LOGINSenja turun perlahan di atas rumah kayu itu. Cahaya jingga menyelinap lewat celah-celah dinding, menggambar bayangan panjang di lantai semen. Dari dapur terdengar suara sendok beradu dengan piring logam—Bi Laila sedang menyiapkan makan malam seadanya: nasi hangat, sambal bawang, dan tumis ayam sisa jualan.
Nawang membantu memotong cabai dan bawang serta menata piring di meja kecil. Walau ia tahu potongan cabai dan bawangnya tidak sempurna, Bi Laila tidak komplain. Ia hanya mengatakan harus sering latihan akan hasilnya makin baik. Suasana dapur terasa tenang, tapi hati Nawang gelisah. Sejak siang, kata-kata Zulham masih terngiang di telinganya: Ayah belum setuju...
Angin sore membawa bau kandang ayam dari belakang rumah. Sesekali terdengar suara anak-anak kecil yang bermain di depan rumah. Nawang menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri.
Namun ketenangan itu pecah ketika suara sepeda motor yang berhenti, diikuti langkah berat terdengar di luar. Lalu derit pintu kayu yang dibuka kasar.
Laila langsung menoleh.
“Assalamualaikum,” terdengar suara serak berat—penuh kelelahan.“Waalaikumsalam,” jawab Laila hati-hati.
Seorang pria berusia akhir empat puluhan masuk sambil melepas topinya. Kaosnya kotor, bercampur noda darah ayam dan debu. Keringat di pelipisnya belum kering, wajahnya legam karena seharian di pasar.
Itu Pak Jalal—suami Bi Laila, paman Nawang.Ia melempar kantong plastik besar ke lantai dengan suara gedebuk, lalu duduk di kursi tanpa bicara.
Laila buru-buru menuangkan air ke gelas. “Capek, ya, Bang? Nih, minum dulu. Makanan sebentar lagi siap.”
Jalal meneguk air itu sampai habis, lalu mengelap mulutnya dengan punggung tangan. Beberapa detik kemudian, matanya menyapu ruangan... berhenti tepat di sosok Nawang yang berdiri kikuk di sudut dapur, memegang pisau dan talenan.
Tatapannya mengeras.
“Siapa dia?”Suara itu datar, tapi dingin seperti bilah baja.
Laila menelan ludah. “Ini... Nawang, Bang. Anak Laily.”
Jalal mendengus pendek, tatapan matanya semakin tajam. “Aku sudah bilang, jangan bawa-bawa orang ke rumah ini tanpa izinku, La.”
“Bang, Nawang itu keluarga kita sendiri—”
“Keluarga?” potong Jalal, nadanya meninggi. “Kamu sudah lupa, La? Dua puluh tahun lalu kamu sendiri yang mengusir ibunya karena hamil di luar nikah! Sekarang kamu malah membawa anaknya ke sini. Saat dia senang karena bersuamikan orang kaya, kamu dilupakan. Setelah dia mati, kamu malah ketiban pulung disuruh mengasuh anaknya. Bodoh sekali kamu ini!"
Nawang membeku. Pisau di tangannya nyaris terjatuh. Ia menunduk, jantungnya berdebar keras.
Jalal berdiri perlahan, tangannya menunjuk lantai. “Kita ini orang susah, La. Kita nyaris tidak mampu membiayai hidup anak-anak kita secara layak. Kamu malah sok jadi pahlawan kesiangan dengan menyuapi mulut orang lain!"
“Bang, jangan ngomong begitu depan anaknya. Dia tidak tahu apa-apa. Pun saat ini, dia tidak punya siapa-siapa lagi selain aku, bibinya,” ucap Laila, berusaha menahan suaranya agar tetap lembut.
“Justru karena tidak tahu, makanya harus dikasih tahu dari awal,” Jalal membalas, kini menatap Nawang lurus. “Dengar, Nak. Rumah ini kecil. Rezeki juga pas-pasan. Kalau kamu mau tinggal di sini, kamu harus bekerja keras. Jangan manja, jangan mengeluh dan jangan bikin repot. Kamu bukan siapa-siapa lagi sekarang. Sanggup kamu?"
