Malam hari menghiasi cakrawala bumi, semua orang di Desa maupun Kota telah terlelap ke alam mimpi. Tetapi tidak untuk sekelompok anak ini. Mereka sibuk dengan dunia sendiri, ada yang bermain Handphone, ada yang membaca buku dan ada juga yang sedang melakukan rutinitas malam.
Yap, benar, anak anak itu adalah Dion, Ian dan Delna. Ini adalah kali pertama mereka jauh dari keluarga, maka dari itu mereka tidak bisa tidur.
"Ih! Banyak nyamuk!" keluh Delna sembari memukuli wajahnya pelan.
Dion yang mendengar keluhan Delna tertawa terbahak bahak sedangkan Ian hanya memutar mata malas dan melanjutkan kegiatannya membaca buku.
"Nyamuk aja kok dimasalahin?" ujar Dion setelah tawanya berhenti, lelaki itu kemudian menggeleng memperhatikan tingkah Delna yang masih memukuli nyamuk, sesekali Delna memukul tembok lalu mengerang kesakitan.
"Ckk, kalau bukan karna sekolah, aku gak mau ada di Desa ini!" seru Delna lantang, beberapa detik setelahnya angin berhembus kuat membuat jendela yang semula terbuka kembali menutup dengan suara keras.
"Astagfirullah!"
"Kyaa!"
Teriak Dion dan Delna bersamaan sedangkan Ian hanya mengelus dada sembari memggumamkan sesuatu.
"Cuman segitu doang kah?" ujar Dion disertai gelak tawa membuat ia mendapat tatapan tajam dari Ian dan Delna.
"Dion! Gak lucu!" Delna bergidik ngeri mendengar kata kata Dion.
"Sompral." Ian tidak langsung menatap Dion melainkan menatap pintu kamar sebelum akhirnya memutuskan untuk tidur.
"Hehe, canda Bund." Dion mengangkat kedua jarinya membentuk huruf V ke arah Ian dan Delna secara bergantian sembari tersenyum manis.
"U-udahlah! Aku mau tidur, bye," ujar Delna gugup sekaligus cuek sembari berlalu pergi dan menuju kamarnya yang berada didepan kamar Dion dan Ian.
Melihat Ian sudah tertidur lelap Dion pun memutuskan untuk tidur karna memang hari juga sudah semakin larut dan besok adalah hari pertama mereka PKL.
***
Keesokan harinya Dion, Delna dan Ian pergi menuju apotik yang berada ditengah Desa. Selama perjalanan, tak ada satupun dari mereka yang mengobrol, ketiganya justru asik melihat pemandangan di depan mereka. Pohon pohon yang masih rindang dan juga tanah yang masih subur adalah apa yang mereka lihat saat ini. Udara sejuk serta hangatnya cahaya matahari menambah kesan nyaman dikulit mereka.
"Udah sampai," ujar Ian datar membuyarkan lamunan Dion.
"Akhirnya!" Delna terlihat senang karna perempuan itu tidak harus menginjak tanah basah lagi.
Dion masuk terlebih dahulu dibarengi Ian serta Delna dibelakangnya.
"Permisi Kak," sapa Dion ramah dan disambut senyum hangat oleh Karyawan laki laki yang sedang merapikan obat di rak paling tinggi.
"PKL ya? Silahkan tunggu saja disana," ujar laki laki itu menunjuk ke arah kasir.
"Terima kasih kak." Kali ini Delna yang menyauti, walaupun ia terlihat menyebalkan namun sebenarnya Delna adalah orang yang ramah.
Ian meletakkan tas di lemari dekat meja diikuti Dion, Delna sendiri tidak membawa tas karna takut barang bawaannya akan hilang.
Dion memperhatikan sekeliling, ia hanya melihat Karyawan laki laki itu disini.
"Ehh Ian, yang lain mana?" tanya Dion menghampiri Ian yang saat ini tengah memperhatikan nama obat Generik yang berada di belakang meja kasir.
"Heem, kata Kak Riski jadwal Shift pagi hanya ada satu orang." Jawab Ian tidak menengok ke arah Dion, tangannya sibuk mengambil obat sembari memperhatikan khasiat obat tersebut.
