"Paman, aku bosan di rumah terus." Belle merengek sambil memainkan rambut boneka barbie yang dibeli oleh Marlon.
Kata Marlon boneka itu mirip dengan dirinya. Mulai dari wajah sampai lekuk tubuh. Kalau begitu kenapa dia tidak menikahi barbie saja? Kadangkala Marlon sangat dewasa, penyayang, sabar, tetapi tetap menyebalkan. Dipikirnya Belle merasa senang disamakan dengan boneka barbie. Bahkan rambutnya jauh lebih indah dari boneka jelek sialan.
Sejak tadi Belle bosan di rumah.
Apalagi setelah ditinggal Marlon sendirian, maka Belle akan frustrasi kalau lelaki itu terlambat pulang. Ini kelewat jenuh, Belle merindukan keadaan di luar, bertemu orang-orang, dan bersenda gurau. Hampir sebulan Belle tidak bertemu Rose, ayah, ibu, juga keempat adiknya. Di rumah Belle selalu melihat Marlon, tidak ada yang lain.
"Kau ingin kita berlibur bulan madu?" tanya Marlon dengan seringai nakal, buru-buru Belle menggeleng.
"Lebih baik uangnya ditabung, jangan boros kayak muka paman." Belle menyahut cepat, mulutnya memang suka ceplas ceplos, bahkan kuping Marlon sudah terbiasa.
"Tapi aku tampan."
"Apa yang tampan dari Tarzan tua, atau seekor Gorila? Ketahuilah paman, rambut sangkarmu serta bulu lebat di dadamu itu mengingatkanku pada kedua spesies tersebut."
Ah, sial! Ujung-ujungnya dihina lagi, Marlon komat kamit tak jelas, berupaya tidak marah meski kesal. Kesabarannya memang patut diacungi dua jempol. Marlon menghormati Belle sama seperti ibunya. Menyayangi, juga mengasihi. Dia tidak ingin gadis kecil itu menangis hanya karena mendengar suaranya yang besar.
"Hmm, iya, kau memang benar." Belle melirik lewat ekor matanya, terkejut dengan pengakuan Marlon baru saja.
Marlon menaikkan sebelah alis, menanti ucapan Belle selanjutnya. Mungkin akan terdengar lebih pedas. "Huh, aku sarankan kau minum vitamin C supaya umurmu panjang."
"Oke, iya. Sekarang bisakah kau mengambil air untukku? Aku sangat haus."
"Kau punya kaki Paman, ambil sendiri saja ya, aku sudah mengantuk."
Seusai berkata demikian Belle pun beranjak menuju kamar, membawa si jelek barbie ikut serta ketika menemukan ide. Meraih spidol di atas bupet, Belle berencana menyalurkan bakat lukisnya, mencoret wajah poselen barbie yang mulus dengan tinta hitam itu. Tidak lupa menulis pada selembar kertas 'Istri sah paman Marlon' lalu menaruh berdampingan.
Ketika daun pintu bergerak, dengan cepat Belle melompat ke ranjang. Membenamkan seluruh tubuhnya dengan sprei, yang dia pikir selimut. Perlahan Marlon berjalan masuk ke kamar, kantung matanya berkedut saat mendapati ranjang tidur mereka berantakan, Belle tak mungkin tidur dalam keadaan kacau balau. Di saat hendak mendekati Belle, langkah kaki Marlon terhenti begitu melihat memo kecil yang cukup menarik.
"Istri sah paman Marlon." Kedua garis bibir Marlon tercebik membaca tulisan Belle, dia berusaha menahan tawa.
Menarik sprei yang ditahan Belle, tanpa aba-aba Marlon menindih tubuh kecil di bawahnya, dan berbisik rendah. "Bell, buka matamu, aku tahu."
"Tahu apa?"
"Kau belum tidur."
"Aku sudah tidur Paman, lihat saja mataku ini rasanya lengket sekali."
"Kalau kau sudah tidur, mulutmu tidak berbicara."
