"Kak, ayo makan dulu! " ajakku lembut kepada sosok wanita yang tengah termenung di bawah jendela. Jarang sekali melihat Kak Rianti makan, akhir-akhir ini. Tubuhnya tampak semakin kurus dan tidak terurus.
"Nanti saja, " jawab Kak Rianti datar.
"Kakak harus makan agar kuat menghadapi kenyataan. Karena sakit hati itu butuh tenaga, " godaku sedikit berkelakar.
"Iya, kamu bener, " jawabnya sambil terkekeh.
Kak Rianti pun makan dengan lahap, seperti buronan yang tidak makan selama tiga hari. Namun, manik hitamnya tidak bisa menyembunyikan luka, terlihat sayu dan berembun. Ia tertawa, tapi aku tahu betul kalau hatinya menangis. Raut muka yang dahulu cantik berseri. Kini kusam dan murung. Semangat hidupnya seolah sirna bersama pengkhianatan Kak Rangga. Badannya mulai kurus dengan mata hitam dan cekung.
Ya Rabb, aku tidak tega melihat Kak Rianti seperti itu, aku hanya bisa mendoakannya di dalam hati. Tidak bisa mengobati luka di hatinya.
"Ti, sebaiknya kamu cari kerja saja. Biar ada kegiatan, nggak sedih terus, " ujar Bapak.
"Iya, " jawab Kak Rianti datar.
Sudah lebih dari dua bulan Kak Rianti tidak pulang ke rumahnya. Tidak ada kabar dari Kak Rangga, sepertinya, pria itu sudah tidak peduli lagi dengan istri dan anak-anaknya. Ia lupa dan terbuai tipuan syetan. Aku jadi geram dibuatnya.
***
Matahari sudah agak meninggi dan sediki menyengat. Kami berbaris untuk mengikuti upacara bendera. Aku sudah tidak sabar menunggu pengumuman siapa saja yang akan ikut dalam lomba untuk mewakili sekolah. Hanya empat orang yang akan terpilih mengikuti lomba. Dua ikhwan dan dua akhwat. Hatiku gelisah menunggu nama kandidatnya. Sudah dua tahun gagal menjadi perwakilan sekolah. 'Paling tidak izinkan namaku di sebut sekali ini saja. '
"Kandidat perwakilan dari ikhwan adalah .... "
Semua mata tertuju pada Ustaz Zaki. Hatiku ikut berdebar karenanya.
"Muhammad Faris dan Zidan Alfarizi, selamat berjuang."
"Untuk akhwat, kandidat yang terpilih adalah. "
Hening, jantungku berdegup semakin kencang. Berharap menjadi salah satu nama yang akan dsebut.
"Andini khumaira dan Siti Patimah. Selamat berjuang semuanya."
Jantung ini serasa melompat keluar, bahagia dan sedikit lega. Namun, ini barulah awal. Perjuangan akan segera dimulai. Eh, tunggu, aku akan bertanding bersama Zidan. Kami akan menjadi satu tim.
"Wah, selamat ya, " ucap Salma dan Aisyah bersamaan.
"Harus waspada nih, satu tim sama ehm ehm, " goda Salma sambil terkekeh.
"Ish, ngaco kalian, " jawabku ketus.
"Selamat ya, " ucap Zidan yang sudah berada tepat di depanku tanpa kusadari.
"I-ya makasih, selamat juga buat kamu."
***
Setelah diumumkannya nama-nama perwakilan sekolah untuk lomba tahfiz. Aku dan tiga kandidat lain lebih sering murajaah bersama. Dibimbing oleh mentor masing-masing.
Hari sudah beranjak senja, suasana sekolah sudah lengang, begitu pun jalanan yang tampak sepi. Zidan menemaniku sampai mendapatkan angkutan umum di depan jalan.
"Bagaimana menurutmu tentang poligami? " tanyaku penuh selidik.
"Kenapa kamu tanya seperti itu? "
"Jawab saja, aku hanya ingin tahu pendapatmu. Tidak lebih, " jawabku geram.
"Poligami dibolehkan dalam agama kita. Tapi bagi yang mampu berbuat adil," jawabnya tenang.
"Lalu, adil menurutmu seperti apa? " tanyaku lagi dengan mimik serius.
"Adil, ya adil. Adil dalam segalanya. Udah ah, itu angkot kamu datang. "
"Aku pulang dulu, assalamualaikum, " ucapku dengan mimik kecewa.