"Owh .. eh, Kak Riski?"
"Nama kakak laki laki itu."
Setelah sekian lama Ian akhirnya mengambil salah satu obat di rak dan berlari menghampiri kak Riski untuk menanyakan perihal khasiat obat yang ia pegang.
Dion lalu mengikuti kegiatan Ian, melihat lihat nama obat Generik dan memperhatikan khasiatnya. Delna? Anak itu tak peduli, yang saat ini ia pikirkan adalah menyelesaikan kegiatan PKL ini kemudian kembali kerumah dengan selamat.
"Kak Riski, obat Cotrimoxazole ini buat apa?" tanya Ian pada Riski yang saat ini tengah membersihkan rak obat bebas.
Riski menengok ke arah Ian lalu memperhatikan obat itu sebentar kemudian kembali melanjutkan aktivitas tadi sembari menjawab pertanyaan Ian, "itu obat antibiotik untuk diare."
"Tapi obat yang termasuk golongan antibiotik tidak boleh langsung diserahkan pada pasien," lanjut Riski, sekarang ia tengah merapikan letak obat obat bebas.
"Kenapa gitu kak?" tanya Ian membantu Riski meletakkan obat ditempat tinggi di bantu Dion yang baru saja datang.
"Karna harus pake resep, tapi itu berlaku cuman di apotik ini, gak tau kalau di apotik lain," jelas Riski sembari menyerahkan obat sakit kepala kepada Ian untuk diletakkan di rak paling atas.
Ian dan Dion mengangguk paham mendengar penjelasan Riski. Setelah selesai meletakkan obat, Ian pergi meninggalkan Dion dan Riski berduaan.
"Kak, ini obat buat apa? Kok Dion baru lihat?" tanya Dion sembari menunjukkan obat yang ia bawa sedari tadi.
Riski mengambil obat itu lalu memperhatikan bungkusnya. Karna tak dapat menemukan nama dibungkus obat itu, Riski memutuskan untuk membuka bungkusnya lalu mengambil satu obat itu yang berbentuk kapsul.
"Ini .. Antasida kalo gak salah?" jawab Riski merasa tidak yakin.
"Nanti coba tanya sama Kak Nissa, dia lebih tau," lanjut Riski meletakkan kembali obat itu lalu menyerahkannya pada Dion.
"Oke Kak, makasih," ujar Dion disertai senyum manis, Riski balas tersenyum.
***
Hari pertama mereka PKL pun berlalu. Kini pukul menunjukkan jam 20.00 malam, saatnya ketiga anak PKL ini pulang dan beristirahat untuk melanjutkan kegiatan PKL besok.
"Nggh~"
Dion merenggangkan seluruh otot tubuhnya yang kaku, saat siang apotik ini begitu sepi, namun ketika malam hari apotik begitu ramai membuat Dion dan yang lain sedikit kewalahan.
"Kak Nissa tiap hari kaya gini gak cape?" tanya Delna sembari memperhatikan kedua temannya yang saat ini tengah merapikan meja kasir serta barangnya sendiri.
Nissa menggeleng sebagai jawaban lalu menyerahkan satu strip obat Asam Mefenamat pada Delna.
"Buat apa ini kak?"
"Pereda nyeri, kayanya temen temenmu kecapean tuh," jawab Nissa tersenyum lalu mengisyaratkan Delna untuk menyerahkan obat itu pada Ian dan Dion.
"Ohh gitu .. makasih kak Nissa." Delna lalu menyalami tangan Nissa diikuti Dion dan Ian yang entah sejak kapan sudah berdiri dibelakang Delna.
"Hati hati dijalan!" seru Nissa ketika ketiganya beranjak pergi dari Apotik.
Suasana dimalam hari begitu mencekam. Penerangan yang minim serta pepohonan yang masih lebat menambah kesan horror. Dion terlihat santai berjalan, sesekali bersiul agar temannya tidak ketakutan. Delna terus menggumamkan doa karna ia ketakutan setengah mati, kenapa juga kita gak harus jalan kaki pikir Delna kesal disela sela doanya.
