Mas Irza : Bagaimana pertemuan kamu dengan papa? Cerita ke Mas lewat telepon, atau ketemuan?
Membacanya saja, aku sudah tersenyum lebar, apalagi saat mendengarnya langsung, mungkin aku bereaksi lebih dari sekedar tersenyum. Segera saja, aku mengetikkan balasan. Tapi, melihat jam di sudut atas ponsel membuatku urung melakukannya.
Dengan tergesa, aku mengambil tas ransel yang sudah kumasuki laptop, buku dan berkas lain-lainnya. Lalu, asal mengambil kaos kaki yang ada di laci almari, memakainya lalu menarik sepatu yang ada di rak. Untungnya, motor sudah lebih dulu ku keluarkan dari bagasi rumah, tinggal menggunakannya. Tapi, usai menggunakan helm dengan baik dan benar, getaran ponsel di dalam saku membuatku berdecak karena telah menganggu aktivitasku pagi ini yang amat sangat tergesa.
"Pagi. Hallo?" kataku sopan setelah menerima panggilan ponsel tanpa melihat nama yang tertera di layar ponsel terlebih dahulu.
"Pagi, Gen. Aku udah di perjalanan, mau berangkat kerja. Kita berangkat bareng gimana?"
Abimanyu. Suara Abimanyu membuatku langsung mengucap sumpah serapah di dalam hati, ingin juga memarahinya mengapa harus menelpon tanpa kepentingan yang mendesak, tapi urung lantaran dia orang baik. Maka, aku hanya bisa menarik napas dalam, lalu mengeluarkannya dalam satu detik. "Makasih Abi, tapi nggak sekarang. Udah terlambat, pergi."
"Oke. Kapan-kapan kalau begitu, kita pergi bareng, dan kamu jangan ingkar janji."
"Gak jelas!" Telepon kututup secara sepihak, dan aku tebak pasti Abi menghela napas karena kelakuanku ini. Tapi, apa peduliku padanya?
***
Harapan pulang tepat waktu hanyalah harapan sia-sia, apalagi angan-angan bisa memakan makanan buatan mama sore kali ini, semuanya benar-benar nggak ada artinya saat anak OSIS meminta bantuan padaku, agar mau mendampingi sekaligus memberi masukan rapat untuk event sekolah saat hari olahraga nasional nanti.
Seharusnya mereka tak perlu meminta bantuan kepada guru, karena ketua OSIS bisa rapat dengan anggotanya tentang konsep dan juga kegiatan apa yang akan diketik dalam proposal untuk diusulkan kepada kepala sekolah. Pasalnya mereka sudah besar, pengalaman berorganisasi tentu ada saat SMP, dan kontrol emosi pasti lebih oke. Tapi, aku tak bisa bilang begitu hanya karena melihat wajah ketua OSIS yang meminta padaku baik-baik untuk menemani rapat, dengan alasan butuh bimbingan guru dan sumbangan ide.
Pengelakan sudah aku coba, dengan alasan kenapa nggak meminta bantuan kepada Waka kesiswaan yang sering dimintai bantuan oleh anak organisasi, namun waka kesiswaan malah bilang agar anak OSIS meminta bantuan padaku. Ya sudah, aku nggak ada kuasa untuk menolak apapun. Sebab masih sadar diri karena aku masih guru junior di sini, masih kalah jauh dengan para guru junior.
"Boleh, teman-teman kamu sudah kumpul kan?" Anggara-ketua OSIS--mengangguk.
"Rapat sudah di pimpin oleh ketua panitia, Ibu boleh masuk sekarang." Bahkan, aku nggak ada waktu untuk sekedar mencari minum di kantin, atau sekedar cek ponsel yang sedari tadi pagi masih tergeletak di dalam totebag.
"Bubar kelas langsung rapat?" tanyaku sedikit kaget seraya berjalan.
"Enggak kok, Bu. Kami ada jeda waktu 20 menit untuk sholat ashar dan istirahat."
Oh, ternyata aku melupakan fakta bahwa bubar kelas tadi ada seorang siswa yang meminta konsultasi padaku mengenai materi mata pelajaran matematika, lalu usai siswa tadi pamit pergi, ketua OSIS giliran menemuiku dan langsung di ajak pergi. Hari ini, bisa dibilang hari paling hectic dan sedikit waktu untuk periode bulan ini. Nyatanya, benar-benar menyita waktuku yang sayangnya nggak sedikit.
"Di mana rapatnya?"
"Ruang OSIS."
