Share

TABIR

         Dara menatap keluar jendela kafe. Menatap kosong pada orang yang berlalu-lalang. Apa yang sedang ia pikirkan? Sebagian kecil penasaran tentang apa yang akan Firman bicarakan,  sebagaian yang lain adalah kebingungan tentang dirinya sendiri. Kenapa ia bisa sesenang itu bertemu Firman disaat ia masih kesal dengan sikap Gio yang benar-benar tidak peduli. Pertanyaan sebenarnya adalah, benarkah ia merasa senang? Mungkinkah, pelampiasan?

         Dara menggeleng, menepis pikirannya. Pelampiasanpun tidak boleh. Andai saja ia bisa meralat ekspresi girangnya kemarin. Sayang sudah terlihat oleh beberapa temannya termasuk Leo. “Tidak boleh menyukai Firman. Kau mana tahu, jangan-jangan dia sudah punya istri.” Ucapnya dalam hati.

         Firman yang baru datang menatap Dara dengan aneh.

         “Kenapa Dara?” Tanya Firman.

         “Tidak apa-apa, Kak.” Jawab Dara sambil membenarkan duduknya.

         Firman memanggil waiter untuk memesan minuman kemudian melanjukan bicaranya. “Begini Dara, ini tentang novel Dua Hujan itu. Karena kau tidak ikut dalam persiapannya maka kau pasti tidak tahu apa isinya.” Jelas Firman pada Dara. Dara hanya menatap Firman, menunggu inti dari pembicaraan Firman.

         “Aku tidak tahu kau ingat atau tidak. Dulu saat aku kelas 2 SMA dan kau kelas 1, aku pernah menumpang di payungmu menuju sekolah saat hari hujan. Kau ingat?”

         “Ya, ingat.” Jawab Dara berusaha sesantai mungkin.

         “Dua Hujan tentang peristwa itu Dara, tentang kau.” Kata Firman lagi, menatap Dara menunggu reaksinya.

         Dara diam sejenak. Menertawai dirinya sendiri dalam hati. Ia sudah lama bercita-cita menuliskan peristiwa itu ke dalam sebuah novel atau paling tidak cerpen, tapi ternyata didahului oleh tokoh yang lain. “Wah, aku jadi penasaran bagaimana isinya. Baru kali ini ada yang menjadikanku tokoh dalam novel.” Kata Dara. Entah ia merasa senang atau takut. Senang, karena peristiwa itu tidak bersarang di kepalanya saja. Takut, kalau-kalau keinginannya menjadi kenyataan, yang mana saat ini ia tidak tahu apakah masih menginginkannya atau tidak. Apakah Firman juga menyukai Dara? Ia sampai menuliskannya dalam novel. Dara seperti berdiri di depan sebuah tabir. Ia tinggal maju sedikit saja maka ia akan tahu jawaban atas pertanyaan tadi.

         “Tentunya ada banyak pengubahan, tapi hari hujan itu—pertemuan kita itu, menjadi peristiwa penting di dalam novelku. Bisa dibilang itu adalah akar cerita.” Jelas Firman lagi. “Novel disitu menggunakan sudut pandangku, dan ‘aku’ disitu, menyukaimu.” Kata Firman tersenyum, lagi-lagi menunggu reaksi Dara.

         Sungguh, jika Firman tidak menekankan kata ‘aku’ pada kalimatnya yang terakhir, maka Dara akan menjadi salah dengar, salah paham. Dara memahami tujuan Firman. Ia ingin meminat izin pada Dara.

         Dara sadar, tabir itu telah terbuka. Apa ia akan meminta izin seformal ini jika ia menyukainya? Tidak. Jika ia memang menyukai Dara, ia akan merilis novel ini tanpa meminta izin sebagai pengakuan cintanya yang antimainstream. Lalu memberi Dara satu untuk dibacanya hingga selesai dan menunggu reaksi Dara apakah Dara juga mengingat peristiwa itu. Kalau Dara tak ingat maka akan diungkitnya secara pelan-pelan, sampai Dara benar-benar sadar maksudnya. Tapi bukan itu yang Firman lakukan sekarang. Aku tak perlu merasa senang atau takut, pikir Dara.

