Share

2¡ Desa Hitam

🐺🐺🐺

Dari kejauhan tampak warna putih yang terlihat lebih kontras dari segala hal di sekitarnya. Sebuah Vila bertingkat dua berdiri gagah dengan corak hijau lumut dibeberapa sudut. Rupanya bangunan itu telah dipertegas dengan adanya beracam-macam bunga yang tumbuh liar di halaman. Vas bunga yang terbaring acak, rumput serta pohon yang sebelumnya tidak pernah ada telah tumbuh dengan ambisius.

Mobil putih Bella mulai bergerak lambat di depan gerbang setinggi satu meter. Warna hitam gerbang itu digantikan karat tebal yang mungkin saja dapat melukaimu . Gerbang tersebut dipermanis bunga rambat  yang tampak berduri.

"Ayo, kita sudah sampai." Setelah keluar dari mobil Bella menghampiri Ananta yang telah membuka pintu lebih dulu. Perempuan itu mengapit lengan Ananta posesif. Tak ingin putranya tersandung kemalangan sedikitpun.

"Rumahnya terlihat seram."

Bella terkekeh mendengar kejujuran Bi Manda.

Ketiganya tampak kompak menghadapi Vila kokoh yang terbias cahaya, cukup untuk memanjakan mata. Area sekitar Vila juga tidak segelap jalanan tadi. Anehnya bangunan itu tidak roboh setelah ditinggal kang Maman tiga tahun yang lalu. Pria yang ditugaskan Bella untuk merawat Vila ini. Namun segera berhenti karena usianya yang tidak mampu. Setelah itu tidak ada lagi yang hendak menggantikan.

Dengan bingung Manda memandangi Bella yang mulai membuka tas, mengeluarkan sesuatu dari sana_sebuah benda pencetak gambar. Setelah didapatnya, seringaian menggelikan terpaku jelas di bibir. Kebiasaan Bella setelah kepergian Louise, ingin selalu mengabadikan setiap momen. Tidak ingin terlewatkan barang sedetikpun, sesuatu yang dianggapnya penting.

"Saatnya berfoto!" Ujarnya riang kemudian.

Helaan nafas terjadi pada Ananta. Ia tidak menyalahkan sang ibu yang begitu antusias terhadap album kenangan. Setelah kepergian Louis, sang ayah_Bella tampak murung. Perempuan yang selalu menggelung rambutnya dengan penjepit itu selalu meratapi_kenapa tidak ada satu gambar pun yang berisikan Louis. Bella tidak ingin melupakan segalanya, wajahnya, momen-momennya. Meskipun bisa di simpan ke dalam memori otak tentu itu tidak akan bertahan lama. Dan ibunya tersebut tidak ingin kejadian yang lalu terulang. Mengabadikan segalanya melalui banyak media. Hati, pikiran dan digital.

"Bi, fotokan aku dan Ananta."

Setelah kamera itu berpindah tangan. Bella menarik Ananta untuk mengatur posisi. Membelakangi Villa. Senyum hiperbolis tercetak di wajah Bella yang dipermanis dengan jari telunjuk serta tengah membentuk huruf 'v'. Hal itu berbanding terbalik dengan Ananta_yang saat itu matanya tidak fokus menghadap kamera. Menerawang jauh entah kemana. Senyumnya telah dibawa lari oleh pikiran yang senatiasa traveling. Meskipun demikian, setelah satu gambar pertama diambil. Bella meminta pengulangan, dengan Ananta yang tersenyum cerah. Guna menghindari pembuangan waktu, Ananta menurut saja. Satu gambar berhasil diambil. Bella mengajak Bi Manda untuk foto bersama, dengan kamera terbalik. Posisinya mereka bergelung, berdempetan, satu gambar terambil.

Bella melirik jam tangan di lengannya. "Pukul empat sore. Ahh, besok akan menjadi hari yang sibuk ya, Bi?" Sambil meletakkan kembali kameranya ke dalam tas.

Manda mengangguk antusias. "Iya, Non."

"Rumahnya jadi lebih liar, Ananta." Bella kembali berujar mengajak keduanya masuk. Penasaran bagaimana isi Vila itu.

Bi Manda membawa dua koper sekaligus sedangkan Bella menyeret satu koper dan lengan Ananta.

Hawa penggap menyambut begitu pintu utama dibuka. Berbeda dengan aroma berbagai macam bunga mekar di taman tadi. Isi rumah itu hampa tanpa cahaya dan oksigen yang masuk. Segera Bi Manda menyibak tirai jendela. Cahaya masuk memperlihatkan barang-barang seperti meja, kursi dan almari tertutup kain putih yang telah usang. Tidak terlalu buruk. Hanya debu setebal dua senti dan sarang laba-laba diseluruh penjuru tempat.

Bella menyibak kain putih yang tampak aus dan berdebu. Sontak saja Ananta dan Bella terbatuk bersamaan kemudian tertawa setelah sedikit reda. Kursi berbusa terlihat setelahnya.

