Share

Bagian Lima

“Sudah kubilang, kau tak ingin mengetahui pelakunya.” Rino menghampiri Lucy. Ia berbisik. “Berhentilah. Ayo keluar!” Lucy memalingkan wajahnya ke Rino, “Jahat.” Perasaannya hancur, tepat ketika pandangan orang yang duduk di seberang sana beradu dengan matanya.

Matanya telah berkaca-kaca, mengecewakan sekali baginya untuk menerima kenyataan ini. Orang yang sepertinya sangat ia percaya melakukan hal ini pada keluarganya. Ingatan masa lalu bersama orang di sana kembali melintas, betapa baiknya orang itu.

Rino tak tega melihatnya begitu, juga berbalut rasa bersalah. Tangan Lucy digenggamnya, menariknya keluar dari ruang sidang ini. Semua orang memperhatikan, dan mulai berbisik.

Melihat dua orang remaja terus bergunjing. Tentu saja mereka semua akan mengira ini adalah masalah asmara.

Tenaga gadis itu seperti sudah terkuras oleh rasa kekecewaannya. Ia tak bisa memberontak bahkan ketika Rino menariknya demikian. Semangatnya sudah hilang untuk mengikuti persidangan itu, tak ada yang bisa ia lakukan selain mengikuti arahan Rino.

Setelah berada di luar ruangan, Lucy jatuh terduduk di lantai di antara lalu lalang sibuknya sebuah pengadilan negeri. Rino melepaskan genggamannya, menatap Lucy yang tampaknya sedang meratapi pelaku barusan.

“Bagaimana bisa dia? Bagaimana mungkin ini terjadi?” ia terus saja bergumam seperti itu. Pandangannya tak tentu, kadang kabur kadang kosong.

Rino tak tahu harus tertawa, turut meratapi atau bagaimana. “Maafkan aku,” ia berkata. Dan gadis itu tetap berada di sana, terduduk di lantai, mata yang tadinya hampir menangis sudah kembali normal. Tatapannya kini kosong, menatap ke arah lalu lalang yang terus memperhatikan mereka berdua.

“Berdirilah.” Tak ada respon yang terlihat dari gadis yang tengah meratap itu. Jiwanya seperti menghilang karena kekecewaannya yang besar. Ia tak pernah menyangka bahwa pelakunya adalah orang itu.

Ia bahkan sudah tak ingin mengikuti kembali sidang yang tengah berlangsung di dalam sana. Rino masih tetap berdiri di sampingnya dan terus memperhatikan Lucy. Bukannya ia tak peduli, hanya saja ia tak tahu harus berbuat apa dan bagaimana.

Gadis itu tampak seperti orang yang tengah mengalami depresi dan hampir gila.

Rino tepat di depan pandangan Lucy untuk menyelaraskan posisi, mencoba menatap apa yang ada dalam matanya. Napas panjang ia ambil hingga memenuhi ruang di paru-parunya, Lucy tak ada di sana.

Kedua tangan gadis itu ia taruh di pundaknya, ia sudah membelakangi pandangannya. Menggendong Lucy keluar dari tempat ini, mengantarnya ke suatu tempat yang hanya bisa di akses mereka. Semua orang yang lalu lalang hanya melihat dengan sekilas mata mereka sedari tadi. Mereka sibuk.

Beberapa orang berlalu melewati mereka dan mulai berbisik. Entahlah, orang-orang memang selalu begitu bukan?

Pengacara wanita yang ditemui Lucy sebelumnya, terus mengamati gerakan mereka dari ruang resepsionis yang tak jauh dari mereka. Ia tersenyum sama seperti saat Lucy menanyainya beberapa saat lalu.

Senyumannya hambar, namun terkesan jahat karena posisi tangannya yang menyilang di depan dada. Mungkinkah ia juga berpikir bahwa mereka berdua juga hanya sepasang kekasih yang sedang bermasalah satu sama lainnya?

Lucy tersandar lemas di pundak Rino, pria itu menggendongnya dengan hati-hati. Dalam kondisi seperti itu, Lucy bisa saja terjatuh, ia tak berpegangan pada Rino. Untung saja gadis itu cukup ringan, entah bagaimana beban Rino jika Lucy cukup ‘berbobot’.