"Kau tidak tamat sekolah ya, kalau tertidur mata yang tertutup bukan mulut, tentu aku bisa berbicara, dan ..." Mmph! Spontan mata Belle membeliak, saat Marlon membungkam mulutnya dengan liar. Dia sampai kewalahan sendiri menahan bobot lelaki itu sekaligus menyamankan bibirnya yang diterkam.
Belle menangis di dalam ciuman Marlon, teknik berciuman orang seliar Marlon Exietera memang tak memadai. Saat napas Belle terengah barulah Marlon melepaskan, bibir gadis itu tampak bengkak dan memerah. Belle pun menutup wajahnya sambil menangis keras, kerap menepis tangan kokoh Marlon yang berusaha membelainya.
"Sssh, sayang, kenapa kau menangis?" tanya Marlon begitu lembut, sebisanya meredakan tangisan Belle.
"Karena kau menciumku."
"Tentu saja, aku suamimu Bell, jelas aku berhak melakukan apa yang kuinginkan. Termasuk memakan bibirmu."
"Tapi aku tidak ikhlas."
"Jangan konyol, kau itu istriku, bagaimana bisa seorang istri menangis dicium suami sendiri?"
"Istrimu barbie jelek itu, bukan aku!" Menunjuk boneka barbie yang bentuknya tidak keruan, Belle mendorong dada bidang Marlon. Ajaibnya lelaki itu mengalah.
Meraih boneka berikut kertas yang tertulis, Belle melemparnya ke arah Marlon, lantas berbalik memunggungi. Ketika Belle hendak berlalu sesuatu menahan erat perutnya dari belakang. Dengan mudah kedua tangan Marlon membawa Belle kembali ke ranjang. Tidak peduli gadis itu akan menolak, asal kebutuhannya dapat tersalurkan sekarang.
"Nggh, Paman." Erangnya tanpa sadar, meski Belle ingin sekali terlepas, tapi tubuhnya tak menolak.
Marlon menarik diri sesaat mendengar lenguhan Belle, pupil matanya mengecil, menatap sangat dalam. "Ikuti gerakan bibirku di atas bibirmu, aku ingin merasakan sensasi ketika kau juga melumatku."
"Tapi, aku tidak bisa."
"Aku akan mengajarimu, Bell, ayo balas ciumanku!"
Tepat di saat bibir mungil Belle mulai bergerak pelan, mengikuti intruksi Marlon, keduanya terlonjak kaget kala mendengar suara bel. Ting tong! Belle reflek mendorong dada bidang Marlon, tanpa berpikir panjang berlari keluar. Dibukanya pintu sontak senyum Belle melebar. Menemukan Rose yang berdiri sambil memegang sebuah kotak bingkisan.
"Rose!" pekik Belle saking kegirangan.
"Belle, aku mencarimu di mana-mana, kenapa kau bisa di rumah pamanku?" tanyanya tidak mengerti saat Belle melepaskan pelukan, melihat sekeliling mencari seseorang.
Ditanya demikian Belle terdiam seribu bahasa. Otaknya bekerja keras meminta jawaban selain 'paman Marlon sudah menikahiku' aah, tidak.
"Paman, aku sangat merindukanmu, maafkan diriku baru mendapat kabar kau sudah menikah, di mana istrimu?"
Spontan Belle menggeleng kuat, seraya menaruh jari telunjuk di bibir, meminta Marlon agar tutup mulut merahasiakan dari Rose. Tetapi, sepertinya Marlon mempunyai rencana lain, di saat mendapat ide jail untuk mengerjai Belle. Membalas pelukan Rose dengan agresif, tangan Marlon sengaja bergerak memutar di punggung keponakannya itu, lamban laun turun ke bawah, lalu berhenti tepat di pinggang. Heh! Batin Belle menyela seakan tidak terima, tidak suka melihat objek yang hina, di mana ada seorang paman berniat mesum pada keponakan sendiri.
"Istriku ada di belakang," jawab Marlon penuh arti, mencuri pandang ke arah Belle yang merah padam. "Coba kau lihat sendiri, istriku di belakangmu."
Saat Rose berbalik arah mendekatinya, otomatis Belle panik bukan kepalang. Bingung ingin menjelaskan apa jika dia bertanya. "Serius, Bell, sekarang kau istri dari pamanku?"
