Dari dulu Belle memang tidak suka berhias, baginya itu hanya menghabiskan waktu serta pemborosan. Kecantikan gadis itu alami, jadi meski tanpa polesan auranya tetap bersinar. Belle memasuki halaman kantor, tak sedikit pekerja yang berada di lapangan menatap penasaran. Di mana para wanita juga berbisik, saling bertukar pikiran dengan tatapan mengarah kepada Belle.
"Kupikir istri bos besar kita seorang model papan atas yang sering ada di majalah, aku tak habis pikir ternyata malah bocah ingusan." Hah? Otomatis langkah Belle terhenti. Menoleh untuk melihat siapa yang berkomentar, namun dari samping Marlon datang.
Mencegah Belle berbalik, memeluknya hangat, lalu berbisik rendah. "Kenapa kau datang diam-diam?"
Sedikit mendongak Belle memandang wajah Marlon yang sudah menemani kesehariannya sejauh ini, dia tersenyum semringah. Kebetulan sekali Belle jadi tak susah mencari ruang kerja Marlon. Pertemuan mereka bak direncana. Membalas senyum maut Marlon, dengan manis Belle
"Paman sudah pulang?" sambut Belle menopang sikunya, menyamankan beban tubuh untuk bangkit.Tertatih-tatih Belle datang menghampiri Marlon yang terduduk di sebrang. Lelaki itu kelihatan sangat lelah sampai bicara saja enggan. Belle tersenyum hangat, membelai pipi kiri Marlon sebelum melepas dasinya, lalu duduk di pangkuan beliau bersandar manja. Tidak seperti biasa kali ini kedua tangan Marlon diam, terasa kaku, sama sekali tak membelai rambut Belle atau mengelus perutnya kian lama semakin besar.Itu membuat Belle bingung sehingga dirinya bangkit, menatap Marlon seksama, dan bertanya lirih. "Kau baik-baik saja? Atau ..."Kriing! Belle meremas ujung daster hamilnya sesaat mendapati Marlon beranjak mengangkat telepon, berbicara cukup lama sampai kakinya sendiri terasa kram.Batin Belle merintih, tetapi gadis itu tetap bersikukuh menunggu Marlon hingga selesai. Mendekati dirinya untuk meminta maaf. Ini sudah menit ke tiga puluh. Hasilnya masih seperti di awal da
Satu pekan sudah Marlon dan Belle saling berdiaman. Keduanya enggan bicara bahkan melakukan hal masing-masing seperti hidup sendirian meskipun tidur masih seranjang. Belle sama sekali tidak membuka mulut soal apa yang dilihatnya, begitu pula Marlon tetap diam seolah tak ada kejadian.Dia juga tampak masa bodoh dengan kediaman si kecil Belle. Sebagai suami setidaknya Marlon bertanya mengapa sang istri mendadak sariawan?Di ujung ranjang king size Belle duduk, membongkar tas perlengkapan mandi bayi yang baru Rose berikan. Sesekali mencuri pandang ke arah paman Marlon. Beliau terlihat fokus pada layar laptop yang menyala. Jari jemari Marlon juga bergerak cepat mengetik sesuatu, melihat itu Belle jadi merasa sedikit iba."Lihat ayahmu Sayang, dia sudah bekerja satu harian, tapi begitu sampai rumah masih berkutat pada tugas. Menyebalkan bukan?" Sambil mengelus perutnya Belle mengadu pada si buah hati, mengharapkan dukungan.Ketika Marlon menoleh buru-buru Belle be
Semenjak paman Marlon menikahi bibi Candice, di rumahnya sendiri Belle merasa seperti orang lain. Tak ada lagi kenyamanan bahkan selalu terabaikan. Di sini Belle mencoba tidak menyalahi siapa pun. Dia sangat menyayangi dirinya, dan ingin menjadi dewasa. Adakah hal lain yang lebih menyakitkan dari ini? Di depan kedua bola matanya Belle melihat sang suami mengucapkan ijab kabul dengan menyebut nama Candice, lalu mencium keningnya.Belle tersenyum getir, di dalam cermin wajah gadis itu terlihat biasa saja, tapi hatinya memendam luka yang teramat sakit. Hamil besar bukanlah menjadi alasan untuk bertahan. Mungkin, kalau Belle belum mencintai paman Marlon semuanya akan terasa mudah. Tapi sekarang jika dia meninggalkan rumah, itu sama saja membiarkan si ular Candice berkuasa."Hei, selamat pagi." Suara berat paman Marlon tiba-tiba menyapa, Belle menoleh dan tersenyum.Kini lelaki dewasa itu telah berseragam rapi, dengan kemeja formal dikalungi dasi acak-acakkan. Terlihat
Perkiraan dokter meleset, bukan salah perhitungan. Akibat menertawai Candice kemarin pagi, perut Belle jadi mengencang sampai mengalami pendarahan. Untung saja ada paman Marlon dan Rose. Kalau tidak mungkin Belle sudah celaka, atau di alam lain. Cup! Cup! Aaah, sayang, dengan ekspresi gemas Belle mentowel-towel pipi anaknya. Empuk seperti kue bantal, yang direspon dengan teriakkan tangis."Oeek! Oeek!" Spontan Belle membeliak, tentu kalang kabut. Jahitan di perutnya masih basah, maka jika bergerak walau sedikit saja akan sakit."Paman ...." Belle menjerit kencang, sesekali meringis sambil memegangi perut. Ini sungguh sakit sekali.Saat Belle menjerit, sontak tangisan anaknya semakin parah, bahkan terdengar sampai ke ruang tengah. Yang mengakibatkan kuku Candice ketumpahan cat. Suaranya mirip sang nenek, besar dan ngebass. Bikin heboh seisi rumah.Paman Marlon dan si jelek Candice secara bersamaan muncul dengan panik, hal itu membuat kepala Belle panas dingin.
