Share

Bagian Empat

Para juri dan para hadirin yang lainnya mulai memasuki ruangan sidang yang menangani kasus pembunuhan Ibu Lucy. Gadis itu berada di kursi barisan paling depan, tertunduk, ia tampak gelisah dan juga menanti-nanti , sepertinya ia telah datang lebih awal.

Lucy memeriksa jam tangannya, di sana tertulis 8.30 pagi, sidang baru akan dimulai 30 menit lagi. Baru beberapa orang saja yang sudah berada di dalam ruangan dan mengisi tempat duduknya. Ruangan itu masih tampak sangat senggang.

Bahkan Hakim Ketua belum berada di ruangan, sang pelaku yang masih misterius juga belum berada di kursinya. Lucy sangat menunggu hari ini, sehingga ia datang lebih.

Setelah Rino mengatakannya pada kemarin lusa, ia memikirkan hal ini dari pagi hingga malam, sampai hari ini tiba. Ia sangat ingin pelakunya dihukum setimpal, ia bahkan berpikir bahwa ‘nyawa dibayar nyawa’.

Lucy sangat mencintai dan menyayangi ibunya. Ia tak terima jika ibunya meninggal dengan tidak wajar, dan sangat mengenaskan seperti itu. Ibunya tak pantas meninggalkan dunia seperti itu.

Kakek Lucy juga akan menghadiri pengadilan tersebut, tetapi ia belum juga tiba. Lucy pergi ke pengadilan sendirian menggunakan taksi. Entah kapan Kakek tua itu datang. Ia tak berkoordinasi terlebih dahulu bersama kakeknya, sehingga mereka pergi secara terpisah.

Seseorang memasuki ruang sidang sendirian, tatapannya mencari keberadaan tempat Lucy duduk saat ini. Ia menemukan Lucy berada di barisan depan, menghampirinya dan duduk di samping Lucy. Lucy memperhatikan orang yang duduk di sampingnya tanpa seizin darinya.

“Kenapa kau melihatku seperti itu?” ujarnya merasa tak nyaman dengan tatapan intimidasi milik Lucy. Bagaimana tidak begitu? Orang di sampingnya menggunakan pakaian yang informal untuk hal seperti ini, bahkan menggunakan topi dan memakai masker sehingga Lucy tak dapat langsung mengenalinya.

 Mendengar suara dari orang di sebelahnya, Lucy baru langsung mengenalinya, tentu saja Rino. “Apa yang kau lakukan di sini?” ujar Lucy dengan nada berbisik seraya memegangi sweater Rino.

“Ini sudah jelas bukan?” Rino mengibaskan tangan Lucy dari pakaiannya dan mengelapnya dengan arogan. Melihat perlakuan Rino, Lucy hanya bisa memalingkan perhatiannya kembali pada sidang yang belum dimulai.

Lucy sendiri mengenakan blouse yang cukup formal untuk ini berwarna hitam, rambutnya digulung dan hanya menyisakan poninya. Memegang buku dan bolpoint, untuk mencatat poin yang diberikan tersangka. Ia ingin menambah diary.

Tak ada pembicaraan di antara mereka setelah itu, perasaan canggung seperti menyelimuti mereka. Rino hanya mempertanyakan sikapnya barusan terhadap Lucy di benaknya.

Tatapan Lucy terus mengarah ke tempat duduk terdakwa yang masih kosong. Rino menyadari akan hal itu, ia merasa tak tega jika Lucy kecewa dengan kenyataan.

“Bisakah kita keluar saja dan melewati persidangan ini?” Lucy menatap Rino dengan tatapan yang seolah berkata, “Apa kau gila?”. Gadis itu berdecak, guna meledek pertanyaan konyol  seorang di sampingnya.

“Aku serius.” Lucy juga tak mau kalah dengan Rino, “Aku juga serius.” Kini mata Rino menatap tajam ke arah Lucy, gadis itu mendelik terkejut dengan tatapan seperti di depannya saat ini.

Ia menundukkan pandangannya, dibuat salah tingkah oleh Rino. Meskipun itu bukan waktu yang tepat bagi mereka. “Ayo keluar!” ajaknya meyakinkan Lucy. “Tapi, kenapa? Kau tahu, bukan? Aku sangat menunggu hari ini. Jika kau menginginkanku pergi dari sini, seharusnya kau tak perlu memberitahukan hal ini padaku.”