Jawaban zidan belum bisa memuaskan dahagaku. Jawaban standar kebanyakan laki-laki. Serasa ada yang kurang dan tidak tegas dengan jawabannya. Padahal, aku berharap jawaban tegas untuk menolak poligami dan hanya akan menikah sekali saja seumur hidupnya. Atau paling tidak jika ia mengikuti sunah Rasul. Ia hanya akan menikah lagi setelah istri pertama meninggal.
Bukankah Rasullallah SAW berpoligami setelah Siti Khadijah R. A meninggal dunia? Itu pun atas perintah Allah. Mengapa kaum adam seolah lupa dan hanya terfokus dengan menambah istri saja. Aku hanya berharap agar mereka membaca dulu baik-baik sirah Nabi Muhammad SAW sebelum memutuskan untuk menghancurkan hati pasangannya. Waullahualam.
***
Hari yang ditunggu pun tiba, kami menumpang mobil Pak Kepala Sekolah menuju tempat perlombaan. Setelah satu jam perjalanan, akhirnya kami sampai di tujuan. Gedung aula Islamic Center sudah ramai oleh peserta dan para pendukungnya. Aku duduk di belakang panggung bersama peserta lainnya. Menunggu giliran nama kami dipanggil. Satu persatu peserta telah dipanggil. Aku terkesima dengan penampilan tiap peserta. Nyaliku mulai ciut sedikit demi sedikit. Hapalan dan suara mereka begitu memukau.
"Andini khumaira, perwakilan Madrasah Aliyah Negeri Mekarjaya."
Suara lantang dari mikrofon membuat jantungku berdegup kencang. Aku terdiam sesaat, mencoba untuk tenang dengan menarik nafas panjang dan mengeluarkannya perlahan.
"Bismillahirahmanirahim, " ucapku pelan. Kemudian melangkah dengan pasti menuju panggung.
Semua mata, kini tertuju kepadaku. Aku tidak boleh membuat kesalahan. Aku tidak boleh mengecewakan orang tua dan orang-orang yang memilihku.
"Assalamualaikum, ukhty, " sapa moderator ramah.
"Waalaikumsallam, " jawabku gugup.
"Langsung ke pertanyaan, bacakan surat ke 3 juz 29 dan terjemahannya. "
Aku berhasil melewati setiap pertanyaan juri dengan baik. Walaupun ada beberapa pertanyaan yang tidak bisa kujawab.
"Maaf, Ustazah, " ucapku penuh penyesalan.
"Nggak apa-apa, yang penting kamu sudah berusaha, " jawab Ustazah Rahma sambil memelukku erat.
Akhirnya, semua peserta telah tampil dengan penampilan terbaiknya. Kami menunggu hasil perlombaan untuk beberapa saat. Hasil yang ditunggu pun tidak membuat kami begitu kecewa. Zidan berhasil mendapatkan juara ketiga dan Siti Patimah berhasil mendapat juara pavorit. Aku turut bahagia dan bangga untuk mereka.
"Allhamdulillah, terima kasih anak-anak dan selamat untuk kita semua. Kalian luar biasa, wassalamualaikum warahmatullahiwabarakatu, " ucap Ustaz Zaki sebagai penutup. Kemudian, satu per satu pulang ke rumah masing-masing. Tinggallah aku dan Zidan, menunggu angkutan umum yang akan mengantarku sampai ke rumah.
"Selamat, ya, " ucapku tersenyum manis.
"Makasih, kamu juga hebat. "
"Hebat darimana? Aku nggak menang," tukasku dengan mimik sedih.
"Buatku, kamu tetap hebat kok," gombalnya sembari melemparkan senyum.
"Iih ... gombal. "
"Kamu tetap juara di hatiku, Din," ucapnya sembari memandangku lekat.
'Astagfirullahaladzim,' bisikku dalam hati kemudian menundukkan kepala.
."Kamu nggak usah sedih, yang penting sudah berusaha. Masih Ada kesempatan tahun depan, " sambungnya berusaha menghiburku.
Hatiku tidak bisa dibohongi, Ada rasa sedih dan kecewa. Harapan untuk menghadiahi Ibu dan Bapak dengan kemenangan. Berakhir pilu di hati. Namun, sedikit terobati dengan kemenangan Zidan. Orang tuanya pasti bangga. Aku menatapnya lekat dari samping, tampak raut bahagia terpancar dari muka kharismatiknya. Angkutan umum yang Ku tunggu sudah terlihat mendekat dan berhenti tepat di depan kami. Aku berpamitan kepada Zidan kemudian masuk ke dalam angkutan umum tersebut.
Aku bergegas turun dari angkutan umum saat menyadari kerumunan ramai di depan rumah. Apa yang terjadi di rumah?
