Home / Romansa / Wonderstruck / Joyride [2]

Share

Joyride [2]

Author: Indah Hanaco
last update Last Updated: 2021-03-07 18:00:57

“Eh, tapi ini serius.” Lita mendadak berdiri dan memerhatikanku lebih saksama. “Gaun ini pasti mahal. Tapi yang jelas, bukan selera Thea. Dia kan ... apa ya?” Kening Lita dihiasi garis samar. “Hmmm ... Thea suka penampilan yang lebih dramatis. Lebih menarik perhatian.”

“Alias heboh,” imbuhku. Aku berputar sekali lagi, memerhatikan efek dari pakaian yang kukenakan karena gerakan itu. “Terlepas dari sikapnya yang nyebelin, Thea memang pantas punya banyak fans. Cantik dan bergaya. Apa boleh buat, kita cuma bisa iri,” gurauku.

“Tapi aku masih bingung lho, Nef! Kenapa Thea mendadak baik sama kamu, ya?” Lita kembali pada topik penuh misteri itu. Aku pun bertanya-tanya sejak kemarin dan belum menemukan jawaban yang bisa memuaskan hati.

“Kamu kira aku tau jawabannya?” Aku mengangkat bahu. Tanganku mulai membuka ritsleting gaun. “Kayaknya soal itu akan jadi misteri besar, Ta! Kamu pikir aku nggak bingung? Tapi, meski udah mikir sampai otakku terasa mau melepuh, tetap nggak tau jawabannya.”

Lita menjawab kalem. “Otak melepuh, ya?” Gadis itu menyeringai.

Mungkin istilah itu memang agak berlebihan. Namun aku memang tak mengerti alasan di balik perubahan sikap Thea yang begitu drastis. Apalagi sorenya ketika cewek itu kembali mengetuk pintu kamarku untuk ketiga kalinya dalam waktu 24 jam. Rekor yang luar biasa untuk orang yang selama ini bahkan tak sudi menatap wajahku. Apalagi tersenyum padaku.

“Firasatku nggak salah, ternyata. Untung aku buru-buru pulang. Sekarang udah lewat jam empat dan kamu belum dandan. Jangan-jangan, belum mandi juga.” Thea menerobos masuk sebelum aku melebarkan daun pintu dengan sempurna.

“Aku nggak ikut ke pestanya Vicky, Thea! Kemarin kan aku udah bilang. Jadi, ngapain aku dandan segala?” cetusku tanpa basa-basi.

“Kamu nggak punya acara, kan? Ketimbang di kamar doang, mending ikut sama aku. Pokoknya, malam ini kita bakalan bersenang-senang. Aku janji, Nef, kamu nggak bakalan ngelupain acara hari ini. Jadi, kamu nggak punya alasan untuk nolak.”

Itu bukan kalimat yang ingin kudengar. Aku bukan cewek penyuka pesta. Apalagi pesta yang digelar oleh seseorang yang nyaris tak kukenal. Thea meletakkan sesuatu di atas ranjang. Saat itulah aku baru menyadari jika tamuku membawa peralatan make-up.

 “Aku nggak bakalan ikut kamu ke pesta siapa pun, Thea!” Aku berusaha membuat suaraku terdengar tegas. “Lagian, kayak yang aku bilang kemarin, aku dan Vicky bisa dibilang nggak saling kenal. Aku nggak mau diusir dari pesta seseorang karena datang tanpa diundang.”

Upayaku untuk menolak ajakan Thea yang memenuhi syarat untuk dimasukkan ke dalam kategori sewenang-wenang, gagal total. Thea jelas-jelas mengabaikan protesku. Semua penolakanku seakan memantul di udara dengan sia-sia. Thea seakan tak mendengar sepatah kata pun. Cewek itu malah memintaku duduk di tepi ranjang dan tak boleh bergerak. Karena Thea akan merias wajahku. Ya ampun!

Andai tadi pagi diminta membuat daftar hal mustahil yang terjadi dalam hidupku, dipinjami gaun dan dirias oleh Thea adalah dua di antaranya. Siapa sangka jika keduanya terjadi di hari ini? Aku sungguh tidak nyaman dengan perubahan sikap mencolok yang ditunjukkan cewek itu. Apa yang dilakukan Thea padaku cuma terjadi di antara dua teman baik. Dan kami sama sekali tidak dekat dengan kategori itu.

