“Apa yang terjadi?” tanyaku keheranan saat melihat Cheryl sibuk melakukan serangkaian tes dan menanyakan banyak hal padaku.
Cheryl hanya diam dan tak memberikan jawaban apa pun.
“Ryl, aku baik-baik saja. Kita kembali ke kamar, yuk!” ajakku.
“Ayo, sudah waktunya untuk istirahat,” jawab Cheryl.
Aku mengangguk lega.
Setibanya di kamar ...
Cheryl membantuku naik ke atas brankar kemudian dia menatapku lurus, seakan ada sesuatu yang ingin dikatakannya.
“Aku ingin bicara sesuatu. Apa boleh?”
Benar, ‘kan dugaanku?
Aku pun mengangguk ragu. Sepertinya ini berkaitan dengan kesehatanku. Apa ada masalah?
“Post-traumatic stress disorder atau PTSD adalah sebuah kondisi mental di mana seseorang mengalami serangan panik, yang dipicu oleh trauma.” Cheryl menjelaskan, membuatku mengernyitkan kening.
Cheryl menghela napas sejenak sebelum lanjut bicara.
“Begini, hasil tes memang belum keluar semua. Tapi, menurut pengalaman dan pengamatanku, sepertinya kamu mengalami gejala PTSD,” ujar Cheryl.
“A-apa itu berbahaya?” tanyaku tidak mengerti.
“Iya, cukup berbahaya kalau serangan panik itu datang tiba-tiba,” jawab Cheryl. Tatapannya kini berubah menjadi lebih lembut.
Aku mengerjap bingung. Hati dan pikiranku sedang tidak pada tempatnya. Bisa dibilang, aku tidak paham dengan penyakitku sekarang.
“Aku pasti akan melakukan terapi dan memberikan obat yang bisa kamu konsumsi, serta memberi tahu detail-nya nanti secara bertahap. Aku pun akan pindah ke tempat tinggalmu.” Cheryl melanjutkan.
Kali ini aku terbelalak. Sudah berapa kali aku merayu Cheryl untuk pindah ke tempat tinggalku dan dia selalu saja menolak? Sekarang Cheryl dengan sukarela mau pindah ke tempat tinggalku. Apa aku tidak salah dengar?
“Masih ada tempat untukku, ‘kan?” tanya Cheryl lagi, membuatku terkesiap.
“M-masih,” jawabku.
Cheryl mengangguk sambil tersenyum.
“Istirahatlah!” titah Cheryl sambil memegangi selimut, menunggu aku berbaring.
Tiba-tiba air mataku mengalir dan aku buru-buru mengusapnya. Aku sangat merindukan Finn. Andai ada Finn saat ini, dia pasti akan menjelaskan maksud perkataan Cheryl dengan kata-kata yang lebih mudah kumengerti.
“Kamu pasti memikirkan Finn lagi,” tebak Cheryl.
Aku mengangguk sambil terisak. “Aku sangat merindukannya.”
Cheryl melepaskan selimut dan duduk di sampingku, untuk memelukku.
“Mungkin Tuhan tidak memberikan aku kekasih hingga saat ini karena Tuhan tahu hari ini akan datang dan aku harus menemanimu,” bisik Cheryl.
Aku melepaskan pelukan Cheryl dan menatapnya lurus.
“Kamu menyesal sudah berteman denganku?” tanyaku hati-hati.
“Iya. Tapi, bercanda “ jawab Cheryl sambil tertawa.
Aku hanya tersenyum tipis untuk menanggapi sambil berbaring. Candaan Cheryl tidak lucu. Tapi, aku tahu dia sedang berusaha menghibur.
Tok tok tok!
Aku dan Cheryl serempak menoleh ke arah pintu. Terlihat Tante Iva masuk ke dalam kamar, membuatku kembali duduk.
“Istirahat saja, Li! Tante hanya mau memberi tahu kalau Finn akan dimakamkan besok pagi. Sekarang Tante dan Om mau pulang dulu ya,” ujar Tante Iva. Matanya terlihat sangat bengkak.
Aku mengangguk lemah.
Sesudah memelukku, Tante Iva dan Om Danendra bergegas pamit.
