Home / Romansa / Yang Tak Kunjung Padam / 7. Menjalani Kehidupan Baru.

Share

7. Menjalani Kehidupan Baru.

Author: Suzy Wiryanty
last update Huling Na-update: 2025-10-28 11:44:56

Subuh belum sempurna turun ketika Bi Laila mengetuk pintu kamar perlahan.

"Nawang... bangun. Sudah jam setengah empat."

Suara lembut itu membangunkan Nawang dari tidur yang belum genap tiga jam. Ia tadi membantu pamannya dan Zulham memotong ayam. Selain dari agen, pamannya menjual ayam yang ia pelihara sendiri kalau pasokan dari agen sedikit. 

Nawang memaksa membuka matanya yang masih terasa berat. Udara dini hari menusuk, dingin seperti menggigit tulang. Ia segera ke kanar mandi membasuh muka dengan air dingin. Seketika tubuhnya menggigil, tapi justru menyadarkannya sepenuhnya.

Dari dapur, terdengar suara gemerisik plastik dan ayam yang berkokok bersahutan. Bibinya tengah sibuk menyiapkan kotak bekal dan botol minuman. Ada juga satu termos kecil yang berisi teh panas.

"Bantuin Bibi angkat ini, ya. Berikan pada Zulham di depan."

Laila menunjuk keranjang berisi bekal dan minuman yang ia letakkan di bawah meja. Di sampingnya ada dua keranjang besar yang sudah terisi penuh oleh ayam-ayam yang sudah dibersihkan. 

Nawang mengangguk cepat, lalu membungkuk. Bermaksud mengangkat keranjang bekal. Namun sebuah suara berat menghentikannya. 

"Angkat dulu dua keranjang itu ke depan. Lalu bantu Zulham mengikatnya ke sepeda motorku." Pamannya memerintahkan dengan dingin. 

"Berat itu, Bang. Mana bisa Nawang mengangkatnya. Biasa juga Abang sendiri yang angkat." Laila keberatan. 

"Biar dia belajar hidup susah, La. Lagi pula dia masih muda. Masa kalah dengan kita yang sudah hampir setengah abad?" sergah Jalal. 

"Iya, Bi. Tidak apa-apa. Saya bisa kok mengangkatnya." Nawang membungkuk lalu mengangkat keranjang itu bersama-sama. Beratnya membuat kedua lengannya gemetar, tapi ia tak mengeluh. Dengan langkah tertatih ia memberikan keranjang kepada Zulham. Zulham menempatkan keranjang di kanan kiri sepeda motornya yang sudah dirancang khusus untuk memuat ayam. Pak Jalal kemudian pergi ke pasar.

"Angkat keranjang bekal tadi, Nawang. Berikan pada Zulham," perintah Bi Laila lagi." Nawang segera mengangkatnya dan memberikannya pada Zulham yang sudah menunggu di atas motor. Setelah keranjang berpindah tangan Zulham pun melaju dengan motornya. 

"Kita berangkat sekarang, Nawang. Jalan kaki saja. Pasarnya tidak jauh kok. Anggap saja sekalian oleh raga." Laila mengenakan jaketnya. Begitu juga dengan Nawang. Sejurus kemudian mereka sudah berjalan menuju pasar. 

"Bibi biasa berangkat jam segini setiap hari?" tanya Nawang di sela langkah-langkahnya.

"Iya. Kalau kesiangan nanti pelanggan pindah ke penjual yang lain. Biasa Bibi dibonceng Zulham. Tapi karena ada kamu, mulai sekarang kita jalan saja. Biar pamanmu dan Zulham yang membuka kios dulu." Nawang mengangguk. Kehidupan pasar memang keras. Persaingan ada di mana-mana.

Jalan menuju pasar masih berdagang. Lampu jalan temaram, menyinari menampung udara yang memantulkan warna gelap. Beberapa ibu dengan keranjang di kepala lewat tergesa-gesa, sementara suara motor sayup-sayup terdengar di kejauhan.