"Aaa, iya, aku sekarang istri ..." Belle menggantung kalimatnya, sangat takut akan reaksi murka Rose.
"Sialan, kau, Bell!" tekan Rose sambil menunjuk muka polos Belle, sukses membuat jantung gadis itu kembang kempis ketakutan. "Sekarang kau tidak hanya teman dekatku, tapi juga bibi kesayanganku, hahaha."
Bibi? Sementara Rose tertawa, Belle menatapnya seperti orang tolol. Semua berubah semenjak hidup dengan Marlon. Bagaimana bisa seorang gadis yang baru menginjak 20 tahun dipanggil bibi oleh teman sekelasnya, coba jelaskan? Itu konyol. Kalau Marlon memang sudah pantas dipanggil paman, tetapi tidak untuk dirinya, apalagi yang memanggil bibi itu Rose Miller.
Undangan pernikahan?Kening Marlon mengernyit saat menemukan selembar kertas undangan di meja depan rumahnya, dengan bingung pria itu pun membukanya dan membaca dalam hati. Alangkah terkejutnya dia begitu melihat nama Gloe Exietera dan Robert Downey yang tertera.Apa-apaan ini, kenapa tidak ada pemberitahuan?Dengan wajah yang merah padam dikuasai amarah Marlon pun masuk ke dalam rumah, mengurungkan niatnya yang hendak pergi kerja. Acara itu tidak boleh dilanjutkan, dia harus bersikeras melarang ibunya agar membatalkan pernikahan tersebut."Belle ...""Isabeau Chambell, kemarilah!""Sayaaang," panggilnya terus menerus.Dari arah dapur Belle datang tergopoh-gopoh, dia baru saja selesai dengan tugasnya, tetapi Marlon sudah berteriak-teriak seperti Tarzan liar. Dengan heran Belle menatap pria itu, karena dia pikir Paman Marlon sudah berangkat kerja sejak tadi."Loh, Paman, ada apa?" tanya Belle panik, apalagi saat melihat wajah Paman Marlon yang menegang, lalu dia pun bertanya lagi. "Buk
Dari samping gadis itu Belle menyikut lengan Rose, tetapi sepertinya gadis itu tampak tidak peduli, entah apa yang ada di pikirannya sampai menerima dua orang pria asing. Dengan senyuman yang manis Rose menampilkan wajah terbaiknya, dia begitu ramah sekali, sementara Belle seperti orang kebingungan."Ngomong-ngomong kalian sudah semester berapa?" tanya salah satu pria dari mereka, kalau tidak salah namanya adalah James."Oh ... Aku semester 4, kemungkinan sebentar lagi akan wisuda." Rose mengerjapkan matanya beberapa kali, Belle bisa melihat dengan jelas jika sahabatnya itu sedang tebar pesona. "Kalau kalian?""Kami berdua sudah kerja," jawab yang satu lagi, namanya kalau tidak salah juga Nial.Rose dan kedua teman barunya itu pun langsung akrab, mereka berbicara dengan panjang kali lebar, bahkan melupakan Belle yang masih duduk di situ. Dengan perasaan yang tidak enak semampunya Belle bersikap biasa saja, dia tahu Rose sakit hati oleh Liam, tetapi tidak seperti ini juga caranya.Masi
Seperti rutinitas pagi biasanya Belle menyiapkan keperluan Paman Marlon dan William sebelum berangkat, wanita berumur 23 tahun itu dengan gesit menjalankan tugas yang sudah menjadi santapannya sehari-hari. Semua itu Belle lakukan dengan hati yang riang dan bahagia.Tidak lupa sebagai istri dan ibu yang baik Belle juga memberikan bekal makanan bergizi, selain untuk kesehatan, tentunya bisa lebih sedikit menghemat. Bukan Belle pelit, hanya saja dia baru menyadari ternyata keuangannya menurun drastis sejak William lahir hingga saat ini."Paman, hari ini makan malam di rumah saja ya," pesan Belle sambil menaruh bekal di hadapan Paman Marlon yang sedang mengenakan sepatu."Kau memasak makanan kesukaanku?" tanyanya."Ah, tidak, aku hanya ingin kau sedikit berhemat saja.""Berhemat?" Kening Marlon mengernyit, tetapi belum sempat dia bertanya lagi Belle sudah berlalu di depan sambil menggandeng William.Sejenak Marlon terdiam, dia melirik bekal yang sudah Belle siapkan di depan matanya. Bekal
