Home / Romansa / Yang Tak Kunjung Padam / 8. Menerima Kenyataan.

Share

8. Menerima Kenyataan.

Author: Suzy Wiryanty
last update Huling Na-update: 2025-10-28 11:45:40

Waktu berjalan cepat. Matahari mulai naik, sinarnya menembus sela atap pasar. Keringat mengalir di pelipis Nawang, tapi hatinya hangat. Setiap kali pembeli datang, ia mulai bisa menebak jenis ayam yang diminta. Ia juga menolak dengan sopan jika ada yang menawar terlalu rendah. Harga ayamnya sudah sesuai pasaran. 

"Nawang, Bibi kebelet mau ke belakang. Kamu Bibi tinggal sebentar bisa?" tanya Laila. Saat ini Zulham tengah mengantar pesanan ayam ke beberapa kedai nasi. 

"Bisa, Bi. Tapi jangan lama-lama ya," ucap Nawang sedikit khawatir. Pembeli masih cukup ramai. 

"Iya. Ngapain juga Bibi toilet umum lama-lama," kilah Laila sambil meringis. Perutnya mulas dan melilit. 

Pembeli terus berdatangan. Sendirian Nawang melayani para pembeli. Ia menimbang dan memotong ayam sesuai permintaan pembeli. Walau ia keteteran karena tangannya tidak selincah Bi Laila, ia berusaha melayani pembeli sebaik mungkin. 

Sampai tiba-tiba—suara jeritan keras terdengar.

“Aduh! Lepasin, Bang!”

Semua kepala menoleh. Seorang pria muda bertato sedang dipiting oleh lelaki bertubuh tinggi besar. Di tangan pria muda itu berjatuhan beberapa bungkusan cukup besar. Pasar seketika ricuh. 

“Jangan coba-coba mencuri dari orang yang sedang bekerja keras, Ja!” bentak lelaki tinggi besar itu. Ia mendorong si pencuri hingga terjatuh di tanah.

“Ampun, Bang Hilal! Ampun!” teriak si pemuda bertato itu ketakutan.

Pedagang sekitar bersorak.

"Yah, lo lagi... lo lagi... Ja. Kerja lo maling melulu. Hajar aja, Lal! Masih muda bukannya kerja, malah nyolong buat nyabu!" Beberapa pedagang di samping kios Nawang ikut memarahi si pemuda yang bernama Jaja. 

Nawang membeku. Dadanya berdebar hebat melihat kekerasan begitu dekat. Ia belum pernah menyaksikan pemandangan seperti ini sebelumnya. 

"Ya elah si Eneng malah bengong. Itu ayam-ayam lo yang dicolong angkatin dulu." Seorang bapak di kios sebelah menegur sambil menunjuk beberapa bungkusan ayam yang tergeletak di bawah meja. 

Nawang baru sadar—bungkusan ayam yang tadi dipegang si pencuri adalah ayam-ayamnya!  Ayam-ayam itu adalah pesanan Pak Dani bakso dan Bu Mira Mi Ayam. Keduanya adalah langganan Paman Jalal. 

Wajahnya memerah. Ia mendekat dan berteriak, “Kamu… maling ayam-ayamku, ya?! 

Dengan nekat, ia menendang si pencuri yang masih terduduk di tanah. Kalau saja ayam-ayam itu hilang, ia pasti akan dimarahi habis-habisan oleh pamannya.

“Ampun, Neng! Ampun!” rintih Jaja sambil menutupi wajahnya.

Kerumunan makin ramai. Tak lama kemudian, Laila muncul kembali. Ia terbelalak melihat kericuhan di kiosnya.

“Astagfirullah! Ada apa ini?!”

“Jaja mencuri ayam-ayam, Ibu,” kata Hilal singkat. 