***
Aku berlari sekuat tenaga menuju rumah, tampak beberapa tetangga tengah berkerumun sambil berbisik-bisik. Teriakan Kak Rianti terdengar nyaring hingga ke pekarangan rumah. Aku menubruk kerumunan itu untuk bisa masuk ke dalam rumah."Pergi! " pekik Kak Rianti sembari melemparkan beberapa bantal sofa ke arah Kak Rangga."Istigfar, Ran. Inget anak-anakmu, " ucap Ibu sembari memeluk Kak Rianti."Maafin aku, tapi Alif akan kubawa, " ucap lelaki berbaju hitam itu sembari menoleh ke arah Alif."Jangan! Jangan bawa anakku. Aku yang mengandung dan melahirkannya, merawat mereka sampai sekarang, " tukas Kak Rianti diiringi tangisan pilu."Maaf, Ibu-ibu, tolong jangan ngumpul di sini. Kasian Kak Rianti, " pintaku kepada kerumunan orang di depan rumah sambil mengatupkan kedua tangan.Mereka pun pergi bersamaan. Masih terdengar suara gunjingan mereka ke telingaku. Mengabaikannya adalah pili
"Apa maksudmu? Kalian pacaran? " tanya Bapak dengan ekspresi marah. Bapak terlihat sedikit emosi. Rona wajahnya berubah menjadi merah padam. Aku baru pertama kali melihat Bapak marah kepada orang yang baru dikenalnya. Beliau memang sosok yang protektif dan tegas. Namun ramah dan penyayang. "Bukan begitu, Pak. Ini nggak seperti yang Bapak pikirkan, " jawabku agak cemas. "Jika Allah mengizinkan dan Bapak menerima. Saya ingin mengkhitbah Dini, Pak, " ucap Zidan sambil menatap Bapak lekat. 'Apa? Mengkhitbah? Ini semua di luar rencana. Aku belum siap menikah, Zi,' bisikku di dalam hati sambil menatap ke arah Zidan dan menggelengkan kepala perlahan. "Tapi kalian kan masih sekolah. Masa depan kalian masih panjang. Dipikir dulu baik-baik, " ucap Ibu tenang. Bapak terlihat bingung, ia menyeruput kopi hitamnya beberapa kali. "Iya, Bu. Maksudnya, saya akan
Ujian akhir sekolah sudah di depan mata. Aku dan Zidan lebih sibuk belajar dan hanya sesekali bersua. Bel jam istirahat terdengar nyaring dari speaker kelas. Hampir semua siswa ke luar kelas untuk melepas penat. Sebagian pergi ke kantin sekolah sebagiannya lagi pergi dengan urusan mereka masing-masing."Din, ayo ke kantin! " ajak Salma yang sudah berdiri di samping mejaku bersama Aisyah."Duluan aja, aku mau ke belakang dulu. ""Oh ... Ehm, ehm, " goda Salma seraya menoleh ke arah Zidan."Ehm, ehm juga, " ucapku mengulum senyum.Zidan pergi ke luar kelas terlebih dahulu. Aku menyusulnya dari belakang sambil menunduk. Sebenarnya, agak malu juga terlalu sering bersama di jam istirahat."Aduh! " pekikku spontan saat tubuh ringkih ini menumbruk benda empuk di depanku."Hati-hati dong, " ucap Zidan mengernyitkan dahi."Ih ... Kenapa juga kamu berhenti ngedadak? Kan jadi tab
Zidan mengantarku dengan selamat sampai ke rumah. Kemudian pamit pulang setelah menyapa Bapak yang sedang duduk di depan teras."Assalamualaikum.""Waalaikumsalam, acaranya lancar, Neng?" tanya Bapak penuh selidik."Allhamdulillah, Pak. Uminya Zidan baik banget," jawabku dengan seulas senyum."Allhamdulillah.""Dini masuk dulu ya, Pak, " ujarku diikuti anggukkan dari Bapak.Aku melangkah malas menuju ke dalam kamar. Dari jauh,terdengar tangisan Alif yang memekakkan telinga. Aku bergegas mencari sumber suara, tampak Ibu sedang sibuk menenangkan Alif sambil bershalawat."Alif kenapa, Bu? " tanyaku seraya mendekat ke tempat Ibu berdiri."Kangen sama Mamahnya, dari siang nanyain Rianti terus, " jawab Ibu sedih.Beliau terlihat lelah nenggendong Alif. Keringat mulai mengucur dari dahi dan pelipisnya, padahal udara sudah mulai dingin. Tubuh renta itu terlihat semakin ringkih. Ibu beber