Suasana membeku. Hanya suara kipas angin yang berputar pelan, seperti menahan napas bersama mereka.
Nawang menegakkan bahu, menelan ludah, lalu menjawab pelan tapi jelas, "Sanggup, Paman. Saya akan membantu apa pun yang bisa saya lakukan.”
Jalal menatapnya beberapa detik—seolah menilai ketulusan di balik kalimat itu—lalu mendecak pelan dan duduk kembali. “Kita lihat saja nanti,” gumamnya.
Laila buru-buru menata piring dan menyodorkan nasi ke arahnya. “Makan, Bang. Tumisannya masih hangat.”
Jalal tidak menatap istrinya. Ia menyendok nasi sendiri, makan cepat tanpa bicara. Hanya sesekali terdengar dengus kecil. Laila duduk diam, tak berani bersuara.
Setelah beberapa menit, Jalal kembali bersuara tanpa menoleh, “Lantas biaya kuliahnya gimana? Anak orang kaya begini kuliahnya pasti mahal. Mau pakai apa kamu membayarnya? Helaian bulu ayam?”
Laila menatap sendok di tangannya. “Biaya kuliah sudah ditanggung kakak tirinya, Bang. Kita cuma menanggung makan dan keperluannya di rumah.”
“Kita?” Jalal menoleh tajam. “Kamu saja kali! Aku tidak mau ikut-ikutan. Anisa saja meminta ganti HP tidak bisa kuberikan. Aku tidak mau ikut menanggung beban hidup anak orang!”
Hening lagi. Hanya terdengar suara anak-anak yang bermain di luar rumah.
Nawang menunduk makin dalam, jemarinya mengepal di pangkuan. Air matanya menggenang, tapi tak ia biarkan jatuh. Ia tahu, menangis hanya akan membuatnya terlihat lemah.
“Kalau Abang keberatan, biar aku saja yang tanggung semua kebutuhan Nawang,” kata Laila akhirnya, lirih tapi tegas. “Dia akan membantuku di pasar, nanti bisa ikut mencari uang tambahan.”
Jalal menatap istrinya lama, kemudian mendengus kasar. “Terserah. Asal jangan menyusahkanku. Dan ingat, kamu jangan pilih kasih, nanti anak-anak jadi ribut.”
Ia meletakkan sendok keras-keras di meja, berdiri, lalu masuk ke kamar dengan langkah berat. Pintu dibanting keras hingga rumah berguncang.
Beberapa detik, hanya ada keheningan. Lalu Laila menutup wajahnya dengan telapak tangan, menghela napas panjang. “Pamanmu memang begitu adatnya. Biarkan saja. Yang penting kamu rajin dan bisa membantu Bibi. Kamu kuliah jam berapa biasanya?”
Nawang menatap piringnya yang belum disentuh.
"Tergantung jadwal, Bi. Biasanya mulai pukul delapan pagi dan selesainya antara pukul dua belas atau dua siang.""Kuliahnya tiap hari seperti sekolah?" tanya Laila lagi. Nawang menggeleng.
"Tidak selalu, Bi. Biasanya seminggu tiga kali. Sabtu dan Minggu tidak ada kuliah."
“Bagus. Besok kamu ikut Bibi ke pasar, jam setengah empat pagi. Kalau ada kuliah, pukul tujuh pagi kamu pulang duluan dan kuliah. Kalau pasar ramai, pulang kuliah nanti kamu balik lagi ke pasar, membantu Bibi jualan. Kalau sepi, kamu istirahat saja di runah. Mengerti?"
Nawang mengangguk pelan. Dalam hati ia tahu, lebih baik bekerja di pasar seharian daripada duduk di rumah dengan tatapan tajam sang paman.
Bi Laila menepuk pundaknya lembut. “Jangan pikirin apa yang dikatakan pamanmu. Selama Bibi masih ada, kamu aman di sini.”