Ian terus menatap waspada sekitar seakan dibalik gelapnya malam seakan ada sesuatu yang akan menyerang mereka.
Plak!
"Aww!" Dion mengelus hidungnya yang memerah karna dipukul Ian.
"Kenapa sih?!" seru Dion tak terima.
"Gak usah bersiul, kamu mau manggil setan?" jawab Ian sukses membuat Delna bergidik dan menatap tajam ke arah Dion.
"Ya bagus lah! Buat temen kan lumayan." Sekali lagi Ian memukul Dion yang dibalas jitakan keras dari sang empu.
Whussh
Ketika Delna ingin menegur keduanya untuk berhenti, tiba tiba angin berhembus kencang, membuat Delna serta Dion merinding.
"Dion sialan!"
Ian menatap horror ke arah belakang, disana terdapat sesuatu yang siap menerkam mereka kapan saja.
"LARI!"
"Aku tau saat membuka grup sekolah tadi, saat aku mengirim pesan duka, kau melihat pesanku. Jadi aku buru buru kemari untuk memastikan," jelas Sintia sembari melepas pelukannya dari Delna.Delna menghela napas lega kemudian kembali berjalan menuju kamar mandi, ia sangat ingin terkena air sekarang."Kau mau ke mana?" tanya Sintia saat melihat sahabatnya itu pergi."Mandi, setelah mandi kita bicarakan banyak hal, oke?"Singkat cerita Delna selesai beberes rumah dan membersihkan diri, kini di ruang tamu ia tengah asik mengobrol dengan Sintia."Besok hari pemakaman Dion dan Ian kan? Nanti saat acara berlangsung jangan ikuti aku ya?" ujar Delna berusaha membujuk Sintia untuk tidak mengikutinya selama proses pemakaman berlangsung nanti."Kenapa?" tanya Sintia bingung, secara tidak langsung ia membuat ekspresi sedih.Delna menggaruk rambut yang tidak gatal lalu membuat wajah sendu agar lebih meyakinkan."Karena aku ingin sendiri saat proses pemakaman juga ketika acaranya berakhir," jelas Del
Keheningan menyergap, cahaya matahari menyelimuti hutan tempat Henri tinggal, rasa hangat menjalar ke seluruh tubuh Delna."Bisa kau jelaskan perkara tadi?" tanya Delna berusaha mempertahankan kesadaran, kantuk sedang berusaha mengambil kesadarannya sekarang.Henri menoleh, menatap Delna sejenak sebelum tersenyum tipis, "aku hanya mau bilang kalau misi kita gagal total. Toh, yang rugi sebenarnya cuman kau Delna," jelas Henri kemudian bangkit berdiri."Kembalilah, tinggal jalan lurus dari sini, setelah itu langsung cari halte bus," lanjut Henri berjalan masuk ke dalam gubuk, menghiraukan teriakan Delna.Menghela napas panjang, Delna merebahkan dirinya di atas tanah, ia terlalu lelah untuk sekedar berjalan. Delna berniat istirahat sejenak sebelum menuruti perkataan Henri."Henri aneh," gumam Delna tersenyum tipis, "meski orangnya kaya gitu dia tetap baik," lanjut Delna memejamkan mata sesaat, menikmati ketenangan sebelum badai menghantam.Apalagi jika bukan badai mengenai respon orang t
Delna tak menghiraukan ucapan Hendra sama sekali, ia fokus mencari jalan di tempat gelap ini.Sampai ketika gadis itu melihat sebuah gerbang besar di ujung jalan yang Delna tapaki."Semoga jalan keluar," batin Delna terus merapal kata kata itu dalam kepalanya, berharap ia bisa keluar dari sini hidup hidup.Namun tiba tiba langkah Delna terhenti, isi hati gadis itu mencegahnya berjalan menuju gerbang.Mengapa kau lari? Apa kau pantas hidup setelah melihat kedua temanmu dicincang begitu? Bukan kah tujuanmu kemari untuk menyelamatkan Dion dan Ian? Jika mereka berdua mati seharusnya kau juga mati Delna.Air mata tertumpuk dalam pelupuk dan perlahan membasahi kedua pipi Delna. Sehina ini kah dirinya sampai akhir pun tetap memilih egois? Pikir Delna jatuh ke tanah, tak menghiraukan Hendra yang semakin mendekat ke arahnya.Perasaan bersalah sekali lagi menyelimuti hati Delna dan ia seharusnya tidak memilih keluar dari tempat ini. Delna berpikir akan lebih baik jika dirinya mati di sini sebag
