LOGINSubuh belum sempurna turun ketika Bi Laila mengetuk pintu kamar perlahan.
"Nawang... bangun. Sudah jam setengah empat."
Suara lembut itu membangunkan Nawang dari tidur yang belum genap tiga jam. Ia tadi membantu pamannya dan Zulham memotong ayam. Selain dari agen, pamannya menjual ayam yang ia pelihara sendiri kalau pasokan dari agen sedikit.
Nawang memaksa membuka matanya yang masih terasa berat. Udara dini hari menusuk, dingin seperti menggigit tulang. Ia segera ke kanar mandi membasuh muka dengan air dingin. Seketika tubuhnya menggigil, tapi justru menyadarkannya sepenuhnya.
Dari dapur, terdengar suara gemerisik plastik dan ayam yang berkokok bersahutan. Bibinya tengah sibuk menyiapkan kotak bekal dan botol minuman. Ada juga satu termos kecil yang berisi teh panas.
"Bantuin Bibi angkat ini, ya. Berikan pada Zulham di depan."
Laila menunjuk keranjang berisi bekal dan minuman yang ia letakkan di bawah meja. Di sampingnya ada dua keranjang besar yang sudah terisi penuh oleh ayam-ayam yang sudah dibersihkan.Nawang mengangguk cepat, lalu membungkuk. Bermaksud mengangkat keranjang bekal. Namun sebuah suara berat menghentikannya.
"Angkat dulu dua keranjang itu ke depan. Lalu bantu Zulham mengikatnya ke sepeda motorku." Pamannya memerintahkan dengan dingin.
"Berat itu, Bang. Mana bisa Nawang mengangkatnya. Biasa juga Abang sendiri yang angkat." Laila keberatan.
"Biar dia belajar hidup susah, La. Lagi pula dia masih muda. Masa kalah dengan kita yang sudah hampir setengah abad?" sergah Jalal.
"Iya, Bi. Tidak apa-apa. Saya bisa kok mengangkatnya." Nawang membungkuk lalu mengangkat keranjang itu bersama-sama. Beratnya membuat kedua lengannya gemetar, tapi ia tak mengeluh. Dengan langkah tertatih ia memberikan keranjang kepada Zulham. Zulham menempatkan keranjang di kanan kiri sepeda motornya yang sudah dirancang khusus untuk memuat ayam. Pak Jalal kemudian pergi ke pasar.
"Angkat keranjang bekal tadi, Nawang. Berikan pada Zulham," perintah Bi Laila lagi." Nawang segera mengangkatnya dan memberikannya pada Zulham yang sudah menunggu di atas motor. Setelah keranjang berpindah tangan Zulham pun melaju dengan motornya.
"Kita berangkat sekarang, Nawang. Jalan kaki saja. Pasarnya tidak jauh kok. Anggap saja sekalian oleh raga." Laila mengenakan jaketnya. Begitu juga dengan Nawang. Sejurus kemudian mereka sudah berjalan menuju pasar.
"Bibi biasa berangkat jam segini setiap hari?" tanya Nawang di sela langkah-langkahnya.
"Iya. Kalau kesiangan nanti pelanggan pindah ke penjual yang lain. Biasa Bibi dibonceng Zulham. Tapi karena ada kamu, mulai sekarang kita jalan saja. Biar pamanmu dan Zulham yang membuka kios dulu." Nawang mengangguk. Kehidupan pasar memang keras. Persaingan ada di mana-mana.
Jalan menuju pasar masih berdagang. Lampu jalan temaram, menyinari menampung udara yang memantulkan warna gelap. Beberapa ibu dengan keranjang di kepala lewat tergesa-gesa, sementara suara motor sayup-sayup terdengar di kejauhan.
Saat mereka sampai di pasar, suasana sudah mulai ramai. Pedagang sayur menata dagangan, suara pisau pemotongan daging terdengar nyaring, dan aroma campur aduk-bumbu dapur, darah ayam, kopi, dan tanah basah-menyerap hidung. Kios sudah dibuka. Dua keranjang ayam yang sudah dibersihkan juga sudah diletakkan di meja. Namun bayangan Paman Jalal tak terlihat lagi. Hanya ada Zulham yang menghitung ayam hidup kiriman dari agen.
“Ayah mana, Zul? Kok tidak bersih-bersih kios?” Laila bertanya pada putra sulungnya.
"Ayah pulang. Katanya masih terkubur. Hari ini kita saja yang berjualan katanya. Toh ada Mbak Nawang juga," sahut Zulham singkat. Laila menghela napas kasar. Suaminya masih marah rupanya.
"Ya sudah. Kita mulai membuka kios saja. Bantu Bibi bersih-bersih ya, Nawang." Laila segera mengeluarkan isi keranjang. Sementara Nawang membasuh meja, menata potongan ayam, lalu menyiapkan kantong plastik kecil. Tangannya sedikit gemetar, belum terbiasa dengan bau amis dan dinginnya udara.
“Perhatikan cara Bibi melayani pembeli. Nanti lama-lama kamu akan terbiasa,” kata Bi Laila sambil menyusun ayam dagangannya.
