Home / Romansa / Wonderstruck / Joyride [1]

Share

Joyride [1]

Author: Indah Hanaco
last update Last Updated: 2021-03-07 13:24:19

Aku terbangun oleh dering ponsel, meluluhlantakkan tidur lelapku dengan kejam. Masih dengan mata setengah terpejam, tangan kananku bergerak pelan untuk menjangkau benda yang sudah mengganggu itu. Tanpa sengaja, gerakan yang tidak terkoordinasi dengan baik itu malah membuat ponselku terlempar ke lantai.

Aku menggerutu pelan seraya memaksakan diri untuk membuka mata dan turun dari ranjang. Gawaiku masih bersuara kencang saat aku berhasil meraih benda itu. Untung saja telepon genggamku tidak rusak. Sambil mengerjap beberapa kali, aku membaca nama kakakku yang tertera di layar ponsel. Nike.

Kalau boleh jujur, aku sangat ingin mengabaikan panggilan itu karena rasa kantukku masih memberati mata. Akan tetapi, aku tak bisa melakukannya. Karena kakakku itu takkan berhenti hingga berhasil mendengar suaraku. Nike memiliki kegigihan yang kadang membuatku merasa jengkel.

“Kenapa Kakak nelepon jam setengah lima pagi, sih? Ini waktunya tidur untuk manusia normal,” gerutuku tanpa basa-basi. Aku sedang menguap saat mendengar Nike tertawa pelan.

“Jangan malas gitu, Nef! Ini udah siang, tau! Dan ini bukan jam setengah lima, tapi hampir setengah enam. Kamu udah salat Subuh, belum?”

“Belum,” jawabku jujur. Dibanding kakakku yang cukup taat beribadah, aku adalah si pemalas. Aku sangat suka menunda-nunda salat hingga waktunya mepet.

“Kakak lagi di Medan? Atau mau pamer kalau sekarang lagi berada di luar negeri?” Aku sengaja menyelipkan nada kesal di suaraku. Tawa kakakku terdengar lagi. Aku kembali melemparkan diri ke atas kasur yang empuk.

“Aku lagi di Jakarta, kok! Hari ini bakalan pulang ke Medan. Tapi kita belum bisa ketemu karena masih ada urusan kerjaan. Nanti kalau waktuku agak luang, aku bakalan pulang ke Pematangsiantar,” janjinya. “Aku merindukan adikku.”

“Ish, memangnya siapa yang pengin ketemu sama Kakak?” usikku, berlagak jual mahal. “Aku sehat dan baik-baik aja, andai Kakak pengin tahu dan harus bikin laporan ke Mama. Aku cuma kesal karena harus bangun sepagi ini.”

Nike terkekeh seraya menggumamkan beberapa kalimat yang isinya tak berubah sejak aku memilih kuliah di Pematangsiantar dan harus indekos. Sederet nasihat yang kadang membuatku merasa jengkel karena merasa diperlakukan seperti cewek bodoh yang pelupa.

“Ingat ya Nef, jaga makan dan jangan keluyuran kalau nggak penting-penting amat. Minum air putih yang banyak, selalu jaga kesehatan dan jangan sampai telat makan. Vitamin C yang aku kasih masih ada, kan? Minggu depan aku beliin lagi. Sa....”

“Oke, aku hafal daftar panjang petuahmu, Kak. Udah ah, aku nggak mau dengar. Pagi-pagi dibangunin dan diceramahi itu sama sekali nggak asyik,” protesku.

Namun, meski mulutku mengomel, aku bersyukur karena ada Nike dalam hidupku. Kakak yang begitu sabar menghadapiku meski kadang adiknya ini bicara lugas dengan nada tajam. Nike juga menjadi contoh panutan yang sempurna. Pramugari yang berdedikasi tanpa melepaskan perhatian kepada adiknya. Setelah orangtuaku bercerai, kakakku menjadi salah satu penopang penting dalam hidupku.

Dulu, Nike bersikeras agar aku melanjutkan kuliah di Medan. Tujuannya supaya kami bisa tinggal serumah. Namun, aku tetap lebih mencintai kota kelahiranku ini. Medan terlalu panas dan macet untukku. Apalagi, di Pematangsiantar ada universitas swasta yang cukup bagus. Aku bukan orang yang tergila-gila dengan kota besar dan ingin menjadi bagiannya.