Saat mereka sampai di pasar, suasana sudah mulai ramai. Pedagang sayur menata dagangan, suara pisau pemotongan daging terdengar nyaring, dan aroma campur aduk-bumbu dapur, darah ayam, kopi, dan tanah basah-menyerap hidung. Kios sudah dibuka. Dua keranjang ayam yang sudah dibersihkan juga sudah diletakkan di meja. Namun bayangan Paman Jalal tak terlihat lagi. Hanya ada Zulham yang menghitung ayam hidup kiriman dari agen. 

“Ayah mana, Zul? Kok tidak bersih-bersih kios?” Laila bertanya pada putra sulungnya. 

"Ayah pulang. Katanya masih terkubur. Hari ini kita saja yang berjualan katanya. Toh ada Mbak Nawang juga," sahut Zulham singkat. Laila menghela napas kasar. Suaminya masih marah rupanya.

"Ya sudah. ​​Kita mulai membuka kios saja. Bantu Bibi bersih-bersih ya, Nawang." Laila segera mengeluarkan isi keranjang. Sementara Nawang membasuh meja, menata potongan ayam, lalu menyiapkan kantong plastik kecil. Tangannya sedikit gemetar, belum terbiasa dengan bau amis dan dinginnya udara.

“Perhatikan cara Bibi melayani pembeli. Nanti lama-lama kamu akan terbiasa,” kata Bi Laila sambil menyusun ayam dagangannya.

"Baik, Bi."

Nawang memperhatikan setiap gerakan bibinya: cara menimbang, cara memotong dengan cepat, dan cara berbicara dengan pembeli-selalu ramah tapi tegas soal harga.

"Kalau ada pembeli, kamu tanya, mau ayam kampung atau ayam potong biasa? Kalau ayam kampung, minta Zulham menimbang dan memotongnya. Baru kamu bungkus. Kalau ayam potong yang di meja ini langsung timbang dan bungkus saja. kecuali kalau mereka minta dipotongkan. Misal potong empat, delapan, sepuluh atau dua belas bagian," pungkas Bi Laila sambil mempraktekkannya. Kebetulan ada pembeli yang meminta potong dua belas bagian.

"Baik, Bi."

Tak lama kemudian, pembeli pertama datang-seorang ibu muda dengan kerudung hijau.

“Bu Laila, ayam kampungnya masih, kan?”

"Masih, Bu. Mau yang agak gemuk atau kecil?" jawab Laila cepat.

Ibu itu menunjuk pada satu yang ada di kandang. Zulham mengeluarkannya lalu menyerahkan pada Nawang. "Coba belajar menimbang, Mbak. Terus sebutkan jumlah uangnya."

Jantung Nawang berdebar. Ia pun segera menimbang. "1,9 kilogram. Harga perkilogramnya 85 ribu rupiah. Jadi totalnya 161.500 ya Bu. Mau dipotong berapa bagian ayamnya ya Bu?"

"Delapan bagian saja," jawab si ibu kerudung hijau.

Laila dan Zulham tersenyum kecil. Nawang cepat belajar. Setelah ayam dipotong yang dibersihkan oleh Bi Laila, Nawang memasukkan ayam ke kantong plastik, lalu mengikatnya dengan hati-hati. Agak aneh, tapi berhasil.

“Baru bantu jualan ya?” tanya si pembeli sambil tersenyum.

"Iya, Bu. Baru hari ini," jawab Nawang sopan.

"Oh pantesan. Saya pikir tadi kamu artis yang belajar jualan untuk syuting sinetron. Kamu cantik banget soalnya," puji si ibu. 

"Oh bukan." Nawang dengan cepat menggeleng. “Saya ini keponakannya Bi Laila.” Nawang kesalahpahaman. Ia malu karena beberapa orang jadi melirik ke arahnya.

“Oh, keponakanmu, La. Rajin, ya. Semangat ya, Nak,” kata si ibu sambil berlalu.

Laila menatap Nawang sambil tersenyum kecil. "Nah, begitu cara menghadapi pembeli. Sopan dan ramah. Lama-lama kamu akan terbiasa."