***
Keesokan harinya ...
Keenan POV
Kemarin, sepulangnya dari tempat tinggal Erina, aku memutuskan untuk pulang ke apartment-ku sendiri dan tidak melakukan apa pun sampai pagi ini.
Dulu aku berpikir, sikap teman-temanku yang baru putus cinta itu sungguh sangat berlebihan. Tidak berselera makan, dan tidak ingin melakukan apa pun. Bukankah mereka bisa mencari gadis lain yang jauh lebih baik?
Namun, sekarang aku mengalami sendiri, dan aku sama sekali tidak berselera makan, juga tidak sanggup melakukan apa pun.
Aku sadar Erina tidak berjodoh denganku dan aku juga sudah melepaskannya. Hanya saja, rasa sakit yang ada di hatiku ini seakan berhasil melumpuhkan seluruh tubuhku, hingga tak mampu beraktivitas seperti biasa.
Rasa sakit yang ada di hatiku kembali mengingatkanku pada sikap mama, yang sampai saat ini masih mendiamkan aku.
Ya, wanita yang melahirkan aku, sudah tidak pernah lagi menghubungiku semenjak aku berangkat kuliah ke Singapura. Walaupun papa dan Kei, adikku, tidak mengatakannya, namun aku tahu itu semua karena aku tidak kuliah di bidang kedokteran, sesuai yang diinginkan oleh mama.
Berkat papa, aku berhasil mengambil jurusan bisnis di salah satu universitas terbaik di Singapura. Seandainya waktu itu papa tidak mau membantuku, maka sudah dapat dipastikan, aku harus kuliah di jurusan kedokteran. Jurusan yang tidak sesuai dengan minatku.
Bukan, bukan berarti aku tidak pandai. Mungkin kalau dipaksakan, aku pasti bisa berhasil menjadi seorang Dokter. Namun, menjadi Dokter bukanlah cita-citaku. Sementara menurut aku, pekerjaan apa pun yang kita lakukan itu sebaiknya dimulai dari hati.
Ah, ngomong-ngomong, apa yang harus aku lakukan hari ini?
Dengan enggan aku bangkit berdiri dan melangkah masuk ke dalam kamar mandi untuk mencuci muka.
Tiba-tiba saja aku berpikir, menghadiri acara pemakaman mungkin bisa membuatku lebih mudah menangis dan meluapkan semua isi hatiku.
Usai mencuci muka, aku memutuskan untuk membersihkan tubuhku juga, dan segera memakai satu setel pakaian berwarna hitam. Kemudian, tanganku meraih kunci mobil yang semalam aku letakkan di atas nakas. Tanpa berpikir dua kali, aku melangkah ke tempat parkir mobil, dengan harapan hari ini akan ada upacara pemakaman.
Setibanya di satu area tempat pemakaman, aku memarkirkan kendaraan lalu aku turun dari mobil dengan mengenakan kacamata hitam dan melangkah menuju ke kerumunan orang berpakaian hitam yang kebetulan sedang menghadiri acara pemakaman.
Aku berdiri begitu saja sambil memandangi orang-orang yang menangis, berharap bisa ikut menangis bersama mereka.
Di barisan paling depan, terlihat seorang gadis yang sedang menangis sambil berlutut, didampingi seseorang. Samar-samar aku mendengar dia memanggil, “Finn.”
Aku terus memerhatikan seorang gadis yang sedang berlutut itu dan tanpa sadar ikut meneteskan air mata. Siapa pun yang mendengarkan isakannya yang memilukan pasti akan ikut menangis, sama sepertiku sekarang.
Seorang gadis itu dan aku mengalami hal yang serupa. Sama-sama kehilangan orang yang kita cintai.
Tak lama kemudian, upacara pemakaman selesai, dan satu per satu orang pamit pergi meninggalkan tempat itu. Hanya seorang gadis dengan seseorang, serta dua orang tua yang masih tinggal di sana.
“Mulai sekarang, Om dan Tante akan mulai belajar merelakan Finn, agar dia tenang di sana. Tetapi, Finn akan selalu memiliki ruang di hati kita, juga di hati kamu.” Seorang pria paruh baya bicara sambil menepuk-nepuk bahu seorang gadis yang tampaknya belum bisa berhenti menangis itu.