"Baik, Bi."
Nawang memperhatikan setiap gerakan bibinya: cara menimbang, cara memotong dengan cepat, dan cara berbicara dengan pembeli-selalu ramah tapi tegas soal harga.
"Kalau ada pembeli, kamu tanya, mau ayam kampung atau ayam potong biasa? Kalau ayam kampung, minta Zulham menimbang dan memotongnya. Baru kamu bungkus. Kalau ayam potong yang di meja ini langsung timbang dan bungkus saja. kecuali kalau mereka minta dipotongkan. Misal potong empat, delapan, sepuluh atau dua belas bagian," pungkas Bi Laila sambil mempraktekkannya. Kebetulan ada pembeli yang meminta potong dua belas bagian.
"Baik, Bi."
Tak lama kemudian, pembeli pertama datang-seorang ibu muda dengan kerudung hijau.
“Bu Laila, ayam kampungnya masih, kan?”"Masih, Bu. Mau yang agak gemuk atau kecil?" jawab Laila cepat.
Ibu itu menunjuk pada satu yang ada di kandang. Zulham mengeluarkannya lalu menyerahkan pada Nawang. "Coba belajar menimbang, Mbak. Terus sebutkan jumlah uangnya."
Jantung Nawang berdebar. Ia pun segera menimbang. "1,9 kilogram. Harga perkilogramnya 85 ribu rupiah. Jadi totalnya 161.500 ya Bu. Mau dipotong berapa bagian ayamnya ya Bu?"
"Delapan bagian saja," jawab si ibu kerudung hijau.
Laila dan Zulham tersenyum kecil. Nawang cepat belajar. Setelah ayam dipotong yang dibersihkan oleh Bi Laila, Nawang memasukkan ayam ke kantong plastik, lalu mengikatnya dengan hati-hati. Agak aneh, tapi berhasil.
“Baru bantu jualan ya?” tanya si pembeli sambil tersenyum.
"Iya, Bu. Baru hari ini," jawab Nawang sopan.
"Oh pantesan. Saya pikir tadi kamu artis yang belajar jualan untuk syuting sinetron. Kamu cantik banget soalnya," puji si ibu.
"Oh bukan." Nawang dengan cepat menggeleng. “Saya ini keponakannya Bi Laila.” Nawang kesalahpahaman. Ia malu karena beberapa orang jadi melirik ke arahnya.
“Oh, keponakanmu, La. Rajin, ya. Semangat ya, Nak,” kata si ibu sambil berlalu.
Laila menatap Nawang sambil tersenyum kecil. "Nah, begitu cara menghadapi pembeli. Sopan dan ramah. Lama-lama kamu akan terbiasa."
Mereka memesan taksi online dan berangkat dari kampus. Di dalam mobil, Kenes terus mengoceh tentang film baru dan diskon makanan, berusaha mencairkan suasana. Nawang yang tadinya masih galau perlahan tertular semangat Kenes.Saat mendekati mall, mobil mulai melambat.“Jalannya ditutup, Mbak,” kata sopir taksi. “Ada pejabat lewat. Bisa muter, tapi agak jauh.”Kenes menoleh ke luar jendela. “Yah, padahal mall-nya udah kelihatan. Tinggal nyebrang aja, ya?”“Iya, Mbak,” jawab sang sopir.“Kami turun aja deh, Pak,” kata Kenes cepat. “Biar nggak kelamaan. Kami nyebrang dari sini aja.”Mereka turun di pinggir jalan. Mall sudah terlihat di seberang—tinggal menyeberang beberapa meter saja.Nawang mengikuti langkah Kenes yang setengah berlari, tak sabar ingin segera sampai. Sekonyong-konyong sebuah mobil melaju kencang tak terkendali ke arah Kenes.“Awas, Nes—!”Nawang menjerit keras.Dalam hitungan detik, tubuh Kenes terpental. Suara benturan keras membuat Nawang menjerit histeris.“Astagfirul
Malam itu, Nawang hampir tidak memejamkan mata. Ia bolak-balik menatap langit-langit kamar; kata-kata Bi Laila berputar-putar di kepalanya.Nawang berbalik. Tatapannya membentur wajah Anisa yang sudah tertidur pulas. Ekspresi wajahnya murung. Nawang menghela napas panjang. Sebelum tidur tadi, Anisa marah padanya karena membiarkan ayahnya dihajar Hilal. Menurut Anisa, walau ayahnya salah, tidak perlu juga dipukuli hingga babak belur begitu. Ayahnya sudah tua. Bagaimana kalau tadi ayahnya sampai meninggal?Sedangkan Zulham, walau tidak mengatakan apa pun, air mukanya berbeda. Seperti Anisa, Zulham juga memendam kekesalan padanya. Cuma bibinya saja yang bersikap netral.Subuh menjelang, Nawang hanya tertidur sebentar. Saat bangun, tubuhnya terasa ringan, tapi kepalanya berat.Di kampus, Nawang lebih banyak diam. Ia duduk di bangku kelas seperti biasa, mencatat seperlunya, tapi pikirannya melayang entah ke mana. Wajahnya pucat, matanya sayu.Kenes yang duduk di sebelahnya beberapa kali me
