“Erina?” panggilku pelan. Sudah tidak bisa aku gambarkan dengan kata-kata suasana hatiku saat ini.
Erina yang sepertinya sudah hampir mencapai titik klimaks kenikmatan membuka matanya dan menoleh ke arahku dengan mata yang terbelalak dan mulut menganga.
Sedangkan seorang pria yang tangannya masih berada di ... dalam lubang kenikmatan milik Erina juga ikut menoleh dan perlahan menarik tangannya.
“Siapa dia? Apa dia saudara kamu?” tanya seorang pria itu dalam bahasa Inggris.
“Bukan,” jawab Erina, tak mengalihkan tatapannya padaku.
“Maaf mengganggu. Selesaikan dulu aktivitas kalian. Aku akan menunggu di luar,” ujarku dingin.
Kebanyakan orang yang berada di posisiku saat ini pasti akan pergi begitu saja. Namun, berbeda denganku yang masih ingin memberi Erina kesempatan untuk bicara. Aku hanya ingin tahu alasannya berbuat itu di belakangku, bukan ingin kembali dengannya. Statusnya sudah bukan kekasihku semenjak dia memutuskan untuk tidur bersama laki-laki lain.
“Hei, kamu mau ke mana?” Samar-samar aku mendengar suara laki-laki itu bertanya. Tetapi, aku tidak mendengar jawaban Erina.
Cukup lama aku menunggu, hingga akhirnya Erina keluar dari kamar dengan kepala menunduk, dan dia tampak berantakan. Sangat berantakan.
“Kita bicara di sini saja ya?” ujar Erina, tak berani menatap ke arahku.
“Hm,” gumamku.
Erina duduk sambil menjaga jarak denganku. Sedangkan aku masih terus menatapnya lurus.
“Maafkan aku, sudah selingkuh di belakangmu,” ucap Erina membuka pembicaraan.
“Kenapa?” tanyaku datar.
“Bisnis papaku bangkrut. Sudah beberapa hari ini setiap hari keluargaku terus berpikir, besok akan makan apa? Karena mereka tidak punya uang sama sekali. Sementara aku tidak ingin meninggalkan Singapura. Di sini aku merasa nyaman bersamamu. Setidaknya aku tidak akan kesulitan makan dan membayar sewa karena aku bisa minta tolong kamu. Ya, aku sangat egois. Tapi, terbiasa hidup dengan harta yang berlimpah, akan sulit kalau tidak memiliki uang sama sekali.” Cerita Erina mengalir begitu saja.
Namun, ceritanya belum sampai menjawab pertanyaanku.
“Di tengah-tengah tekanan dari keluarga, aku membutuhkan pelepasan. Aku tidak mau terlibat dengan obat-obatan terlarang atau minuman keras. Jadi, aku memilih untuk hidup bebas dengan mengorbankan tubuhku. Kamu pria yang sangat baik, Keenan. Kamu bahkan tidak pernah menciumku. Bagaimana aku bisa mendapatkan kenikmatan darimu? Itu sebabnya aku selingkuh walaupun aku tahu itu salah.” Erina melanjutkan.
“Maafkan aku,” ucap Erina sambil menunduk semakin dalam.
“Jadi, selama ini kamu tidak mencintaiku?” tanyaku sekadar memastikan.
“Aku tidak pernah mencintaimu. Aku mencintai Bernard, laki-laki yang ada di dalam kamarku sekarang. Hanya saja, dia terlalu perhitungan,” jawab Erina jujur.
Aku sudah tidak bisa berkata-kata lagi selain menghela napas panjang.
“Maafkan aku.” Lagi-lagi Erina minta maaf.
“Terima kasih sudah memberiku pelajaran untuk satu tahun kebersamaan kita. Maaf, aku tidak bisa memberimu kepuasan yang belum waktunya karena aku tidak ingin merusak wanita yang aku cintai,” lirihku.
Sepertinya aku melihat Erina menangis tapi aku bangkit berdiri dan berjalan dengan langkah gontai menuju ke mobil.