Ah, rupanya mereka keluarga dari Indonesia.
Seorang gadis itu mengangkat kepalanya dengan beruraian air mata lalu mengangguk dan perlahan dia bangkit berdiri, memeluk seorang wanita paruh baya di hadapannya.
Kemudian mereka berempat jalan bersama-sama, semakin mendekat ke arahku.
Tunggu dulu! Sepertinya aku pernah bertemu dengan seorang gadis itu.
“Hai!” Sapa seorang pria paruh baya itu dalam bahasa Inggris.
“Turut berduka,” sahutku sambil membungkuk sedikit, juga dalam bahasa Inggris.
Sekilas aku melirik ke arah gadis yang terus memerhatikanku. Sepertinya dia juga mengenaliku.
Aku melihat ke sekeliling ruang kamar VVIP, tempat aku dirawat sekarang. Hingga pandanganku berakhir pada sosok bayi perempuan mungil di dalam pelukanku.Namanya Gina, yang berarti wanita kuat. Aku ingin anakku tumbuh menjadi wanita kuat, tidak seperti aku yang suka menangis dan selalu terlihat lemah.Masih teringat rasa sakit saat kontraksi dan tak kunjung melahirkan. Namun, semuanya itu terbayarkan dengan rasa bahagia yang membuatku seketika melupakan rasa sakitnya.Saat ini, Keenan, Papa Mario, Mama Louisa, Papa, Mama, Tante Iva, dan Om Danendra sedang berada di dalam kamar, tempat aku dirawat.Begitu tahu aku merintih kesakitan, Mama Louisa mengajakku ke rumah sakit dan di dalam perjalanan beliau menghubungi semua orang terdekat.Aku tahu kalau keinginanku untuk melahirkan di Singapura memang tidak mungkin menjadi kenyataan karena Keenan tidak mengizinkanku bepergian. Meskipun demikian, aku tetap menaruh harapan bisa pergi ke Singapura di detik-detik menjelang mau melahirkan.Aku h
Untungnya, aku tidak sampai memuntahkan makan siangku. Namun, rasa mual membuatku sedikit lemas.Ketika aku keluar dari salah satu toilet yang ada di dalam mall ini, Keenan ternyata sudah menungguku di dekat pintu masuk toilet.“Apa kamu baik-baik saja?” tanya Keenan terlihat khawatir.“Baik. Hanya saja, bagaimana dengan Om Danendra dan Tante Iva? Mereka di mana?” Aku bertanya dengan sedikit perasaan tidak enak.“Mereka masih makan. Kita kembali, yuk!” ajak Keenan.Aku hanya mengangguk mengikuti Keenan.“Jangan dimakan kalau tidak selera, Li!” tegur Tante Iva.Aku memandangi makanan di atas piring yang ada di hadapanku dengan perasaan bersalah. Tapi, aku sungguh-sungguh tidak mampu memakannya lagi.“Maaf, Om, Tante,” ucapku lirih.“Eh, tidak apa-apa. Sudah … jangan dilihat terus! Nanti mual lagi.” Tante Iva menarik piringku.Sesudah Keenan, Om Danendra, dan Tante Iva menghabiskan makanan, kami segera beranjak dari tempat itu.“Li, kamu belum makan lho,” ujar Keenan.“Tidak apa-apa. Ta
Tiga bulan kemudian …Sejak menikah, selain menjadi istri dan ibu rumah tangga, status aku berubah menjadi pengangguran akut.Dalam sebulan, hanya sesekali saja aku merancang desain untuk produk mainan anak yang dibuat oleh Keenan. Sisa waktu yang lain, aku gunakan untuk membersihkan rumah, masak, pergi ke cafe terdekat, dan melakukan perjalanan ke Singapura.Biasanya, aku melakukan perjalanan ke Singapura kalau Keenan ada pekerjaan di Jakarta dan Singapura. Jadi, aku sengaja menghindari bertemu keluargaku dengan melakukan perjalanan ke Singapura terlebih dahulu. Nanti aku pulang ke Pulau Bali bersama Keenan.Di Singapura, aku membersihkan unit apartmentku dan mengunjungi Tante Iva. Bersama Tante Iva, aku jalan-jalan dan wisata kuliner.Seperti sekarang, aku dan Tante Iva sedang mencicipi hidangan laut yang ada di salah satu pujasera.“Huaaa … ini enak sekali, Li! Kamu tahu nggak, Tante sudah lama ingin makan di sini. Hm, sepertinya sejak sebelum kamu menikah, tapi Om tidak pernah mau,