         Dara hanya mengangguk-angguk menanggapi kalimat Firman yang terakhir. Ia sendiri tidak sadar berapa lama ia berpikir, seberapa terlambat ia memberikan reaksi.

         “Jadi, aku ingin meminta izin. Apakah boleh? Dan, perasaanku disitu adalah fiksi. Satu-satunya yang nyata adalah peristiwa hujan itu.”

         “Kakak takut aku salah paham?” Kata Dara tersenyum. Ia tidak percaya bisa mengeluarakan kalimat itu. “Ya, tentu saja boleh. Aku tidak ada masalah.” Jawab Dara, mencoba memberikan jawaban yang paling Firman inginkan.

         “Oke, kalau begitu. Terima kasih, Dara. Sebelum bertemu denganmu, kupikir tidak masalah kau tahu atau tidak. Tapi karena saat ini kita ada di satu tempat, saling bertemu pula, maka kupikir lebih baik kalau kau tahu.” Tutup Firman.

         “Tapi seandainya kita tidak bertemu disini, dan novel itu rilis. Bukankah tetap ada kemungkinan novel itu sampai di tanganku. Tetap ada kemungkinan aku salah paham, kan?”

         “Ya, Benar.”

         “Bagaimana kalau kita tidak pernah bertemu dan aku benar-benar salah paham. Aku mengira kakak menyukaiku.”

         “Maka aku berharap kau akan berpikir kalau itu dari pengalamanku yang lain.” Kata Firman tanpa menatap Dara, sadar jawabannya bukan jawaban sempurna untuk pertanyaan Dara.

         “Oke, Kak. Terima kasih penjelasannya.” Jawab Dara tersenyum. Kini senyumnya senyum yang tulus, bersyukur bahwa orang di depannya sangat peduli akan perasaannya.

         “Tidak, aku yang harusya berterima kasih Dara.”

         “Sukses untuk novelnya, Kak.”

         “Terima kasih. Hm, aku harus pergi sekarang. Terima kasih atas waktunya, Dara.”

         “Sama-sama. Hati-hati, Kak.”

         “Lain kali kita harus makan bersama Leo dan Gio. Mereka juga sangat banyak membantuku.” Kata Firman sambil berdiri meninggalkan kursinya, kemudian melambai ke arah  Dara. Dara hanya tersenyum mendengar kalimat terakhir Firman.

***

         Seperti ada pertanyaan yang telah terjawab. Sebuah memori yang telah benar-benar menjadi kenangan indah untuk dikenang. Lega, namun sedikit hampa. Apakah Dara berharap pada Firman? Melihat dari bagaimana kepekaan Gio terhadapnya, itu bisa saja. Sekeras apapun ia melawan tak boleh ada pelampiasan, hal itu tetap terjadi.

         Seberapa spesial Gio di mata Dara, sampai ia terkesan sangat setia menunggunya? Hampir sama seperti hubungannya dengan Leo saat ini. Mereka sering menghabiskan waktu bersama, sering bertukar pikir, mempunyai kegemaran yang sama pula dan mendaftar di ekstrakurikuler yang sama yaitu “English Club” membuat mereka semakin dekat saja. Diberbagai kesempatan mereka sering tampil bersama sebagai kelompok, entah di dalam klub atau festival sekolah.

         Semua orang tahu mereka serasi, saling melengkapi. Dara yang terbuka dan ceria, sedangkan Gio cenderung dingin dan tertutup. Sangat berlainan dengan kepribadian mereka saat ini. Perubahan itulah yang membuat mereka sulit memulai kembali keakraban seperti dulu. Entah sejak kapan hal ini bermula. Tapi samar-samar Dara ingat, hari dimana Gio berbeda dari biasanya. Waktu itu Dara sedikit heran, namun tidak terlalu ia hiraukan, hingga keesokan harinya Dara mendapat kabar bahwa Gio pindah keluar kota.