Pikiranku kini berjalan mundur, mengingat baru saja aku hendak membeli kemeja lengan panjang, warna putih, bergaris hitam di bagian dada ... ukuran L yang hanya tinggal satu saja.
Aku sudah bisa membayangkan, pasti bagus kalau dipakai untuk makan malam bersama Erina, merayakan satu tahun kebersamaan kita.
Di dalam hatiku bahkan sempat terbersit keinginan untuk membayarnya dengan harga yang lebih mahal dari wanita muda itu tapi beruntung gengsi membuatku hanya diam di tempat.
Ya, aku beruntung sudah mengikuti kata hatiku untuk memberikan kemeja itu pada wanita muda itu. Karena kalau aku membelinya, mungkin aku sudah merobeknya sekarang.
Bukan, aku bukan merasa beruntung karena akhirnya tidak mengeluarkan uang untuk membeli baju baru, melainkan ... aaarrrggghhh! Aku bahkan tidak tahu apa yang sedang aku pikirkan sekarang.
Kenapa dengan wanita di sekitarku ini? Kenapa semua wanita yang aku sayangi justru membenciku? Mama yang melahirkan aku sudah lama tidak bicara denganku. Sekarang Erina, wanita yang sangat aku cintai juga membenciku. Kenapa?!
Aku terus memukul-mukul setir mobil dan menangis, meluapkan kekecewaan hatiku.
***
Lilian POV
“Bagaimana Finn? Aku ingin melihat Finn,” ujarku pada Cheryl, satu-satunya sahabat yang sudah aku anggap seperti keluargaku sendiri.
Saat ini aku sedang berbaring di brankar rumah sakit dan diinfus. Menurut Cheryl, tadi aku sempat pingsan dan untungnya, Cheryl baru saja selesai praktik, jadi dia bisa menemaniku.
Ya, di Singapura aku tidak punya siapa-siapa lagi selain Cheryl. Dia lahir di Jakarta. Tetapi, bekerja sebagai Dokter di Singapura. Mungkin lain kali aku akan cerita lebih detail tentangnya.
“Kamu masih perlu istirahat, Li. Nanti aku pasti antar kamu untuk melihat Finn kok,” jawab Cheryl sabar.
Entah mengapa, aku merasa Cheryl seperti sedang menyembunyikan sesuatu.
“Apa Finn sudah sadar? Bagaimana keadaannya sekarang?” tanyaku sambil memicingkan mata.
Cheryl meraih ponselnya dan tidak menjawabku.
“Aku lapar, kamu mau makan apa? Aku belikan ya?” tanya Cheryl.
“Ryl, jawab aku dulu deh, bagaimana keadaan Finn? Aku enggak bakalan bisa makan dengan tenang kalau enggak tahu kondisi Finn,” jawabku kembali menangis.
“Li, kamu harus kuat dulu, ok?” ujar Cheryl. Sekarang dia sudah menatapku lurus.
“Ryl, kamu sedang menyembunyikan sesuatu dariku, ‘kan? Finn kenapa? Aku mohon, beri tahu aku!” pintaku tak bisa berhenti menangis.
Cheryl menghela napas dan menatapku dengan pandangan yang tidak aku mengerti.
“Baik, aku akan bertanya pada Dokter yang menanganimu. Kalau beliau tidak keberatan, maka aku akan mengantarmu untuk melihat Finn,” jawab Cheryl. Dia pasti tahu kalau aku belum mendapatkan jawaban, aku tidak akan menyerah.
Aku mengangguk.
Aku lihat Cheryl mengirimkan pesan, kemungkinan pada Dokter yang menanganiku, dan menunggu balasannya.
Saat ini, satu menit rasanya seperti satu jam. Benar-benar sangat lama.
“Ok, kita tunggu seorang perawat mengantarkan kursi roda untukmu ya,” ujar Cheryl membuatku senang.
Aku duduk dan turun dari tempat tidur, dibantu oleh Cheryl. Lalu kami pun keluar dari kamar dan melalui lorong yang sangat panjang.
“Di mana kamar Finn?” tanyaku.