Sampai di ruangan, aku ingin terduduk lesu selonjoran di atas lantai saja, dengan punggung menyender pada tembok. Tubuhku sudah butuh istirahat, pikiranku juga sudah terkuras seharian untuk mengajar. Namun, apa aku boleh seperti itu di depan siswa padahal tubuh masih strong(yang terpaksa strong)?
"Anggara! Kalau bisa, konsep kamu harus di perbagus daripada angkatan kemarin," nasihatku pada ketua OSIS setengah berbisik. "biar ada perbedaan. Saya yakin, pasti ada ide banyak, tapi pada nggak mau bersuara aja."
Benar kan? Dulu aku pernah ada di posisi mereka, yang malu dan takut untuk mengusulkan sesuatu, hanya karena malas melihat nyinyiran kakak kelas karena dianggap terlalu cari muka, dan nggak mau terlihat menonjol karena itu berdampak pada nyinyiran teman seangkatan.
***
Demi apapun, usai sholat magrib aku baru bisa mengecek ponsel. Pesan dari Mas Irza semalam juga baru bisa ku bisa balas sekarang. Tapi, belum sempat terbalas, ia sudah mengirimkan pesan lagi. Dan pesannya, membuatku tersenyum merasa diterbangkan hanya karena ia yang khawatir.
Mas Irza : Udah sore, kenapa belum di balas? Kamu nggak kenapa-kenapa kan, Gen? Nggak biasanya kamu seperti ini.
Mas Irza : Kalau udah ada waktu, balas dulu pesan Mas.
Tak hanya itu saja, panggilan telepon seluler tak terjawab dari Mas Irza juga ter-notifikasi di bar status. Ternyata, Mas Irza juga bisa menunjukkan sisi khawatirnya saat aku tak ada waktu untuk pegang ponsel.
Mas Irza : Kalau nggak ada waktu, bilang aja sibuk, Gen. Kamu nggak seharusnya bikin khawatir orang yang sibuk kayak, Mas.
Mas Irza : Mas harus telepon mama, buat nanya keadaan kamu.
Baru akan mengetik, pintu kamar yang terbuka membuat kepalaku menoleh secara reflek. Yang aku lihat, adalah wajah Mama menyembul di antara pintu dan dinding, setelahnya mendekat ke arahku. "Kamu lagi marahan sama Irza?"
"Bentar, Ma." Aku segera mengetikkan pesan singkat untuk membalas chat Mas Irza, bilang bahwa aku baik-baik saja lalu nggak ada waktu untuk kali ini. Setelahnya, perhatianku tertuju pada Mama. "Mas Irza beneran nanyain ternyata," gumamku dan tersenyum tipis.
"Mama kaget, dia nanya kamu. Ternyata cuman nanya kabar. Masalah apalagi, Gen? Kamu nggak lagi anak SMA, yang kalau jalin hubungan mesti marahan terus."
Tertawa, mendengar dugaan mama yang gitu amat, jauh dari kenyataan. Tapi okelah, namanya juga orang tua, ingin memantau anaknya untuk nggak melakukan hal yang aneh-aneh dan ingin bersikap dewasa.
"Enggak. Itu cuman pesan Mas Irza dari tadi malam baru aku balas sekarang, padahal udah aku baca tadi pagi."
"Kirain kamu ngambek." Lagi, Mama mengeluarkan dugaannya.
"Ngambeknya besok," candaku.
"Kamu udah dewasa, nggak cocok sama muka kalau ngambek, apalagi sedih."
Sejujurnya, ucapan mama kali ini terdengar membosankan di telinga, karena ucapan itu diulang-ulang selalu sejak aku masih SMA, tepatnya usai perceraian mama dan papa. Bilangnya, aku nggak boleh nangis, nggak boleh sedih, nggak boleh nelangsa karena udah dewasa. Padahal saat dulu, umurku masih remaja, belum dewasa.
Ya, alasan Mama biar aku kuat dan nggak cengeng menghadapi kehidupanku yang kebanyakan beda dengan circle pertemananku, agar aku selalu termotivasi untuk bersikap tegar dan menganggap kehidupan ini selalu baik-baik saja. Padahal, nggak ada salahnya untuk bersikap sedih, cengeng, dan sesekali ngambek karena perlakuan seseorang.
Mungkin karena itu, aku jarang membagi kesedihan dengan Mama. Bisa dibilang, lebih banyak berbagi cerita menyenangkan, seperti tentang hari ini aku bertemu dengan orang baru, menolong orang dan lain sebagainya.