“Ya udah, kututup dulu. Jangan lupa salat, Nef,” Nike mengingatkan.

Ketika kakakku mengakhiri teleponnya, kami mengobrol sekitar lima menit. Setelah itu, aku pun mengambil air wudu dan salat Subuh. Karena tidak mungkin kembali tidur, kuputuskan untuk membersihkan kamar. Aku bahkan sempat meminta bantuan salah satu satpam yang berjaga  untuk mengubah letak ranjang dan meja rias. Perabotan yang berubah tempat membuat kamar tampak berbeda. Aku sibuk hingga menjelang jam makan siang.

Kuputuskan untuk mandi terlebih dahulu sebelum makan. Tubuhku lumayan letih karena sejak pagi nyaris tak berhenti bergerak. Akan tetapi, ada interupsi yang berasal dari ketukan di pintu. Aku pun kembali kaget karena berhadapan dengan Thea.

“Katanya kamu ada acara siang ini,” ucapku begitu saja. Aku heran karena gadis ini cukup rajin mendatangi kamarku sejak kemarin. Mataku tertuju pada tangan kanan Thea.

“Iya, aku mau pergi sebentar lagi. Temanku udah di jalan, mau ngejemput.” Thea menyerahkan benda yang dipegangnya ke arahku. “Nih, kamu pakai gaun ini untuk acaranya Vicky nanti malam. Pasti kamu bakalan makin cantik. Aku jemput jam setengah enam.”

Aku melongo. Barusan Thea menyebut kata “makin cantik”? “Hei, aku nggak ikutan ... Thea! Thea!” Aku berusaha memanggil Thea yang sudah membalikkan tubuh dan berjalan menjauh begitu gaun berwarna plum itu berpindah tangan. Aku bahkan sampai keluar kamar.

“Jangan kelamaan dandannya,” ucap Thea dari balik bahu kirinya. Akan tetapi, cewek itu tidak menghentikan langkahnya sama sekali. Aku terperangah dengan bibir terbuka.

“Kamu dan Thea sekarang udah jadi teman baik ya, Nef? Bersahabat?”

Komentar bernada sindiran itu berasal dari balik punggungku. Ketika berbalik, aku berhadapan dengan Lita yang sedang mengerutkan alis. Keheranan tergurat jelas di wajahnya.

“Jangan tanya, Ta! Aku pun sama bingungnya kayak kamu.” Aku memberi isyarat, mengundang Lita masuk ke kamar. Gadis itu menurut.

“Dia ngasih baju ini buatmu?” Lita membungkuk untuk mengelus gaun yang kuletakkan di atas ranjang.

“Aku mandi dulu, ya. Udah bau keringat. Gosipnya ditunda sebentar.”

Tanpa menunggu repons Lita, aku pun buru-buru menuju kamar mandi. Guyuran air membuatku merasa segar kembali setelah sejak tadi merasakan tubuh lengket oleh keringat.

Setelah aku keluar dari kamar mandi, Lita menuntutku untuk menggenapi janji. Sambil mondar-mandir di kamar, aku pun bercerita. Seperti biasa, Lita yang cenderung bereaksi heboh untuk sesuatu yang mengejutkannya, ber-wow entah berapa juta kali.

“Ta, nggak usah lebay gitu! Thea memang aneh karena mau ngobrol sama aku. Makin aneh karena ngajakin ke pesta Vicky yang selama ini sama sombongnya. Aku mendadak naik kasta dari rakyat jelata jadi bangsawan.” Aku tergelak sendiri karena ucapanku. Aku memasukkan sisir ke dalam laci, menatap ke arah kaca untuk terakhir kalinya. Ketika berbalik, Lita masih mengagumi gaun itu, kali ini sambil duduk di tepi ranjang.

“Nggak pengin nyoba gaunnya, Nef? Aku penasaran, pengin liat kamu pakai ini.”

“Aku nggak punya niat untuk ikut ke acara pesta kaum jetset,” tolakku sembari menggeleng. Aku duduk di sebelah Lita sambil menyapukan losion di kedua lutut.