Cheryl terus mendorong kursi roda dan tidak menjawabku.
Hingga aku membaca tulisan ... ruang jenazah. Tunggu dulu!
“Ryl, kita tidak salah jalan, ‘kan?” tanyaku.
Namun, dari posisi kami saat ini, aku bisa melihat Om Danendra dan Tante Iva sedang duduk di kursi yang ada di paling ujung. Sedangkan Cheryl terus mendorong kursi roda, mendekati orang tua Finn.
“Om, Tante,” panggilku ketika kami sudah dekat.
Mendengarku memanggil, Om Danendra dan Tante Iva serempak menoleh ke arah kami. Mata mereka sembab. Ada apa ini?
“Lilian.” Tante Iva bangkit berdiri dan berhambur memelukku.
“Tante, bagaimana keadaan Finn?” tanyaku.
Bukannya menjawab, Tante Iva malah menangis.
“Finn sudah pergi mendahului kita, Li.”
Deg!
Aku melihat ke sekeliling ruang kamar VVIP, tempat aku dirawat sekarang. Hingga pandanganku berakhir pada sosok bayi perempuan mungil di dalam pelukanku.Namanya Gina, yang berarti wanita kuat. Aku ingin anakku tumbuh menjadi wanita kuat, tidak seperti aku yang suka menangis dan selalu terlihat lemah.Masih teringat rasa sakit saat kontraksi dan tak kunjung melahirkan. Namun, semuanya itu terbayarkan dengan rasa bahagia yang membuatku seketika melupakan rasa sakitnya.Saat ini, Keenan, Papa Mario, Mama Louisa, Papa, Mama, Tante Iva, dan Om Danendra sedang berada di dalam kamar, tempat aku dirawat.Begitu tahu aku merintih kesakitan, Mama Louisa mengajakku ke rumah sakit dan di dalam perjalanan beliau menghubungi semua orang terdekat.Aku tahu kalau keinginanku untuk melahirkan di Singapura memang tidak mungkin menjadi kenyataan karena Keenan tidak mengizinkanku bepergian. Meskipun demikian, aku tetap menaruh harapan bisa pergi ke Singapura di detik-detik menjelang mau melahirkan.Aku h
Untungnya, aku tidak sampai memuntahkan makan siangku. Namun, rasa mual membuatku sedikit lemas.Ketika aku keluar dari salah satu toilet yang ada di dalam mall ini, Keenan ternyata sudah menungguku di dekat pintu masuk toilet.“Apa kamu baik-baik saja?” tanya Keenan terlihat khawatir.“Baik. Hanya saja, bagaimana dengan Om Danendra dan Tante Iva? Mereka di mana?” Aku bertanya dengan sedikit perasaan tidak enak.“Mereka masih makan. Kita kembali, yuk!” ajak Keenan.Aku hanya mengangguk mengikuti Keenan.“Jangan dimakan kalau tidak selera, Li!” tegur Tante Iva.Aku memandangi makanan di atas piring yang ada di hadapanku dengan perasaan bersalah. Tapi, aku sungguh-sungguh tidak mampu memakannya lagi.“Maaf, Om, Tante,” ucapku lirih.“Eh, tidak apa-apa. Sudah … jangan dilihat terus! Nanti mual lagi.” Tante Iva menarik piringku.Sesudah Keenan, Om Danendra, dan Tante Iva menghabiskan makanan, kami segera beranjak dari tempat itu.“Li, kamu belum makan lho,” ujar Keenan.“Tidak apa-apa. Ta
Tiga bulan kemudian …Sejak menikah, selain menjadi istri dan ibu rumah tangga, status aku berubah menjadi pengangguran akut.Dalam sebulan, hanya sesekali saja aku merancang desain untuk produk mainan anak yang dibuat oleh Keenan. Sisa waktu yang lain, aku gunakan untuk membersihkan rumah, masak, pergi ke cafe terdekat, dan melakukan perjalanan ke Singapura.Biasanya, aku melakukan perjalanan ke Singapura kalau Keenan ada pekerjaan di Jakarta dan Singapura. Jadi, aku sengaja menghindari bertemu keluargaku dengan melakukan perjalanan ke Singapura terlebih dahulu. Nanti aku pulang ke Pulau Bali bersama Keenan.Di Singapura, aku membersihkan unit apartmentku dan mengunjungi Tante Iva. Bersama Tante Iva, aku jalan-jalan dan wisata kuliner.Seperti sekarang, aku dan Tante Iva sedang mencicipi hidangan laut yang ada di salah satu pujasera.“Huaaa … ini enak sekali, Li! Kamu tahu nggak, Tante sudah lama ingin makan di sini. Hm, sepertinya sejak sebelum kamu menikah, tapi Om tidak pernah mau,