Pertanyaannya adalah, apa aku berhak marah dan ngambek karena hal ini? Apa aku boleh mendiamkan Mas Irza hanya karena sikapnya kali ini? Jika di sudut pandang mama aku nggak berhak marah apalagi ngambek, tapi dalam sudut pandangku berbeda, marah bukan hal tabu untuk menyikapi sikap Mas Irza yang benar-benar menyebalkan malam ini.Tapi, kemarahanku nggak ada artinya karena nggak akan mengembalikan keadaan membaik, apalagi sesuai dengan harapanku. Namun, tetap saja aku kesal dan menggerutu karena sikap Mas Irza yang begini. Tak bisakah ia menepati janjinya sebagai seorang pria dewasa?Mas Irza : Nggak papa kan berangkat sendiri? Mas ada acara mendadak, mama maksa banget.Pesannya semakin membuatku jengkel. Dengan mudahnya ia bilang begitu, padahal aku butuh dia untuk menghadiri pesta resepsi pernikahan papa malam ini, alasannya agar aku nggak merasa menjadi orang asing di pesta nanti. Tapi nyatanya? Zonk.Ini memang bukan sepenuhnya salah Mas Ir
Ini kedua ketiga kalinya aku menelpon Abi dengan panggilan lewat aplikasi chatting, statusnya berdering tapi belum juga diangkat, dan tak kunjung diangkat. Harusnya aku menelpon Abi lewat telepon seluler, tapi sayangnya pulsaku habis. Sebelum kembali menelpon Abi ke-empat kalinya, aku menghela napas.Semoga, Abi merespon. Semoga, Abi sedang tidak sibuk. Semoga, rasa kasihan Abi masih tersisa malam ini.Dan, aku bersyukur serta bernapas lega ketika Abi merespon panggilan. "Hallo. Kenapa, Gen?""Jemput gue, di Klinik Husada, yang deket sama SMP Negeri. Bisa nggak, Bi?""Loh!" Nada Abi terdengar terkejut, dan aku sudah menebak sebelumnya."Kamu ngapain di klinik? Bukannya datang di resepsi pernikahan papa kamu?""Nggak datang, karena kecelakaan. Jemput ya, Abi. Minta tolong banget.""Kecelakaan kenapa?"Hembusan napas kesal keluar dari hidung lagi, tapi sebentar karena tak sengaja tangan kanan ikut berg
Kalau ditanya bagaimana pagimu kali ini, maka aku akan menjawab menderita dan sangat-sangat menderita. Jawabannya, pergerakanku terbatas, ingin meregangkan badan usai bangun tidur harus mikir dua kali, padahal meregangkan badan adalah sesuatu yang mempunyai nikmat tersendiri. Tak hanya itu saja, masalah kamar mandi, ganti baju, duduk dan berdiri dengan baik dan benar bukan lagi kebiasaan, melainkan masih tahap belajar agar terbiasa. Mau bagaimana lagi, selain menerima dan sabar.Nggak kebayang, gimana rasanya jika kakiku ikut-ikutan patah tulang atau cedera, mungkin 99 persen kehidupanku berada di atas ranjang terus. Itu makanya, ada seribu satu alasan untuk aku harus selalu bersyukur, kata mama. Asalkan, kita nggak memandang sesuatu dari satu sudut pandang, karena banyak sudut pandang yang mesti kita tilik.Abimanyu : Aku on the wayAbimanyu : Ke rumah kamu.Kelar urusan kamar mandi, aku memilih keluar kamar dan duduk di sofa ruang tengah ser
"Ini kebetulan. Saya main di rumah, Genna mau pergi ke kamar mandi, Tante.""Main doang kan? Jangan lebih dari main lho!""Tante bisa percaya dengan saya!"Sayup-sayup, aku mendengar pembicaraan dengan suara yang familiar di telinga. Segera saja aku membuka mata perlahan-lahan yang rasanya masih sedikit berat, karena masih setengah tertidur. Dugaanku ternyata benar, Abi adalah pelakunya. Ia tengah berbincang dengan ponselku yang menempel di telinganya.Tunggu! .... Ponselku. Berarti, Abi menelpon siapa?Pelan-pelan, aku bangun lalu beralih menjadi duduk dan menyenderkan punggung pada senderan sofa. Ketika Abi menoleh, aku menaikkan alis sebelah sebagai kode tanda tanya 'siapa?'"Tante bisa percaya saya, teman baik Genna yang sampai sekarang masih berteman baik."Kutebak, Abi sedang berbicara dengan mama, kentara ia yang menyebut kata tante. Malas menyerobot ponsel untuk berbicara dengan mama s
