"Caraka?"Caraka membeku di tempat, menatap perempuan yang berdiri di depannya. Perempuan berpostur tubuh tinggi dengan badan langsing bak model dan berpakaian yang anggun itu tersenyum padanya."Delia?""Kirain udah lupa. Tegang banget gitu ngelihat akunya. Kamu kapan balik dari London?""Belom lama sih, sebulanan kayaknya.""Oh, baru banget dong. Kamu—""Abang." Arka melingkarkan tangannya ke lengan Caraka dengan tiba-tiba.Caraka tersenyum mendapati kontak fisik pertama yang diinisiasi Arka. Untuk beberapa detik ia bahkan lupa dengan kehadiran wanita tinggi semampai di depannya.Tatapan wanita itu menelisik ke arah Arka yang menempel di sisi Caraka. "Adek kamu, Ka?"Arka langsung memberengut kesal karena dianggap sebagai adik dari Caraka. Apakah penampilannya terlalu kekanak-kanakan?"Istriku, Arka. Ka, kenalin, ini temen Abang waktu di London, Delia."Arka lebih dulu mengulurkan tangan pada Delia untuk membuyarkan lamunan Delia. Ia terpaksa mendongak karena tinggi wanita di depann
Arka mulai mempraktikkan gerakan yang baru saja dibuatnya, diiringi dengan lagu anak-anak ciptaannya juga, yang bertema binatang.Jangan kira pekerjaan menjadi guru PAUD dan TK di tempatnya mengajar itu gampang. Ia harus kreatif membuat lagu dan gerakan untuk mengajarkan sesuatu agar lebih mudah dimengerti murid-muridnya dan membuat anak-anak berusia lima tahun itu tidak mudah bosan di dalam kelas.Dulu, salah satu temannya pernah bertanya padanya, apa yang ia pelajari di pendidikan magister PAUD dan apa tantangannya menjadi guru PAUD atau TK? Belajar gila dan nggak punya malu, sesimpel itu jawaban Arka. Bukan gila yang sesungguhnya dimaksud Arka, tapi rutinitasnya ya seperti itu, bernyanyi dan berjoget di depan kaca kalau ia tidak punya audience.Karena itu, ia sering meminta orang tua, kakaknya, atau bahkan ART di rumahnya untuk menyaksikan nyanyian dan tarian barunya, daripada ia praktik di depan kaca dan tak ada yang bisa memberikan kritik dan saran untuknya.Arka termenung di kam
"Masih sakit bekas lukanya?" tanya Caraka saat keduanya tengah menyantap makan malam di sofa depan televisi."Nggak, kalo kesenggol sama kena air aja kadang pedih."Sebenarnya Arka jarang sekali makan selain di meja makan. Aturan di keluarganyalah yang membuatnya harus makan bersama di meja makan. Padahal kadang Arka ingin seperti teman-temannya yang membawa makanan ke dalam kamar dan makan di atas kasur. Akan tetapi, jangankan membawa makanan ke kamar, beranjak dari meja makan besar pun adalah hal yang terlarang, kecuali untuk memakan kudapan.Karena itu, kadang Arka meminta ART di rumahnya untuk membuatkannya pancake atau waffle agar dirinya bisa membawa makanan itu untuk disantap di pinggir kolam atau di ruangan lain, selain di kamar tentunya.Kini, Arka menghabiskan makan malamnya dengan tersenyum karena kebebasan yang didapatnya ini, ia bisa melakukan apa pun yang ia mau. Ia memang belum memberi tahu siapa pun, bahwa salah satu alasannya pindah dari rumah orang tuanya adalah untu
