"Mas Arga, ini Non Arka agak aneh, Mas,” lapor salah satu ART di rumah itu yang dititipi pesan Arga untuk memantau kondisi adiknya itu.Sebenarnya Arga tidak tega meninggalkan Arka sendiri di rumah, tapi ia juga tidak bisa mengabaikan pekerjaan yang diserahkan papanya sebelum papanya berangkat ke Solo. Kalau saja papanya tidak pergi ke Solo, Arga bisa saja bekerja dari rumah, tapi sebagai pengganti papanya, ia terpaksa mengikuti ritme kerja di kantor papanya, termasuk dengan deretan meeting yang sangat melelahkan baginya.“Aneh gimana, Bi?”“Udah lima atau enam kali berendam di kolam renang.”“Hah? Gimana, Bi?” Arga sampai kebingungan mencerna ucapan ART-nya. “Kan Arka memang begitu kalo lagi banyak pikiran.”“Tapi ini udah berkali-kali, Mas. Bibi takut Non sakit. Si Non berendem di dalem kolam renang kayak biasanya kalo mood-nya lagi jelek, Mas, sekitar setengah jam. Abis itu mentas, naik ke kamar. Nggak lama, sekitar sejam-an, turun lagi, berendem lagi, trus mentas lagi. Begitu teru
Arka mengerjap pelan, berusaha menyesuaikan cahaya yang masuk ke retina matanya. Dari bau yang diciumnya dan dari tirai di sekelilingnya, ia tahu kalau dirinya sedang berada di rumah sakit, klinik, atau ... entahlah, yang jelas sebuah fasilitas kesehatan.Ia melirik ke tangan kanannya yang dilingkupi kehangatan, berbeda dengan tangan kirinya yang ada di sisi tubuhnya.Raut wajah Arka terlihat kesal saat ia melihat tangannya sedang digenggam Caraka yang merebahkan kepalanya di atas kasur, sepertinya lelaki itu tertidur."Arka, udah sadar?"Kelegaan yang luar biasa terlihat di wajah Arka saat Yasmin menyibak tirai dan mendekat ke arahnya. Setidaknya ada orang lain di situ, bukan hanya dirinya dan Caraka.Arka mengangguk pelan sambil menarik tangannya yang digenggam Caraka, dan hal itu langsung membuat Caraka terbangun."Sayang, udah bangun? Ada yang sakit?"'Hatiku!' Tapi alih-alih menjawabnya, Arka memilih mengabaikan keberadaan Caraka termasuk dengan usapan lelaki itu di keningnya.Ma
Apa rasanya melihat suami sendiri duduk di sebelah seorang anak kecil yang begitu menggemaskan, dan keduanya tampak begitu menikmati permainan yang ada di depan mereka?Sayangnya anak itu bukan anaknya, melainkan anak wanita yang pernah dicintai suaminya.Oh, God! Mereka tampak seperti keluarga sempurna.Arka berusaha tidak mengacuhkan 'keluarga kecil' itu, pun ia juga harus membagi fokusnya dengan 19 keluarga lainnya. Tapi sial, matanya sering kali berhianat untuk melirik ke arah mereka.Jangan tanyakan rasanya. Hati Arka rasanya sedang menjadi talenan, di mana ada orang yang sedang mencincang bawang di atasnya. Hatinya terasa diiris-iris.Padahal tadi pagi ia sedikit merasa lega ketika Caraka pergi di pagi hari buta karena harus mengurus kecelakaan kerja di proyeknya.Setidaknya Arka bisa menghindar sampai ia menemukan momen yang pas, atau sampai mulutnya mampu menyuarakan kebingungannya.Melihat Caraka di dalam ruang kelasnya dan berperan sebagai ayah Putri, tidak pernah ada dalam
Arka merebahkan diri di sofabed ruang televisi setibanya di rumah. Ia terlalu malas untuk masuk ke dalam kamar.Mata Arka hampir terpejam sebelum ia teringat kembali ucapan muridnya yang mengira Caraka adalah ayahnya. Arka terkekeh geli, tapi tak lama kemudian rasa penasarannya mencuat.Setelah menimbang-nimbang sesaat, antara menghubungi tante Putri atau membuka database murid, akhirnya Arka memilih membuka laptopnya yang berada di kamar lamanya. Beruntung database murid disimpan di dalam server yang bisa diakses dari mana pun selama ada jaringan internet.Arka baru mau mengetikkan username dan password untuk bisa masuk ke dalam database murid, saat tiba-tiba ponselnya berbunyi.“Iya, Bang?”“Udah sampe rumah?” Suara Caraka terdengar khawatir.“Udah.”“Kok nggak bilang Abang?”“Oh iya, lupa. Belum lama juga kok nyampenya.”“Udah makan siang?”“Udah beli tapi belum makan.”“Makan dulu gih.”“Bentar ya, Bang. Lima menit.”“Lagi ngapain emangnya?”Arka menghela napas. Caraka tidak akan
-London, enam tahun lalu-Caraka melangkahkan kaki keluar dari apartemennya dalam cuaca yang menggigil di akhir tahun. Tidak biasanya dia keluar di jam-jam seperti itu, tapi perutnya yang meronta di tengah cuaca dingin dan kehabisan stok makanan adalah kombinasi yang sempurna untuk membuatnya menyeret kaki menuju café yang buka 24 jam di ujung jalan.Ia merapatkan dua lapis jaket yang dikenakannya kemudian memasukkan kedua tangannya ke dalam kantong jaket. London dengan suhu 2 derajat celcius berhasil membuat gigi Caraka bergemeletuk.Baru ia melangkahkan kaki ke dalam café, sosok yang tak asing baginya terlihat duduk di salah satu meja. Tidak banyak café yang buka 24 jam, mungkin saja memang Niken sedang sangat ingin makan supper, dan café itu hanyalah satu-satunya opsi, atau mungkin Niken sedang menunggu Delia.“Ken.”Niken mendongak dan mendapati Caraka yang tengah menatapnya bingung.“Kamu ngapain jam segini, Ka?” Pasalnya memang saat itu sudah menunjukkan hampir pukul 02.00 dini