Rumah kecil itu terasa lebih pengap dari biasanya. Bau antiseptik bercampur dengan aroma jahe rebus yang menguar dari dapur. Anisa sedang menyeka wajah ayahnya yang luka-luka dengan kapas yang sudah dibubuhi alkohol. Sementara Bi Laila menyeka darah kering di dekat alis dan sudut bibir suaminya. Paman Jalal menggerutu pelan, tak terima karena Hilal menghajarnya. Ia terus mengoceh ini dan itu.Nawang baru saja selesai membersihkan diri. Ia keluar dari kamar dengan rambut dibungkus handuk. Wajahnya tampak letih setelah semua peristiwa keributan di pasar.Satu jam kemudian, mereka bertiga duduk di ruang tamu. Ketegangan halus menggantung di udara. Anisa dan Zulham diminta Bi Laila masuk ke kamar masing-masing. Bi Laila ingin berbicara tanpa pihak lain.Bi Laila memulai lebih dulu. Suaranya datar namun tajam. Menuntut dua orang yang duduk di depannya memahami kata-katanya.“Bang Jalal, dengarkan aku baik-baik. Aku capek karena harus terus menerus mengulang kata-kata ini. Dan ini adalah pe
Paman Jalal sempoyongan. Hidungnya berdarah, sudut bibirnya sobek. Namun Hilal belum berhenti. Rahangnya mengeras, matanya gelap seperti hewan buas yang marah."Bang Hilal! Berhenti!"Nawang memeluk lengan Hilal dari belakang, menarik sekuat tenaga.Hilal mengangkat tangan lagi, siap memukul, tetapi tubuhnya seketika kaku ketika Nawang menempelkan kepalanya di punggung Hilal sambil berteriak,"Abang! Tolong cukup... Saya takut!"Suara itu — gemetar menahan tangis — menembus kemarahan Hilal. Tangannya turun perlahan. Napasnya memburu seperti baru selesai berlari jauh. Ia memejamkan mata dan menahan diri.Beberapa pedagang yang belum pulang terdiam dan hanya berani menonton kebrutalan Hilal. Selama hampir enam bulan menjaga pasar, baru kali inilah mereka melihat Hilal marah besar. Beberapa pedagang lainnya menelepon Bi Laila dan Zulham karena takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Tewasnya Pak Jalal di tangan Hilal—misalnya.Paman Jalal bangkit dengan goyah, memegangi rahangnya, w
Nawang tidak menggubris kehadirannya. Namun ia juga tidak mengusir saat Pak Gatot mendekatinya. "Saya bantu tutup terpalnya ya, Nawang?" tawar Pak Gatot penuh harap. Nawang berhenti menggulung plastik, wajahnya tetap datar.“Tidak usah, Pak. Saya bisa sendiri," tolaknya tegas.Pak Gatot menelan ludah. Ia berdiri menatap Nawang yang bekerja dengan wajah lelah. Luka-luka di tubuh Nawang membuatnya makin merasa bersalah. Ia tidak bisa melindungi Nawang. "Mengenai rumah yang saya tawarkan kemarin dulu, bagaimana? Kamu sudah mempertimbangkannya?" tanya Pak Gatot sambil mengangkati kandang ayam dari bambu. "Tidak perlu, Pak. Saya sudah nyaman tinggal di rumah Bibi. Ia tidak malu mengakui saya sebagai keponakannya dan memperlakukan saya dengan sangat baik. Bapak pulang saja. Saya tidak membutuhkan bantuan Bapak," ucap Nawang dingin. Kata-kata Nawang membuat Pak Gatot tertohok. Nawang terang-terangan menyindir sekaligus mengusirnya. "Kamu... tidak ingin menanyakan soal... ehm hubungan
"Nama lengkap saya Hilal Ramadhan. Berusia 35 tahun, dengan pangkat AKBP. Kasat Intelkam Polres besar."Hilal mulai menceritakan kehidupan pribadinya kepada Nawang pada suatu sore di pasar. Saat ini Nawang berada di kios sendirian karena Bi Laila sedang sakit. Anisa yang tadi menemaninya sudah pulang lebih dulu untuk merawat ibunya.Ia menemui Nawang di kios ditemani Vonny. Akan janggal jika ia mendekati Nawang tanpa "pacarnya" di depan para pedagang. Saat ini Vonny duduk di sampingnya sambil memakai headset. Ini memang permintaannya. Tidak lucu kalau Vonny mendengar semua rayuan gombalnya pada Nawang."Maaf ya, Bang. Bukannya saya sok pintar… tapi sepengetahuan saya, usia 35 tahun itu ketinggian untuk pangkat AKBP. AKBP juga seharusnya sudah tidak turun ke lapangan kalau menyamar," sela Nawang pelan. Ia teringat cerita Virni bahwa pamannya yang berpangkat AKBP sudah berusia 48 tahun dan hanya duduk di kantor. Paman Virni sudah menjadi Kapolres. "Bisa saja, Nawang. Kalau…"Hilal meng







