Home / Romansa / Yang Tak Kunjung Padam / 6. Kembali Ditolak.

Share

6. Kembali Ditolak.

Author: Suzy Wiryanty
last update Huling Na-update: 2025-10-21 21:44:14

Senja turun perlahan di atas rumah kayu itu. Cahaya jingga menyelinap lewat celah-celah dinding, menggambar bayangan panjang di lantai semen. Dari dapur terdengar suara sendok beradu dengan piring logam—Bi Laila sedang menyiapkan makan malam seadanya: nasi hangat, sambal bawang, dan tumis ayam sisa jualan.

Nawang membantu memotong cabai dan bawang serta menata piring di meja kecil. Walau ia tahu potongan cabai dan bawangnya tidak sempurna, Bi Laila tidak komplain. Ia hanya mengatakan harus sering latihan akan hasilnya makin baik. Suasana dapur terasa tenang, tapi hati Nawang gelisah. Sejak siang, kata-kata Zulham masih terngiang di telinganya: Ayah belum setuju...

Angin sore membawa bau kandang ayam dari belakang rumah. Sesekali terdengar suara anak-anak kecil yang bermain di depan rumah. Nawang menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri.

Namun ketenangan itu pecah ketika suara sepeda motor yang berhenti, diikuti langkah berat terdengar di luar. Lalu derit pintu kayu yang dibuka kasar.

Laila langsung menoleh.

“Assalamualaikum,” terdengar suara serak berat—penuh kelelahan.

“Waalaikumsalam,” jawab Laila hati-hati.

Seorang pria berusia akhir empat puluhan masuk sambil melepas topinya. Kaosnya kotor, bercampur noda darah ayam dan debu. Keringat di pelipisnya belum kering, wajahnya legam karena seharian di pasar.

Itu Pak Jalal—suami Bi Laila, paman Nawang.

Ia melempar kantong plastik besar ke lantai dengan suara gedebuk, lalu duduk di kursi tanpa bicara.

Laila buru-buru menuangkan air ke gelas. “Capek, ya, Bang? Nih, minum dulu. Makanan sebentar lagi siap.”

Jalal meneguk air itu sampai habis, lalu mengelap mulutnya dengan punggung tangan. Beberapa detik kemudian, matanya menyapu ruangan... berhenti tepat di sosok Nawang yang berdiri kikuk di sudut dapur, memegang pisau dan talenan.

Tatapannya mengeras.

“Siapa dia?”

Suara itu datar, tapi dingin seperti bilah baja.

Laila menelan ludah. “Ini... Nawang, Bang. Anak Laily.”

Jalal mendengus pendek, tatapan matanya semakin tajam. “Aku sudah bilang, jangan bawa-bawa orang ke rumah ini tanpa izinku, La.”

“Bang, Nawang itu keluarga kita sendiri—”

“Keluarga?” potong Jalal, nadanya meninggi. “Kamu sudah lupa, La? Dua puluh tahun lalu kamu sendiri yang mengusir ibunya karena hamil di luar nikah! Sekarang kamu malah membawa anaknya ke sini. Saat dia senang karena bersuamikan orang kaya, kamu dilupakan. Setelah dia mati, kamu malah ketiban pulung disuruh mengasuh anaknya. Bodoh sekali kamu ini!"

Nawang membeku. Pisau di tangannya nyaris terjatuh. Ia menunduk, jantungnya berdebar keras.

Jalal berdiri perlahan, tangannya menunjuk lantai. “Kita ini orang susah, La. Kita nyaris tidak mampu membiayai hidup anak-anak kita secara layak. Kamu malah sok jadi pahlawan kesiangan dengan menyuapi mulut orang lain!" 

“Bang, jangan ngomong begitu depan anaknya. Dia tidak tahu apa-apa. Pun saat ini, dia tidak punya siapa-siapa lagi selain aku, bibinya,” ucap Laila, berusaha menahan suaranya agar tetap lembut.

“Justru karena tidak tahu, makanya harus dikasih tahu dari awal,” Jalal membalas, kini menatap Nawang lurus. “Dengar, Nak. Rumah ini kecil. Rezeki juga pas-pasan. Kalau kamu mau tinggal di sini, kamu harus bekerja keras. Jangan manja, jangan mengeluh dan jangan bikin repot. Kamu bukan siapa-siapa lagi sekarang. Sanggup kamu?"