Aku memiliki semiliar keberatan. Namun ternyata saat ini Thea jauh keras kepala dibanding diriku. Rasa tak nyaman yang bergelung di perut sejak Thea mulai merias wajahku tadi, kembali menggeliat. Meski aku tidak bisa membenci pantulannya di depan cermin. Thea mendandaniku dengan porsi yang pas. Padahal cewek itu adalah pencinta tampilan glamor yang mencolok. Namun dia membubuhi riasan tipis-tipis di wajahku.

“Kamu serius mau pergi bareng Thea?” gugat Lita saat melongok ke kamarku. Thea baru pamit untuk mandi dan berganti pakaian. Sementara aku yang sudah mengenakan pakaian bermodel kemben yang dibelikan Nike saat berada di Hong Kong, meraih gaun milik Thea. “Lho, baju sebagus itu kok malah dijadiin pakaian dalam, sih?” protes Lita lagi.

“Terlalu pendek dan terbuka. Kalau aku nekat pakai ini, udah pasti akan jadi tontonan.” Aku menunjuk ke arah dada dengan tangan kanan sembari memakai gaun pinjaman itu. “Bajunya Thea sih bagus, tapi agak tipis. Karena aku nggak punya pakaian dalam sewarna kulit, ini pilihan yang paling aman.”

Lita melebarkan daun pintu tapi memilih bersandar di kusen. Tidak ada tanda-tanda jika cewek itu akan masuk ke dalam kamar. “Sebenarnya, ngapain sih Thea berambisi ngajakin kamu ke pesta temannya? Makin dipikir kok malah makin aneh rasanya. Kamu pun mau aja.”

Itu juga yang kurasakan. Namun aku cuma berujar, “Anggap aja dia baru dapat pencerahan. Cuma itu alasan yang paling masuk akal. Nggak tau lagi mau komen apa.” Aku kembali berputar di depan cermin, memastikan penampilanku sudah cukup bagus.

Lita belum sempat merespons karena suara Thea terdengar. Cewek itu memberi tahu bahwa kami akan segera berangkat. Thea hanya melambai saat melewati ambang pintu, tak menoleh pada Lita yang juga berdiri di sana.

“Selamat bersenang-senang, Nef! Kudoain semua berjalan lancar,” ucap Lita. Aku  menangkap embusan napas yang mengakhiri kalimatnya. “Selamat cuci mata.”

“Jangan sedih gitu, Ta! Aku nggak akan ninggalin kamu lagi di malam minggu lainnya. Ini pertama dan terakhir kalinya. Sumpah!”

Lita terkekeh sembari membuat gerakan mengusir dengan tangan kanannya. “Hei, jangan ngomong sembarangan! Nggak lucu kalau nanti muncul gosip baru. Ada pasangan sesama jenis di Rumah Borju. Hih, kita bisa-bisa dilaknat dunia.”

Aku menyambar envelope bag yang sudah dipilihkan Lita. Lalu, kukecup kedua pipi gadis itu sembari menekankan bibirku lebih kencang dibanding seharusnya, sehingga meninggalkan bekas lipstik. Lita yang menyadari keisenganku, buru-buru menyeka pipinya dengan punggung tangan.

“Carilah cowok keren yang bisa dijadiin sasaran ciuman ganasmu itu. Jangan aku,” omelnya. “Aku masih lebih suka cowok, Nef. Kamu nggak masuk hitungan sebagai makhlyk yang bikin aku naksir.” Aku cuma terkekeh sembari menepuk bahu Lita sebelum berlalu.

Thea sudah tidak terlihat. Beberapa penghuni Rumah Borju yang berpapasan denganku, menunjukkan aneka ekspresi. Namun semuanya menyiratkan satu hal, kaget. Dengan beragam alasan. Mulai dari penampilanku yang berbeda hingga rencana pergi ke pesta bersama Thea. Tampaknya, wabah pun kalah cepat menularnya dibanding perkembangan gosip di tempat ini.

Thea sudah menunggu di dekat pos satpam. Cewek itu sedang bicara di telepon saat aku mendekat. Dengan tangan kanannya yang bebas, Thea menunjuk ke arah sebuah sedan gelap yang diparkir di dekat pintu gerbang. Aku mengenali pemilik mobil itu, Julie. Aku pun menahan napas seketika. Namun, aku sudah tak bisa mundur sekarang.