Dengan penuh kelembutan Belle menyuapi William, si anak hanya bisa mengoceh selama makan. Usianya sudah memasuki bulan keempat. Gemas. Kerap kali Belle mencubit pipi bulat anaknya. Senang melihat William tumbuh super aktif. Ternyata memiliki anak tidak buruk bahkan sangat menyenangkan.Ugh, sayang! Mengecup kedua pipi William secara bergantian, Belle tertawa saat melihat lipstiknya menempel pada si kecil."Ululu, anak Mommy, nanti besar jangan nakal yaa," ucap Belle memperingati, seraya mengusap sekitar mulut William dari sisa makanan yang menempel.Saat Belle sedang bermain dengan William, suara bel yang ditekan berulang kali cukup mengusik kuping. Ting tong! Ini sudah untuk kesekian kalinya, namun Candice belum juga bergerak membukakan pintu. Candice ke mana sih? Belle bangkit, mau tak mau membawa William serta. Terkadang jadi ibu rumah tangga memang agak ruwet."Iya, sebentar!" balasnya setengah menjerit. Meski tahu orang di luar tak akan mendengar, dia te
Semakin lama keadaan rumah seperti neraka paling panas bagi Belle. Tidak ada lagi paman Marlon yang penyayang, bertutur kata lembut, dan perhatian. Semenjak salah paham. Ini sudah lebih dari 1x24 jam. Pamannya masih enggan buka mulut meski berkali-kali Belle ajak berbicara. Di saat pulang kerja juga tak menjenguk William, malah mendekati Candice bahkan mereka bersenda gurau.Hal itu membuat hati kecil Belle menjerit, menyalahi diri sendiri. Sebab begitu mudahnya dia jatuh cinta pada lelaki yang tak punya perasaan. Mengumpat. Di sini Belle bagaikan patung yang tak dianggap, Marlon sangat kejam. Dia bebas memperlakukan tak adil. Tapi, tolong ... akui William sebagai anaknya, karena Belle berani bersumpah."Paman," cicit Belle seperti tikus kejepit, demi William, dia memberanikan memanggil. "Bisakah kau menimang William sebentar, daritadi dia menangis, sepertinya putramu merindukan ...""Merindukan dokter Liam, begitu?" Oh, astaga! Belle menggeleng keras, kakinya mele
"Aku benar-benar minta maaf soal kemarin." Liam memohon maaf untuk ke sekian kali. Mungkin tidak begitu penting. Sekadar Basa basi."Lupakan saja!" tandas Marlon dengan nada tegas, lantas angkat kaki tanpa memedulikan reaksi Gloe dan Candice.Lelaki itu sungguh tampak menderita, Liam pikir ini belum seberapa dengan apa yang telah dia lakukan kepada Belle dan William. Tidak ambil pusing Liam pun mengerjakan tugasnya sesuai kesepakatan tanpa menitik beratkan masalah mereka. Memberi nyonya Gloe obat beserta terapi kecil untuk persendian kakinya yang mendadak lumpuh.Gloe tak banyak berbicara sejak kepulangan Marlon, wanita tua itu seakan-akan menyalahkan Belle di atas kesalahan mereka semua. Sementara Candice sibuk dengan cat kukunya, berdandan ala selebgram. Cekikikan di depan kamera ponsel dan yang lebih menjengkelkan Candice tak begitu peduli dengan ibu mertuanya. Hal itu membuat Liam emosi.Bagaimana tidak? Nyonya Gloe terjatuh sementara si menantu melongo, ber
Sementara Liam sedang bersiap-siap, Belle duduk tercenung dengan pandangan yang kosong. Air matanya terus mengalir memikirkan Marlon yang mungkin sangat menderita. Bagaimanapun Belle tidak melupakan bahwa dirinya masih istri sah paman Marlon, dan kesedihannya tentu akan menjadi rasa sakit untuknya. Paman Marlon pasti sangat sedih, bahkan tidak dapat Belle bayangkan seperti apa keadaannya, tetapi ia kekeuh juga tidak ingin pulang ke rumah.Hal itu jelas membuat Liam bingung.Sudah berulang kali Liam mengajak Belle untuk ikut bersamanya melayat, sebagai bentuk penghormatan terhadap nyonya Gloe untuk yang terakhir. Namun, Belle menolak, rasa sakitnya yang terlampau besar tidak membuatnya berubah pikiran sedikit saja."Bell, aku tahu apa yang kau rasakan." Liam datang, penampilannya yang wibawa selalu membuat Belle kagum.Gadis itu tersenyum, mencoba terlihat baik-baik saja meski hatinya terasa sakit. "Terima kasih, Liam. Kau memang selalu mengerti aku.