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (2)
goodnovel comment avatar
carsun18106
maksudnya "masih terkubur" ??
goodnovel comment avatar
carsun18106
gpp nawang, itung2 melatih dan memperkuat otot dan tulang, daripada ke gym mahal
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • Yang Tak Kunjung Padam   10. Pertengkaran Karena Masa Lalu.

    Senja makin tua ketika Nawang dan Bi Laila pulang ke rumah. Nawang duduk di boncengan motor, berpegangan erat pada sisi jok. Motor milik Paman Jalal itu sudah dimodifikasi dengan dua kantongan besar di kanan-kiri untuk tempat ayam, membuat Nawang harus mengangkat kakinya tinggi-tinggi agar tidak tersenggol besi penopangnya.“Pegangan yang kuat, Nawang. Bibi akan mengebut. Sudah sore sekali. Bibi lapar. Kamu juga kan? Semoga pamanmu masak enak,” kata Bi Laila tanpa menoleh.“Iya, Bi,” sahut Nawang sambil menahan keseimbangan. Perutnya juga sudah keroncongan.Beberapa saat kemudian mereka sampai di rumah. Baru saja mesin motor dimatikan, suara berat Paman Jalal langsung terdengar dari dalam rumah.“Lama sekali pulangnya kalian. Aku lapar sekali ini! Kenapa kalian tidak masak, hah?”Bi Laila melepaskan helmnya, napasnya masih tersengal. “Astaghfirullah, Bang. Kami seharian di pasar, mana sempat masak? Biasanya juga kalau aku di pasar sampai sore, Abang yang masak, kan? Kenapa hari ini j

  • Yang Tak Kunjung Padam   9. Preman Pasar Simpatik.

    Sore menjelang ketika cahaya matahari mulai miring ke barat, menembus sela atap seng pasar yang berdebu. Kios ayam milik Laila mulai sepi; tinggal beberapa potong ayam di meja, dan sisa air cucian mengalir pelan ke parit kecil di bawah. Bi Laila sedang menghitung uang hasil penjualan, sementara Nawang membersihkan meja yang belepotan darah ayam dan serpihan bulu. Setelah kejadian tadi pagi, ia masih merasa tegang, tapi dalam diam ia juga merasa bangga — entah bagaimana, ia berhasil bertahan di tengah kekacauan. Setelah pekerjaannya selesai Nawang duduk di bangku kayu, mengipasi diri dengan karton. Punggungnya pegal, tapi ada rasa puas karena berhasil melewati hari pertama tanpa bencana lain. “Lumayan, ya, Bi. Ayamnya cuma sisa tiga potong," kata Nawang setelah melihat bibinya selesai menghitung uang.Laila menoleh sekilas, wajahnya masih lelah namun tampak puas. “Ya, lumayan. Untuk hari pertama kamu ikut, tidak buruk.”Nawang tersenyum kecil. Ia senang bisa berguna di pasar. Laila

  • Yang Tak Kunjung Padam   8. Menerima Kenyataan.

    Waktu berjalan cepat. Matahari mulai naik, sinarnya menembus sela atap pasar. Keringat mengalir di pelipis Nawang, tapi hatinya hangat. Setiap kali pembeli datang, ia mulai bisa menebak jenis ayam yang diminta. Ia juga menolak dengan sopan jika ada yang menawar terlalu rendah. Harga ayamnya sudah sesuai pasaran. "Nawang, Bibi kebelet mau ke belakang. Kamu Bibi tinggal sebentar bisa?" tanya Laila. Saat ini Zulham tengah mengantar pesanan ayam ke beberapa kedai nasi. "Bisa, Bi. Tapi jangan lama-lama ya," ucap Nawang sedikit khawatir. Pembeli masih cukup ramai. "Iya. Ngapain juga Bibi toilet umum lama-lama," kilah Laila sambil meringis. Perutnya mulas dan melilit. Pembeli terus berdatangan. Sendirian Nawang melayani para pembeli. Ia menimbang dan memotong ayam sesuai permintaan pembeli. Walau ia keteteran karena tangannya tidak selincah Bi Laila, ia berusaha melayani pembeli sebaik mungkin. Sampai tiba-tiba—suara jeritan keras terdengar.“Aduh! Lepasin, Bang!”Semua kepala menoleh.