“Istilah itu masih harus diperdebatkan. Kita kan penghuni Rumah Borju. Di mata dunia, kita juga termasuk golongan jetset,” gurau Lita. “Nah, sekarang kita abaikan dulu keanehan Thea yang memang nggak masuk akal itu.” Lita memindahkan gaun itu ke atas pangkuanku. “Mending cobain, Nef. Nggak ada ruginya, kan?”

Glabelaku berkerut. “Ngapain aku nyoba gaunnya Thea? Kurang kerjaan!”

“Jangan lihat Thea-nya, tapi gaunnya. Bagus gini. Sekali-kali, aku juga pengin lihat kamu pakai gaun. Nggak cuma celana jins yang dibeli di tukang loak. Ganti selera sesekali itu nggak dosa, lho! Siapa tau malah lebih cakep.”

Tawaku pecah. “Apa boleh buat, Ta. Baju loak itu justru unik dan beda. Nggak pasaran.” Aku akhirnya berdiri. “Okelah, nggak ada ruginya pakai gaun cantik sekali-kali.”

Ketika akhirnya aku berdiri di depan cermin dan berputar pelan, harus kuakui betapa bagus gaun itu. Tepukan tangan dari Lita pun mengukuhkan penilaianku. Tak hanya bahannya yang lembut dan halus. Melainkan juga modelnya yang sederhana sekaligus elegan.

Gaun itu hanya beberapa sentimeter melewati lutut, bermodel lurus. Ada bordiran cantik berbentuk bunga yang tersebar di beberapa bagian. Lehernya berbentuk persegi,  berlengan pendek, dengan sepasang dress clip yang terpasang di bagian bawah pundak.

“Duh, cantiknya! Setelah melihatmu....”

“Aku tau kamu mau bilang apa,” sergahku. “Sekarang kamu baru nyadar kalau aku cewek tulen, kan?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Wonderstruck   Epilog

    Amara sering mendengar kalimat tentang cinta yang bisa mengubah hidup seseorang dengan drastis. Dan selama ini dia kerap mencibir, tidak memercayai hal itu sama sekali. Baginya, orang-orang yang sedang jatuh cinta itu cuma melebih-lebihkan saja.Akan tetapi, kini cibirannya itu justru berbalik menyerang Amara. Menjadi bumerang yang membuatnya jengah. Jika boleh jujur, Amara bahkan tidak tahu kalau efek cinta yang dirasakannya itu ternyata jauh lebih besar dibanding bayangan gadis itu. Amara mengira hidupnya sudah remuk dan takkan bisa lagi kembali normal. Bahagia itu cuma sebuah mimpi lancang yang terlarang untuknya.Hingga Seo Ji Hwan hadir dalam dunianya, memainkan sihir ajaib yang tidak pernah terduga.Membuka hatinya lagi untuk Ji Hwan setelah tahu siapa cowok itu, sama sekali tidak mudah. Akan tetapi, memaksa Ji Hwan menjauh dan membiarkan cowok itu lenyap dari hidup Amara selamanya, jauh lebih tidak tertanggungkan. Cinta Amara untuk cowok itu sudah bertumb

  • Wonderstruck   My Other Half [7]

    Kata-kata Ji Hwan itu mengejutkan Amara. Dia pun merespons. “Pasti itu melibatkan cewek yang namanya Rita tadi,” tebak Amara dengan perasaan terganggu. Cemburu.“Memang iya,” aku Ji Hwan dengan jujur. Pengakuan itu membuat Amara berjengit.“Dan tadi dia menggandengmu dengan mesra,” Amara menahan diri agar tidak mengomel panjang. “Aku dan Sophie ngeliat semuanya.”“Dia memang menggandengku, Mara. Tapi seingatku, buru-buru kulepaskan. Nggak ada yang bisa dianggap ‘mesra’ di situ,” ralat Ji Hwan. Kedua tangannya terangkat dan membuat tanda petik di udara. “Kalau memang kamu secemburu itu, seharusnya kamu nggak pernah ngelepasin aku,” dia menambahkan.Amara menoleh ke kanan, mengira akan melihat Ji Hwan tersenyum jail. Namun ternyata tidak. Ji Hwan terlihat sangat serius dengan kata-katanya. Matanya yang agak sipit itu menatap Amara dengan kesungguhan yang luar biasa.