-Tujuh tahun lalu-Suasana kelam menyelimuti keluarga Bestari. Bagaimana tidak, satu-satunya keturunan perempuan di keluarga itu harus dilarikan ke rumah sakit karena 'insiden' yang terjadi padanya.Dewi Ayu Bestari, yang biasa dipanggil 'Eyang Bestari, wanita paling dituakan di keluarga itu juga terlihat kusut. Ia tidak boleh kehilangan satu-satunya cucu perempuan. Di keluarga Bestari, keturunan perempuan dipercaya membawa kemakmuran dan kesejahteraan. Namun, bukan hanya itu alasannya, ia tentu saja menyayangi cucunya itu, yang kini tengah tertidur tidak berdaya di atas ranjang rumah sakit. Semua fasilitas VIP yang diberikan kepadanya seakan tidak mampu membuat gadis belia itu bangun dari keadaan koma."Keluargamu itu lagi mendulang karma. Kalau aja buyutmu nggak memanipulasi bisnis sahabatnya sampai sahabatnya jatuh bangkrut dan keluarganya berantakan, keluargamu nggak perlu kayak gini. Lihat, setiap tahunnya selalu ada musibah yang menimpa keluargamu."Eyang Bestari mengingat kemba
"Kenapa kita nggak mulai tidur sekamar aja?"Arka membeku dalam pelukan Caraka. Pertama, ya karena pelukan Caraka. Kedua, karena pertanyaan Caraka."Arka." Rupanya Arka sudah terlalu lama diam hingga Caraka memanggilnya lagi."Ya?""Nggak apa-apa kalo kamu belum nyaman, Ka. Abang nggak maksa kok. Cuma Abang pikir pillow talk kayak gini bagus juga buat hubungan kita.""Cuma pillow talk?""Hmm ....""Soalnya udah dua malam Abang peluk aku. Kalo keterusan gimana?""Keterusan apanya?" Bukannya Caraka tidak tahu apa yang dimaksud Arka. Ia hanya suka merasakan debaran jantung Arka. Caraka juga suka melihat semburat merah yang sering muncul di pipi Arka, tapi debaran jantung Arka jauh melenakan."Abang nggak usah pura-pura nggak tau. Laki-laki biasanya kalo masalah begini cepet." Arka mendongak saking kesalnya, sekalian ia ingin melihat ekspresi Caraka, apakah serius tidak tahu atau sedang mempermainkannya.Caraka terkesiap. Damn it!Apakah Arka tidak sadar kalau jarak wajah mereka hanya beb
Arka sedang melamun di depan televisi saat pintu utama rumah itu terbuka. Dengan model rumah open space, Arka langsung bisa melihat siapa yang baru saja membuka pintu dan masuk ke dalam rumah.Jantung Arka seketika mencelos melihat Caraka tengah dipapah kakaknya masuk ke dalam rumah.Arga mengarahkan Caraka ke sofa depan televisi yang tadi diduduki Arka."Abang kenapa, Mas?" tanya Arka bingung. Meskipun ia penasaran sampai rasanya ingin langsung memberondong Caraka atau kakaknya dengan berbagai macam pertanyaan, tapi Arka juga tahu kalau yang harus dipriorotaskan adalah mengobati luka Caraka.Ini bukan pertama kalinya Arka melihat orang babak belur, kakaknya adalah jagonya kalau urusan baku hantam dan babak belur. Dengan segera ia mengambil kotak obat yang berada di lantai atas. Ia masih ingat di mana terakhir kali Caraka meletakkan kotak obat itu ketika Caraka mengobati tangannya yang terkena minyak panas.Arga menjatuhkan diri di kursi, menghela napas lelah karena mengurus Caraka ya
Caraka melajukan mobilnya setelah mendapat nomor telepon Yudha, mantan pacar Arka yang masih berani menemui Arka saat ia tidak bisa berada di sisi istrinya itu. Di tengah perjalanan ia menghubungi nomor ponsel yang diberikan Arka."Halo, dengan siapa?" jawab suara di seberang telepon yang membuat Caraka berdecak tanpa sadar."Saya Caraka, suaminya Arka."Ganti suara di seberang telepon yang terdengar mencibir."Bisa kita ketemu? Saya rasa ada yang perlu kita bicarakan.""Saya nggak ada urusan sama kamu.""Iya, awalnya memang tidak ada. Tapi setelah hari ini kamu menemui Arka dan membuat dia ketakutan di saat saya nggak ada, maka saya jadi punya urusan sama kamu.""Fine, Kemang Fight Gym, jam lima sore."Sambungan telepon itu terputus begitu saja setelah Yudha mengatakan di mana ia akan menemui Caraka."Sialan! Nyata-nyata nantang." Padahal Caraka berniat untuk bicara baik-baik, tapi kalau lawan bicaranya mengajak 'bicara' dengan cara lain, ia tidak akan menolak. Sudah lama juga otot-o