         Masih jelas di kepala Dara, saat ia mengabarkan lomba itu kepada Gio, sembilan tahun yang lalu.

         “Kak, kita ikut lomba ini ya,” kata Dara antusias menunjukkan poster di mading sekolah.

         “Lomba apa?” Gio hanya memandang poster itu, terlihat malas menyimpulkan isinya sendiri.

         “English Dubbed Movie,” jawab Dara, masih terdengar antusias. “Kita harus cepat mendaftar, karena peminatnya banyak. Nanti aku akan mencari film apa yang akan kita dubbing,” katanya lagi sambil berjalan meninggalkan Gio duluan. Gio masih memandangi mading itu, lalu kembali berjalan setelah dipanggil oleh Dara

         Keeseokan harinya di kelas Gio.

         “Wah, ikut juga kau ternyata?” kata Anton, teman sekelas Gio, sambil duduk menghampirinya,

         “Ikut apa?”  Jawab Gio mengerutkan dahi.

         “Ini, English Dubbed Movie. Kukira kau tidak ikut, beberapa hari ini kau terlihat tidak semangat.”

         Gio hanya terdiam. ”Rupanya Dara langsung mendftarkanku. Anton saja mengerti, kenapa Dara tidak,” pikirnya. Kemudian Gio tersenyum kecut, merasa aneh dengan dirinya yang mengharapkan kepekaan seorang gadis, karena biasanya perempuan yang seperti itu. Tapi ia benar-benar tidak bisa menahan kesalnya kepada Dara. Ia sampai mengabaikan pesan Dara untuk bertemu di perpustakaan.

         Dara berjalan sendiri di depan kantin dan tidak sengaja berpapasan dengan Anton.

         “Kak Anton, nanti tolong sampaikan pada Kak Gio kalau aku menunggu di perpustakaan,” kata Dara menghentikan langkah Anton.

         Anton yang diajak bicara hanya menatap Dara dengan bingung. “Kau tidak tahu Gio pindah?” tanya Anton.

         “Pindah apa?” Dara balik bertanya.

         “Pindah rumah, pindah sekolah, dan pindah pulau.” jelas Anton. Wajahnya terlihat putus asa sedangkan Dara masih mencerna kata-kata Anton.

         “Dia tidak ada memberitahuku.”

         “Kupikir kau tahu.” Kata Anton lagi.

         “Siapa yang memberi kabar?” Dara terus bertanya.

         “Ayahnya kepada wali kelas kami, lewat telepon.”

         “Tanpa berpamitan?”

         “Tadi malam, hanya lewat grup kelas, tapi kami tidak sempat bertemu.” jawab Anton lemah.

         Dara terdiam. Tidak percaya. “Inikah sebabnya ia tidak bisa dihubungi semalam? Apakah terjadi sesuatu?  Tapi kenapa tidak memberiku kabar? Atau aku ada melakukan kesalahan?” pikir Dara masih menerka-nerka.

***

         Seminggu setelah kepergian Gio, Dara selalu mencoba menghubungi Gio. Kapanpun dikala Dara sempat, pagi hari saat bangun tidur, pada jam istirahat, sepulang sekolah, sore hari, sampai malam sebelum tidur Dara selalu mencoba menghubungi Gio. Tersambung, tapi tidak diangkat.

         Entah hari keberapa setelah kepergian Gio, Dara sama sekali tidak sempat menghubunginya, dan keesokan harinya saat ia mencoba menghubungi kembali, tidak tersambung. Suara dari handphone Dara menunjukkan kalau Gio telah berganti nomor. Dara menghela napas berat setelah mengetahui hal ini, “Kepada siapa aku harus bertanya?” Pikirnya. Benarkah telah benar-benar kehilangannya?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status