Delna terbangun dengan rasa sakit diseluruh tubuhnya. Rasa lelah yang ia rasakan sedari tadi tak kunjung hilang, entah apa yang terjadi pada tubuhnya."CK, sial, kalian tidak mati kan?" gumam Delna merasa perjuangannya kali ini akan berakhir sia-sia." .. aku ingin pulang," lirih Delna menenggelamkan kepalanya diantara kaki, perasaannya mulai membaur menjadi satu dan membentuk perasaan putus asa."Jangan menyerah dulu, kurasa mereka masih hidup walau ruhnya sempat dihancurkan tua bangka itu," ujar Henri tiba tiba mengagetkan Delna yang hampir tertidur kembali." .. Benarkah? Ayo temukan Ian dan Dion sebelum terlambat," ajak Delna langsung berdiri, mengabaikan rasa lelah dan sakit yang sebelumnya ia rasakan."Baiklah, semoga saja mereka berdua bisa bertahan," ujar Henri membersihkan debu yang ada dicelananya lalu menyusul langkah Delna.Suara daun daun kering terdengar nyaring, baik Henri maupun Delna tak ada yang mau berbicara, keduanya sama sama hening."Hei, kenapa arwah Dion dan Ia
Delna membuka mata cepat, nafasnya terengah engah, keringat membasahi hampir seluruh tubuhnya. Netra hitam dengan buru buru memeriksa sekitar, memastikan keberadaannya saat ini."Untuk sekarang kita aman," ujar Henri dari arah samping, kondisi pria itu juga tak jauh berbeda dari Delna.Keadaan hening, Delna masih berusaha menenangkan diri, begitu juga dengan Henri. Pria berambut hitam legam itu juga syok, ia tak pernah mengalami kejadian supernatural seperti ini."Ini kali pertama untukku," lirih Henri menutup sebagian wajahnya menggunakan tangan.Delna tak menyahut, tatapan matanya kosong, gadis itu merasa sedikit de'javu dengan keadaan ini. Seperti saat PKL dulu, pikirnya mulai meneteskan air mata. Dadanya terasa sesak sekarang, suara isakan kecil menyelimuti ruangan, membuat Henri menatap Delna bingung."Ada apa? Kenapa kau menangis?" tanya Henri mengelus kepala Delna, berniat menenangkan gadis itu."Aku gagal," lirih Delna memukul lantai dengan tangan kanan. "Aku gagal!" lanjut De
Potongan tangan manusia tergeletak begitu saja dilantai, walau mengetahui itu bukan tubuh asli, Delna tetap saja merasa ketakutan saat melihatnya. Air mata memenuhi penglihatan si gadis hingga pandangannya memburam. Rasa mual terasa satu detik kemudian, membuat Delna tak nyaman."Hm .. ?"Sautan pelan dengan suara serak membuat Delna tersentak, buru buru ia melihat ke atas, tepat ke arah wajah yang menyahutinya.Sosok hitam besar itu menyeringai ketika melihat Delna ketakutan, tubuh manusia ditangannya ia jatuhkan, bagai mainan yang sudah tak berguna lagi. Sosok itu lalu berjalan mendekat ke arah Delna, menatap si gadis dengan pandangan mengejek."Kau terlambat, gadis kecil!"Si sosok tertawa keras, semakin menakuti Delna. Perlahan, Delna memundurkan tubuhnya, berusaha menjauhi sosok menyeramkan itu. Namun usahanya terhenti kala sosok hitam kembali berbicara."Sia sia saja kau kemari, tetapi apakah kau tidak ingin melihat temanmu untuk terak