Nawang tersenyum tipis, tapi dadanya tetap sesak. Ia menatap nasi di piringnya, lalu berbisik pelan dalam hati: Aku akan bertahan.
Malam itu, suara jangkrik menjadi saksi bagi tekad seorang gadis muda—yang baru menyadari bahwa perjuangannya di rumah itu baru saja dimulai.
Mereka memesan taksi online dan berangkat dari kampus. Di dalam mobil, Kenes terus mengoceh tentang film baru dan diskon makanan, berusaha mencairkan suasana. Nawang yang tadinya masih galau perlahan tertular semangat Kenes.Saat mendekati mall, mobil mulai melambat.“Jalannya ditutup, Mbak,” kata sopir taksi. “Ada pejabat lewat. Bisa muter, tapi agak jauh.”Kenes menoleh ke luar jendela. “Yah, padahal mall-nya udah kelihatan. Tinggal nyebrang aja, ya?”“Iya, Mbak,” jawab sang sopir.“Kami turun aja deh, Pak,” kata Kenes cepat. “Biar nggak kelamaan. Kami nyebrang dari sini aja.”Mereka turun di pinggir jalan. Mall sudah terlihat di seberang—tinggal menyeberang beberapa meter saja.Nawang mengikuti langkah Kenes yang setengah berlari, tak sabar ingin segera sampai. Sekonyong-konyong sebuah mobil melaju kencang tak terkendali ke arah Kenes.“Awas, Nes—!”Nawang menjerit keras.Dalam hitungan detik, tubuh Kenes terpental. Suara benturan keras membuat Nawang menjerit histeris.“Astagfirul
Malam itu, Nawang hampir tidak memejamkan mata. Ia bolak-balik menatap langit-langit kamar; kata-kata Bi Laila berputar-putar di kepalanya.Nawang berbalik. Tatapannya membentur wajah Anisa yang sudah tertidur pulas. Ekspresi wajahnya murung. Nawang menghela napas panjang. Sebelum tidur tadi, Anisa marah padanya karena membiarkan ayahnya dihajar Hilal. Menurut Anisa, walau ayahnya salah, tidak perlu juga dipukuli hingga babak belur begitu. Ayahnya sudah tua. Bagaimana kalau tadi ayahnya sampai meninggal?Sedangkan Zulham, walau tidak mengatakan apa pun, air mukanya berbeda. Seperti Anisa, Zulham juga memendam kekesalan padanya. Cuma bibinya saja yang bersikap netral.Subuh menjelang, Nawang hanya tertidur sebentar. Saat bangun, tubuhnya terasa ringan, tapi kepalanya berat.Di kampus, Nawang lebih banyak diam. Ia duduk di bangku kelas seperti biasa, mencatat seperlunya, tapi pikirannya melayang entah ke mana. Wajahnya pucat, matanya sayu.Kenes yang duduk di sebelahnya beberapa kali me
Rumah kecil itu terasa lebih pengap dari biasanya. Bau antiseptik bercampur dengan aroma jahe rebus yang menguar dari dapur. Anisa sedang menyeka wajah ayahnya yang luka-luka dengan kapas yang sudah dibubuhi alkohol. Sementara Bi Laila menyeka darah kering di dekat alis dan sudut bibir suaminya. Paman Jalal menggerutu pelan, tak terima karena Hilal menghajarnya. Ia terus mengoceh ini dan itu.Nawang baru saja selesai membersihkan diri. Ia keluar dari kamar dengan rambut dibungkus handuk. Wajahnya tampak letih setelah semua peristiwa keributan di pasar.Satu jam kemudian, mereka bertiga duduk di ruang tamu. Ketegangan halus menggantung di udara. Anisa dan Zulham diminta Bi Laila masuk ke kamar masing-masing. Bi Laila ingin berbicara tanpa pihak lain.Bi Laila memulai lebih dulu. Suaranya datar namun tajam. Menuntut dua orang yang duduk di depannya memahami kata-katanya.“Bang Jalal, dengarkan aku baik-baik. Aku capek karena harus terus menerus mengulang kata-kata ini. Dan ini adalah pe