Jika Thea tak pernah bersikap ramah dan beberapa kali menyindirku dengan kalimat tak enak di telinga, Julie justru lebih parah. Cewek itu bahkan pernah sengaja mendatangi mejaku saat aku makan di kantin fakultas hukum. Lalu, Julie mengoleskan saus sambal di bagian depan kemejaku tanpa basa-basi Alasannya?

“Kemejamu norak. Aku nggak suka karena bikin sakit mata,” komentar Julie.

Dan peristiwa itu baru terjadi dua minggu silam! Mungkin, gadis ini terlalu banyak menonton sinetron kejar tayang yang isinya tentang gadis-gadis kaya nan sombong dan suka menindas orang. Lalu, merasa bahwa mengaplikasikannya dalam keseharian adalah hal yang keren tiada tara. Karena memang bukan aku saja yang pernah dirisak oleh Julie.

“Halo, Nef! Kamu cantik hari ini.” Sapaan ramah dari sang pengemudi itu terdengar begitu aku membuka pintu belakang. Thea yang sudah lebih dulu duduk di depan, sedang memasang sabuk pengaman.

“Makasih. Kamu juga cantik,” balasku sopan sembari menahan mual karena sudah menjadi manusia munafik.

Aku sempat menangkap senyum tipis di bibir Julie. Aku berusaha menyamankan diri di tempat duduk, menghalau rasa tak nyaman yang meremas tulang-tulangku. Aku mulai mempertanyakan akal sehatku. Bagaimana bisa aku semobil dengan dua orang yang sudah menunjukkan ketidaksukaan padaku dalam beberapa kesempatan?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Wonderstruck   Epilog

    Amara sering mendengar kalimat tentang cinta yang bisa mengubah hidup seseorang dengan drastis. Dan selama ini dia kerap mencibir, tidak memercayai hal itu sama sekali. Baginya, orang-orang yang sedang jatuh cinta itu cuma melebih-lebihkan saja.Akan tetapi, kini cibirannya itu justru berbalik menyerang Amara. Menjadi bumerang yang membuatnya jengah. Jika boleh jujur, Amara bahkan tidak tahu kalau efek cinta yang dirasakannya itu ternyata jauh lebih besar dibanding bayangan gadis itu. Amara mengira hidupnya sudah remuk dan takkan bisa lagi kembali normal. Bahagia itu cuma sebuah mimpi lancang yang terlarang untuknya.Hingga Seo Ji Hwan hadir dalam dunianya, memainkan sihir ajaib yang tidak pernah terduga.Membuka hatinya lagi untuk Ji Hwan setelah tahu siapa cowok itu, sama sekali tidak mudah. Akan tetapi, memaksa Ji Hwan menjauh dan membiarkan cowok itu lenyap dari hidup Amara selamanya, jauh lebih tidak tertanggungkan. Cinta Amara untuk cowok itu sudah bertumb

  • Wonderstruck   My Other Half [7]

    Kata-kata Ji Hwan itu mengejutkan Amara. Dia pun merespons. “Pasti itu melibatkan cewek yang namanya Rita tadi,” tebak Amara dengan perasaan terganggu. Cemburu.“Memang iya,” aku Ji Hwan dengan jujur. Pengakuan itu membuat Amara berjengit.“Dan tadi dia menggandengmu dengan mesra,” Amara menahan diri agar tidak mengomel panjang. “Aku dan Sophie ngeliat semuanya.”“Dia memang menggandengku, Mara. Tapi seingatku, buru-buru kulepaskan. Nggak ada yang bisa dianggap ‘mesra’ di situ,” ralat Ji Hwan. Kedua tangannya terangkat dan membuat tanda petik di udara. “Kalau memang kamu secemburu itu, seharusnya kamu nggak pernah ngelepasin aku,” dia menambahkan.Amara menoleh ke kanan, mengira akan melihat Ji Hwan tersenyum jail. Namun ternyata tidak. Ji Hwan terlihat sangat serius dengan kata-katanya. Matanya yang agak sipit itu menatap Amara dengan kesungguhan yang luar biasa.