“Aku tahu. Dan kini aku menyesalinya. Aku yakin kau tak ingin mengetahui siapa pelakunya, jika kau tahu. Aku mohon, pergilah denganku dari tempat ini.” Beberapa orang di sana melirik perselisihan di antara mereka.

Lucy merasa tak nyaman dengan sikap Rino saat ini, pria itu berubah menjadi orang yang menyebalkan baginya.

Lucy masih menundukkan kepalanya, “Pergilah. Keluar dari sini. Tinggalkan aku!” Rino keluar tanpa sepatah kata, dengan penyesalan dan tanpa pemberontakkan. Mengapa ia begitu memaksa Lucy untuk pergi? Toh, Rino sendiri yang telah memberitahu Lucy.

“Bagaimana mungkin aku bisa tak merasa ingin tahu dengan semua ini?” Gadis itu hampir tersulut emosi, ia hanya bisa berbisik dengan dirinya dengan hati-hati.

Ia melihat kembali jam tangannya, tersisa 15 menit lagi sebelum sidang dimulai. Lucy pikir ia mempunyai waktu untuk ke kamar kecil. Tubuhnya terangkat bangkit dari kursi, langkahnya menuju ke pintu keluar ruangan itu.

Ia berjalan dengan santai sambil mengamati jalan yang ia lalui. Gedung itu cukup sibuk, tetapi lingkungannya juga bersih dan nyaman. Ia sangat menikmati setiap langkahnya menuju kamar kecil.

Sebenarnya Lucy tak tahu di mana letak kamar kecil terdekat, ia berniat untuk bertanya dengan seseorang yang lewat. Kebetulan, ada seseorang yang akan berpapasan dengannya.

“Permisi. Bisakah anda menunjukkan arah ke toilet?” Wanita yang tampaknya seorang pengacara itu hanya menunjukkan arah dengan tangannya, tanpa memberi keterangan. Sepertinya sudah dekat.

“Jadi, hanya berjalan lurus lalu belok ke kiri di persimpangan lorong pertama?” Wanita itu hanya mengangguk dan tersenyum. Lucy mengucapkan terima kasih dan pergi meninggalkan wanita yang masih memperhatikannya menjauh.

“Ia sama sekali tak mengucapkan sepatah kata pun,” batin gadis itu dengan tatapan yang tertuju pada lantai yang ia lewati. Persimpangan sudah di depan, Lucy berbelok ke kiri. Ternyata itu adalah sudah ruangan kamar kecil.

Lucy menuju keran air, melihat dirinya pada cermin di depannya. Diam. Wajahnya tak menunjukkan ekspresi apapun. Ia merapikan kembali rambutnya.

Memutar badannya, memastikan tak ada yang terlewat. Ia mengangguk dan akan kembali ke ruang sidang, karena lima menit lagi sidang akan berlangsung.

Tetapi, tubuhnya kaku tak bisa digerakkan!

Ia berusaha bergerak sekuat tenaga dan memikirkan apa yang salah. Kabut hitam mulai keluar dari keran air. “Oh, tidak. Ini mulai lagi,” batin gadis yang tengah berdiri kaku itu.

Ia masih tetap berusaha memberontak, tetapi seperti usahanya tidak membuahkan hasil. Ia malah semakin merasa terlilit. Akhirnya, terpaksa harus mengalah dan melewati ini lagi.

Matanya tertuju pada cermin di depannya. Kabut hitam mulai memenuhi ruangan, dan tampaknya sedari tadi hanya Lucy yang ada di sana. Napasnya mulai terasa sesak, dadanya seperti terhimpit.

Lampu di ruangan menyala dengan baik, sehingga semua yang terjadi dapat terlihat jelas. Lucy melihat tubuhnya mulai dikelilingi kabut hitam itu.

“Ayolah, aku harus segera kembali...,” batinnya dengan sedikit rasa kepanikkan. Tiba-tiba perlahan mulai muncul tulisan dari permukaan cermin, masih belum begitu jelas. Lucy memusatkan pandanganya ke arah tulisan yang akan muncul itu.

Apakah kau yakin akan mengikuti sidang itu, Lucy Velyyan?

Pertanyaan itu tentu ditujukan untuk gadis yang sedang kaku di depan cermin, ia tak tahu mengapa ‘mereka’ menanyakan ini. “Mengapa aku mendapat pertanyaan seperti ini lagi? Tentu saja iya,” tuturnya dalam hati.

Ia hanya bisa mengedipkan mata, semua anggota tubuhnya kaku seprti terkunci oleh kabut hitam yang masih melilitnya. Ia hanya bisa menjawab pertanyaan itu dalam hatinya.

