Share

5. Always Happen

"Gila, ini cewek-cewek, pada bawa makeup banyak gini."

"Yah, cewek mah masih wajar, Ky."

"Enggak wajar kalo disekolahan, May."

"Cowok juga nih, gila, banyak banget yang bawa sebat."

"Mending Rin. Coba si Kean, liat, bawa obat itu anak. Siap-siap aja panggilan orang tua."

"Seriusan?"

"Iya. Giliran gue tanya ini obat apaan, dia malahan jawab kontreksin. Dikira gue b*go kali."

"Sejak kapan kontreksin berubah warna jadi kuning coba?"

"Emang dasar si Kean ini. Doyan banget ngeles kayak bajaj."

"Terus mau diapain nih? Simpen aja dulu apa gimana? Pak Ikhsan lagi sibuk rapat."

"Udah, dibuang aja kali. Mereka juga nggak bakalan mau ambil ini."

"Eh? Ling, ini barang gimana? Mau diapain?"

Beberapa anak OSIS yang sedang kumpul membahas barang yang telah di razia itu menoleh saat melihat Lingga tiba-tiba saja masuk sambil terburu-buru dan mencari sesuatu.

"Udah semuanya?" Tanyanya sambil sibuk mencari sesuatu di meja.

"Udah." Jawab beberapa dari mereka.

"Lo nyari apa sih? Buru-buru amat?"

"Flashdisk." Ujarnya. "Liat flashdisk disini?" Tangannya masih sibuk mencari.

"Nggak tau deh."

"Coba di laci, Ling, atau di keselip di kertas-kertas?"

Lingga masih mencoba mencarinya di atas meja, karena seingatnya flashdisk itu ia taruh dimeja. Dan benar saja, karena tidak lama kemudian ia akhirnya menemukannya. "Nih, ada." Lingga menunjukkan flashdisknya pada yang lain sambil melangkah ke arah mereka.

"Barang-barangnya jangan dibuang dulu. Disimpen sampe pak Ikhsan yang ngurus."

Mereka pun hanya mengangguk mengerti dengan perkataan Lingga.

"Oke."

"Gue duluan. Mau presentasi." Lingga pun sudah siap melangkah pergi meninggalkan ruangan, namun diurungkan saat ia melihat sesuatu yang menarik perhatiannya.

Maya yang melihatnya pun bertanya. "Kenapa, Ling?" Tanyanya saat melihat Lingga mengambil sebuah gelang kain berwarna hitam dan merah berinisalkan nama D disana. Gelang itu merupakan gelang yang dirazia tadi.

Lingga terdiam menatap gelang itu. Gelang yang di ujung pengaitnya terlepas.

"Itu gelang gue ambil dikelas Dinar. Nggak tau punya siapa kali tadi, gue lupa." Ujar Rindy karena Lingga terlihat memperhatikan serius gelang itu.

"Oh iya Ling, tadi—"

"Gue duluan."

Belum sempat melanjutkan perkataannya, Lingga melangkah pergi meninggalkan Maya yang hanya diam menatapnya.

•••

"Eh, gelang apaan nih?"

Gadis bersurai hitam panjang tidak berponi itu menarik lengan Lingga yang sedang menganggur, sementara sebelahnya sibuk menahan buku yang sedang dibacanya. Lingga hanya meliriknya tanpa berniat menjawab. Gadis itu mengernyit bingung, karena baru kali ini melihat seorang Lingga menggenakan sebuah gelang kain dan bertuliskan nama dengan inisial V.

"Anj*r, anj*r. Sejak kapan lo suka pake beginian?" Gadis itu tertawa menatap Lingga. "Pake inisial segala lag—"

Gadis itu tiba-tiba saja membulatkan matanya terkejut. Ia baru menyadari kenapa laki-laki itu memakai gelang berinisal V tersebut. Cengiran lebar lantas mengembang dibibir gadis itu. Raut wajahnya berubah menjadi mengejek.

"Kemajuan ya, bro. Couple..." Gadis itu terkekeh sambil menepuk pundak Lingga kencang dan membuat Lingga terkejut. Lingga pun menatap malas gadis itu yang melangkah meninggalkannya sambil terkekeh.

