Share

4. Masa Berjauhan

Setelah mengantar Rheyner ke bandara, Nadira segera memblokir semua kontak Rheyner. Ia takut tiba-tiba menghubungi Rheyner dan meminta pemuda itu pulang. Ini pertama kalinya mereka akan berjauhan. Nadira belum tahu rasanya berjauhan lama dengan Rheyner.

Nadira menahan air mata yang sudah mengintip di sudut mata agar tidak terjatuh. Sejak dulu memang dia cenderung cengeng. Namun, kali ini Nadira mencoba untuk tegar. Tidak ada Rheyner yang menghiburnya. Lagi pula Nadira juga tidak pantas menangisi kepergian Rheyner. Rheyner pergi untuk mengejar cita-citanya. Apa haknya melarang Rhyener? Bukankah ini waktu yang pas untuk belajar hidup mandiri tanpa Rheyner?

Nadira menghela napas. Dia yakin akan melewati hari-hari yang akan datang dengan lebih ceria. Mungkin sebaiknya mulai besok ia menyibukkan diri agar tidak memiliki kesempatan untuk memikirkan Rheyner.

Hari-hari berjalan dengan cepat. Sudah lebih dari dua minggu Rheyner pergi. Selama dua minggu ini Nadira menyibukkan diri di kafe ibunya. Di sela kuliah Nadira selalu ke kafe untuk belajar bekerja. Biar bagaimanapun dia satu-satunya anak dari Dewi dan Rendra. Kelak Nadira yang akan meneruskan mengelola kafe bernama Blueming itu.

Hari ini Dewi tidak bisa datang ke kafe. Nadira yang hanya ada satu mata kuliah pun segera ke Blueming Cafe. Kalau biasanya Nadira ikut menjadi pramusaji, hari ini dia hanya ada di ruangan sang ibu. Gadis itu memeriksa laporan penjulan kafe kemarin.

Saat sedang serius membaca laporan, ponsel Nadira berbunyi. Deretan nomor tak bernama terpampang di layar enam inchi tersebut. Nadira menerima panggilan tersebut setelah menimbangnya sejenak.

“Halo?” Nadira bersuara dengan ragu-ragu.

Nadira mendengarkan ucapan dari si penelepon dengan seksama usai diberi tahu identitias penelepon tersebut. Perlahan senyum semringah terukir di wajahnya.

“Baik, terima kasih banyak.” Nadira mengakhiri panggilan tersebut.

Perempuan berdarah Jawa itu baru saja mendapat telepon bahwa ia diterima di penerbitan buku indie tempatnya mengajukan magang. Nadira mengucap syukur karena bisa di terima oleh penebit indie yang dia tuju itu. Raut semringah tergambar di wajahnya. 

“Aku harus kasih tahu Rheyner,” gumam Nadira senang.

Ia menyalakan lagi layar ponselnya yang menggelap. Namun, seketika senyumnya luntur. Ia teringat Rheyner tidak ada di rumah dan semua kontak Rheyner sudah diblokir. Biasanya Rheyner menjadi orang pertama tempat Nadira berbagi. Sekarang tidak bisa lagi. Dan itu pilihan yang Nadira pilih sendiri.

Gadis itu merebahkan kepala di meja dengan beralas lengannya. Minat untuk memberi tahu orang tuanya ikut lenyap. Sekarang ia justru ingin pulang secepatnya dan segera lelap disambut buaian mimpi. Mimpi bertemu orang yang dirindukan.

                                  ***

Petang ini Nadira berada di kediaman Effendi. Ibunya sedang mengunjungi sang ayah ke tempat dinas sejak kemarin pagi. Seperti kebiasaannya sejak dulu, setiap ditinggal sendiri Nadira akan disuruh menginap di rumah orang tua Rheyner.

Sepulang dari kafe, Nadira menyibukkan diri di dapur. Nadira yang semula memiliki niat menghabiskan waktu untuk tidur pun tidak jadi. Ia memutuskan memasak untuk makan malam.

Sinta dan Adi sedang pergi karena mendapat undangan pesta dari kolega bisnis Adi. Sebenarnya Sinta sudah berpesan agar mereka memesan makan malam dari luar saja. Namun, Nadira lebih senang memasak. Bima dan Fian pun lebih menyukai masakannya. Repot sedikit tidak masalah bagi Nadira. Jadilah, gadis itu berkutat di dapur.

Sekarang makanan yang ia masak sudah matang semua. Nadira tinggal menyajikan ke meja makan saja. Lalu ia akan memanggil Bima dan Fian yang sedang berada di ruang tengah untuk makan bersama. Sesuai janjinya pada si sulung rumah ini, Nadira akan menggantikan dia.

“Mbak, Mas Rhey lagi video call. Mau inframe enggak?” tanya Bima menghampiri Nadira yang berada di dapur rumahnya.

Nadira mengulum senyum lalu ia memberi Bima gelengan.

“Yakin?” tanya Bima mengonfirmasi.

Nadira mengangguk. “Mbak ke kamar dulu, ya.”

“Eh, Mbak enggak makan dulu?”

Nadira menggeleng tanpa berucap.

Gadis itu sudah langsung melangkahkan kakinya pergi sebelum Bima bersuara lagi padanya. Gadis itu menulikan telinga atas percakapan Bima dan orang yang saat ini paling dirindukannya. Nadira mempercepat langkah menuju kamar yang selalu ia huni saat berada di kediaman keluarga Effendi. Aroma khas Rheyner segera memenuhi rongga penciuman Nadira begitu pintu dikuak. 

Pintu kamar kembali dia tutup rapat. Kaki Nadira melangkah menuju ranjang besar di tengah ruangan. Ia menjatuhkan diri pada ranjang. Tangannya lalu meraih kaus tanpa lengan milik Rheyner yang ia ambil dari lemari tadi malam. Nadira membawa kaus itu ke dalam dekapannya. Ia menghirup dalam-dalam aroma khas Rheyner yang tertinggal di sana.

“Kangen kamu, Rheyn. Kangen banget.”

Bulir air mata Nadira mengalir.

“Padahal baru dua minggu, Rheyn. Gimana aku akan lewati dua tahun tanpa kamu?” gumam Nadira di sela sesak yang menghimpit dadanya.

Tubuh Nadira kembali bangun. Ia menyandarkan punggung ke headbed. Kaus kutung Rhyener masih dipegangnya. Netra gadis itu melirik nakas. Ada figura berisi potretnya dan Rheyner. Tanpa ragu tangannya mengambil figura tersebut.

Jemari Nadira mengusap kaca figura itu. Air mata masih konstan menuruni pipi mulusnya. Namun, bibirnya menyunggingkan senyum tipis.

Bayangan momen di foto tersebut menyambangi benak Nadira. Itu adalah saat Nadira dan Rheyner saling menyemprotkan air. Kala itu mereka masih SMA. Walaupun saat momen tersebut berlangsung Nadira dibuat kesal pada Rheyner, ternyata sekarang malah Nadira ingin mengulangi masa itu lagi. Tak apa kalau Rheyner mengganggunya menyiram tanaman lagi. Tak apa kalau Rheyner membuatnya harus mandi dua kali lagi karena basah. Sungguh tidak masalah, asalkan Rheyner di sini lagi bersamanya.

“Apa kamu rasain yang aku rasain ini, Rheyn?”

                            ***

Bisa baca ‘Sahabat Jadi Cinta, Why Not?’ kalau penasaran dengan cerita di foto yang Nadira lihat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status