Share

Bagian Tiga

Gadis itu menyetel alarm di handphone-nya pada pukul 4.15 sore. Ia ingin mengisi kembali tenaganya yang belum terisi penuh, meskipun ini belum waktunya untuk siesta.

Menyalakan pendingin ruangan, menutup gorden jendela kamarnya, dan selanjutnya gadis itu menuju tempat tidurnya. Ukurannya hanya cukup untuk tidur Lucy, dengan sprei berwarna kuning-putih-oranye, dengan sedikit motif rubah dari karakter Rillakuma.

Kini ia telah berada di atas kasur, tubuhnya menghadap ke kanan dan memeluk guling dengan karakter Rilakkuma miliknya. Dalam hitungan detik, Lucy telah tertidur lelap. Pendinginnya menyala di dalam ruangan kamar yang sedikit redup. Tampak sedikit pengap.

Remaja berusia 15 tahun itu bahkan bisa tertidur tanpa merasa terganggu dengan ruangan yang tampak suram. Ia tak terlalu menyukai cahaya matahari yang bersinar terang, itu membuat matanya sakit, Lucy mengalami Fotophobia.

Fotophobia merupakan kondisi mata yang sangat sensitif terhadap intensitas cahaya. Sinar matahari atau cahaya ruangan yang terlalu terang dapat membuat penderitanya mengalami rasa sakit atau tidak nyaman di matanya. Seperti gadis itu.

Gangguan itu sangat mengganggu Lucy ketika pertama kali dia mengalaminya, sekarang ia sudah lebih terbiasa. Karena itu ia memutuskan untuk menghindari sinar matahari langsung, memakai pakaian tertutup, dan menggunakan lampu dengan kualitas cahaya rendah untuk menjaga matanya. Ia tak ingin menggunakan kacamata yang dianjurkan oleh dokter.

Ia akan menjadi kutu buku jika memakai kacamata itu, dan Rino akan terus menggodanya akan hal itu. Baguslah mereka tidak pernah keluar bersama saat matahari befrada di langit.

Sepertinya ia terlelap, tanpa gangguan mimpi buruk. Terlihat sangat nyaman dan tentram. Mengingat mimpi terakhirnya membuat tubuhnya merasa kesakitan. Untuk sesaat, kadang ia merasa takut untuk tertidur. Baguslah.

Alarm handphone-nya telah berbunyi, menandakan waktu tidur telah usai. Lucy meregangkan tubuhnya di atas kasur, membuka matanya dengan perasaan yang lebih baik dari sebelumnya. “Ini terasa begitu cepat jika aku tidak bermimpi, dan begitu pula sebaliknya.”

Sebenarnya ia masih ingin melamun di atas kasur, tetapi harus ada yang mematikan alarm. Lucy berjalan menuju handphone-nya dengan terhuyung-huyung, tubuhnya belum sepenuhnya sadar.

Setelah tiba di meja belajarnya dengan susah payah, ia duduk di kursi, meraih telepon genggamnya dan mematikan alarm yang terus berbunyi. Termenung sesaat.

Rambutnya acak-acakan, dan ia memiliki muka bantal. Mulutnya terbuka lebar dan uap panas keluar dari sana. Cukup lama.

Matanya menyusuri sudut di mana buku-buku berjejer rapi, tebal dan beragam. Ia membaca judulnya satu persatu. Mencoba menemukan buku yang ia baca. Lucy pikir akan membaca beberapa halaman ensiklopedia bebas untuk mengisi freetime-nya.

“Aku merasa jenuh. Bisakah aku keluar pada sore hari yang cerah ini dan mencari udara segar?” Lucy angkat kaki dari meja belajarnya setelah lima halaman terselesaikan. Ia pergi untuk mencuci wajahnya dan mandi lagi.

Setelah rampung membersihkan diri, gadis itu kini tengah memakai pakaian yang ia pilih dari lemari. Tentunya sweater dan celana jeans. Tak ada yang lebih baik dari itu.

Ia tak perlu meminta restu kepada kakeknya untuk pergi keluar, kakeknya tahu bahwa Lucy pandai menjaga dirinya sendiri. Kali ini, ia sengaja pergi tanpa mematikan pendingin di kamarnya. Entah apa alasannya. Bik Nah pasti akan tetap mematikannya nanti jika mengambil pakaian kotor Lucy.

Gadis itu berjalan keluar rumah, menyusuri perumahan di sekitar sana. Masih ada banyak waktu untuk berjalan-jalan sebelum bertemu dengan Rino.

