari yang sangat berat baginya.Banyak hal yang sudah terjadi dalam kurung waktu kurang dari dua puluh empat jam.Dari bertemu dengan Ibu tiri Hansa dan juga bertemu kembali dengan ayah angkatnya. Benar-benar tidak terduga, sebenarnya Azura tidak terlalu memikirkan bagaimana nasib Hansa ketika pria itu bertemu ibunya, hanya saja sekarang pikiran Azura dipenuhi dengan keluarga angkatnya itu.Dia sangat takut dan juga cemas jika pertemuannya dengan ayah angkatnya akan menimbulkan