Rino menggendong gadis itu pergi dari gedung, menuju ke jalan raya. Sebenarnya, hal seperti ini sudah terjadi tiga kali. Ini yang ke-empat.

Kali ini ini pria itu sudah tahu tujuannya, kemana ia akan membawa Lucy. Tentunya bukan rumah sakit maupun rumah Kakek. Pertama kali ini terjadi Rino membawa Lucy ke rumah sakit, alhasil Lucy semakin histeris. Gadis itu meluapkan semuanya dengan mengacau rumah sakit.

Polisi datang membawa gadis itu ke rumah sakit jiwa awalnya. Tetapi, Rino buru-buru menerangkan yang terjadi sebenarnya.

Bagaimana dengan rumah Kakek? Tak jauh berbeda. Kakek membawa ke ‘orang pintar’.

“Bagaimana jika misiku selesai dan Lucy tetap saja seperti ini?” ujarnya setelah menghela napas.

Ia melihat jalanan dari kiri hingga kanan sejauh yang matanya bisa menjangkau, mencari sebuah kendaraan yang bisa mereka tumpangi.

“Tolong antar kami ke alamat ini.” Rino menyerahkan sebuah kartu nama tempat yang tertera sebuah alamat juga di sana kepada sopir taksi yang sedang menepi. Lucy masih tetap kosong, dan tak peduli kemana mereka pergi.

Taksi biru menyala itu berangkat dengan kecepatan sedang. Sang sopir melirik dari cermin, ia melihat gadis yang duduk termenung di sana keheranan.

Rino terus saja menatap gadis yang masih tampak kosong di sampingnya itu. “Sudah begini saja. Bagaimana jika ia tahu yang sebenarnya?” batin Rino. Jiwa Lucy seperti pergi ke suatu tempat, dan raganya masih tetap di sini. Kosong.

Dalam benaknya, ia sebenarnya tak tahu harus berbuat apa. Lucy kehilangan kekuatannya yang dahulu. Gadis itu berbeda setelah kepergian ibunya.

Sepanjang perjalanan, Rino terus menatap tubuh yang kosong itu. Hingga akhirnya mereka tiba di sebuah rumah yang jauh dari lingkungan perkotaan. Asri dan sangat sesuai untuk menyendiri dan menenangkan diri.

Rino menggendong kembali gadis itu masuk ke dalam, punggungnya sedikit terasa sakit sebenarnya karena perjalanan panjang itu. Ongkos taksi tadi sebenarnya juga sangat mahal, tapi ia tak ada pilihan.

“Aku harap, kau segera membaik. Kuatkan dirimu kedepannya akan lebih berat lagi,” tuturnya seraya memandangi Lucy yang terbaring di kasur tak bergeming. Bahkan setelah perjalanan yang memakan waktu kurang dari dua jam, gadis itu masih kosong.

Apa punggungmu tak sakit?

Rino pergi meninggalkan Lucy sendirian dan memberikannya waktu bertenang. Butir air mata keluar hanya sekali saja dari matanya, tepat setelah Rino pergi. Di dalam benaknya hanya memikirkan satu kata pertanyaan untuk semua ini,’mengapa’.

Aku tak tahu harus bagaimana dan melakukan apa. Aku tak tahu. Ini terasa membingungkan. Mengapa dia membunuh ibuku?

 “Halo, Kek. Aku Rino, Kek. Maaf, tetapi aku pergi bersama Lucy untuk beberapa hari. Maafkan aku karena tidak memberitahu Kakek sebelumnya, karena ini sangat mendadak. Tolong percayakan Lucy kepadaku.”

Rino sudah sangat dekat dengan keluarga Lucy, dan keluarganya juga mempercayai Rino. Kakek Lucy tak perlu khawatir jika mereka berdua pergi bersama. Tetapi, anehnya adalah Lucy tak pernah bertemu dengan keluarga Rino selama mereka bersama.

Lucy hanya ingat bahwa Rino bilang kedua orang tuanya berada di Rusia sejak ia berusia 13 tahun. Rino memilih tinggal di sini bersama pamannya. Tetap saja, Rino tak pernah mengenalkan pamannya itu.

Pria muda itu sangat ramah dan pandai menuangkan keharmonisan di keluarga Lucy. Ia diterima dengan sangat baik oleh ayah, ibu, dan anggota keluarga lainnya.