  • Wonderstruck   My Other Half [6]

    Ji Hwan tertawa geli. Amara benar-benar merasa lega karena akhirnya bisa melihat cowok itu tergelak lagi. Lesung pipitnya begitu menyihir. Amara sekarang baru menyadari betapa dia sangat merindukan Ji Hwan. Dia tidak tahu bagaimana selama ini bisa bertahan, bahkan sampai bersikap memusuhi cowok itu. Amara pun tak sudi mendengar semua pembelaan diri dari Ji Hwan.“Sophie juga udah ngingetin aku tentang kamu yang gengsi banget untuk mengakui perasaanmu sama aku,” aku Ji Hwan.Amara mendesah tak berdaya. “Kalau nanti ketemu Sophie, aku akan menjahit mulutnya,” ucap gadis itu. “Dia sama sekali nggak bisa menjaga rahasia.”Ji Hwan tertawa kecil. “Sophie nggak punya maksud jelek. Dia cuma ingin membantu kita berdua,” katanya. “Heartling, bisa nggak sih, kita berhenti berantem dan ngucapin kata-kata yang nyakitin hati? Aku beneran jatuh cinta sama kamu. Aku menyesali semua yang harus kamu alami. Aku lebih nyesal lag

  • Wonderstruck   My Other Half [5]

    Wajah Amara menghangat. Kata-kata Ji Hwan itu membuatnya jengah. Dia sempat mengerjap sambil menatap sang mantan, tak yakin bagaimana Ji Hwan tampak berbeda dibanding kemarin. Hari ini, Ji Hwan tampak lebih santai dan bisa mengucapkan kata-kata yang mengejutkan. Meski tak terlihat lesung pipitnya yang begitu disukai Amara.“Kenapa aku harus cemburu?” Amara mengerutkan glabelanya. “Ji Hwan, kita beneran konyol banget karena ngebahas hal-hal yang nggak penting. Sekarang, balik ke masalah yang sebenarnya. Kamu ngajak aku ke sini untuk ngebahas apa?” tanya Amara. Dia berusaha bersikap setenang mungkin meski nyatanya jantung Amara terasa menggila lagi.“Bukannya kamu merindukanku?” Ji Hwan malah balas bertanya. Pertanyaan itu begitu mengejutkan, seperti bom yang dijatuhkan di keheningan malam.“Apa?” Amara yakin dia sudah salah dengar.Ji Hwan menjawab dengan sabar. Nada sinis yang tadi tertangkap di telinga Amar

  • Wonderstruck   My Other Half [4]

    “Kamu sakit ya, Mara? Wajahmu agak pucat,” cetus Ji Hwan dengan napas memburu. Menurut tebakan Amara, cowok itu pasti berlari saat kembali ke tempatnya menunggu.“Aku nggak sakit.” Seisi dada Amara dipenuhi permohonan, berharap Ji Hwan mau memanggilnya “Heartling” lagi. Permohonan yang tidak mampu dilisankan Amara di depan cowok itu. Sesaat kemudian, gadis itu memarahi dirinya sendiri. Memangnya apa yang diharapkannya? Ji Hwan sudah melakuakan segalanya untuk mempertahankan Amara. Akan tetapi, Amara sendiri yang menolak Ji Hwan berkali-kali.Ji Hwan melihat ke arah jam tangannya. “Kita bisa pergi sekarang? Atau kamu mau makan siang dulu?”Amara menggeleng. “Aku nggak lapar.”Setelahnya, gadis itu berjalan bersisian dengan Ji Hwan menuju tempat parkir motor di fakultas cowok itu. Tak ada yang membuka mulut. Amara pun sama sekali tidak berkomentar saat mantan pacarnya menyerahkan sebuah helm kepada

  • Wonderstruck   My Other Half [3]

    Namun Amara tidak mampu mensterilkan diri dari perasaan senang saat melihat Rita menjadi salah tingkah dengan wajah agak pias. Mereka saling sapa dengan canggung. Amara juga merasa lega karena Ji Hwan tidak mengoreksi kata-kata Sophie tadi.Kurang dari tiga menit kemudian Rita pamit dengan alasan harus masuk kelas. Tak lama kemudian Sophie pun menyusul. Tidak ada tanda-tanda bahwa gadis itu menyesali caranya mengintimidasi Rita. Sophie malah terkesan puas dengan kelakuannya barusan. Kini, yang tinggal hanya Amara, berdiri berhadapan dengan mantan pacarnya dengan canggung. Gadis itu memindahkan berat badannya dari kaki kanan ke kaki kiri. Tidak ada yang bicara hingga berdetik-detik. Sementara mahasiswa berlalu-lalang di sekitar mereka.“Amara, kenapa belum pulang? Masih ada kuliah, ya?”Tanpa melihat pun Amara tahu bahwa Reuben yang barusan menyapanya. Dosennya itu berhenti sambil menatap Amara. Berdiri di depan dua pria yang pernah menjanjikan hati m