Suasana membeku. Hanya suara kipas angin yang berputar pelan, seperti menahan napas bersama mereka. 

Nawang menegakkan bahu, menelan ludah, lalu menjawab pelan tapi jelas, "Sanggup, Paman. Saya akan membantu apa pun yang bisa saya lakukan.”

Jalal menatapnya beberapa detik—seolah menilai ketulusan di balik kalimat itu—lalu mendecak pelan dan duduk kembali. “Kita lihat saja nanti,” gumamnya.

Laila buru-buru menata piring dan menyodorkan nasi ke arahnya. “Makan, Bang. Tumisannya masih hangat.”

Jalal tidak menatap istrinya. Ia menyendok nasi sendiri, makan cepat tanpa bicara. Hanya sesekali terdengar dengus kecil. Laila duduk diam, tak berani bersuara.

Setelah beberapa menit, Jalal kembali bersuara tanpa menoleh, “Lantas biaya kuliahnya gimana? Anak orang kaya begini kuliahnya pasti mahal. Mau pakai apa kamu membayarnya? Helaian bulu ayam?”

Laila menatap sendok di tangannya. “Biaya kuliah sudah ditanggung kakak tirinya, Bang. Kita cuma menanggung makan dan keperluannya di rumah.”

“Kita?” Jalal menoleh tajam. “Kamu saja kali! Aku tidak mau ikut-ikutan. Anisa saja meminta ganti HP tidak bisa kuberikan. Aku tidak mau ikut menanggung beban hidup anak orang!”

Hening lagi. Hanya terdengar suara anak-anak yang bermain di luar rumah. 

Nawang menunduk makin dalam, jemarinya mengepal di pangkuan. Air matanya menggenang, tapi tak ia biarkan jatuh. Ia tahu, menangis hanya akan membuatnya terlihat lemah.

“Kalau Abang keberatan, biar aku saja yang tanggung semua kebutuhan Nawang,” kata Laila akhirnya, lirih tapi tegas. “Dia akan membantuku di pasar, nanti bisa ikut mencari uang tambahan.”

Jalal menatap istrinya lama, kemudian mendengus kasar. “Terserah. Asal jangan menyusahkanku. Dan ingat, kamu jangan pilih kasih, nanti anak-anak jadi ribut.”

Ia meletakkan sendok keras-keras di meja, berdiri, lalu masuk ke kamar dengan langkah berat. Pintu dibanting keras hingga rumah berguncang.

Beberapa detik, hanya ada keheningan. Lalu Laila menutup wajahnya dengan telapak tangan, menghela napas panjang. “Pamanmu memang begitu adatnya. Biarkan saja. Yang penting kamu rajin dan bisa membantu Bibi. Kamu kuliah jam berapa biasanya?”

Nawang menatap piringnya yang belum disentuh.

"Tergantung jadwal, Bi. Biasanya mulai pukul delapan pagi dan selesainya antara pukul dua belas atau dua siang."

"Kuliahnya tiap hari seperti sekolah?" tanya Laila lagi. Nawang menggeleng.

"Tidak selalu, Bi. Biasanya seminggu tiga kali. Sabtu dan Minggu tidak ada kuliah."

“Bagus. Besok kamu ikut Bibi ke pasar, jam setengah empat pagi. Kalau ada kuliah, pukul tujuh pagi kamu pulang duluan dan kuliah. Kalau pasar ramai, pulang kuliah nanti kamu balik lagi ke pasar, membantu Bibi jualan. Kalau sepi, kamu istirahat saja di runah. Mengerti?"

Nawang mengangguk pelan. Dalam hati ia tahu, lebih baik bekerja di pasar seharian daripada duduk di rumah dengan tatapan tajam sang paman.

Bi Laila menepuk pundaknya lembut. “Jangan pikirin apa yang dikatakan pamanmu. Selama Bibi masih ada, kamu aman di sini.”