"Arka, udahan dong marahnya.""Kesel tau, Bang. Apa sih enaknya berantem? Ujung-ujungnya badan sakit semua kan? Coba, besok gimana Abang kerja kalo jalan aja pincang gitu," gerutu Arka sambil mencuci piring bekas makan malam mereka, sementara Caraka memilih duduk di dekat meja makan sambil mengamati Arka.Caraka bisa saja menceritakan semua yang terjadi, termasuk Yudha yang mengajaknya bertemu di martial art center dan bagaimana Yudha menyerangnya lebih dulu, tapi ia memilih bungkam. Itu urusannya dengan Yudha, Arka tidak perlu tahu.Meskipun sejak tadi Arka tidak berhenti mengomelinya, tapi nyatanya Caraka suka mendengar celotehan Arka yang tampak menggemaskan dengan versi yang berbeda dari biasanya."Kamu kalo muridmu berantem, ngomel panjang lebar gini juga, Ka?""Muridku nggak sampe adu jotos ya, Bang. Paling mentok dorong-dorongan.""Iya, tapi kamu omelin juga?""Ya ... nggak sih, dikasih tau aja baik-baik.""Trus kenapa Abang diomelin dari tadi?"Arka mengeringkan tangannya kemu
Sebuah rumah makan dengan konsep masakan sunda yang telah menjadi langganan mereka, dipilih Yudha untuk makan siang mereka berdua. Yudha menatap Arka, hampir tidak berkedip karena rasa rindunya pada gadis itu.Arka sedikit salah tingkah mendapati Yudha yang terus menatapnya, Hingga makanan tersaji di atas meja pun, Yudha seperti tidak ingin mengalihkan perhatiannya."Mau ngomong apa, Yud?""Gimana hari ini? Murid-muridmu pada nurut? Nggak ada yang bikin kamu harus lari-lari?"Arka terdiam. Yudha memang selalu menanyakan hal itu setiap harinya. Katanya, ia suka mendengar Arka bercerita antusias tentang murid-muridnya. Dulu, Arka suka mendapat perhatian seperti ini dari Yudha. Tapi tidak kali ini, hatinya bisa goyah karena perhatian-perhatian kecil dari Yudha."Ya gitulah, namanya juga anak-anak. Yud, aku nggak bisa lama-lama, aku mesti cepet pulang, jadi kalo kamu mau ngomong sesuatu yang penting, mending buruan deh. Kamu tau kan aku kalo laper, makanku cepet."Yudha terkekeh, tapi sep
"Bang. Kok Abang diem aja dari tadi?” tanya Arka yang bingung melihat Caraka mendiamkannya sejak mereka pulang dari kediaman ibunya.Caraka tidak menjawab pertanyaan Arka. Ia langsung masuk ke kamar yang berada di lantai bawah dan merebahkan dirinya.“Abang nggak mandi? Biar kuambilin baju di atas.”“Nggak usah.”“Ya udah, aku mandi dulu di atas ya.”Dengan kebingungannya, Arka naik ke lantai dua. Apa ia salah bicara sampai Caraka marah?Caraka sudah terlelap dengan posisi menghadap dinding saat Arka masuk ke kamar bawah. Arka merebahkan diri di sisi kasur yang kosong, kemudian mematikan lampu tidur di atas nakas.‘Apa aku ada salah? Atau akhirnya dia sadar kalo aku nggak pantes?’ Arka masih terus bertarung dengan pikirannya hingga tertidur.Karena beberapa hari belakangan Arka selalu terbangun tengah malam, sepertinya hal itu menjadi sebuah kebiasaan baru baginya.Anehnya, malam itu ia tidak ingin menangisi kenangannya bersama Yudha. Seharian itu juga ia hanya mengingat Yudha ketika