Ia berjalan ke arah timur untuk menghindari matahari tenggelam, itu sungguh menyakitkan. Jalanannya tak begitu ramai seperti biasanya, padahal ini waktu yang pas untuk menghirup udara segar.

Ada sebuah bangku kosong di taman, Lucy memutuskan untuk duduk di sana dan menikmati hamparan bunga di taman itu.

Sebelumnya ia memeriksa pukul berapa saat ini, waktu hampir menunjukkan pukul 6.00, waktu terasa cepat berlalu.

Hanya ada Lucy seorang diri di sana, tengah hanyut dalam lamunan. Dalam benaknya, ia memikirkan apa yang terjadi beberapa waktu ini dalam hidupnya. Ia tak tahu apa yang akan menimpanya setelah ini.

Ia menyandarkan punggungnya, mendongakkan kepalanya ke atas menembus langit berawan dengan latar jingga-magenta. Tangannya bersembunyi di balik saku sweater-nya bersama teleponnya.

“Hai, Lucy. Apa yang sedang kau lakukan di sini sendirian?” Seseorang membangunkan Lucy dari lamunan dengan menepuknya di bagaian bahu. Lucy menoleh ke tangan yang menyentuh bahunya.

Perasaanya lega, tangannya tidak sama seperti tangan wanita saat itu. Ia mulai menyusuri tangan itu hingga ke wajahnya. Rino.

“Tidak ada. Hanya membuang waktu luangku,” ujarnya kepada Rino. Bayangan pria itu tak terlihat. Lokasi mereka tertutupi oleh pohon yang cukup lebat.

Pria itu langsung saja menduduki tempat kosong di sebelah Lucy. “Aku akan membuang waktu luangku juga kalau begitu.” Tubuhnya bersandar di kursi bersama dengan Lucy. Menantikan matahari tenggelam dari arah yang berlawanan, itu aneh.

Matahari telah tenggelam, belum sepenuhnya, karena belum terlalu gelap. Lampu jalanan mulai menyala secara berurutan. Sudah tidak ada orang yang berlalu-lalang di sekitar mereka.

Banyak yang masih percaya dengan mitos yang telah turun-temurun. Sunyi, tak di antara Lucy dan Rino yang memulai percakapan. Masing-masing sibuk dengan pikirannya.

Lucy menghadap ke bulan yang mulai terlihat jelas, belum semua bintang keluar. Angin malam berhembus perlahan. “Mari kita langsung ke intinya saja, aku ingin memberikan beberapa pertanyaan dan memberi tahumu sesuatu.”

Rino mengubah posisi duduknya untuk menatap Lucy. Lucy hanya mengangguk mendengar pernyataan Rino dan tetap memandangi bulan yang masih sedikit terlihat samar. Dan itu tak masalah, Lucy memang selalu saja seperti ini.

“Kemarin adalah Jum’at tanggal 13. Kau tahu artinya bukan?” ujarnya dengan tetap menatap Lucy. Lucy kembali mengangguk tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. “Tujuan obrolan ini terlihat jelas, akhirnya juga begitu.” Kata lain suara hati Lucy memintanya untuk berbagi cerita dengan Rino.

Rino menghela napasnya, “Tak ada yang ingin kau beritahukan kepadaku?” Gadis itu kini membalas tatapan Rino, ikut menghela napas dan tersenyum. Ia mulai bercerita semua yang terjadi padanya kemarin, Rino terus memperhatikannya dan menyimak apa yang Lucy katakan agar tak terlewat.

“Kenapa bisa sampai seperti itu? Ketua akan marah jika tahu itu,” batin Rino setelah mengetahui ada orang yang mengawasi Lucy.

Rino pasti akan melaporkan tindakan kelalaian ini, atau mungkin ancaman ini. Tampaknya tangan wanita itu sangat berbahaya bagi Lucy dan Rino.

Pria itu harus segera melaporkannya ke pihak bersangkutan!

Mereka melewati malam dengan cerita Lucy hingga selesai. “Baiklah, itu cukup buruk. Beritahu aku jika itu kembali terjadi. Bolehkah aku menambahkannya dengan berita buruk atau mungkin juga baik?” ujar Rino setelah mendengar semua cerita Lucy.

Ia tak yakin untuk langsung mengatakannya tanpa bertanya terlebih dahulu.

Lucy hanya mengangkat kedua alisnya, menandakan persetujuannya untuk mendengar kabar dari Rino. “Senin esok adalah sidang tentang kasus ibumu, pelakunya telah tertangkap.” Lucy membuka penutup kepalanya, bangun dari kursi taman, menoleh ke arah Rino yang masih duduk di sana.

Ia tersenyum sangat lebar, “Itu sangat bagus.” Gadis itu tergirrang akan hal itu.