Nawang tersenyum tipis, tapi dadanya tetap sesak. Ia menatap nasi di piringnya, lalu berbisik pelan dalam hati: Aku akan bertahan.

Malam itu, suara jangkrik menjadi saksi bagi tekad seorang gadis muda—yang baru menyadari bahwa perjuangannya di rumah itu baru saja dimulai.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (2)
goodnovel comment avatar
carsun18106
yah minimal ngga diusir
goodnovel comment avatar
carsun18106
bpk kandung nawang siapa ya?
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • Yang Tak Kunjung Padam   10. Pertengkaran Karena Masa Lalu.

    Senja makin tua ketika Nawang dan Bi Laila pulang ke rumah. Nawang duduk di boncengan motor, berpegangan erat pada sisi jok. Motor milik Paman Jalal itu sudah dimodifikasi dengan dua kantongan besar di kanan-kiri untuk tempat ayam, membuat Nawang harus mengangkat kakinya tinggi-tinggi agar tidak tersenggol besi penopangnya.“Pegangan yang kuat, Nawang. Bibi akan mengebut. Sudah sore sekali. Bibi lapar. Kamu juga kan? Semoga pamanmu masak enak,” kata Bi Laila tanpa menoleh.“Iya, Bi,” sahut Nawang sambil menahan keseimbangan. Perutnya juga sudah keroncongan.Beberapa saat kemudian mereka sampai di rumah. Baru saja mesin motor dimatikan, suara berat Paman Jalal langsung terdengar dari dalam rumah.“Lama sekali pulangnya kalian. Aku lapar sekali ini! Kenapa kalian tidak masak, hah?”Bi Laila melepaskan helmnya, napasnya masih tersengal. “Astaghfirullah, Bang. Kami seharian di pasar, mana sempat masak? Biasanya juga kalau aku di pasar sampai sore, Abang yang masak, kan? Kenapa hari ini j

  • Yang Tak Kunjung Padam   9. Preman Pasar Simpatik.

    Sore menjelang ketika cahaya matahari mulai miring ke barat, menembus sela atap seng pasar yang berdebu. Kios ayam milik Laila mulai sepi; tinggal beberapa potong ayam di meja, dan sisa air cucian mengalir pelan ke parit kecil di bawah. Bi Laila sedang menghitung uang hasil penjualan, sementara Nawang membersihkan meja yang belepotan darah ayam dan serpihan bulu. Setelah kejadian tadi pagi, ia masih merasa tegang, tapi dalam diam ia juga merasa bangga — entah bagaimana, ia berhasil bertahan di tengah kekacauan. Setelah pekerjaannya selesai Nawang duduk di bangku kayu, mengipasi diri dengan karton. Punggungnya pegal, tapi ada rasa puas karena berhasil melewati hari pertama tanpa bencana lain. “Lumayan, ya, Bi. Ayamnya cuma sisa tiga potong," kata Nawang setelah melihat bibinya selesai menghitung uang.Laila menoleh sekilas, wajahnya masih lelah namun tampak puas. “Ya, lumayan. Untuk hari pertama kamu ikut, tidak buruk.”Nawang tersenyum kecil. Ia senang bisa berguna di pasar. Laila

  • Yang Tak Kunjung Padam   8. Menerima Kenyataan.

    Waktu berjalan cepat. Matahari mulai naik, sinarnya menembus sela atap pasar. Keringat mengalir di pelipis Nawang, tapi hatinya hangat. Setiap kali pembeli datang, ia mulai bisa menebak jenis ayam yang diminta. Ia juga menolak dengan sopan jika ada yang menawar terlalu rendah. Harga ayamnya sudah sesuai pasaran. "Nawang, Bibi kebelet mau ke belakang. Kamu Bibi tinggal sebentar bisa?" tanya Laila. Saat ini Zulham tengah mengantar pesanan ayam ke beberapa kedai nasi. "Bisa, Bi. Tapi jangan lama-lama ya," ucap Nawang sedikit khawatir. Pembeli masih cukup ramai. "Iya. Ngapain juga Bibi toilet umum lama-lama," kilah Laila sambil meringis. Perutnya mulas dan melilit. Pembeli terus berdatangan. Sendirian Nawang melayani para pembeli. Ia menimbang dan memotong ayam sesuai permintaan pembeli. Walau ia keteteran karena tangannya tidak selincah Bi Laila, ia berusaha melayani pembeli sebaik mungkin. Sampai tiba-tiba—suara jeritan keras terdengar.“Aduh! Lepasin, Bang!”Semua kepala menoleh.