  • Wonderstruck   My Other Half [2]

    Amara belum pernah merasakan siksaan luar biasa saat mengikuti kuliah. Ji Hwan yang sudah memperkenalkannya pada perasaan asing yang membuatnya tak berdaya itu. Amara mengutuki waktu yang melamban dan jarum jam yang seakan tidak bergerak. Seolah-olah waltu membeku begitu saja.“Mara, bisa duduk diam nggak, sih?” protes Sophie. “Kalau kamu bergerak-gerak terus di kursimu, mungkin bakalan dikira kena wasir.”Kalimat seenaknya dari Sophie itu membuat Amara menendang kaki sahabatnya dengan gerakan pelan. Sophie malah terkikik geli dan buru-buru menundukkan wajah agar tak ketahuan dosen sedang tertawa.“Pasti kamu udah nggak sabar pengin buru-buru keluar dari sini, kan?” tebak Sophie ketika akhirnya kelas berakhir. Seringai jailnya tidak mampu membuat perasaan Amara membaik. “Tersiksa banget kan, Mara?”Amara mengabaikan gurauan sahabatnya. “Sophie, nanti kalau ketemu Ji Hwan, aku harus ngomong apa? Aku ben

  • Wonderstruck   My Other Half [1]

    Amara melangkah pelan dengan kepala tertunduk. Sophie menggandeng lengan kanannya. Setelah menghabiskan waktu di kantin, mereka akhirnya menuju ruang kelas. Perkuliahan akan dimulai sekitar sepuluh menit lagi. Perbincangan Amara dan Sophie tidak mendapat titik temu seputar jalan keluar untuk soal Ji Hwan. Amara sudah kehilangan semangat. Dia yakin, kini dia merasakan patah hati dalam arti sebenarnya.Amara tahu, rasa sakit yang harus ditanggungnya pasti tak akan ringan. Setelah semua kemarahannya mereda dan akal sehat yang berbicara, pastilah rasanya berbeda dibanding malam tahun baru itu. Saat dia memutuskan hubungan dengan Ji Hwan tanpa perasaan.“Kamu terlalu jauh dijajah gengsi. Itu kebiasaan jelek, Mara. Gengsi itu perlu tapi ya harus pada tempatnya. Kalau memang....” Sophie tidak melanjutkan kalimatnya.Heran karena Sophie tak lagi bicara, Amara berujar, “Silakan terus mengejek dan menceramahiku. Masa sih kamu udah capek? Kayaknya ini bar

  • Wonderstruck   Biar Hati Bicara [8]

    Sophie sudah digariskan menjadi orang yang tak mudah dipuaskan. Dan meski sudah ikut melihat adegan tadi, gadis itu merasa bahwa reaksi Amara terlalu berlebihan. Cemburu yang tidak pada tempatnya. Bagi Sophie, tak seharusnya semangat Amara melempem begitu saja. Gadis itu tanpa sungkan mengutarakan opininya.“Katanya rindu, tapi udah langsung nyerah cuma karena ngeliat ada pengagum Ji Hwan yang lagi usaha untuk narik perhatian,” sindirnya. Sophie tidak menyembunyikan rasa gelinya. Tawanya menyusul kemudian, membuat Amara merengut sekaligus kesal.“Aku nggak cemburu, kalau itu yang kamu maksud,” balas Amara, defensif.Sophie mengabaikan kata-kata Amara. “Kamu ingat nama cewek itu? Rita kan, ya?”Amara berusaha keras menggali memorinya tapi gagal total. “Entahlah, aku sama sekali nggak ingat. Cuma kenal mukanya doang.”“Hmmm, aku maklum, sih. Sebelum ini, kamu terlalu asyik berdua sama Ji Hwan, sih

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status