Hari ini Marlon sangat badmood, suasana hatinya yang tidak menentu membuat pikiran meracau ke mana-mana, entah apa yang sebenarnya terjadi pada Gloe. Sebagai seorang anak Marlon tahu persis pria seperti apa Edward, dia pasti hanya memanfaatkan ibunya, apalagi perbedaan umur mereka sangatlah jauh.Tetapi yang lebih menjengkelkan Belle malah membela Edward, bahkan mendukung ibunya yang sedang puber kedua itu."Paman, kenapa William belum pulang ya?" Belle bangkit dari duduknya, wajah wanita itu tampak cemas, wajar saja karena sudah hampir pukul 10 malam William juga tidak kunjung pulang."Mungkin saja menginap di rumahnya Rose," jawab Marlon sambil memijat pelipisnya yang mulai terasa berat, dia tidak bisa menutupi betapa bingungnya saat ini, apalagi mengingat sang ibu meminta restu."Tapi teleponku tidak jawab oleh Rose, dokter Liam juga ponselnya tidak aktif," keluhnya benar-benar begitu cemas, dengan gusar Belle pun berjalan ke arah jendela dan mengintipnya sedikit.Enggan menyahut l
Wajah Belle merah padam, Paman Marlon memang paling bisa membuat dirinya tersipu hingga memerah sampai di sekujur tubuhnya. Untuk pertama kali setelah sekian lama menikah pria itu mengajak Belle melakukan sesuatu yang baru, dan memberikan sensasi yang beda terhadap tubuh polosnya tersebut.Menepuk pipinya berulang kali dengan semaksimal mungkin Belle berusaha mengembalikan napas dan pikirannya yang kacau, semua itu berkat ulah Paman Marlon, dengan segala trik dan permainan yang aneh."Kau sudah siap, Sayang?" tanya Marlon sambil membawa segelas teh hangat untuk Belle, sebagai suami yang baik dia tentu tahu apa yang istrinya butuhkan setelah berendam bathtub selama 4 jam.Belle menoleh, tangannya masih menggosokkan handuk pada rambutnya yang basah, lalu dia bertanya. "Aku ingin susu cokelat hangat, Paman.""Oh, iya?" Paman Marlon tampak menggaruk tengkuknya, lalu dia menyengir. "Tidak apa-apa, minum teh saja dulu, biar tubuhmu menjadi hangat."Tanpa persetujuan Belle, dengan cepat Marl
Dengan sempoyongan Marlon pulang sedikit larut, untuk menghilangkan stres yang menikam kepalanya dia berhasil menghabiskan dua botol alkohol, dan sedikit hiburan. Telepon sengaja dia matikan, Marlon seakan lupa akan janjinya yang baru kemarin dia tangguhkan. Perkataan Miller saudaranya itu cukup mempengaruhi, sehingga Marlon menjadi pusing."Kau habis dari mana saja, Paman?" tanya Belle yang berdiri di ambang pintu, wajahnya begitu merah membara."Aku habis bertemu dengan Miller," jawab Marlon."Ayahnya Rose?" Wanita itu bertanya lagi, kali ini Marlon hanya mengangguk, lalu melewati Belle begitu saja. "Kenapa kau tidak membawaku ke rumah Ibu mertua, aku kan juga ingin berkunjung menemuinya.""Aku hanya bertemu dengan Miller." Dia menegaskan, seraya mengambil handuk yang menggantung di rak.Menghela napas lelah Belle hanya menatap kepergian Paman Marlon, lalu menghilang di balik pintu kamar mandi. Entah apa yang merasukinya? Terus terang, Belle merasa bingung dengan sikapnya Paman Marl