Suara pintu dibanting dari kamar sebelah memang berhasil membuat mereka merenggangkan jarak.Caraka juga tampak kesal dengan kelakuan adiknya, tapi sedetik kemudian fokus Caraka kembali ke hadapannya—ke seorang gadis yang mengerjap bingung dan seperti baru saja tersesat."Ka, kenapa?"Meskipun mereka sudah merenggangkan jarak, tapi tetap saja kasur berukuran 120x200 itu memaksa tubuh mereka berjarak lebih dekat dari biasanya."Marah?" tanya Caraka lagi."Aku dorong Abang nggak?""Nggak.""Ya udah, nggak usah nanya lagi dong, Bang." Arka baru ingin menutup wajahnya dengan kedua tangan karena rasa malunya, tapi tangan Caraka lebih dulu membawanya ke dalam pelukan."Keluar yuk, Bang.""Sekarang?""Nggak. Besok lusa.""Ok, besok lusa.""Abang, malu ih sama Ibu, masa ke sini malah tidur, bukannya nemenin Ibu.""Gimana, santai kan Ibu?""Ya santai, orang udah kenal. Tapi kok bisa sih Bang, Ibu jadi story teller di sekolahku?""Waktu itu Ibu cerita ke Abang sama ke Mas Arga, katanya pengen k
Tiga detik, atau bahkan kurang, Arka bahkan tidak sempat mengerjap saking kagetnya.Arka terdiam, mencoba mengatur ritme jantungnya agar kembali normal."Abang nggak suka dicuekin," ucap Caraka. Tangannya terulur mengusap bibir Arka yang membuat Arka berjengit kaget."Aku nggak suka diserang, Bang." Arka mengerucutkan bibirnya karena kesal."Tadi itu kamu anggep diserang?""Iya!"Caraka tersenyum kecut, kemudian kembali bersandar pada susunan bantal dan guling, mencoba memejamkan mata, mengingat kembali tiga detik yang membuat jantungnya menggila."Ih, Abang kok nggak bertanggung jawab sih. Bisa-bisanya langsung tidur abis nyium anak orang."Caraka malah terbahak mendengar Arka merajuk. Ia pikir Arka akan mengamuk, jenis mengamuk yang benar-benar seperti orang marah, tapi rupanya, Arka hanya merajuk."Ya terus gimana, di kamar sesempit ini, kasur ukuran single, naluri Abang sebagai cowok mencuat Arka. Nanti kalo Abang melek terus 'nyerang' kamu lagi gimana?""Nggak bisa, Bang. Kita ha
"Loh, Bu—"Wanita itu tersenyum semakin lebar. "Bu Arka kaget ya?"Arka masih mengerjap bingung, bahkan ketika Caraka mengambil punggung tangan ibunya dan mencium kedua pipi ibunya."Kenalin, Ka. Ibunya Abang."Arka akhirnya tersadar dari lamunannya, bergegas melakukan hal yang sama dengan yang tadi dilakukan Caraka."Ayo masuk, kata Raka, kalian udah makan siang di rumah, jadi Ibu cuma nyiapin makanan kecil aja, tapi nanti makan malam di sini ya. Langsung ke dapur aja yuk, biar nggak kayak tamu." Wanita itu melangkah masuk lebih dulu. Ia biasa memanggil Caraka dengan Raka saja, mungkin nanti ia akan kebingungan untuk memanggil Raka dengan Arka yang namanya mirip.Arka menarik tangan Caraka. "Bu Ayu ... ibunya Abang?"Caraka mengangguk, kemudian meraih tangan Arka lagi untuk digenggam dan membawanya menuju dapur yang berbatasan langsung dengan taman kecil di samping rumah."Kaget ya, Bu Arka?"Arka mengangguk. "Bu Ayu jangan panggil saya 'Bu Arka' lagi, Bu."Wanita itu masih tersenyum
Arka mengerjapkan matanya, ia tidak bisa tidur sejak sesi pillow talk-nya dengan Caraka, sementara lelaki itu kini telah terlelap."Abang pernah ngerasainnya. Jatuh cinta sama seseorang, tapi kemudian Abang mengubur perasaan Abang." Kalimat itu masih berputar-putar di otak Arka. Arka tahu itu hanya masa lalu Caraka, tapi ... rasanya tetap saja tidak nyaman.Kini Arka sadar, mungkin itu yang dirasakan Caraka. Mengetahui kalau ia pernah mencintai laki-laki lain dan laki-laki itu masih mencoba mendekatinya, pasti membuat Caraka juga merasa tidak nyaman."Belum tidur, Ka?"Arka menoleh terkejut saat mendengar suara Caraka."Karena nggak Abang peluk? Sini."Arka tidak habis pikir, dari mana Caraka bisa mengira ia tidak bisa tidur karena tidak memeluknya. Mereka juga baru dua malam tidur satu kasur. "Dih. Nggak gitu yaaa."Caraka terkekeh, kemudian beringsut mendekat. Ranjang di kamar yang berada di lantai bawah itu memang paling lebar di antara ranjang yang lain. Sebenarnya kamar itu adala