Malika Anjani, atau biasa dipanggil Jani, adalah teman satu kerja paruh waktu Lingga kurang lebih lima bulan ini di kafe, dan juga kebetulan merupakan teman Dinar. Sebetulnya, Lingga enggan menyebut Jani sebagai temannya, karena sikapnya yang tidak bisa diam itu membuat Lingga terkadang malas menganggapnya. Lingga justru lebih ingin menyebutnya sebagai orang yang tidak dikenalnya. Sikap Jani dan Dinar sangat mirip. Sama-sama tidak bisa diam, tingkah seperti preman pasar yang kasar, penganut kebebasan, dan keras kepala. Mereka sebelas dua belas. Maka dari itu rasanya Lingga enggan berteman dengannya, karena mengenal Dinar saja rasanya melelahkan. Ada saja kejadian yang membuatnya geram. Tapi semua itu sudah menjadi takdirnya. Karena kenyatannya, mereka berdua ada dikehidupannya.

"Gitu dong kali-kali couple, kayak gue sama Iky, biar punya bukti kalo lo berdua pacar— IYA, SELAMAT SORE, SILAHKAN!" Jani berteriak saat melihat pintu kafe terbuka dan menampakan seorang gadis cantik memasuki kafe.

"Noh, gantian. Udah tiga kali gue bulak balik. Lo dari tadi masih aja baca." Jani menunjuk pelanggan yang baru saja masuk itu menggunakan dagunya.

Lingga menghela napasnya pelan menatap Jani. Iapun bangkit lalu menutup buku science fictionnya yang tadi sedang dibacanya. Jani pun hanya menyengir lebar.

Hari ini sebenarnya keadaan kafe sedang tidak ramai seperti biasanya. Tapi Jani mengatakan seolah ia lelah sekali bekerja hari ini. Lingga bingung sebenarnya, kenapa gadis seperti Jani yang sebelas dua belas dengan Naura lebih memilih bekerja paruh waktu dibandingkan bersenang-senang dengan uang orang tua mereka? Jelas-jelas mereka orang yang mampu.

"Selamat sore, pesan apa?"

Lingga bertanya pada gadis yang baru saja datang dan duduk di kursi nomor 02 itu yang kini justru menatapnya terkejut.

"Kak Lingga?"

•••

Hari ini Dinar merasa bosan di dalam apartemennya. Lingga tidak membalas pesannya lagi setelah dua jam yang lalu. Walaupun sebenarnya Lingga selalu membalas pesannya dengan singkat dan juga lama, tapi Dinar masih menyukainya meski selalu itu membuatnya kesal menunggu seperti saat ini. Tapi karena tidak ada balasan lagi dari Lingga, Dinar menjadi gemas sendiri. Ia ingin menemui Lingga. Rasanya rindu, meski sering bertemu disekolah.

Jadi sekarang Dinar memilih keluar menuju kafe tempat Lingga bekerja untuk menemuinya, atau lebih tepatnya ingin memperhatikannya selama bekerja. Dinar tidak masalah untuk itu, dibandingkan ia harus terus menatap barang yang berhubungan dengan laki-laki itu, atau bahkan memperhatikan foto Lingga agar rindunya hilang.

"SELAMAT DAT—eh, woi! Watsap men!"

Jani terkekeh, menghampiri Dinar yang hanya diam menatapnya didekat pintu.

"Lah, kenapa lo? Sedih amat tuh muka?" Jani heran dengan wajah Dinar yang tertekuk saat datang seperti ini.

"Iya, kangen Dio gue."

Jani tertawa geli mendengarnya, bahkan melihat raut wajah Dinar yang seperti itu. Mengerucutkan bibirnya dengan wajah memelas dan matanya yang melirik ke penjuru kafe mencari keberadaan Lingga. Biasanya Jani selalu melihat wajah ceria dan gila gadis itu sama sepertinya, tapi saat ini tidak. Memang, jika sudah berhubungan dengan Lingga, Dinar pasti selalu seperti ini. Namanya jatuh cinta, memang susah.

"Pororo gue nggak kerja hari ini?" Dinar semakin cemberut, karena merasa tidak melihat keberadaan Lingga ditempat ini. Namun Jani yang mendengarnya jengah.

"Mata pake yang bener." Katanya. "Segede gitu cowok lo disono masa nggak liat?"