  • Yang Tak Kunjung Padam   7. Menjalani Kehidupan Baru.

    Subuh belum sempurna turun ketika Bi Laila mengetuk pintu kamar perlahan."Nawang... bangun. Sudah jam setengah empat."Suara lembut itu membangunkan Nawang dari tidur yang belum genap tiga jam. Ia tadi membantu pamannya dan Zulham memotong ayam. Selain dari agen, pamannya menjual ayam yang ia pelihara sendiri kalau pasokan dari agen sedikit. Nawang memaksa membuka matanya yang masih terasa berat. Udara dini hari menusuk, dingin seperti menggigit tulang. Ia segera ke kanar mandi membasuh muka dengan air dingin. Seketika tubuhnya menggigil, tapi justru menyadarkannya sepenuhnya.Dari dapur, terdengar suara gemerisik plastik dan ayam yang berkokok bersahutan. Bibinya tengah sibuk menyiapkan kotak bekal dan botol minuman. Ada juga satu termos kecil yang berisi teh panas."Bantuin Bibi angkat ini, ya. Berikan pada Zulham di depan."Laila menunjuk keranjang berisi bekal dan minuman yang ia letakkan di bawah meja. Di sampingnya ada dua keranjang besar yang sudah terisi penuh oleh ayam-ayam

  • Yang Tak Kunjung Padam   6. Kembali Ditolak.

    Senja turun perlahan di atas rumah kayu itu. Cahaya jingga menyelinap lewat celah-celah dinding, menggambar bayangan panjang di lantai semen. Dari dapur terdengar suara sendok beradu dengan piring logam—Bi Laila sedang menyiapkan makan malam seadanya: nasi hangat, sambal bawang, dan tumis ayam sisa jualan.Nawang membantu memotong cabai dan bawang serta menata piring di meja kecil. Walau ia tahu potongan cabai dan bawangnya tidak sempurna, Bi Laila tidak komplain. Ia hanya mengatakan harus sering latihan akan hasilnya makin baik. Suasana dapur terasa tenang, tapi hati Nawang gelisah. Sejak siang, kata-kata Zulham masih terngiang di telinganya: Ayah belum setuju...Angin sore membawa bau kandang ayam dari belakang rumah. Sesekali terdengar suara anak-anak kecil yang bermain di depan rumah. Nawang menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri.Namun ketenangan itu pecah ketika suara sepeda motor yang berhenti, diikuti langkah berat terdengar di luar. Lalu derit pintu kayu yang dibuka ka

  • Yang Tak Kunjung Padam   5. Risau.

    Nawang melangkah masuk ke kamar yang disediakan untuknya.Ruangan itu sempit, dindingnya kusam, dan aroma lembap bercampur bau kotoran ayam samar-samar menyusup dari sebuah jendela kecil. Kasur tipis terhampar di sudut ruangan, lengkap dengan sprei lusuh yang sudah kehilangan warna aslinya. Di sebelahnya, ada sebuah kasur lain—tempat seorang gadis muda tengah terbaring miring, membelakangi pintu.Itu Anisa, putri Bi Laila yang tadi menyajikan teh.Begitu mendengar langkah kaki masuk, Anisa mendengkus, lalu menggeliat pelan dan membuka mata. Ia menatap Nawang dengan malas, lalu mengomel, “Jangan ribut. Aku mau istirahat. Hari ini aku libur sekolah dan libur jualan.”Nawang mengangguk cepat, merasa bersalah. Ia mulai menurunkan koper dan tasnya pelan-pelan, berusaha tidak membuat suara.Namun saat ia memberanikan diri bertanya, “Tapi... kok bisa libur jualan juga, ya? Bukannya jualan ayam tiap hari?” — Anisa langsung membalikkan badan, menatapnya dari atas ke bawah.“Kita tetap jualan,”

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status