Mungkin Abi salah pergaulan selama tidak dekat denganku bertahun-tahun, sehingga membuatnya bersikap tidak sopan seperti orang tanpa pendidikan. Begini ceritanya, sia-sia lah ia keluar banyak uang dan tenaga guna menempuh pendidikan magisternya.Ya, aku tahu dan boleh memahami bahwa ia tengah bercanda. Tapi yang namanya bercanda juga mikir situasi dan kondisi juga kan? Dan menurutku, candaan Abi barusan adalah sebuah kesalahan karena timing yang tidak pas.Seperti barusan, wajahnya yang dadakan muncul di layar vidio call, mengundang kemarahan tersendiri untuk Mas Irza. Setelah Abi pergi ke depan, Mas Irza hanya bilang 'itu pria kemarin kan?' mendoakan cepat sembuh, dan besuk sore baru bisa menjengukku karena malam ini ia harus menghadiri sebuah acara perkumpulan teman lama. Begitu saja, sudah. Tanpa bertanya-tanya kronologi kejadian, atau meminta maaf karena tidak bisa menjenguk sekarang.Jelas, Mas Irza marah, kentara dari ucapannya yang amat sangat
Love Is Sweet, menjadi pilihan drama yang kami tonton kali ini di ruang tengah. Sebelum mengetikkan keyword di kolom pencarian, aku ngotot milih serial drama yang tokoh utamanya adalah dokter. Tapi Abi, dengan segala kesadisannya menekan salah satu drama yang ada di beranda asal-asalan, dengan dalih, 'Yang penting ada manis-manisnya.'Aku melengos. Namanya juga drama genre romansa, mustahil amat kalau nggak ada adegan manis-manisnya."Tonton aja. Kalau udah end, kamu tinggal pilih sesuka hati," katanya seraya menenteng totebag khas supermarket dari dalam kamarku.Aku meliriknya malas. Nunggu serial drama ini end pasti keburu magrib. Ya, sama aja bohong. "Sini-sini, udah mulai," kataku malas seraya menepuk-nepuk karpet empuk di sampingku.Dari pagi, Abi sudah di sini hingga siang tadi pukul dua belas, pulang ke rumahnya setelah usai makan siang. Tapi pukul dua siang, ia mengganggu tidurku, datang membawa totebag dari supermarket yang aku
"Kenapa?""Karena nggak ada mama di rumah, Mas. Mas nggak boleh nginap. Entar dikira orang kita ngelakuin hal yang enggak-enggak."Kedatangan mas pacar ternyata menjadi bencana tersendiri bagiku, ya walaupun sebelumnya aku teramat sangat senang akan kehadirannya. Hal menjadi bencana adalah banyak.Pertama, mengapa Mas Irza harus datang ketika Abi sedang di rumah, parahnya lagi tengah mengikat rambutku. Tentu ini menjadi point buruk di mata Mas Irza, sekalipun ia nggak bilang bahwa ia marah, tapi perlakuannya yang benar-benar cuek adalah tanda kemarahannya.Kedua, kami bertiga harus berbicara sungkan-sungkan, formal banget. Kalau di antara mereka berdua tidak ada di sini, aku bisa berbicara dengan lancar. Sungkannya, lebih dari sekedar rapat para guru ketika membahas sesuatu. Seperti saat tadi sore, kami bertiga menyantap nugget dan sosis goreng di meja makan dengan obrolan kaku.Ketiga, Mas Irza jadi sosok yang menyeba
Bangun tidur, cuci muka dan gosok gigi, cek ponsel, nonton televisi, makan, tidur, melamun, berdoa, baca buku, tidur lagi, main ponsel, mendengarkan musik, tidur lagi, mandi lalu makan adalah kegiatan keseharian selama sakit. Semuanya diulang-ulang hingga 24 jam habis. Benar-benar membosankan sekaligus membuang umur secara sia-sia, semakin membosankan lagi ketika waktu berjalan lambat.Jika kemarin-kemarin mendapati hari yang sangat hectic tapi aku mengeluh, maka sekarang aku juga mengeluh karena tidak bisa melakukan apa-apa, mengeluh karena ingin bergerak bebas tapi tidak bisa lantaran ada batasan bergerak. Kasarannya, sekarang aku sedang berpuasa jumpalitan dan lari-lari.Jadi sesal sendiri, dikasih Tuhan kesehatan prima, tenaga oke, dan bisa melakukan apa yang ada di depan mata tapi malah mengeluh. Mungkin saat ini aku diberi kesempatan oleh Tuhan untuk istirahat sejenak dan memahami betapa pentingnya bersyukur karena diberi kesempatan untuk bergerak beb