“Eee ….”Aku bahkan belum mulai bicara, tiba-tiba Keenan kembali melumat bibirku dan beralih menghisap leher bagian bawah. Itu sangat geli hingga membuatku tertawa kecil.Jangan lupakan tangannya yang mulai meremas kedua benda kenyal milikku! Pun ciumannya semakin turun sampai tulang selangka miliku.“Kee …! Aaaaahh.” Akhirnya lolos juga desahanku ketika merasakan lumatan di ujung salah satu bukit kembarku.Tubuhku benar-benar terasa tegang dan sepertinya Keenan bisa merasakan itu.“Maaf,” ucap Keenan tepat di telingaku, “tapi, aku sudah boleh melakukannya, bukan?”“Boleh,” sahutku singkat.Suamiku ini lucu juga. Sudah melakukan sampai sejauh ini baru minta maaf. Lagipula, aku bukannya keberatan, melainkan lebih ke arah malu dan khawatir karena belum pernah melakukannya.Di dalam hati, aku terus mencoba mengingat-ingat perkataan Cheryl agar tetap santai walaupun kenyataannya praktik itu sangat susah.“Baik. Kamu yang santai, Sayang!” ujar Keenan sambil mengusap-usap kepalaku.“Pelan-p
Keenan dan aku memang memilih untuk membuat acara pernikahan yang sederhana karena kami adalah pribadi yang tidak menyukai acara-acara besar.Jadi, kesederhanaan yang kami putuskan tidak ada sangkut pautnya dengan sikap Mama.Berhubung acara kami sangat sederhana, usai makan dan berbincang, kebanyakan tamu langsung pamit sehingga tidak sampai malam, keseluruhan acara sudah selesai.“Terima kasih untuk semua tim event organizer, tim dekorasi, salon, bridal, fotografer, video, pembawa acara, souvenir, dan semua tim yang terlibat. Kalian sudah bekerja keras hingga acara pernikahan saya dan istri dapat berjalan dengan lancar,” ucap Keenan sebelum mereka semua pulang.Mendengar Keenan menyebutku sebagai istri, membuatku sedikit tersipu. Status yang baru ini masih terdengar aneh di telingaku.“Sebelum pulang, jangan lupa makan dulu, ya!” sambungku.Keenan dan aku lantas pamit untuk masuk ke kamar hotel.Wah, iya … aku hampir saja lupa. Sekarang aku dan Keenan sudah akan tinggal di satu kama
Aku melihat Mama Louisa meletakkan tas di atas meja. Beliau lantas mengeluarkan sebuah kotak beludru berwarna merah dari dalam tasnya dan duduk di sebelahku.“Lilian, Mama minta maaf karena sewaktu pertama kali kita bertemu, Mama terkesan tidak menyukaimu, pun Mama menolak membuat gaun pengantin untukmu. Itu semua bukan karena Mama membencimu,” jelas Mama Louisa.“Iya, Ma ….”“Mama juga tidak pernah membenci Keenan,” potong Mama dengan suara pelan, “mungkin Keenan sudah menceritakan semuanya padamu.”Aku hanya diam karena tidak tahu harus berkata jujur atau tidak.“Tidak apa-apa. Jangan khawatir! Mama tidak marah,” sambung Mama Louisa sambil tersenyum.Cantik!Astaga! Mama mertuaku cantik sekali kalau tersenyum begini. Hidungnya mancung. Kulitnya masih kencang. Beliau bahkan tidak memiliki kantong mata.“Ma, Keenan sangat sedih ….” Aku tidak melanjutkan perkataanku karena tidak ingin salah bicara. Aku tidak mau memanfaatkan suasana.“Mama tahu dan di sini Mama memang sudah melakukan k