Jani mengarahkan kepala Dinar ke tempat keberadaan Lingga yang sedang duduk di ujung kafe dengan seorang gadis berambut panjang tanggung berponi yang ternyata tidak asing bagi Dinar. Dinar lantas memicingkan matanya, mencoba memperhatikannya lekat-lekat, dan dugaannya benar. Gadis itu adalah Shakila. Lingga sedang duduk bersama Shakila dengan kekehan bersama di keduanya yang terlihat menyenangkan dan akrab. Mata Dinar jelas memanas seketika melihatnya. Tangannya mengepal kuat, rahangnya mengeras.

"Kok si Dio akrab gitu ya Ci, sama— eh, woy! Lo kenal?! Cici!"

Dinar sudah muak melihatnya. Sudah cukup dirinya hanya memperhatikan di kejauhan dalam diam. Ia sudah benar-benar tidak suka melihat gadis itu. Dinar diamkan, justru gadis itu semakin menjadi. Bahkan sampai berani membuat Lingga tertawa lepas bersamanya. Padahal ia harus setengah mati agar membuat Lingga tertawa seperti itu bersamanya, tapi justru gadis itu dengan mudahnya merebut posisinya.

BRAK!

Shakila menatap terkejut keberadaan Dinar yang dengan tiba-tiba saja menutup keras laptop miliknya. Namun tidak dengan Lingga yang hanya menatap Dinar dengan datar. Dinar tahu itu bukan tatapan datar biasa, karena tatapan itu memiliki artian berbeda. Tapi Dinar tidak peduli dengan itu. Matanya hanya terus menatap tajam Shakila yang kini menatapnya takut.

"K-kenapa ya kak?"

Dinar terus menatap Shakila dengan tajam. Ia tidak bisa seperti ini. Tangannya sudah benar-benar gatal. "Lo pikir kenapa gue kesini, hah?!" Dinar melangkah mendekati gadis itu, namun pergerakannya terhenti saat Lingga menahannya.

"Nggak usah bikin keributan."

Dinar menoleh dan menepis kasar tangan Lingga. Ia tidak suka dihalangi, terlebih lagi ini sudah menyangkut dengan emosi tingkat dewanya. Dinar tidak akan pandang bulu walau sebenarnya masalahnya terjadi karena orang itu.

Melihat Dinar dan Lingga yang seperti itu, Shakila mulai menatap khawatir keduanya.

"M-maaf kak, t-tapi—"

"Lo tau? Tadinya, setelah gue nonjok Maya sampai dia mimisan, gue mikir dua kali buat ngelakuinnya lagi sama orang lain." Dinar berujar tajam. Suaranya terdengar mengancam. "Tapi sekarang, gue rasa enggak."

Dinar semakin menatap Shakila dengan tajam. Tangannya mengepal kuat, siap melayangkan pukulan mautnya. Tapi ketika kepalan tangannya melayang ke arah gadis itu, Lingga menahannya dengan cepat.

"Mending lo pulang kalo susah gue bilangin!"

Lingga menghempas kasar tangan Dinar dan menatapnya tajam. Ia tidak mengerti apa yang ada dipikiran gadis itu? Tidak ada apapun, tiba-tiba saja Dinar ingin melayangkan pukulan pada Shakila. Dinar sendiri pun ikut menatap tajam laki-laki itu. Ia benar-benar kesal saat ini.

"KENAPA SIH LO SELALU BELAIN ORANG LAIN DIBANDING GUE?! KENAPA YO!?"

Dinar menatap kesal, matanya mulai berkaca-kaca. Namun Lingga hanya diam menatapnya tanpa ingin mengatakan penjelasan apapun tentang kemarahannya ini. Dinar benar-benar kesal.

"Terus selama ini gue lo anggep apa sih, yo?!" Ujarnya kesal. "Lo tuh emang nggak—"

"Nggak usah bawa-bawa hal gak jelas kayak gitu!" Lingga menatap Dinar geram. Rahangnya terlihat mengeras. Ia benar-benar tidak mengerti apa yang gadis itu pikirkan. "Lo itu salah! Kapan lo ngerti?! Kapan lo berubah?!"

Dinar masih menatap Lingga dengan berkaca-kaca. Ia kesal dengan laki-laki itu. Andai saja ia bisa meluapkan emosinya dengan mencakarnya, menamparnya atau bahkan memukul laki-laki itu seperti apa yang biasa ia lakukan pada Kean, Calvin, Satria dan lainnya, pasti akan ia lakukan sekarang! Tapi rasanya sulit melakukannya pada orang yang di sayang.