  • Wonderstruck   My Other Half [6]

    Ji Hwan tertawa geli. Amara benar-benar merasa lega karena akhirnya bisa melihat cowok itu tergelak lagi. Lesung pipitnya begitu menyihir. Amara sekarang baru menyadari betapa dia sangat merindukan Ji Hwan. Dia tidak tahu bagaimana selama ini bisa bertahan, bahkan sampai bersikap memusuhi cowok itu. Amara pun tak sudi mendengar semua pembelaan diri dari Ji Hwan.“Sophie juga udah ngingetin aku tentang kamu yang gengsi banget untuk mengakui perasaanmu sama aku,” aku Ji Hwan.Amara mendesah tak berdaya. “Kalau nanti ketemu Sophie, aku akan menjahit mulutnya,” ucap gadis itu. “Dia sama sekali nggak bisa menjaga rahasia.”Ji Hwan tertawa kecil. “Sophie nggak punya maksud jelek. Dia cuma ingin membantu kita berdua,” katanya. “Heartling, bisa nggak sih, kita berhenti berantem dan ngucapin kata-kata yang nyakitin hati? Aku beneran jatuh cinta sama kamu. Aku menyesali semua yang harus kamu alami. Aku lebih nyesal lag

  • Wonderstruck   My Other Half [5]

    Wajah Amara menghangat. Kata-kata Ji Hwan itu membuatnya jengah. Dia sempat mengerjap sambil menatap sang mantan, tak yakin bagaimana Ji Hwan tampak berbeda dibanding kemarin. Hari ini, Ji Hwan tampak lebih santai dan bisa mengucapkan kata-kata yang mengejutkan. Meski tak terlihat lesung pipitnya yang begitu disukai Amara.“Kenapa aku harus cemburu?” Amara mengerutkan glabelanya. “Ji Hwan, kita beneran konyol banget karena ngebahas hal-hal yang nggak penting. Sekarang, balik ke masalah yang sebenarnya. Kamu ngajak aku ke sini untuk ngebahas apa?” tanya Amara. Dia berusaha bersikap setenang mungkin meski nyatanya jantung Amara terasa menggila lagi.“Bukannya kamu merindukanku?” Ji Hwan malah balas bertanya. Pertanyaan itu begitu mengejutkan, seperti bom yang dijatuhkan di keheningan malam.“Apa?” Amara yakin dia sudah salah dengar.Ji Hwan menjawab dengan sabar. Nada sinis yang tadi tertangkap di telinga Amar

  • Wonderstruck   My Other Half [4]

    “Kamu sakit ya, Mara? Wajahmu agak pucat,” cetus Ji Hwan dengan napas memburu. Menurut tebakan Amara, cowok itu pasti berlari saat kembali ke tempatnya menunggu.“Aku nggak sakit.” Seisi dada Amara dipenuhi permohonan, berharap Ji Hwan mau memanggilnya “Heartling” lagi. Permohonan yang tidak mampu dilisankan Amara di depan cowok itu. Sesaat kemudian, gadis itu memarahi dirinya sendiri. Memangnya apa yang diharapkannya? Ji Hwan sudah melakuakan segalanya untuk mempertahankan Amara. Akan tetapi, Amara sendiri yang menolak Ji Hwan berkali-kali.Ji Hwan melihat ke arah jam tangannya. “Kita bisa pergi sekarang? Atau kamu mau makan siang dulu?”Amara menggeleng. “Aku nggak lapar.”Setelahnya, gadis itu berjalan bersisian dengan Ji Hwan menuju tempat parkir motor di fakultas cowok itu. Tak ada yang membuka mulut. Amara pun sama sekali tidak berkomentar saat mantan pacarnya menyerahkan sebuah helm kepada

  • Wonderstruck   My Other Half [3]

    Namun Amara tidak mampu mensterilkan diri dari perasaan senang saat melihat Rita menjadi salah tingkah dengan wajah agak pias. Mereka saling sapa dengan canggung. Amara juga merasa lega karena Ji Hwan tidak mengoreksi kata-kata Sophie tadi.Kurang dari tiga menit kemudian Rita pamit dengan alasan harus masuk kelas. Tak lama kemudian Sophie pun menyusul. Tidak ada tanda-tanda bahwa gadis itu menyesali caranya mengintimidasi Rita. Sophie malah terkesan puas dengan kelakuannya barusan. Kini, yang tinggal hanya Amara, berdiri berhadapan dengan mantan pacarnya dengan canggung. Gadis itu memindahkan berat badannya dari kaki kanan ke kaki kiri. Tidak ada yang bicara hingga berdetik-detik. Sementara mahasiswa berlalu-lalang di sekitar mereka.“Amara, kenapa belum pulang? Masih ada kuliah, ya?”Tanpa melihat pun Amara tahu bahwa Reuben yang barusan menyapanya. Dosennya itu berhenti sambil menatap Amara. Berdiri di depan dua pria yang pernah menjanjikan hati m