“Apa yang bisa Papa lakukan sekarang? Papa ingin bertanggung jawab dan ingin marah karena kalian menolak. Akan tetapi, Papa bisa memaklumi keputusan kalian,” ujar Papa Mario.Aku dan Keenan diam-diam saling berpandangan. Namun, kami tidak memberikan tanggapan. Kami tetap pada pendirian kami untuk menjalani semuanya sendiri sampai akhir.Ting!Papa Mario, aku, dan Keenan praktis menoleh ke arah ponsel milik Keenan yang dia letakkan di atas meja. Itu tanda ada pesan yang masuk.Keenan meraih ponsel dan membuka layarnya.“Dari Mama,” ujar Keenan, “katanya di hari pernikahan kita sudah ada yang memesan gaun pengantin.”“Baik, tidak apa-apa. Aku sudah punya alternatif. Nanti aku akan membuat janji,” jawabku sambil tersenyum.Sebenarnya, aku sudah bisa menduga jawaban ini. Mama Louisa pasti tidak ingin mencampuri urusan kami.Kecewa itu pasti. Aku masih manusia. Ada rasa nyeri di hati karena merasa diabaikan. Namun, melihat raut wajah Keenan yang jelas terlihat sedih, membuatku praktis memb
Keenan terlihat tidak enak hati saat melihat mamanya tidak menyapaku dengan benar. Namun, aku tetap mempertahankan senyum dan sikapku yang tenang sebagai bentuk dukungan.Seperti yang aku katakan bahwa ini adalah realita yang harus kami hadapi. Baik calon mama mertua maupun mamaku sendiri sama-sama memiliki luka yang tidak mungkin disembuhkan oleh aku dan Keenan.Kalau dipikir-pikir, sebenarnya aku dan Keenan tidak melakukan kesalahan apa pun. Tante Louisa dan Mama terluka karena diri mereka sendiri. Namun, satu-satunya cara agar kami tetap dapat melangkah adalah menerima keadaan diri sendiri.Keadaannya memang calon mama mertua maupun mamaku menganggap Keenan dan aku ini anak-anak yang menyebalkan.Keadaannya memang calon mama mertua maupun mamaku menganggap Keenan dan aku ini penyebab luka yang mereka alami.“Apa kalian sudah makan siang?” tanya Om Mario.Aku melirik ke arah jam dengan rantai emas yang melingkar di pergelangan tanganku. Saat ini sudah lewat jam makan siang.“Sudah,
“Sebenarnya, kedatangan saya dan Lilian kemari mau sekalian pamit, Om,” jelas Keenan saat melihat raut wajah bingung Om Danendra.“Lho … nanti kalian pasti akan kembali juga, ‘kan?” tanya Om Danendra.“Iya, tapi kami akan lebih sering berada di Indonesia,” jawab Keenan.“Tidak apa-apa. Selagi kita masih berpijak di bawah langit yang sama maka artinya kita belum berpisah. Om dan Tante pasti akan mengunjungi kalian. Sebaliknya kalian tidak boleh lupa mengunjungi Om dan Tante.” Om Danendra berkata.“Kami tidak mungkin lupa sama Om dan Tante,” jawabku masih terisak.“Bukankah Om dan Tante sudah menganggap Lilian sebagai anak kandung sendiri? Pun Lilian sudah menganggap Om dan Tante sebagai orang tuanya. Mudah-mudah saya bisa sering-sering mengajak Lilian main ke Singapura,” ujar Keenan.“Saya juga masih punya unit apartment di sini. Jadi, kami pasti bisa sering datang berkunjung,” sambungku dengan sok yakin.Keenan hanya mengangguk setuju.“Tante merasa bahagia melihat kalian akan segera