"Aku ikut berduka ya, Co." Cuma kalimat itu yang mampu kulisankan. Aku tak memiliki stok kata-kata penghiburan untuk cowok itu. Membayangkan tragedi yang harus dilalui oleh keluarga Marco, aku benar-benar merasa ikut remuk.
"Makasih, Nef,” sahut cowok itu.
Jari-jariku saling meremas. "Pelakunya ditangkap polisi, Co?" tanyaku hati-hati.
"Nggak. Mama sempat mau lapor polisi, tapi akhirnya batal. Karena kondisi kakakku nggak memungkinkan untuk ngasih keterangan ke pihak yang berwajib. Selain itu, Mama baru tau kalau terjadi perkosaan setelah lewat beberapa minggu. Nggak ada bukti fisik, mau visum pun udah sangat terlambat. Si cowok itu ngakunya mereka melakukan hubungan atas dasar suka sama suka. Nggak ada paksaan."
Aku membuat gambaran situasi kala itu di kepalaku. Pernyataan yang saling bertolak belakang antara si korban dan pelaku, ketiadaan bukti, hingga kondisi mental kakak Marco yang sedang terpuruk. Semua tumpang tindih dan tak bisa menjad
Aku senang karena Marco tidak mengajukan pertanyaan. Cowok itu bergumam, "Kita satu tim ya, Nef. Produk keluargabroken home. Perceraian nggak seharusnya terjadi karena yang kena imbasnya kita-kita ini. Tapi, nggak bisa maksa juga supaya orangtua kita tetap bareng. Bagaimana kalau itu bikin mereka makin menderita? Jadi, anak-anak kuat kayak kita ini yang dipilih Tuhan jadi 'korban'. Berarti, kita memang istimewa." Marco membuat tanda petik di udara. "Aku nganggap itu sebagai sanjungan."Kalimat terakhir Marco membuatku tersenyum. "Aku suka caramu memandang perceraian orangtua kita sebagai sisi positif," balasku."Harus gitu, Nef. Karena kalau fokus sama hal-hal yang bikin manusia menderita, rasanya nggak ada gunanya terus hidup."Aku tak terlalu paham makna kata-kata cowok itu. "Maksudmu?"Marco menunda memberi jawaban karena harus menjawab telepon. Dari potongan obrolan yang kudengar, si penelepon adalah ayah cowok itu. Sebelum
Aku bersiap pulang ke Rumah Borju sekitar pukul delapan. Marco berniat mengantarku tapi tentu saja kutolak. Cowok itu nyaris tak tidur semalaman, sama sepertiku. Selain itu, Marco juga sudah sibuk ini-itu begitu hari terang. Karena mamanya harus bekerja seperti biasa. Jadi, Marco yang menggantikan Tante Danty mengurus Sonya. Bersama Sissy, tentunya.“Kamu harus tidur setelah nyampe di kosan ya, Nef,” Marco mewanti-wanti sebelum aku meninggalkan Kasih Ibu. “Jangan ke mana-mana dulu.”“Oke,” balasku sembari menguap.Marco tertawa kecil. “Lain kali, jangan ikutan melek semalaman kalau ada yang mau lahiran, ya? Nggak ada enaknya, kan? Walau nanti setelah dari sini kamu bisa tidur lama, tetap nggak bisa ‘membayar utang’ karena hari ini sama sekali nggak merem.”Mataku berair. Aku memang butuh tidur karena tak terbiasa terjaga nyaris semalaman. Namun, aku tak sepenuhnya setuju dengan ucapan Marco. &ldq
“Kamu kenapa? Mau ke rumah sakit?”“Tasku dijambret,” kataku dengan suara gemetar. Pengalaman tadi benar-benar membuatku ketakutan.“Kamu ... Nefertiti Kamelia, kan?” tanya cowok itu. “Lupa sama saya?”Aku mengerutkan glabela. Kurasa, ini bukan saat yang tepat untuk mengingat siapa cowok ini. Pipi, lutut, dan sikuku terlalu sakit dan membuat konsentrasiku terpecah. Perlahan, aku berusaha bangun dari trotoar. Tubuhku sudah basah kuyup.“Maaf, saya beneran nggak ingat,” kataku. Cowok itu membantuku menegakkan tubuh.“Saya pernah jadi asisten dosen Pak Anwar Daulay, untuk mata kuliah Statistika Ekonomi dan Bisnis. Tapi sekarang nggak lagi.”Ingatanku pun tiba-tiba menjadi terang-benderang. “Bang Redho?” Pupil mataku membulat. Cowok itu mengangguk.“Mau ke rumah sakit, Nef? Atau ke kantor polisi? Biar saya antar.”Aku menggeleng. “