“Eee ….”Aku bahkan belum mulai bicara, tiba-tiba Keenan kembali melumat bibirku dan beralih menghisap leher bagian bawah. Itu sangat geli hingga membuatku tertawa kecil.Jangan lupakan tangannya yang mulai meremas kedua benda kenyal milikku! Pun ciumannya semakin turun sampai tulang selangka miliku.“Kee …! Aaaaahh.” Akhirnya lolos juga desahanku ketika merasakan lumatan di ujung salah satu bukit kembarku.Tubuhku benar-benar terasa tegang dan sepertinya Keenan bisa merasakan itu.“Maaf,” ucap Keenan tepat di telingaku, “tapi, aku sudah boleh melakukannya, bukan?”“Boleh,” sahutku singkat.Suamiku ini lucu juga. Sudah melakukan sampai sejauh ini baru minta maaf. Lagipula, aku bukannya keberatan, melainkan lebih ke arah malu dan khawatir karena belum pernah melakukannya.Di dalam hati, aku terus mencoba mengingat-ingat perkataan Cheryl agar tetap santai walaupun kenyataannya praktik itu sangat susah.“Baik. Kamu yang santai, Sayang!” ujar Keenan sambil mengusap-usap kepalaku.“Pelan-p
Keenan dan aku memang memilih untuk membuat acara pernikahan yang sederhana karena kami adalah pribadi yang tidak menyukai acara-acara besar.Jadi, kesederhanaan yang kami putuskan tidak ada sangkut pautnya dengan sikap Mama.Berhubung acara kami sangat sederhana, usai makan dan berbincang, kebanyakan tamu langsung pamit sehingga tidak sampai malam, keseluruhan acara sudah selesai.“Terima kasih untuk semua tim event organizer, tim dekorasi, salon, bridal, fotografer, video, pembawa acara, souvenir, dan semua tim yang terlibat. Kalian sudah bekerja keras hingga acara pernikahan saya dan istri dapat berjalan dengan lancar,” ucap Keenan sebelum mereka semua pulang.Mendengar Keenan menyebutku sebagai istri, membuatku sedikit tersipu. Status yang baru ini masih terdengar aneh di telingaku.“Sebelum pulang, jangan lupa makan dulu, ya!” sambungku.Keenan dan aku lantas pamit untuk masuk ke kamar hotel.Wah, iya … aku hampir saja lupa. Sekarang aku dan Keenan sudah akan tinggal di satu kama
Aku melihat Mama Louisa meletakkan tas di atas meja. Beliau lantas mengeluarkan sebuah kotak beludru berwarna merah dari dalam tasnya dan duduk di sebelahku.“Lilian, Mama minta maaf karena sewaktu pertama kali kita bertemu, Mama terkesan tidak menyukaimu, pun Mama menolak membuat gaun pengantin untukmu. Itu semua bukan karena Mama membencimu,” jelas Mama Louisa.“Iya, Ma ….”“Mama juga tidak pernah membenci Keenan,” potong Mama dengan suara pelan, “mungkin Keenan sudah menceritakan semuanya padamu.”Aku hanya diam karena tidak tahu harus berkata jujur atau tidak.“Tidak apa-apa. Jangan khawatir! Mama tidak marah,” sambung Mama Louisa sambil tersenyum.Cantik!Astaga! Mama mertuaku cantik sekali kalau tersenyum begini. Hidungnya mancung. Kulitnya masih kencang. Beliau bahkan tidak memiliki kantong mata.“Ma, Keenan sangat sedih ….” Aku tidak melanjutkan perkataanku karena tidak ingin salah bicara. Aku tidak mau memanfaatkan suasana.“Mama tahu dan di sini Mama memang sudah melakukan k