Tak butuh waktu lama, kabut yang mengelilinginya perlahan memudar. Jari tangannya mulai bisa digerakkan. Napasnya juga kembali normal seperti sebelumnya. Perasaannya sedikit lega.

Setelah semua anggota tubuhnya terasa bebas, dan kabut itu sudah lenyap sepenuhnya. Ia segera meninggalkan ruangan itu, mengingat sidang akan segera dimulai atau mungkin bahkan sudah dimulai. Apa yang terjadi tadi sepertinya cukup memakan waktu.

Tulisan di cermin belum menghilang ketika Lucy meninggalkannya, rupanya ada kalimat baru yang muncul setelahnya. Ukurannya bahkan lebih besar dari sebelumnya.

Kau akan menyesal!

Setelahnya, ruangan itu kembali seperti semula. Tetapi, Lucy tak mengetahui kalimat selanjutnya. Ia langsung saja keluar dari sana.

Lucy menuju ruang sidang, ia hanya berjalan lebih cepat tetapi tak berlari. Mungkin lebih tepatnya tergesa-gesa. Di tengah jalan ia memeriksa jam tangannya. Ternyata waktu masih seperti saat terakhir ia mengecek jam tangannya.

Sidang masih lima menit lagi. “Apakah aku berhalusinasi lagi?” batinnya dan menormalkan langkahnya. Ia masih memiliki waktu. Ia merasa kebingungan untuk sesaat.

Tapi, apa itu? Seseorang berbaju oranye digiring masuk ke ruang sidang dari arah yang berlawanan, tak terlalu nampak dengan jelas. Itu menyita perhatian Lucy, ia mengamatinya dengan seksama. Tampak familiar dengan apa yang ia lihat.

Seketika ia mempercepat langkahnya setelah mereka memasuki ruangan. Ia tampak gugup tetapi juga sedikit senang. “Siapakah pelakunya hingga mereka menanyakan kehendakku?”

Ia mengintip melalui sela-sela pintu, mencoba mengidentifikasi pelaku dari jauh. Dan mulai melangkah masuk perlahan dengan mata yang masih fokus ke pria yang tengah memakai baju oranye, duduk di kursi terdakwa. Rupanya hakim sudah berada di kursinya.

Lucy tak dapat melihatnya dengan jelas, orang itu menujukan pandangannya ke bawah. Ia sangat penasaran, karena penampilan sang pelaku tampak sangat tidak asing baginya. Hakim diam-diam melirik ke arah Lucy.

Gadis itu kembali ke tempat duduknya, dan mengikuti sidang dengan penuh rasa semangat. Ia sangat menantikan ini. Kembali melihat jam tangannya, sidang akan bermulai kurang dari dua menit lagi.

Sementara itu, Rino sudah berhasil masuk ke dalam ruangan secara sembunyi-sembunyi. Ia masih mengkhawatirkan Lucy, sesuatu mungkin saja terjadi jika Lucy terlalu syok.

Jantung gadis itu lemah.

Sidang sudah akan dimulai, dan Lucy tetap mengamati orang di sana yang terus tertunduk. Ia sangat penasaran dengan sesosok orang yang berpakaian oranye itu. Banyak jawaban yang ia inginkan dari sidang ini.

Perasaanya sangat tidak tenang, jelas terlihat dari sikapnya, jantungnya juga berdegup lebih cepat dan tangannya juga berkeringat. Lucy tak tahu perasaan apa ini, tetapi ia juga takut.

Pria di seberang sana mendongakkan wajahnya ke depan. Semakin menampakkan diri, mulai bisa dikenali dari sisi wajahnya. Lucy terkejut, itu sangat tidak mungkin baginya. Tak mungkin bahwa dia adalah pelakunya.

Mulut gadis itu terbuka kecil, memajukan tubuhnya untuk lebih meyakinkan, matanya membulat. Ia tak percaya apa yang ia lihat saat ini, “Tidak. Ini ilusi lainnya, pasti ilusi!” Rino terus memperhatikan Lucy, melihatnya seperti itu, ia semakin menyalahkan dirinya.

“Tak mungkin jika dia adalah pelakunya,” ucapnya lirih dan masih menggelengkan kepalanya. Berusaha meyakinkan dirinya bahwa ini juga ilusi dan tipuan lainnya.

Napasnya tak teratur, ia merasa sangat kecewa dengan pria yang duduk di sana. Kedua tangannya menutupi wajah, ia ingin menangis tetapi ini adalah tempat publik.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status