Teddy melajukan mobilnya lebih pelan saat memasuki halaman rumah besar bergaya eropa itu. Ini bukan kebiasaan ibunda sahabatnya menyuruhnya untuk datang tanpa kehadiran Devon.
Ibu Arina menerimanya di ruang tamu besar dan megah bernuansa putih dengan tangga di tengah menuju ke lantai atas.
"Apa kabarmu, Sayang?" Seperti biasa wanita dengan paras cantik keibuan itu selalu memeluknya saat mereka bertemu. Wanita itu sudah menganggap Teddy tak ubahnya seperti anaknya sendiri. "Kamu sehat?" tanyanya kemudian saat mereka sudah duduk di kursi ruang tamu.
"Seperti yang Tante lihat. Aku baik-baik saja." Teddy tersenyum tulus.
"Perusahaan baru Devon tidak ada masalah kan, Sayang?" tanyanya lagi sambil menuangkan anggur yang baru saja dibawakan oleh asisten rumah tangga ke ruangan itu.
"Sejauh ini baik dan sangat lancar, Tante." Teddy mencoba untuk bersikap biasa walaupun sebenarnya dari raut muka
"Kamu tidak serius dengan Rea kan?" Pertanyaan sahabatnya itu membuat Devon terdiam. Jujur dia tidak menyangka ibunya akan mencampuri urusan pribadinya sejauh ini. Selama ini, wanita yang sangat dicintainya itu terlihat santai dan sangat open minded."Aku akan menikahinya." Lelaki itu tiba-tiba mengatakan hal yang membuat sahabatnya membelalak setelah menyesap habis minumannya."What?? Kamu susah gila?" Teddy menekan dahinya keras-keras. "Dia itu istri orang, Bro.""Aku tau. Kupastikan mereka akan berpisah sebentar lagi""Dia juga hamil.""Aku juga tau itu, nggak usah kamu bilang.""Dan anak itu juga bukan anakmu." Devon melotot ke arah sahabatnya."Apa? Apa lagi yang mau kamu katakan? Ayo, katakan saja semua! Itu bukan alasan aku tidak bisa menikahi dia kan?" Devon tiba-tiba tergelak."Iya sih, tapi kamu yakin?""Aku bu
"Sepertinya dia baik," kata Bu Renata sambil menyenggol bahu anaknya, tersenyum menggoda."Apa sih, Bu," Rea cemberut, lalu menggandeng ibunda tercintanya berjalan menyeberangi halaman setelah mobil Devon tak terlihat lagi dari pagar rumah."Ibu senang kamu bisa pulang liburan, Sayang. Ibu sama Ayah semalam sudah berencana mau ke tempat kamu. Kamu bener tinggal di apartemen? Apa nggak kemahalan Rea sewanya? Kenapa nggak cari kost aja?" cerocos bu Renata saat mereka sudah berada di dalam rumah. Rea yang sudah sangat rindu dengan sang ibunda segera memeluknya erat-erat."Ibu, nanyanya bisa entar nggak? Rea masih kangen." Wanita itu menggelendot manja di dada ibunya."Kamu ini kok jadi kayak kecil." Sang ibu terkekeh."Ayah pulang jam berapa, Bu?""Akhir-akhir ini Ayah sering pulang sore, katanya sih lagi banyak kerjaan di kantor." Rea nampak manggut-manggut mendengar
Dua pasang ibu dan anak itu sedang duduk melingkar di meja makan. Ibu Arina akhirnya mengundang sahabatnya, Ramona, dan putrinya, Cecilia, untuk makan malam di rumahnya karena Devon akhirnya menyetuui untuk mencoba hubungan yang lebih serius dengan putri dari sahabatnya itu."Kalian tidak perlu buru-buru, jalani saja kebersamaan kalian sampai nanti kalian berdua siap untuk ke jenjang pernikahan. Bukan begitu, Mon?" tanya Bu Arina pada sahabatnya. Bu Ramona mengangguk setuju."Benar itu. Yang paling penting kalian harus sering ketemu, biar lebih cepat saling mengenal satu sama lain. Cecilia boleh kan sesekali berkunjung ke kantor kamu, Dev?" tanya Bu Ramona tiba-tiba yang membuat lamunan Devon buyar.Sebenarnya lelaki itu dari tadi tidak fokus dengan obrolan meja makan yang membosankan itu. Pikirannya justru melayang ke apartemen Rea. Belum genap sehari dia berpisah dari wanita mungilnya itu, tapi rasa rindu rasanya sudah
Devon sangat bersemangat minggu pagi itu. Dini hari tadi dia baru membaca pesan terakhir Rea sesaat sebelum dia memejamkan mata. Dia sangat terganggu dengan keberadaan Cecilia dan ibunya yang bertamu sampai larut malam di rumah orang tuanya.Membaca pesan Rea itu Devon jadi tersadar bahwa Rea sepertinya belum mengenal Devon dengan baik. Dia bahkan belum tahu bagaimana rajinnya lelaki itu bangun pagi. Kebiasaan bangun paginya bahkan sudah dia jalani sejak kecil. Dulu ayahnya selalu mengajarkannya seperti itu. Bangun pagi, berolahraga, mandi, sarapan, lalu bekerja. Dan itu seakan telah menjadi doktrin hidup sampai Devon dewasa.Dalam hidupnya, tidak banyak hari yang dia lewatkan tanpa bangun pagi. Misalnya seperti saat dia sedang sakit, atau saat dia sedang ingin bermalas-malasan dengan para wanitanya. Salah satunya adalah malam dimana dia tidur satu ranjang dengan Rea.Pagi ini pun tak jauh beda dengan hari biasa. M