"Gue benci sama lo yo. Gue benci."

••

"BR*NGS*K! DIO BR*NGS*K!!!!"

Dinar berteriak dengan keras, mengisi tempat berkumpul mereka dengan nyaringnya suara teriakannya.

"Iya, iya, gue juga tau, Nar... Lo udah bilang gitu, dari dua jam yang lalu." Satria menyahuti teriakan tidak jelas Dinar yang tengah berbaring di sofa berukuran besar, dengan sebotol minuman beralkohol digenggamnya.

"Dio tuh b*go! Harusnya dia bangga, punya cewek kayak gue! Cewek yang masih cemburu liat cowoknya sama cewek lain!"

"Semua cewek juga gitu, bambang." Kali ini Kean yang menyahut jengah.

"Apalagi cewek nya kayak gue..." Dinad kembali bersuara. "Dio emang b*go, udah nyia-nyiain gue! Bikin gue sakit..." Dinar menenggak habis sisa Bir Heneikennua, lalu melempar botol itu sembarang. Satria buru-buru menangkapnya, agar pecahannya tidak menjadi kerjaan dua kali untuk mereka.

Memang, sudah sekitar dua jam lebih Dinar uring-uringan seperti ini hanya karena seorang Harlingga Dio Wardana. Laki-laki batu, kaku, dan dingin yang bisa-bisanya menjadi pacar seorang Dinar. Semua itu selalu menjadi misteri dan tanda tanya besar. Pikiran menggunakan ilmu hitamlah yang selalu terlintas dikepala The Dude, namun selalu disangkal keras oleh Dinar sendiri.

"Lo nya aja yang b*go. Udah disuruh tinggalin, masih aja—"

"GUE DENGER YA SAT!"

Calvin yang baru saja giliran ingin melakukan shoot permainan biliardnya bersama dengan Kean dan Satria itu sampai membuatnya buyar. Jelas saja teriakan dalam keadaan mabuk Dinar membuat laki-laki itu siap bersembunyi, khawatir Dinar ternyata masih dalam keadaan sadar, meski tubuh Dinar sudah terlihat terkulai lemas diatas sofa.

"Dia tadi nyebut sat?" Tanya Calvin melirik takut. "Sat, b*ngs*t, apa si Satria?"

Kean, Satria, Tasya dan juga Geby yang berada disana terbahak melihat bagaimana raut wajah ketakutan Calvin.

"Tau dah, b*ngs*t kali." Kekeh Kean kembali melanjutkan billiardnya bersama Satria. Calvin sendiri masih melirik takut. Tangannya bahkan sibuk melempari Dinar dengan bungkus rokok, memastikan gadis itu benar-benae tidak sadar.

"Santai sih lo, yaelah. Abis dua botol nih anak." Tasya terkekeh sambil menepuk kepala Dinar, meyakinkan Calvin kalau Dinar sudah tidak sadar.

Apa yang dikatakan Tasya memang benar. Dinar tidak lagi bergerak, selain bergumam tidak jelas karena pengaruh Bir yang diminumnya, dan membuat gadis itu lemas untuk bergerak dan hanya berkata melantur.

"Tepar beneran?"

"Gue harus gimanaaa supaya Dio nggak deket-deket Shakila, huhu..."

Dinar tiba-tiba saja kembali bersuara, membuat semuanya menoleh kemudian terbahak bersama.

"Putusin biar cepet."

"Gue nggak mau Dio deket-deket sama cewek lain selain gue..." Ujar Dinar tidak merespon perkataan Kean.

Semuanya kini hanya diam tidak menanggapi. Mereka sudah bosan dan lelah menanggapi dan menasehati Dinar, agar gadis itu berpisah dengan Lingga. Tapi Dinar tidak pernah mau. Entah apa yang merasukinya.

"Sayang Dio, huaaa..."

"Gue harus giman—ah, gue tau!" Seru Dinar dengan tiba-tiba yang membuat Geby menoleh terkejut. "Ah! Gue nggak tau, huhu..."

Dinar yang baru saja berniat bangkit dari baringannya, kini kembali merebahkan tubuhnya lagi dengan lemas.

Calvin, Geby dan Tasya melihat itupun hanya menggelengkan kepalanya, sudah tidak paham lagi dengan apa yang ada dipikiran Dinar. Sementara Kean dan Satria justru terkekeh.