"Kurang kenceng," ujar Ananta sembari menghalau debu di depan wajah. Bella tertawa lagi diikuti Bi Manda yang baru saja masuk dengan barang lain di tangan.

"Ananta duduk saja biar Mama dan Bi Manda yang beres-beres."

"Anta jadi merasa tidak bisa apa-apa."

"Jangan bicara begitu, Den Anta."

Rengkuhan lembut terasa di bahu Ananta. Rasa hangat pelukan ibunya tersebut membuat pemuda itu tersenyum. "Anta masih inget kan tata letak rumah ini? Masih sama seperti tujuh tahun lalu."

"Anta mau keliling."

Bella melepas pelukannya. Kemudian berujar, "kamar Anta kaya dulu. Tinggal lurus pintu nomor dua di pojok ruangan."

"Tongkatnya, Den?" Bi Manda menyerahan tongkat yang masih terlipat ke tangan Ananta.

Pemuda itu mengangguk dengan senyum tipis. "Makasih, Bi." Lengan Ananta mulai meraba dan meluruskan panjangnya tongkat tersebut. Memegang ujungnya untuk menuntun Ananta dalam bergerak.

"Mama sama Bi Manda beres-beres dulu yang utama. Keburu malam. Nanti Anta tinggal teriak saja sekencengnya kalau butuh bantuan."

"Non Bella ini ada-ada saja. Memang ini hutan?" Bi Manda menyahut sembari terkekeh geli.

"Loh, ini memang di pinggir hutan, Bi." tutur Bella terkekeh sambil menggelangkan kepala geli. Pandangan matanya melihat Ananta berjalan pelan seirama dengan tongkat yang dipegangnya. Ananta tampak tersenyum  tipis karena perdebatan dirinya barusan.

Ananta membuka pintu kamar. Tangannya meraba dinding sebelah kanan mencari saklar rumah. Belum sampai menemukannya tangan Ananta terjeda. Rasanya percuma dihidupkan atau tidak. Semua tetap nampak gelap. Listrik pasti tidak sampai ke Vila ini lagi. Apalagi setelah tujuh tahun tidak berpenghuni. Beruntung air sumur masih tetap menyala.

Tubuh Ananta bergerak ke arah jendela. Disibaknya korden dan pintu jendela secara pelan. Pemunda itu merasakan gatal dibagian hidung akibat debu yang berhamburan.

Segalanya masih sama. Tata letaknya masih sama. Jadi tidak rumit untuk dirinya merasakan ini melalu hati dan pikiran.

Angin lembut berhembus pelan. Mengantarkan aroma alam bercapur berbagai macam bunga. Mata kosong Ananta menatap satu garis lurus ke arah dinding.

Inilah dunia Ananta. Dunia gelap sepekat tinta tanpa setitik cahaya sedikit pun. Dunia yang Ananta hadapi mulai dua tahun yang lalu.

Warna-warni dunia Ananta telah direngut selama lima menit paska kecelakaan mobil berlangsung. Digantikan satu warna abadi, hitam. Entah mata ini terbuka atau terpejam, semuanya akan sama saja. Ananta tidak bisa melihat pergantian siang dan malam. Ananta tidak bisa melihat senyum dan tangis seseorang. Bahkan dirinya sendiri pun tidak lagi dapat ia perkirakan bayangannya.

Dalam hening pikiran yang sunyi mulai merangkai berbagai macam angan, mengorek lebih dalam kenangan-kenangan masa lalu. Sepi semakin mempertegas suara-suara alam. Burung berkicau unik dan aliran air mengemercik merdu.

Tangan pemuda itu membelai lembut kasur di sebelahnya, yang penutup kain putih telah ia sibak sedari tadi.

"Anta?"

Ananta mengusap mata yang telah lancang merembeskan air beningnya. Memalingkan wajah ke arah sumber suara. Menajamkan pendengaran ketika ibunya kembali berujar, "ayo kita makan malam. Sudah mama siapin."

Bella mendekat ketika Ananta berdiri tegap. Keduanya berjalan ke arah ruang tamu. Menemui Bi Manda yang telah duduk lebih dulu di sana.

Samar-samar bau minyak terbakar memasuki indra penciuman Ananta. Bersamaan dengan itu kepul asap gurih ikut memanjakan hidung. Ananta tau bau apa ini.

"Mari, Den Anta." Bi Manda menarik kursi untuk pemuda tersebut.

Perlakuan bak raja itu kadang kala membuat Ananta risih sekaligus senang. Karena di saat semua teman-temannya menghilang, ada dua bidadari yang masih setia menemani. Tetapi apakah akan selamanya selalu seperti ini?

"Di sini tidak ada listrik. Untung Mama bawa lampu minyak sama lilin yang banyak."