“Kurang ajar!” Laila menampar kepala Jaja. “Kamu ya, Ja. Dasar

maling! Baru Ibu tinggal sebentar udah kayak gini. Mentang-mentang si Nawang baru belajar jualan udah mau kamu kibulin!"

Beberapa saat kemudian, Zulham muncul dengan langkah tergopoh-gopoh. Ia menatap Jaja dengan pandangan emosi.

“Elo ya, Ja. Udah berapa kali gue bilang, berhenti nyolong dan ngobat. Kasian emak lo. Dia pasti malu punya anak maling kayak lo!" 

Jaja hanya bisa menunduk, pasrah.

"Udah pergi sana! Kalo gue nggak kasian sama emak lo aja, udah gue polisiin lo!” bentak Zulham.

Jaja berlari tertatih keluar dari pasar, diiringi umpatan dan ejekan para pedagang. 

Laila menghela napas panjang, lalu menatap Hilal. “Terima kasih banyak, Lal. Kalau bukan karena kamu, bisa habis ayam kami.”

Hilal mengangguk singkat. Wajahnya keras, tanpa senyum. "Sudah menjadi tugas saya, Bu. Hati-hati saja. Sekarang maling makin banyak. Nanti saya juga akan memberi pelajaran pada Jaja. Dia sudah merusuh di wilayah saya."

"Tapi jangan sampai luka parah ya, Lal. Ibu kenal ibunya. Mak Ramlah itu orang baik. Nanti Mak Ramlah juga yang repot kalau Jaja kenapa-kenapa," pinta Laila. Hilal tidak menjawab, ia hanya menggangguk singkat

“Sekali lagi terima kasih, Bang,” tambah Zulham.

Hilal menepuk bahu Zulham sebentar, lalu pergi begitu saja. Langkahnya berat tapi tenang. Orang-orang menyingkir saat ia lewat.

Nawang menatap punggungnya yang menjauh. Wajahnya masih tegang. Ia belum bisa percaya bahwa tadi ia berani menendang orang. 

Setelah Hilal benar-benar hilang dari pandangan, Nawang berbisik, “Bi… siapa sih sebenarnya dia?”

“Oh, itu si Hilal. Kepala keamanan pasar ini. Semua pedagang membayar uang keamanan padanya tiap minggu. Setiap malam dia dan anak-anak buahnya yang menjaga pasar ini agar aman dari pencuri.”

Nawang mengangguk pelan. “Oh… berarti dia preman pasar.”

Bi Laila langsung mencubit lengannya pelan. “Sst! Jangan ngomong begitu keras-keras. Kesannya tidak enak didengar."

Nawang spontan menutup mulut. Konotasi dari preman pasar memang tidak enak di dengar walau apa ia katakan tadi memang benar adanya. Selain membayar pada PD pasar, kutipan lainnya adalah pungli. 

“Kamu hari ini tidak kuliah kan?" Bi Laila tiba-tiba bertanya. 

"Tidak dong, Bi. Ini kan hari Sabtu." Nawang mengingatkan. 

"Bagus, berarti kamu bisa menjaga kios sampai sore. Zulham sebentar lagi pulang karena sekolah. Bibi akan mengantar pesanan ayam-ayam dengan sepeda motor. Kamu haga di sini saja. Makin siang biasanya makin sepi. Bisa kan?" 

Nawang mengangguk. "Harus bisa, Bi." 

"Bagus. Kamu harus optimis dan terus belajar. Dunia ini keras Nawang. Dan pasar adalah tempat yang baik untukmu melatih mental. Kamu akan mengalami banyak kejadian yang menjadikanmu kuat setiap harinya."

Nawang tersenyum getir. "Bibi benar. Pasar ternyata tempat yang keras sejak saya keluar dari rumah. ”

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
carsun18106
yg penting paman jalal ngga abusive, kamu pun ngga diperbudak, pasti aman, nawang
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • Yang Tak Kunjung Padam   10. Pertengkaran Karena Masa Lalu.