Setelah masuk ke kamar, aku buru-buru mengeluarkan ponsel dari saku celana. Kemudian, aku pun menelepon pihak customer service dari bank tempatku menabung. Pakaianku memang basah kuyup tapi untungnya ponselku terlindungi dan tidak sampai rusak.Setelah melaporkan kehilangan ATM dan meminta rekening diblokir, barulah aku menuju kamar mandi. Pipi dan sikuku terasa perih saat terkena air. Begitu selesai mandi, aku mengobati siku yang luka dan baret di pipiku. Lututku aman meski masih menyisakan nyeri. Pipiku pun berdenyut. Hingga kuputuskan untuk meminum obat pereda nyeri.Saat berbaring di ranjang, aku menyadari bahwa kantukku lenyap entah ke mana. Denyut di pipi dan lututku mulai berkurang. Begitu juga dengan sikuku. Mungkin pengalaman sebagai korban penjambretan tadi sudah membunuh keinginanku untuk tidur. Tiap kali mengingat bahwa sudah menjadi korban kejahatan, aku marah sekali. Aku benar-benar membenci ketidakberdayaan. Mau tak mau, pikiranku terbang pada p
Semua benda yang kubeli, dibungkus dengan cantik. Jadi, total ada empat buah kotak berisi hadiah dariku. Setelah itu, aku kembali ke tempat indekos. Besok, aku akan mengunjungi Sonya lagi. Aku berharap, kondisi gadis itu baik-baik saja dan segera diizinkan dokter meninggalkan rumah sakit.“Ya Tuhan, semoga Sonya baik-baik aja. Kuharap, kehadiran bayinya membawa serta hal-hal positif dalam hidup Sonya,” doaku sungguh-sungguh.Malam itu, aku tidur dengan rasa nyeri masih mengusik siku, lutut, dan pipi kananku. Satu kebodohan tambahan yang kusesali saat bangun keesokan paginya, aku tak terpikir untuk mengompres pipiku. Aku juga tidak mengecek area yang terluka dengan detail. Alhasil, aku mendapati pipiku membengkak dan membuat wajahku tampak aneh.Sebelum meninggalkan Rumah Borju, aku menelepon Marco. Kali ini, cowok itu menjawab panggilanku. Marco mengabari bahwa Sonya sudah pulang ke Puan Derana sejak tadi malam. Dokter menilai kondisi ibu dan bayinya
“Kenapa kamu malah ngeliatin aku?” tanya Marco, keheranan. Aku pun spontan mengerjap, tak benar-benar yakin cara bereaksi yang baik dan benar.“Nggak kenapa-napa. Cuma kaget aja karena ternyata kamu bisa mengomel panjang,” aku beralasan.“Aku jago ngomel, lho!” Marco bergurau. “Pipimu mau dikompres, Nef?”“Nggak usah. Udah telat kalau baru dikompres sekarang,” tolakku.“Masih sakit? Perlu ke dokter?”“Cuma dikit. Masih bisa kutahan.” Aku merasakan sinar matahari yang kian membakar kulitku. “Sekarang, bisa udah kita masuk? Aku kepanasan.”“Yang penting, jangan lupa apa yang kuomongin tadi. Kalau sampai ngalamin hal kayak gitu lagi, amit-amit sih, jangan sok-sokan ngelawan. Orang-orang jahat itu bisa makin nekat kalau....”“Iya, Co. Aku tau,” sergahku.“Aku nggak mau kamu kenapa-napa. Kalau tau kejadiannya
Singkatnya, Mayang bertemu dengan salah satu relawan yang kemudian mengantarkannya ke Puan Derana. Kondisi mentalnya membaik setelah mendapat perawatan dan menjalani terapi. Mayang berniat meninggalkan Puan Derana setengah tahun lagi. Saat ini, dia mulai melayani pemesanan katering karena memang pintar memasak.Menurut cerita Marco, Puan Derana yang membantu mencarikan klien untuk Mayang dan mengurus masalah modal. Perempuan itu mengelola usahanya dibantu oleh teman-temannya sesama penghuni, meminjam dapur tempat penampungan.“Kamu ikut nungguin Anton waktu lahir, Co?” tanyaku setelah batita itu berlalu dan mencari orang lain untuk memamerkan gambarnya. Marco kembali meraih kantong plastik yang tadi dititipkan padaku.“Sayangnya nggak. Waktu itu aku lagi di rumah, kena flu berat.”Kini, aku dan Marco memasuki ruang makan yang lumayan luas. Di sana ada meja panjang dari kayu dengan bangku-bangku berbahan sama. Di dindingnya ada cuku
Aku dan Marco berdiri bersisian menghadap ke dinding kaca. Bayi Sonya sangat mudah dikenali. Selain karena dia satu-satunya yang baru lahir, juga kemiripan yang mencolok dengan ibunya yang berparas cantik.“Bayinya Sonya cantik ya, Co,” gumamku. Bayi itu sedang memejamkan mata.“Iya,” sahut Marco. “Sayangnya, Sonya belum mau menggendong bayinya. Dia marah waktu bayinya didekatkan. Lalu jadi histeris pas diminta belajar menyusui.”“Berarti sejak awal Sonya memang nggak mau ngasih ASI, ya?”“Yup.”“Apa semua ibu yang baru melahirkan bakalan bersikap kayak gitu? Maksudku, yang kehamilannya terjadi tanpa persetujuannya? Semisal korban perkosaan.” Aku mendadak bergidik, membayangkan Sonya harus melewati penderitaan mengerikan dalam usia belasan tahun. Kini, gadis itu harus mulai belajar untuk mengurus bayinya.“Setauku, nggak semuanya kayak gitu. Mayang, contohnya. Dia