Happy Reading.
"Aku rasa ini lebih bagus. Lihat saja, warnanya lebih feminim dan semua wanita menyukai hal seperti itu." Dastan menyodorkan sebuah gambar pada Sean."Warna itu memang bagus namun sangat tidak cocok dengan kepribadian wanitanya." Boby bersigap menolak gagasan Dastan. "Bayangkan saja sentuhan dekorasinya selembut itu, bisa-bisa wanita bar-bar itu akan mengejek kemampuan ku." lanjutnya lagi."Memangnya kau tahu selera kesya bagaimana?" kedua mata Dastan mengecil, menantikan kelanjutan dari kalimat Bobby."Apa kau lupa bahwa Tuan Sean yang terhormat ini sudah mengikat jiwa ku." dengan sengaja Bobby melempar tatapan jengkel pada Sean. "Jadi sebagai seorang hamba, aku punya kewajiban untuk mengetahui semua tentang tuanku, termasuk nyonya Kesya." sindirnya sinis."Aku tidak menyuruh mulut mu untuk bekerja Bobby, tapi otakmu." Sean memberi penekanan di kata terakhirnya namun, bukan bermaksud untuk menyakiti.<Seorang wanita cantik memasuki sebuah gedung mewah. Seperti sosoknya yang sudah tersohor di seluruh dunia, semua karyawan pun tak lagi memberi pandangan dengan rasa penasaran padanya. Dengan senyum merekah wanita itu turut membalas sapaan para karyawan. Dan yang paling menarik di antaranya adalah kerumunan pada lelaki yang layaknya pasukan semut kompak menatap dalam-dalam padanya. Bagaimana tidak, kecantikan wanita itu mampu menyihir setiap pasang mata. Meskipun dengan dandanan natural dan gaun selutut namun keindahannya tak bisa dibohongi.Di tengah kegiatan yang mengasikkan, tak sengaja pandangan mereka bertemu dengan sepasang mata tajam lelaki yang menyoroti mereka dengan tatapan membunuh. Tanpa menunggu lama langsung saja kerumunan itu bubar mencari perlindungan diri. Ketika menyaksikan semua itu, tidak ada yang bisa dilakukan wanita itu selain tertawa.Membawa kaki jenjangnya memasuki lift khusus para petinggi, jantungnya tak berhenti berdetak kencan
Matahari menepi tergantikan sinar bulan di atas langit. Bertarung keras di sepanjang hari demi hidup, berselimut ketenangan di malam hari guna melepas lelah. Insan nan mahkluk lain telah terbagi dalam tidur, bertemu mimpi dan tenggelam dalam damai.Sepasang insan manusia seakan tak mengenal leleh. Terbawa arus derasnya lautan asmara, sepasang kekasih itu terlihat saling bergandengan tangan, berjalan menyusuri taman kota.Sean tak henti-hentinya menatap kecantikan wajah Kesya dari samping, bahkan kecantikan wanita itu mampu membuat sang bulan turut cemburu. Kepalanya menunduk, tangannya semakin mengeratkan tautan mereka.Kesya bernyanyi kecil, hatinya begitu bahagia saat ini. Dia bahkan tidak lagi sungkan bersikap layaknya anak kecil di hadapan Sean. Entah kenapa ada kebanggan tersendiri baginya ketika melihat Sean begitu menyukai sikapnya yang seperti itu."Apa kita akan terus berjalan seperti ini sayang?" tanya Sean akhirnya bersuara.
Kesya menyusuri taman dengan pandangan kosong. Sesekali kepalanya menengadah berusaha menahan genangan air mata yang mendesak keluar. Sesuatu hal tampak mengganggu pikirannya saat ini dan tentulah itu bukan perkara kecil sehingga berpotensi untuk menghilangkan sinar kebahagiaan di wajah Kesya.Di tengah keramaian dan remang malam, Kesya merasakan perasaan gelisah yang teramat sangat. Wanita itu sudah sekuat tenaga untuk menyembunyikan kebenaran yang sesungguhnya dari Sean. Namun, hatinya begitu tidak sanggup ketika harus berhadapan dengan wajah Sean yang dipenuhi oleh ketulusan.Menyakitkan bukan jika dengan keadaan terpaksa melakukan sesuatu demi melindungi orang yang dicintai. Tetapi, saat ini Kesya sudah sangat yakin bahwa kebohongan adalah pilihan yang terbaik.Sepasang kaki itu membawa tubuh Kesya tanpa arah. Tidak tahu harus kemana, dia hanya mengikuti bisikan hati saat ini.Kesya terperanjat ketika seseorang meraih tangannya dan membalikkan tubuhny