    Senja makin tua ketika Nawang dan Bi Laila pulang ke rumah. Nawang duduk di boncengan motor, berpegangan erat pada sisi jok. Motor milik Paman Jalal itu sudah dimodifikasi dengan dua kantongan besar di kanan-kiri untuk tempat ayam, membuat Nawang harus mengangkat kakinya tinggi-tinggi agar tidak tersenggol besi penopangnya.“Pegangan yang kuat, Nawang. Bibi akan mengebut. Sudah sore sekali. Bibi lapar. Kamu juga kan? Semoga pamanmu masak enak,” kata Bi Laila tanpa menoleh.“Iya, Bi,” sahut Nawang sambil menahan keseimbangan. Perutnya juga sudah keroncongan.Beberapa saat kemudian mereka sampai di rumah. Baru saja mesin motor dimatikan, suara berat Paman Jalal langsung terdengar dari dalam rumah.“Lama sekali pulangnya kalian. Aku lapar sekali ini! Kenapa kalian tidak masak, hah?”Bi Laila melepaskan helmnya, napasnya masih tersengal. “Astaghfirullah, Bang. Kami seharian di pasar, mana sempat masak? Biasanya juga kalau aku di pasar sampai sore, Abang yang masak, kan? Kenapa hari ini j

  • Yang Tak Kunjung Padam   9. Preman Pasar Simpatik.

    Sore menjelang ketika cahaya matahari mulai miring ke barat, menembus sela atap seng pasar yang berdebu. Kios ayam milik Laila mulai sepi; tinggal beberapa potong ayam di meja, dan sisa air cucian mengalir pelan ke parit kecil di bawah. Bi Laila sedang menghitung uang hasil penjualan, sementara Nawang membersihkan meja yang belepotan darah ayam dan serpihan bulu. Setelah kejadian tadi pagi, ia masih merasa tegang, tapi dalam diam ia juga merasa bangga — entah bagaimana, ia berhasil bertahan di tengah kekacauan. Setelah pekerjaannya selesai Nawang duduk di bangku kayu, mengipasi diri dengan karton. Punggungnya pegal, tapi ada rasa puas karena berhasil melewati hari pertama tanpa bencana lain. “Lumayan, ya, Bi. Ayamnya cuma sisa tiga potong," kata Nawang setelah melihat bibinya selesai menghitung uang.Laila menoleh sekilas, wajahnya masih lelah namun tampak puas. “Ya, lumayan. Untuk hari pertama kamu ikut, tidak buruk.”Nawang tersenyum kecil. Ia senang bisa berguna di pasar. Laila

  • Yang Tak Kunjung Padam   8. Menerima Kenyataan.

    Waktu berjalan cepat. Matahari mulai naik, sinarnya menembus sela atap pasar. Keringat mengalir di pelipis Nawang, tapi hatinya hangat. Setiap kali pembeli datang, ia mulai bisa menebak jenis ayam yang diminta. Ia juga menolak dengan sopan jika ada yang menawar terlalu rendah. Harga ayamnya sudah sesuai pasaran. "Nawang, Bibi kebelet mau ke belakang. Kamu Bibi tinggal sebentar bisa?" tanya Laila. Saat ini Zulham tengah mengantar pesanan ayam ke beberapa kedai nasi. "Bisa, Bi. Tapi jangan lama-lama ya," ucap Nawang sedikit khawatir. Pembeli masih cukup ramai. "Iya. Ngapain juga Bibi toilet umum lama-lama," kilah Laila sambil meringis. Perutnya mulas dan melilit. Pembeli terus berdatangan. Sendirian Nawang melayani para pembeli. Ia menimbang dan memotong ayam sesuai permintaan pembeli. Walau ia keteteran karena tangannya tidak selincah Bi Laila, ia berusaha melayani pembeli sebaik mungkin. Sampai tiba-tiba—suara jeritan keras terdengar.“Aduh! Lepasin, Bang!”Semua kepala menoleh.