  • Yang Tak Kunjung Padam   7. Menjalani Kehidupan Baru.

    Subuh belum sempurna turun ketika Bi Laila mengetuk pintu kamar perlahan."Nawang... bangun. Sudah jam setengah empat."Suara lembut itu membangunkan Nawang dari tidur yang belum genap tiga jam. Ia tadi membantu pamannya dan Zulham memotong ayam. Selain dari agen, pamannya menjual ayam yang ia pelihara sendiri kalau pasokan dari agen sedikit. Nawang memaksa membuka matanya yang masih terasa berat. Udara dini hari menusuk, dingin seperti menggigit tulang. Ia segera ke kanar mandi membasuh muka dengan air dingin. Seketika tubuhnya menggigil, tapi justru menyadarkannya sepenuhnya.Dari dapur, terdengar suara gemerisik plastik dan ayam yang berkokok bersahutan. Bibinya tengah sibuk menyiapkan kotak bekal dan botol minuman. Ada juga satu termos kecil yang berisi teh panas."Bantuin Bibi angkat ini, ya. Berikan pada Zulham di depan."Laila menunjuk keranjang berisi bekal dan minuman yang ia letakkan di bawah meja. Di sampingnya ada dua keranjang besar yang sudah terisi penuh oleh ayam-ayam

  • Yang Tak Kunjung Padam   6. Kembali Ditolak.

    Senja turun perlahan di atas rumah kayu itu. Cahaya jingga menyelinap lewat celah-celah dinding, menggambar bayangan panjang di lantai semen. Dari dapur terdengar suara sendok beradu dengan piring logam—Bi Laila sedang menyiapkan makan malam seadanya: nasi hangat, sambal bawang, dan tumis ayam sisa jualan.Nawang membantu memotong cabai dan bawang serta menata piring di meja kecil. Walau ia tahu potongan cabai dan bawangnya tidak sempurna, Bi Laila tidak komplain. Ia hanya mengatakan harus sering latihan akan hasilnya makin baik. Suasana dapur terasa tenang, tapi hati Nawang gelisah. Sejak siang, kata-kata Zulham masih terngiang di telinganya: Ayah belum setuju...Angin sore membawa bau kandang ayam dari belakang rumah. Sesekali terdengar suara anak-anak kecil yang bermain di depan rumah. Nawang menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri.Namun ketenangan itu pecah ketika suara sepeda motor yang berhenti, diikuti langkah berat terdengar di luar. Lalu derit pintu kayu yang dibuka ka

  • Yang Tak Kunjung Padam   5. Risau.

    Nawang melangkah masuk ke kamar yang disediakan untuknya.Ruangan itu sempit, dindingnya kusam, dan aroma lembap bercampur bau kotoran ayam samar-samar menyusup dari sebuah jendela kecil. Kasur tipis terhampar di sudut ruangan, lengkap dengan sprei lusuh yang sudah kehilangan warna aslinya. Di sebelahnya, ada sebuah kasur lain—tempat seorang gadis muda tengah terbaring miring, membelakangi pintu.Itu Anisa, putri Bi Laila yang tadi menyajikan teh.Begitu mendengar langkah kaki masuk, Anisa mendengkus, lalu menggeliat pelan dan membuka mata. Ia menatap Nawang dengan malas, lalu mengomel, “Jangan ribut. Aku mau istirahat. Hari ini aku libur sekolah dan libur jualan.”Nawang mengangguk cepat, merasa bersalah. Ia mulai menurunkan koper dan tasnya pelan-pelan, berusaha tidak membuat suara.Namun saat ia memberanikan diri bertanya, “Tapi... kok bisa libur jualan juga, ya? Bukannya jualan ayam tiap hari?” — Anisa langsung membalikkan badan, menatapnya dari atas ke bawah.“Kita tetap jualan,”

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status