“Sepertinya itu tidak bagus untukmu,” batin Rino yang melihat antusiasme Lucy. Wajah Rino sedikit mengkhawatirkan Lucy, gadis itu mungkin akan sedih setelah tahu siapa pelakunya.

“Hei. Tak perlu sesenang itu. Memangnya apa yang akan kau lakukan jika sudah bertemu dengannya?” Rino kembali menyandarkan diri di kursi itu, matanya tertuju pada bulan malam itu.

Lucy masih berdiri, terus tersenyum menyeringai, berjalan-jalan mengelilingi bangku dengan perlahan. Entahlah. Sangat aneh.

Ia berhenti di belakang bangku tepat di belakang Rino, menatapnya dari atas wajah Rino. Menghalangi pandangan Rino ke langit bebas, rambut panjang Lucy ikut terjatuh menutupi mereka dari pandangan orang lain.

Lucy tersenyum menyeringai, membuat Rino merasa canggung tetapi ia merasa seperti membeku. Senyum Lucy menghilang, “Aku akan membunuhnya.” Lucy kembali mengitari bangku dengan tersenyum menyeringai.

“Dia membuatku berdebar,” batin Rino seraya bangkit dari sandarannya. “Apakah kau sudah gila? Kau akan ikut ke penjara jika begitu.” Lucy kembali duduk di samping Rino, dan tertunduk seperti kehilangan semangat. Rambutnya menutupi wajahnya, meskipun begitu tetap saja ia terlihat murung.

Rino merasa ia telah salah bicara, wajahnya terlihat gagap. “Aku hanya tak tak tahu apa yang harus kulakukan. Mungkin itu yang akan kulakukan,” tutur Lucy dengan suara parau.

“Jangan menangis.” Rino panik dan berusaha menenangkan Lucy, ia pikir Lucy menangis karena nada bicaranya itu. Lucy lalu menoleh ke hadapan Rino, wajahnya datar, ia hanya ingin menunjukan bahwa ia tak menangis.

Pria itu kembali bersandar di kursi dan menghela napas panjang. Tubuhnya mengisyaratkan bahwa ia merasa lega.

“Apakah kau tahu kemana perginya ‘dia’? Aku ingin bercerita banyak hal kepadanya, meskipun ia selalu menggangguku, tetapi aku juga merasa tenang tanpanya. Setelah kepergian Ibu ia tak pernah menampakkan diri. Namun, bagus juga tidak ada ‘dia’...,” tutur Lucy, ia kehilangan seseorang dari hidupnya, selain ibunya.

“Apakah kau-,” ucapan Rino terdahului oleh Lucy. “...aku merindukannya!” imbuh Lucy berteriak dengan posisi tubuh yang telah beranjak dari bangku.

Rino terkekeh, Lucy langsung tersipu. “Aku ada di sini, kau bisa menceritakan semua padaku. Kau tak membutuhkan ‘dia’.” Tatapan mata pria itu menuju ke arah gadis di sebelahnya yang tengah tersipu. Tidak biasanya Lucy seperti ini, ini momen langka bagi Rino setelah sekian lama.

“Kau berbeda dengannya, Rin.” Gadis itu masih tersipu, tetapi ia pergi meninggalkan Rino di tempat. Menuju mawar yang tumbuh liar di tepi pohon yang tak jauh dari bangku.

Rino hanya memperhatikannya dari belakang, ia tak berniat untuk mengikuti Lucy. Sedangkan Lucy, menurunkan tubuhnya dan memetik bunga mawar merah itu.

Ups...

Jarinya tak sengaja tertusuk duri, tetesan darah mulai keluar dari jari tengahnya. “Oh? Kenapa ini tak menyakitkan?” Lucy mendekatkan jarinya ke hidungnya, tercium aroma anyir khas darah namun yang ini lebih pekat.

“Apakah ini darah Lucy? Kenapa bisa? Apakah ia terluka?” tutur Rino dalam hati kecilnya. Ia mulai panik tanpa sebab. Lucy berjalan menuju kursi dengan mata yang masih tertuju pada jarinya.

Panggilan masuk tertera pada telepon genggam milik Rino, “Lucy aku akan pergi, ada urusan mendadak yang harus aku selesaikan.” Lucy hanya menatap kepergian Rino secara tiba-tiba itu.

Rino berlari ke arah barat dan perlahan lenyap oleh gelap. Lucy tak bisa mendengar dan melihat punggung pria itu lagi.

“Ada apa dengannya? Padahal aku baru saja akan meminta plester,” ujar Lucy sedikit bingung dengan tingkah Rino.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status