Ujian akhir sekolah telah kami lewati. Semua terlihat lega dan bahagia. Acara tour sekaligus perpisahan kelas telah diatur dari jauh hari. Pagi buta, aku bergegas bangun dan bersiap untuk pergi ke sekolah. Bus yang akan mengantar kami tour akan tiba tepat pukul 06.00 pagi. Biar memaksimalkan waktu, kata wali kelas kami sambil terkekeh."Din! Zidan udah di depan! " pekik Ibu nyaring.Aku pun berpamitan dengan Ibu dan Bapak, kemudian pergi ke sekolah bersama Zidan."Dingin, Zi. Jangan ngebut-ngebut, " ujarku seraya mengeratkan jakek yang lumayan tebal."Siap, tuan putri, " jawabnya berseloroh.Aku tergelak di dalam hati. Semakin hari, Zidan semakin lihai menggombal. Entah belajar dari mana lelaki satu ini. Dulu, ia terlihat dingin dan kaku. Cinta memang bisa merubah segalanya.Selang beberapa menit, kami sudah sampai di sekolah. Dua bus pariwisata sudah terparkir cantik di sana. Hampir semua siswa terlihat s
"Din, Zidan sakit apa? " tanya Salma."Emang Zidan sakit? Aku nggak tahu, " jawabku datar."Kalian berantem? "Aku hanya diam dan menyiapkan beberapa persyaratan yang harus kukirim ke beberapa pondok tahfidz.Hampir satu bulan setelah acara perpisahan sekolah. Aku tidak berkirim kabar dengan Zidan. Ia tidak pernah lagi menghubungiku. Mungkin lelaki itu benar-benar marah kali ini."Kita tengokin Zidan, yuk! " ajak Salma sambil merajuk."Kata teman-teman, Zidan sakit udah dua minggu? ""Sakit apa? " tanyaku penasaran. Hati kecil ini tidak bisa dibohongi kalau aku masih peduli kepadanya."Katanya kecelakaan, jatuh dari motor, " ucap Salma menatapku lekat.Hari itu, aku hanya berdua dengan Salma. Aisyah tengah sibuk dengan urusan keluarganya. Kami saling bercerita hingga senja, salah satu yang membuatku terhibur adalah berbagi cerita dengan sahabat. Walau tidak banyak membantu,
Zidan tidak membalas pesanku dari semalam. Mungkin, butuh waktu untuk memikirkan semuanya. Memang berat untuk memutuskan semua ini.Bukankah hidup adalah pilihan? Seperti Kak Rianti yang memilih bersama suaminya kembali setelah menghancurkan hatinya. Pilihannya pasti sudah dipikirkan baik-baik. Begitu pun dengan aku yang yakin memilih tujuan hidup sebagai seorang tahfiz.Selama libur, waktuku lebih banyak dihabiskan di rumah. Membantu Ibu dan menambah hapalan. Aroma teh melati menguar hingga ke dalam kamar, aroma manis dan menyegarkan. Ibu pasti sedang menyeduh teh di dapur.Aku hendak melangkah menuju dapur saat layar gawai terlihat menyala.[Assalamualaikum, setelah kupikirkan semalaman. Tetap saja hati kecilku menolak hubungan kita berakhir begitu saja. Aku akan menemui sore ini]Isi pesan itu sedikit mengusik hati. Besok aku harus pergi untuk mewujudkan mimpi menjadi seorang tahfidz tiga puluh juz. Di sisi lain, ada seorang pria yang
Hampir setengah hari perjalanan dari Bandung ke Tangerang Banten. Akhirnya sampai di tempat tujuan.Tanah yang sangat asing untukku. Aku Membulatkan hati untuk mengusir rasa khawatir dan takut, kemudian melangkah dengan pasti.Aroma petrikor menghidu hingga menusuk ke hidung. Sepertinya, tanah ini baru saja tersiram air hujan. Aku menarik koper menuju alamat yang ada di pesan whatssap. Lingkungan yang agak padat, tapi tidak terlalu ramai.Langkahku terhenti tepat di depan gerbang. Tertulis Rumah Qur'an As-Syifa dengan ukuran besar di pintu gerbang. Seorang perempuan muda mempersilakan masuk dengan ramah."Maaf, namanya siapa, Ukhty?""Andini khumaira dari Bandung. "Gadis muda itu menuntunku ke kantor sekertariat. Bangunan dua lantai yang cukup besar dan rapi."Assalamualaikum, Umi."Gadis muda itu mengucap salam sembari mengetuk daun pintu."Waalaikumsallam, masuk. " Terdengar suara lembut da