  • Yang Tak Kunjung Padam   7. Menjalani Kehidupan Baru.

    Subuh belum sempurna turun ketika Bi Laila mengetuk pintu kamar perlahan."Nawang... bangun. Sudah jam setengah empat."Suara lembut itu membangunkan Nawang dari tidur yang belum genap tiga jam. Ia tadi membantu pamannya dan Zulham memotong ayam. Selain dari agen, pamannya menjual ayam yang ia pelihara sendiri kalau pasokan dari agen sedikit. Nawang memaksa membuka matanya yang masih terasa berat. Udara dini hari menusuk, dingin seperti menggigit tulang. Ia segera ke kanar mandi membasuh muka dengan air dingin. Seketika tubuhnya menggigil, tapi justru menyadarkannya sepenuhnya.Dari dapur, terdengar suara gemerisik plastik dan ayam yang berkokok bersahutan. Bibinya tengah sibuk menyiapkan kotak bekal dan botol minuman. Ada juga satu termos kecil yang berisi teh panas."Bantuin Bibi angkat ini, ya. Berikan pada Zulham di depan."Laila menunjuk keranjang berisi bekal dan minuman yang ia letakkan di bawah meja. Di sampingnya ada dua keranjang besar yang sudah terisi penuh oleh ayam-ayam

  • Yang Tak Kunjung Padam   6. Kembali Ditolak.

    Senja turun perlahan di atas rumah kayu itu. Cahaya jingga menyelinap lewat celah-celah dinding, menggambar bayangan panjang di lantai semen. Dari dapur terdengar suara sendok beradu dengan piring logam—Bi Laila sedang menyiapkan makan malam seadanya: nasi hangat, sambal bawang, dan tumis ayam sisa jualan.Nawang membantu memotong cabai dan bawang serta menata piring di meja kecil. Walau ia tahu potongan cabai dan bawangnya tidak sempurna, Bi Laila tidak komplain. Ia hanya mengatakan harus sering latihan akan hasilnya makin baik. Suasana dapur terasa tenang, tapi hati Nawang gelisah. Sejak siang, kata-kata Zulham masih terngiang di telinganya: Ayah belum setuju...Angin sore membawa bau kandang ayam dari belakang rumah. Sesekali terdengar suara anak-anak kecil yang bermain di depan rumah. Nawang menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri.Namun ketenangan itu pecah ketika suara sepeda motor yang berhenti, diikuti langkah berat terdengar di luar. Lalu derit pintu kayu yang dibuka ka

  • Yang Tak Kunjung Padam   5. Risau.

    Nawang melangkah masuk ke kamar yang disediakan untuknya.Ruangan itu sempit, dindingnya kusam, dan aroma lembap bercampur bau kotoran ayam samar-samar menyusup dari sebuah jendela kecil. Kasur tipis terhampar di sudut ruangan, lengkap dengan sprei lusuh yang sudah kehilangan warna aslinya. Di sebelahnya, ada sebuah kasur lain—tempat seorang gadis muda tengah terbaring miring, membelakangi pintu.Itu Anisa, putri Bi Laila yang tadi menyajikan teh.Begitu mendengar langkah kaki masuk, Anisa mendengkus, lalu menggeliat pelan dan membuka mata. Ia menatap Nawang dengan malas, lalu mengomel, “Jangan ribut. Aku mau istirahat. Hari ini aku libur sekolah dan libur jualan.”Nawang mengangguk cepat, merasa bersalah. Ia mulai menurunkan koper dan tasnya pelan-pelan, berusaha tidak membuat suara.Namun saat ia memberanikan diri bertanya, “Tapi... kok bisa libur jualan juga, ya? Bukannya jualan ayam tiap hari?” — Anisa langsung membalikkan badan, menatapnya dari atas ke bawah.“Kita tetap jualan,”

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status