"Liat temen lo, noh. Bucin stadium 4! Beg*nya bahkan sampe ke partikel terkecil kulit!" Calvin berujar jengah dan kembali bermain billiard.

"Kayak lo, tuh." Ujar Satria pada Kean, membuat Kean menoleh.

"Apaan kayak gue?"

"Belernya, kalo lagi minum." Satria tertawa meledek. Kean pun memukul menggunakan tongkat billiard.

Sementara itu, Geby dan Tasya hanya bisa menghela napasnya melihat Dinar dalam keadaan seperti ini. Selalu seperti ini, lebih tepatnya, ketika gadis itu sedang memiliki masalah dengan Lingga.

"Siapa yang mau bawa pulang?" Tanya Tasya. "Mobilnya ditinggal di kafe si Dio."

"Lah, terus mobil siapa itu tadi?"

"Dia naik taxi. Si Jani ngasih tau gue." Kata Geby sambil menutupi rok Dinar yang sedikit tersingkap, memperlihatkan pahanya.

"Gaya bener, mobil main tinggal." Ujar Kean. "Jangan bilang tuh kunci mobil ditinggal juga disono?"

Geby menggeleng saat mengecek tas Dinar dan menemukan kunci mobilnya disana. "Kagak. Nih, dibawa sama dia."

"Yaudah, si Satria tuh, nganggur." Kata Kean. "Gue kan sama majikan, noh."

Tasya melirik jengah saat Kean mengatakan dirinya majikan. "Oh, jadi babu ngomongnya gitu sama majikan?"

Kean menyengir bodoh saat Tasya menanggapi candaannya dengan serius. Mereka pun hanya terkekeh melihatnya, terlebih lagi Calvin.

"Akhirnya, babu mengakui kalau selama ini lo majikannya, Sa, bukan pacarnya."

"Sial, apa-apaan?!"

"Udah, lo ah helah, bac*t." Sentak Geby kesal. "Urusin dulu nih temen lo satu!"

"Yaudah sih, tinggalin aja tuh anak disini. Nggak bakalan mati lagian ditinggal sendirian di basecamp." Kean mengatakan dengan entengnya, membuat Geby dan Tasya menatap jengah.

"Yaudah, kalo gitu lo yang nanggung kalo nih anak nyerocos seharian besok. Mau lo?"

Kean hanya menyengir menolak, sementara Calvin terkekeh melihatnya. Ia sudah bisa membayangkan bagaimana keadaan jika Dinar ditinggal di basecamp semalaman, dan esoknya akan ada mulut yang terus berkoar tidak henti seharian.

"Udah, lo yang nganter balik nih ke apartemen." Kata Geby. "Ambil dulu mobilnya sama si Ical apa si Kean sono."

"Terus motor gue gimana?"

"Yaelah, masih aja mikirin motor. Tinggal aja disini kenapa sih? Nggak bakalan ilang motor lo." Tasya sudah geram, karena Satria terus-menerus menolak, padahal hanya laki-laki itu yang datang sendirian kemari.

"Biar gue yang bawa dia balik."

Seketika semuanya menoleh kearah sumber suara. Suara asing diantara mereka berlima, yang datang dari arah ambang pintu membuat bingung. Mereka kemudian menatap terkejut saat melihat siapa yang datang.

••

Dari setiap hari-hari yang Lingga lewati dengan kesibukannya, Lingga memilih hari ini menjadi hari paling terlelahnya. Entahlah. Mungkin hari ini ia benar-benar bekerja keras, karena saat kepergian Dinar dari kafe, banyak pelanggan yang berdatangan satu persatu dan berujung ramai, sampai akhirnya ia harus pulang pukul 9 malam ini. Lingga lembur selama tiga jam.

Lingga menghela napasnya.

Di standarkannya motor vespa maticnya, hasil pembelian dari dikumpulkannya uang dalam lomba cerdas cermat yang selalu Lingga ikuti setiap diadakan, dan uang hasil dari kerja paruh waktunya. Ditaruhnya helm yang berwarna senada dengan motor matic vespa miliknya. Kakinya pun melangkah mendekati kursi single berbahan kerajinan itu didekat pintu depan rumahnya. Ia mendaratkan bokongnya disana.