Ketika Kesya sudah berdiri di depan mansion semegah istana, entah mengapa dia seakan ingin melarikan diri sesegera mungkin lalu bersembunyi di balik kegelapan supaya tidak terlihat oleh siapapun. Sesungguhnya, keraguan itu sudah menguasai hati dan pikirannya sejak tadi. Keysa menghela napas pendek-pendek, sungguh aneh memang perasaan manusia, bisa berubah dalam setiap detiknya."Silahkan nyonya." dengan sikap sopan Ben menuntun jalan bagi Kesya.Hal yang pertama sekali menyahuti ingatan Kesya adalah sebuah kenangan. Pastinya kenangan yang berbumbu manis ketika Sean dan dirinya berkunjung disini. Mata besar Kesya tertuju ke arah ruang makan yang dulu pernah meninggalkan jejak hangat disana. Pada hari itu, pertama sekali bagi cerita hidup Kesya dapat merasakan arti keluarga. Meskipun diiringi perang dingin namun tetap saja menyelipkan bahagia tersendiri baginya."Nyonya Kesya?" suara berat Ben menyentak kesadaran dari angan indah."Hmm?" jaw
Tubuh Kesya merosot disisi pintu mobil. Bahunya bergetar kuat dikarenakan tangisnya yang begitu menyakitkan. Tidak peduli para pengawal dan pelayan yang melihat dirinya saat ini namun, perasaan sesak itu harus segera meluap.Semua itu tidak luput dalam pengawasan Ben. Dia sudah tahu hal ini pasti terjadi. Sekalipun Charles menyukai sosok Kesya namun, Kingston jauh lebih berarti baginya. Hal itulah yang membuat seisi istana ini bisa bertahan menumpang hidup. Jika Charles lemah maka tidak hanya dirinya hancur tetapi juga semua orang yang menggantung hidup pada Kingston. Perasaan, Charles sudah mengubur perasaan itu dalam-dalam. Baginya lebih baik menjadi sosok yang berlogika daripada berperasaan."Nyonya, lebih baik kita pergi." dengan canggung Ben membungkuk ke arah Kesya.Tangan Kesya bergerak untuk menghapus air matanya. Perlahan dia bangkit dari posisi duduknya."Maafkan aku." ujarnya dengan serak lalu masuk ke dalam mobil.Ke
"Kesya?" suara nada rendah Sean mampu menembus pertahan wanita itu. "Apa yang sedang sedang kau sembunyikan dariku." geramnya tertahan saat tak kunjung juga mendapat jawaban.Dengan dipenuhi ketidaksabaran, Sean mengangkat tubuh Kesya ke pangkuannya dan memberi tatapan mengintimidasi padanya."Katakan." Sean mengambil paksa rahang Kesya supaya tidak bergerak liar."A...ayahmu menyuruhku... untuk meninggalkanmu." dilanda perasaan gugup yang teramat sangat tidak ada yang bisa dilakukan Kesya selain menautkan tangannya sendiri.Ekspresi Sean berubah tegang luar biasa dan Kesya bisa memastikan bahwa detak jantung lelaki itu tidak bekerja normal. Hal itu diketahuinya dengan jarak mereka yang begitu dekat suara detak jantung itu tertangkap jelas di pendengarannya. Pengaruh alkohol itu berangsur perlahan-lahan, kini otak Kesya sudah mampu menyimpulkan bahwa semua rahasia itu sudah terbongkar.Hal itu diketahuinya saat ekspresi Sean sud
Kesya tertunduk pasrah ketika Sean melempar tatapan tajam padanya. Kepalanya terasa sangat berat karena pengaruh alkohol yang belum sepenuhnya hilang. Sikapnya persis seperti anak kecil yang sedang ketangkap basah melanggar hukuman. Entah sudah berapa lama Sean memberikan dirinya wejangan nikmat yang terasa menggelitik."Apa yang sedang kau pikirkan di otak kecilmu ini?" sedari tadi Sean sudah menahan tawa menyaksikan tingkah lucu Keysa."Memangnya apa yang ku pikirkan, otak kecilku ini sedang bekerja untuk menyimpan semua perkataanmu." dengan nada jengkel Kesya membantah dengan cepat semua gagasan Sean."Lantas, mengapa kau menundukkan kepala begitu? Apa kau sedang merasa tersentuh dengan wejangan ku?" Sean menyelipkan nada menggoda disana."Diamlah. Aku sedang tidak ingin bergurau saat ini." dengan memasang wajah yang teramat kesal, namun ekspresinya berubah datar.Sean tersenyum penuh arti. "Baiklah sayang, lebih baik kau lek
BRAKK......!!!!!!!Seisi ruangan itu terlonjak kaget ketika pintu terbuka kasar. Seorang lelaki berbadan tegap berdiri sambil menyeringai. Langkah kakinya yang melambat seakan mampu mengantarkan gejolak takut. Dan benar saja, tak satupun dari antara mereka yang berada mengangkat wajahnya. Aura ruangan itu berubah dingin bahkan teramat dingin membuat napas terasa sesak. Ketika kaki panjang itu mendekati salah satu sisi meja, sekujur tubuh mereka menegang."Apa terjadi sesuatu hal yang tidak menyenangkan? Mengapa seluruh petinggi Kingston terlihat ketakutan?" nada dingin menusuk Sean seakan mampu menembus dinding ruangan itu.Sean tampak mengerutkan kening saat kalimatnya di balas keheningan. Dengan posisi berdiri dan kedua tangan tersimpan rapi di saku celananya, Sean mengarahkan tatapan tajamnya di seluruh penjuru ruangan hingga berakhir pada seorang lelaki yang duduk di kursi kebesaran Kingston. Perlahan, kakinya melangkah mendekati kursi itu.