"Ibu siapa?" tanya Rea saat membuka pintu apartemen dan melihat seorang wanita paruh baya dengan tampilan sangat elegan berdiri dengan anggun di depan pintu."Seharusnya saya yang tanya, kamu siapa? Kenapa ada di apartemen anak saya?"Sepersekian detik wajah Rea mendadak pucat. Dari kalimat wanita itu Rea langsung tahu siapa yang dimaksudnya dengan sebutan 'anak saya'. Tanpa sadar Rea refleks mundur, memberi jalan pada wanita itu untuk masuk.Sekitar setengah jam yang lalu dia dan Devon baru saja sampai di apartemen, dan saat ini lelaki itu sedang membersihkan diri di kamar mandi."Kenapa? Kamu terkejut? Kamu tidak tau siapa saya?" tanya wanita itu dengan raut muka angkuh."Anda ... ibunya Devon?" tanya Rea gugup. Rasanya Rea ingin sekali menghilang saja dari muka bumi ini secepatnya. Apa yang dia takutkan selama ini benar-benar terjadi. Ketakutannya dengan keberadaanya di sini ber
Setelah memastikan bahwa lelaki itu sudah benar-benar pergi, Rea segera mengeluarkan kopernya dari dalam lemari.Tak banyak barang yang akan dibawanya. Hanya beberapa stel pakaiannya dan map berisi berkas-berkas penting, juga laptopnya.Walaupun lemari besar memanjang sepanjang dinding kamar itu penuh dengan barang-barang wanita yang memang disediakan oleh sang boss diktator itu untuknya, namun Rea sama sekali tak ingin membawa satu pun yang ada disana.Menurut Rea, lelaki itu begitu boros membelikan benda-benda yang bahkan tidak pernah disentuhnya sama sekali, mulai dari baju, tas, sepatu. Dan semuanya itu dengan merk yang bagi Rea harus berpikir puluhan kali untuk membelinya.Barang-barang Rea sendiri yang hanya sebanyak koper kecilnya justru hanya menyempil di sudut lemari. Sementara di bagian lain lemari, berderet barang-barang Devon yang juga tak kalah banyak. Entah untuk apa dia menempatkan barang-barang
"Rea! Rea! Rea!!!" Devon mengitari seisi ruangan apartemen. Lelaki itu sudah menyadari bahwa Rea pergi karena dilihatnya tak ada lagi barang-barang wanita itu yang tersisa di apartemen. Tapi entah kenapa rasa kalutnya memaksanya untuk tetap memanggil-manggil nama Rea seolah dia akan menemukan Rea di salah satu sudut ruang apartemennya.Saat sudah lelah berkeliling dan berteriak, lelaki itu berhenti dan memukul dinding apartemen dengan sangat keras. Kemarahan karena telah dibohongi Rea dilampiaskannya pada benda mati yang justru membuat tangannya terluka itu."Dia pergi." Teddy tak pernah melihat sahabatnya sekacau ini sebelumnya. Berteriak-teriak seperti kesetanan di dalam apartemen dan melukai dirinya sendiri.Devon yang mendengar suara sahabatnya di belakangnya, memejamkan mata, geram."Aku sudah bilang, awasi dia!!" bentaknya pada lelaki itu saat dia membalikkan badan."Sudah. Orangku mengi
"D ... Devon??" Rea memekik kaget saat mendongakkan kepalanya, hingga membuat beberapa orang yang sedang makan di tempat itu menoleh ke arahnya.Uda Andi, pemilik warung, yang kebetulan sedang melayani pelanggan tak jauh dari kursi Rea langsung menghampirinya."Ada apa, Rea?" tanyanya khawatir. Lelaki itu menatap Devon dengan pandangan curiga."E, enggak, Uda, nggak papa. Cuma ... kaget aja," jelas Rea terbata."Oh, ya udah kalo gitu." Lelaki itu segera berlalu meninggalkan Rea sambil tetap menatap Devon dengan was was."Kenapa kamu kesini?""Lanjutkan makanmu! Aku takkan menganggumu," kata lelaki itu dengan tenang. Devon sudah memperhatikan Rea dari tadi dan dia merasa senang Rea makan dengan sangat lahap. Sesuatu yang tak pernah dilihatnya saat wanita itu bersamanya. Lagi-lagi rasa bersalah menggelayutinya.Dengan susah payah Rea menelan sisa makanannya yang ti