  • Wonderstruck   My Other Half [2]

    Amara belum pernah merasakan siksaan luar biasa saat mengikuti kuliah. Ji Hwan yang sudah memperkenalkannya pada perasaan asing yang membuatnya tak berdaya itu. Amara mengutuki waktu yang melamban dan jarum jam yang seakan tidak bergerak. Seolah-olah waltu membeku begitu saja.“Mara, bisa duduk diam nggak, sih?” protes Sophie. “Kalau kamu bergerak-gerak terus di kursimu, mungkin bakalan dikira kena wasir.”Kalimat seenaknya dari Sophie itu membuat Amara menendang kaki sahabatnya dengan gerakan pelan. Sophie malah terkikik geli dan buru-buru menundukkan wajah agar tak ketahuan dosen sedang tertawa.“Pasti kamu udah nggak sabar pengin buru-buru keluar dari sini, kan?” tebak Sophie ketika akhirnya kelas berakhir. Seringai jailnya tidak mampu membuat perasaan Amara membaik. “Tersiksa banget kan, Mara?”Amara mengabaikan gurauan sahabatnya. “Sophie, nanti kalau ketemu Ji Hwan, aku harus ngomong apa? Aku ben

  • Wonderstruck   My Other Half [1]

    Amara melangkah pelan dengan kepala tertunduk. Sophie menggandeng lengan kanannya. Setelah menghabiskan waktu di kantin, mereka akhirnya menuju ruang kelas. Perkuliahan akan dimulai sekitar sepuluh menit lagi. Perbincangan Amara dan Sophie tidak mendapat titik temu seputar jalan keluar untuk soal Ji Hwan. Amara sudah kehilangan semangat. Dia yakin, kini dia merasakan patah hati dalam arti sebenarnya.Amara tahu, rasa sakit yang harus ditanggungnya pasti tak akan ringan. Setelah semua kemarahannya mereda dan akal sehat yang berbicara, pastilah rasanya berbeda dibanding malam tahun baru itu. Saat dia memutuskan hubungan dengan Ji Hwan tanpa perasaan.“Kamu terlalu jauh dijajah gengsi. Itu kebiasaan jelek, Mara. Gengsi itu perlu tapi ya harus pada tempatnya. Kalau memang....” Sophie tidak melanjutkan kalimatnya.Heran karena Sophie tak lagi bicara, Amara berujar, “Silakan terus mengejek dan menceramahiku. Masa sih kamu udah capek? Kayaknya ini bar

  • Wonderstruck   Biar Hati Bicara [8]

    Sophie sudah digariskan menjadi orang yang tak mudah dipuaskan. Dan meski sudah ikut melihat adegan tadi, gadis itu merasa bahwa reaksi Amara terlalu berlebihan. Cemburu yang tidak pada tempatnya. Bagi Sophie, tak seharusnya semangat Amara melempem begitu saja. Gadis itu tanpa sungkan mengutarakan opininya.“Katanya rindu, tapi udah langsung nyerah cuma karena ngeliat ada pengagum Ji Hwan yang lagi usaha untuk narik perhatian,” sindirnya. Sophie tidak menyembunyikan rasa gelinya. Tawanya menyusul kemudian, membuat Amara merengut sekaligus kesal.“Aku nggak cemburu, kalau itu yang kamu maksud,” balas Amara, defensif.Sophie mengabaikan kata-kata Amara. “Kamu ingat nama cewek itu? Rita kan, ya?”Amara berusaha keras menggali memorinya tapi gagal total. “Entahlah, aku sama sekali nggak ingat. Cuma kenal mukanya doang.”“Hmmm, aku maklum, sih. Sebelum ini, kamu terlalu asyik berdua sama Ji Hwan, sih

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status