Paman Jalal sempoyongan. Hidungnya berdarah, sudut bibirnya sobek. Namun Hilal belum berhenti. Rahangnya mengeras, matanya gelap seperti hewan buas yang marah."Bang Hilal! Berhenti!"Nawang memeluk lengan Hilal dari belakang, menarik sekuat tenaga.Hilal mengangkat tangan lagi, siap memukul, tetapi tubuhnya seketika kaku ketika Nawang menempelkan kepalanya di punggung Hilal sambil berteriak,"Abang! Tolong cukup... Saya takut!"Suara itu — gemetar menahan tangis — menembus kemarahan Hilal. Tangannya turun perlahan. Napasnya memburu seperti baru selesai berlari jauh. Ia memejamkan mata dan menahan diri.Beberapa pedagang yang belum pulang terdiam dan hanya berani menonton kebrutalan Hilal. Selama hampir enam bulan menjaga pasar, baru kali inilah mereka melihat Hilal marah besar. Beberapa pedagang lainnya menelepon Bi Laila dan Zulham karena takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Tewasnya Pak Jalal di tangan Hilal—misalnya.Paman Jalal bangkit dengan goyah, memegangi rahangnya, w
Nawang tidak menggubris kehadirannya. Namun ia juga tidak mengusir saat Pak Gatot mendekatinya. "Saya bantu tutup terpalnya ya, Nawang?" tawar Pak Gatot penuh harap. Nawang berhenti menggulung plastik, wajahnya tetap datar.“Tidak usah, Pak. Saya bisa sendiri," tolaknya tegas.Pak Gatot menelan ludah. Ia berdiri menatap Nawang yang bekerja dengan wajah lelah. Luka-luka di tubuh Nawang membuatnya makin merasa bersalah. Ia tidak bisa melindungi Nawang. "Mengenai rumah yang saya tawarkan kemarin dulu, bagaimana? Kamu sudah mempertimbangkannya?" tanya Pak Gatot sambil mengangkati kandang ayam dari bambu. "Tidak perlu, Pak. Saya sudah nyaman tinggal di rumah Bibi. Ia tidak malu mengakui saya sebagai keponakannya dan memperlakukan saya dengan sangat baik. Bapak pulang saja. Saya tidak membutuhkan bantuan Bapak," ucap Nawang dingin. Kata-kata Nawang membuat Pak Gatot tertohok. Nawang terang-terangan menyindir sekaligus mengusirnya. "Kamu... tidak ingin menanyakan soal... ehm hubungan
"Nama lengkap saya Hilal Ramadhan. Berusia 35 tahun, dengan pangkat AKBP. Kasat Intelkam Polres besar."Hilal mulai menceritakan kehidupan pribadinya kepada Nawang pada suatu sore di pasar. Saat ini Nawang berada di kios sendirian karena Bi Laila sedang sakit. Anisa yang tadi menemaninya sudah pulang lebih dulu untuk merawat ibunya.Ia menemui Nawang di kios ditemani Vonny. Akan janggal jika ia mendekati Nawang tanpa "pacarnya" di depan para pedagang. Saat ini Vonny duduk di sampingnya sambil memakai headset. Ini memang permintaannya. Tidak lucu kalau Vonny mendengar semua rayuan gombalnya pada Nawang."Maaf ya, Bang. Bukannya saya sok pintar… tapi sepengetahuan saya, usia 35 tahun itu ketinggian untuk pangkat AKBP. AKBP juga seharusnya sudah tidak turun ke lapangan kalau menyamar," sela Nawang pelan. Ia teringat cerita Virni bahwa pamannya yang berpangkat AKBP sudah berusia 48 tahun dan hanya duduk di kantor. Paman Virni sudah menjadi Kapolres. "Bisa saja, Nawang. Kalau…"Hilal meng