Ia kembali menemui Lucy, berniat akan berpamitan kepadanya untuk membeli persediaan makanan. Meskipun Lucy dalam kondisi yang kurang baik, Rino tahu pendengaran gadis itu masih memiliki kinerja yang baik, entah disadari maupun tidak.

Gadis itu masih terbaring dengan posisi yang sama, yang berbeda hanyalah kelembapan di bawah matanya. Rino menyentuhnya dan mengelapnya dengan tisu.

“Tak apa jika kau ingin seperti ini, aku akan tetap menemanimu. Tenang saja, Lucy. Sampai kapanpun, bahkan ketika misiku telah usai. Aku masih belum yakin, ada apa denganku. Tetapi aku akan berada di sini, ya, di sisimu, menyiapkan bahuku jika kau perlu.”

“Sebenarnya aku tidak yakin juga akan hal itu, tetapi, ya ..., lupakanlah,” ia berkata. Tangannya meraih kursi yang ada di samping meja lampu. Ia pikir mungkin akan mengobrol dengan raga gadis yang kosong ini sesaat.

“Sangat langka momen seperti ini, momen di mana kau, Lucy, bisa menerima semua yang kukatakan. Bukan berarti aku senang kau seperti ini. Ini sangat susah untuk diceritakan, tetapi aku akan memberitahumu.”

“Separuh dirimu adalah diriku, dan separuhnya lagi adalah dirinya. Dan takdirmu sangat tidak bisa diterima bagimu, itu dapat dilihat dari keadaanmu saat ini. Misiku adalah mengawasimu sebagai musuh, tetapi aku malah mengawasimu sebagai orang terdekatmu. Kau mengerti maksudku, bukan?”

Gadis itu tetap diam membeku. Rino berdiri dan menyeka poni Lucy, rambutnya yang sebelumnya rapi telah menjadi sangat berantakan. Setelahnya, pria itu pergi keluar dan membeli persediaan makanan. Cuaca hari ini sedikit berawan hitam, sangat pas untuk berjalan-jalan di siang hari, mungkin. Bisa dibilang sebentar lagi turun hujan, tak apa, yang terpenting tidak terik saja.

Vila itu berada di sana menyendiri, cukup berjarak dari salah satu vila terdekat. Rino dan Lucy hanya ke tempat ini ketika Lucy merasa down, sehingga tak terlalu mengenal orang di sekitarnya.

Terkadang mereka berdua kemari ketika Lucy sedang merasa hampa. Lucy sering meminta Rino untuk membiarkannya sendirian, tetapi pria itu selalu menolaknya.

Alasannya selalu sama, “Di sini banyak hantunya” kata Rino.

“Melihatnya seperti ini, mungkin akan beberapa hari kita di sini. Sial. Aku tidak memikirkan pakaian kita, dan bagaimana denganmu?” Rino mengeluarkan ponselnya dari jaket hitam yang ia kenakan. Tepat setelah itu, panggilan masuk dari seseorang tertera di sana.

“Bagaimana kondisinya? Terus laporkan tentangnya, dan tetap di sana.” Suara seorang pria yang dikenalnya, terdengar dari telepon yang ia genggam. Langsung diakhiri setelah ia menyelesaikan kata terakhir.

Rino mematung di atas jalanan yang ia lewati, “Ini akan dimulai, aku harus bagaimana?” Tak biasanya ia mendapat panggilan ini sebelum ia yang melakukan panggilan selama ini.

“Oh, ayolah. Lucy belum cukup. Masih butuh waktu. Aku harus bicara padanya nanti.” Rino menepuk kepalanya dengan ekspresi masam.

Mereka berdua sudah dekat ketika Lucy berusia 12 tahun, dan Rino tiga tahun lebih tua tentunya. Sangat sulit bagi Rino untuk mendekati Lucy dan mendapatkan kepercayaannya. Butuh waktu tiga tahun baginya mendapati kepercayaan Lucy beserta keluarganya.

Beberapa penolakkan ia dapatkan, tetapi misinya ia anggap lebih penting dari hal lainnya. Mendekati Lucy. Pria itu yang menyuruhnya melakukan hal ini kepada Lucy.

Rino menatap langit. Ia membuka tudung jaketnya dan menyipitkan mata menatapa awan hitam di sana. Seperti mencoba meramal turunnya hujan. “Kapan?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status