"Arka, udahan dong marahnya.""Kesel tau, Bang. Apa sih enaknya berantem? Ujung-ujungnya badan sakit semua kan? Coba, besok gimana Abang kerja kalo jalan aja pincang gitu," gerutu Arka sambil mencuci piring bekas makan malam mereka, sementara Caraka memilih duduk di dekat meja makan sambil mengamati Arka.Caraka bisa saja menceritakan semua yang terjadi, termasuk Yudha yang mengajaknya bertemu di martial art center dan bagaimana Yudha menyerangnya lebih dulu, tapi ia memilih bungkam. Itu urusannya dengan Yudha, Arka tidak perlu tahu.Meskipun sejak tadi Arka tidak berhenti mengomelinya, tapi nyatanya Caraka suka mendengar celotehan Arka yang tampak menggemaskan dengan versi yang berbeda dari biasanya."Kamu kalo muridmu berantem, ngomel panjang lebar gini juga, Ka?""Muridku nggak sampe adu jotos ya, Bang. Paling mentok dorong-dorongan.""Iya, tapi kamu omelin juga?""Ya ... nggak sih, dikasih tau aja baik-baik.""Trus kenapa Abang diomelin dari tadi?"Arka mengeringkan tangannya kemu
Caraka melajukan mobilnya setelah mendapat nomor telepon Yudha, mantan pacar Arka yang masih berani menemui Arka saat ia tidak bisa berada di sisi istrinya itu. Di tengah perjalanan ia menghubungi nomor ponsel yang diberikan Arka."Halo, dengan siapa?" jawab suara di seberang telepon yang membuat Caraka berdecak tanpa sadar."Saya Caraka, suaminya Arka."Ganti suara di seberang telepon yang terdengar mencibir."Bisa kita ketemu? Saya rasa ada yang perlu kita bicarakan.""Saya nggak ada urusan sama kamu.""Iya, awalnya memang tidak ada. Tapi setelah hari ini kamu menemui Arka dan membuat dia ketakutan di saat saya nggak ada, maka saya jadi punya urusan sama kamu.""Fine, Kemang Fight Gym, jam lima sore."Sambungan telepon itu terputus begitu saja setelah Yudha mengatakan di mana ia akan menemui Caraka."Sialan! Nyata-nyata nantang." Padahal Caraka berniat untuk bicara baik-baik, tapi kalau lawan bicaranya mengajak 'bicara' dengan cara lain, ia tidak akan menolak. Sudah lama juga otot-o
Arka sedang melamun di depan televisi saat pintu utama rumah itu terbuka. Dengan model rumah open space, Arka langsung bisa melihat siapa yang baru saja membuka pintu dan masuk ke dalam rumah.Jantung Arka seketika mencelos melihat Caraka tengah dipapah kakaknya masuk ke dalam rumah.Arga mengarahkan Caraka ke sofa depan televisi yang tadi diduduki Arka."Abang kenapa, Mas?" tanya Arka bingung. Meskipun ia penasaran sampai rasanya ingin langsung memberondong Caraka atau kakaknya dengan berbagai macam pertanyaan, tapi Arka juga tahu kalau yang harus dipriorotaskan adalah mengobati luka Caraka.Ini bukan pertama kalinya Arka melihat orang babak belur, kakaknya adalah jagonya kalau urusan baku hantam dan babak belur. Dengan segera ia mengambil kotak obat yang berada di lantai atas. Ia masih ingat di mana terakhir kali Caraka meletakkan kotak obat itu ketika Caraka mengobati tangannya yang terkena minyak panas.Arga menjatuhkan diri di kursi, menghela napas lelah karena mengurus Caraka ya