Lingga benar-benar lelah hari ini. Ia merasa, ia harus mandi dengan air hangat dan mengolesi tubuhnya dengan sedikit minyak hangat agar tubuhnya yang lelah menjadi tidak terlalu terasa, karena besok juga hari senin, dan ia harus datang pagi karena selain upacara berlangsung, ia juga akan ada ulangan harian nantinya. Ia harus segera beristirahat, agar besok tubuhnya tidak terlalu lelah.

Disaat Lingga sedang ingin menaruh sepatunya di rak dekat jendela, ia terdiam sejenak karena melihat sesuatu disana. Sepatu Dinar, yang bahkan tidak gadis itu ambil sejak seminggu yang lalu. Lingga hanya menghela napasnya tidak peduli. Ia benar-benar lelah hari ini, jadi ia tidak ingin dipusingkan dengan hal lain.

Tunggu, kenapa ia menjadi seperti ini?

Lingga lagi-lagi membuang napasnya. Ia memasuki rumah dan melangkah menuju ke arah dapur. Ia menaruh tas ranselnya itu diatas meja dapur, dan membuka lemari es untuk menggambil segelas air putih disana.

"Tadi Dinar kesini."

Lingga hanya diam. Suara itu tidak mengejutkannya, karena memang saat menuju dapur, ia melihat kakaknya sedang asik menonton drama di ruang keluarga yang masih menjadi satu ruangan tidak jauh dengan dapur itu.

"Tapi lo nggak ada, jadi dia ke kafe nyamperin lo." Katanya. "Ketemu nggak?"

Lingga tetap diam. Ia lebih memilih meneguk air putihnya dibanding mempedulikan perkataan kakaknya. Itu jelas membuat kakaknya kesal, karena tidak ada jawaban apapun.

"Lo denger nggak sih gue ngomong?!" Bentaknya sebal.

"Kenapa sih, malem-malem kok teriak-teriak, kak?" Bunda yang baru saja keluar dari kamarnya itu bertanya bingung lantaran anak sulungnya itu terdengar berteriak-teriak, padahal jam sudah malam.

Sheza, kakak perempuan Lingga kembali menatap layar televisi dengan wajah kesal. "Tuh, anak Bunda. Diajakin ngomong diem aja kayak batu."

"Berisik." Lingga bangkit dari duduknya, dan mengambil tasnya.

"Kan, bun! Liat! Sekalinya ngejawab omongannya kurang ajar!" Sheza menoleh, menatap Lingga yang saat ini berjalan kearah Bunda dan terlihat sedang mencium tangannya.

"Kamu ketemu Dinar nggak?" Tanya Bunda. "Tadi dia kesini nanyain kamu. Katanya kamu nggak ngabarin dia."

Lingga terdiam sesaat menatap Bundanya. "Aku capek, bun."

Bunda mengelus pundak Lingga dan tersenyum tipis. "Kamu berantem lagi sama dia?"

Sheza yang sejak tadi menguping itu berdecak. "Pastilah bun. Pacaran aja nggak normal, gimana nggak berantem mulu."

"Sheza..."

"Biar sadar bun. Cewek juga kalo di gituin nggak bakalan betah!" Sheza menggebu. "Aku malahan bingung, gimana bisa si Dinar betah pacaran sama—"

"Gue itu udah normal sama dia." Tukas Lingga. "Lo kalo nggak tau apa-apa mending diem."

Lingga pun melangkah begitu saja menuju kamarnya tanpa lagi mempedulikan perkataan Sheza. Namun kakaknya kembali berteriak yang terdengar olehnya.

"Kan, bun! Liat kelakuannya! Pantes aja banyak yang ngga suka sama dia, ya karena gitu tuh!"

Bunda yang melihat bagaimana kakak beradik itu hanya bisa menghela napasnya. Mereka selalu bertengkar, hanya karena masalah kecil. "Kamu udah makan, yo?"

Lingga hanya terus melangkah menuju lantai atas tanpa memperdulikan perkataan Bunda.

"Tadi Dinar bawain spagetti kesukaan kamu, yo."

Lingga berhenti melangkah. Kepalanya langsung teringat kejadian siang tadi di Kafe.

"Mau kamu makan?"

Lingga menghela napasnya. Matanya memejam sesaat, tangannya memijat lelah pelipisnya. Lingga benar-benar lelah dan pikirannya sangat kalut sekarang.

"Nggak laper bun."

Kakinya kembali melangkah meninggalkan mereka.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status