Arka masih mengatur ritme jantung dan otaknya, ia juga masih menata pikirannya karena apa yang baru saja muridnya ucapkan itu, sebelum Putri berkata lagi, “Bukan ya, Bu? Ayah Putri kan nggak pernah pulang. Kalo pulang pasti nemuin Putri kan.”Hati Arka mencelos saat mendengarnya, apalagi saat melihat raut kesedihan di wajah Putri. Rasanya mungkin Arka tidak akan pernah bisa melupakannya. Anak itu tidak menangis, hanya menunduk sambil menatap ponsel Arka yang masih di tangannya dengan tatapan sendu. “Mungkin cuma mirip aja, Putri.”“Iya, Bu. Cuma mirip. Putri pulang ya, Bu.”Arka mengangguk, badannya masih terasa lemas untuk berdiri apalagi mengantar Putri sampai ke luar sekolah seperti niat awalnya.Barulah beberapa saat setelahnya Arka tersadar. Seharusnya ia menemui mama dari Putri, karena wanita itu belum pernah hadir di acara sekolah karena kesibukannya. Arka paham, sebagai single parent pastilah tidak mudah mengatur waktu untuk datang ke sekolah anaknya dan ini salah satu kesempa
"Hah?" Arka juga ikut terkejut dengan pertanyaan dari Caraka. "Aku ... aku belum ngecek sih, Bang, belum kelihatan telat juga karena belum jadwal datang bulanku."Caraka mengembalikan fokusnya ke depan, berusaha tidak menampilkan raut wajah kecewa di depan Arka.Sayangnya Arka bisa melihat setitik raut kecewa di wajah suaminya. "Abang kecewa ya?""Nggak. Abang kaget aja tadi kamu ngomong gitu." Tangan kiri Caraka terulur untuk mengusap puncak kepala Arka. "Nggak apa-apa kok. Kita pacaran dulu aja."***“Abang.”Keduanya sudah kembali setelah membeli beberapa mainan untuk anak Niken.Setelah selesai makan malam dan membersihkan diri pun, Arka masih merasa harus membicarakan sesuatu yang mengganjal di pikirannya sejak tadi.“Kenapa?” tanya Caraka yang masih membaca buku sambil bersandar di headboard ranjang dan menunggu Arka memakai skin care yang Caraka tidak pernah tahu ada berapa step itu.Arka menatap Caraka yang terlihat seksi dengan kaca mata yang jarang-jarang digunakannya. Biasa
"Abang!"Caraka tersentak dari lamunannya saat mendengar panggilan dari Arka yang sedikit kencang. "Hmm?""Abang dari tadi lihatin aku nggak kedip, aku kan malu." Harusnya Arka tidak perlu memakai blush on, karena tatapan Caraka padanya berhasil membuat pipinya merona alami. “Abang tu selalu gini reaksinya kalo aku pake kebaya.”"Cantik banget sih. Duh Abang pengen meluk tapi takut kamu berantakan, nanti tukang salonnya ngamuk sama Abang.""MUA, Bang. Make up artist. Kenapa nyebutnya tukang salon sih.""Eh, udah berubah sebutannya?" tanya Caraka dengan tampang seriusnya.Arka mendengkus pelan. Ia tidak boleh terganggu dengan celetukan aneh Caraka agar mood-nya tetap bagus dan foto pernikahan mereka layak pajang, minimal di ruang tamu rumah mereka dan di salah satu ruangan di rumah keluarga Bestari."Kamu nyesel nggak, Ka, baru pake baju begini sekarang? Dan cuma untuk keperluan foto, bukannya buat acara ijab qabul.""Nyeselin yang udah lewat juga buat apa, Bang. Nggak bisa ngembaliin
"Eh ada Dek Oshi.”Oshi melengos begitu Arga menyapanya. Sepertinya kakak ipar abangnya itu tidak pernah lelah beramah tamah dengannya, meskipun ia tidak pernah menggubrisnya.“Shi, salim dulu. Kamu kan bukan anak kecil, nggak perlu Abang suruh setiap kali ketemu mbakmu atau Mas Arga kan?” Caraka berbisik pada Oshi yang sedang mendekati ibunya untuk menyerahkan tote bag berisi pakaian ganti.Meskipun sambil bersungut, Oshi tetap berjalan menghampiri Arga dan Arka yang duduk di sisi lain meja makan.“Baru pulang kuliah, Shi?” tanya Arka. Ia sedang bertekat untuk membuat Oshi bisa menerimanya, walau kelihatannya perjuangannya akan lebih sulit daripada menaklukkan Caraka.Oshi mengangguk singkat, setelahnya mendekat lagi ke arah ibunya. Dia sebenarnya malas setengah mati ketika abangnya memintanya untuk menginap di rumah mereka. Bayangan bertemu kakak iparnya saja sudah cukup mengganggunya, dan ternyata sekarang ditambah dengan kehadiran Arga. Lengkap sudah.“Oshi mau istirahat? Ke kamar