Ananta menangguk kemudian memasukkan mi instan yang telah dimasak ke dalam mulutnya. Ia berusaha keras melakukan segalanya sendiri meski Bella telah menawari bantuan.

Dalam hening ketiganya menyantap mi masing-masing. Ada rasa lelah yang terdengar di setiap hembusan nafas Bi Manda dan ibu Ananta. Semua sudut rumah telah dibersihkan tadi. Tinggal halaman rumah yang akan dilanjutkan waktu sengang.

"Bagaimana rasanya, Den?"

"Rasa mi instant. Tapi malah terkesan nikmat."

Kemudian Bella dan Bi Manda tertawa bersama mendengar kata spontan Ananta.

"Benarkah? Sukur kalau gitu. Kamu tau air rebusannya Mama masak pake kayu bakar," tutur Bella sembari terkekeh.

"Pasti sangat seru."

Bella mengangguk setuju.

Itu adalah sensasi yang sangat jarang bisa perempuan itu lakukan. Merasakan geram ketika api tidak cepat menyala tetapi terasa lebih nikmat dan bangga ketika makanan itu telah siap tersaji.

"Kamu tau Anta? Tadi Bi Manda cari kayu bakar. Cepet banget dapetnya, tidak lebih dari sepuluh menit."

Bi Manda tersenyum kecil merasa tersanjung. "Biasa aja, Non. Di hutan kayu keringnya banyak. Tinggal di comot."

Ananta terkekeh geli. Bella menatap lekat putranya kemudian kembali berujar, "tidak ada bahan makanan lain yang bisa kita dapat di sini kecuali yang kita bawa. Anta nggak papa makan segala instant?"

"Nggak papa, Ma. Lagian Anta seneng, kok. Kalau nggak gini kan mana mau Mama biarin Anta makan instant. Udah kangen sejak masa sekolah."

Tanggan Anta menyendok mi tanpa ragu. Terbiasa gelap membuat Ananta harus bisa melakukan segala hal pribadinya agar tidak merepotkan orang lain lebih banyak.

"Jadi ketauan, Ananta! Semasa sekolah makannya instant terus. Awas aja, kali ini yang terakhir!"

Ananta terkikik geli sambil membayangkan ekspresi marah Bella yang selalu mengangkat segala hal yang dipegang untuk mengintimidasi lawan. Saat ini bisa dipastikan, Bella tengah mengangkat sendok ke arah Ananta. Bibir manyunya garang kuadrat.

"Nggak papa loh, Non. Sekali-sekali makan instant biar nggak sehat terus." Bi Manda mulai menambahi membuat Bella mengerut tidak suka. Alhasil ceramah Bella yang sudah mirip dokter mendemo di panggung kebenaran.

Perempuan seperti Bella selalu satu langkah lebih depan mengenai kesehatan. Ia akan melarang Ananta memakan segalah hal yang berbau instant. Mungkin karena kali ini terdesak jadi Bella tidak punya pilihan lain.

"Jangan gitu dong, Bi. Ya udah besok kita berburu saja."

"Mau nangkep apa di hutan blantara kaya gini? Nyamuk?"

Ejekan Ananta sembuat seburan tawa Bi Manda meledak sempurna. "Kelinci mungkin ada."

"Bibi mungkin terlalu banyak nonton filem. Kalaupun ada kelinci liar mungkin agak ke pedalaman." terang Ananta.

"Ikan, Anta. Tadi Mama ngelihat sungai di belakang rumah masih ada. Pasti banyak ikannya. Mama jadi kangen liat Louise mancing sama kamu."

Tanpa sadar pemuda itu mulai mengulum senyum. Mancing, ya? Kebiasaan Louise, sang ayah. Sewaktu di Vila ini dulu.

Setiap hari libur menyapa, Louise akan selalu menjadi orang pertama yang menggebrak kamar Ananta. Mengajak putra satu-satunya itu memancing di belakang vila.

Ngobrol sebanyak yang bisa diucapkan untuk menikmati dunia yang terasa milik sendiri. Atau bahkan Ananta akan berteriak girang saat sang ayah mendapat tangkapan pertama. Dan ikannya akan lebih dulu lari karena terkejut. Saat-saat seperti itu Louise pasti akan bilang: lama-lama Papa gunain kulit kamu sebagai umpan. Dan keduanya akan meledakkan tawa bersama. Bella akan menghampiri mereka bersamaan dengan sekeranjang buah.

Masa-masa itu tidak tau akankah terulang kembali atau tidak. Ananta rindu.

"Bapak suka mancing, ya, Non?"

Bella mengangguk antusias menanggapi Bi Manda.

Pembicaraan mereka mulai merlanjut mengenai keseruan keluarga Louise dalam menghabiskan waktu. Dikolaborasi dengan cerita bi Manda yang menjadi perbandingan. Melupakan waktu sejenak untuk menyambung tawa yang kemudian meledak-ledak.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status