Bab 4. Baju Baru

“Li, sudah donk nangisnya,” bujuk Cheryl.

Entah sudah berapa lama aku menangis dan tidak bisa berhenti. Badanku gemetaran, antara takut dan perasaan kehilangan.

Jadi, tadi, begitu Tante Iva memberi tahu kalau Finn sudah ... tiada ... ah, aku benci harus mengatakan hal ini. Yang pasti, tadi aku langsung menangis dan tidak berhenti mengucapkan kata maaf.

Aku benar-benar tidak percaya kalau Finn sudah pergi untuk selamanya. Aku merindukan Finn. Kami baru saja bertemu di kampus dan dia ... dia ... dia mengantarkanku ke toko baju. Ah, aku benar-benar menyesal telah mengajak Finn ke toko baju. Tuhan ... aku hanya ingin membelikan baju untuknya sebagai rasa terima kasih atas cinta yang dia berikan untukku.

Melihatku menangis, Om Danendra meminta Cheryl mengantarkanku kembali ke kamar. Di sinilah aku sekarang, di ruang perawatan.

“Aku harus bagaimana agar Finn kembali, Ryl?” tanyaku sambil menangis.

Aku sungguh-sungguh ingin melihat Finn kembali bangun dan sehat sekarang. Aku ingin memeluknya. Aku ingin memberikan baju yang aku beli untuknya.

“Li, Finn sudah pergi. Tapi, selamanya dia akan memiliki ruang di hatimu—“

“Ryl, aku merindukan Finn. Aku ingin memberikan baju yang aku beli untuk Finn. Dia bahkan belum melihatnya. Dia pasti sangat tampan kalau memakai baju itu,” isakku.

“Mana baju untuk Finn? Apa kamu membawanya?” tanya Cheryl.

Seakan menemukan secercah harapan, aku mengangkat kepala dan melihat ke arah Cheryl.

“M-maksudnya?” tanyaku.

“Mana baju yang kamu beli untuk Finn? Mari kita tunjukkan padanya,” jawab Cheryl.

“Itu,” tunjukku ke arah paper bag yang ada di atas nakas.

Cheryl mengikuti arah jari telunjukku lalu meraih paper bag dan dia kembali melihatku.

“Kamu mau ikut? Atau mau menunggu di sini?” tanya Cheryl.

“Mau ikut,” jawabku yang masih belum mengerti maksud Cheryl.

Cheryl mengangguk lalu membantuku turun dari brankar.

“Ini kamu yang bawa.” Cheryl memberikan paper bag berisi baju baru untuk Finn, lalu dia mendorong kursi roda ke ruang di mana aku bertemu dengan Om Danendra dan Tante Iva sebelumnya.

Om Danendra dan Tante Iva melihat kedatanganku dan Cheryl dengan raut wajah bingung.

“Maaf, Om, Tante. Lilian mau memberikan sesuatu untuk Finn. Apa boleh?” tanya Cheryl, to the point.

“Oh, iya, boleh boleh,” jawab Om Danendra.

Sementara Tante Iva yang masih terlihat bingung, hanya menatapku dengan mata yang sudah bengkak.

“Om, Tante, s-saya ...,” isakku lagi. Aku benar-benar tak kuasa untuk bicara. Setiap kali menyebut nama Finn, aku pasti menangis.

Aku bisa merasakan Cheryl mengusap-usap punggungku, untuk memberikan kekuatan. Sedangkan aku terus berusaha mengambil napas agar bisa bicara.

“M-maaf,” ucapku akhirnya sambil menunduk.

Tiba-tiba Tante Iva berlutut di depanku sambil melihat ke arahku.

“Lilian, lihat Tante!” titah Tante Iva dengan lembut.

Perlahan aku melihat ke arah Tante Iva.

“Tante dan Om tidak pernah menyalahkan kamu. Finn pergi bukan karena kesalahan kamu. Berhentilah menyalahkan diri sendiri! Berhentilah minta maaf! Finn mengalami kecelakaan dan bukan kamu yang menabrak Finn. Tante dan Om tahu, betapa kalian saling mencintai. Tak hanya Finn, Tante pun sayang sama kamu. Selamanya Tante akan menganggapmu seperti keluarga sendiri,” ujar Tante Iva membuatku kembali menangis.

Om Danendra dan Tante Iva selama ini memang selalu menerima dan baik denganku. Ini salah satu alasan aku merasa bahagia bisa menjadi kekasih Finn.

Bahkan di dalam keluarga kandungku sendiri, aku tidak pernah merasakan cinta seperti yang aku dapatkan dari Finn dan keluarganya.

“I-ini, b-baju y-yang ... ha!” Aku terus saja terbata dan sulit untuk bicara. Lagi-lagi aku harus menghembuskan napas sekeras-kerasnya sambil mengangkat kepala sejenak untuk menenangkan diriku sendiri.

“I-ini b-baju yang saya beli untuk Finn.” Akhirnya aku berhasil mengatakannya.

Tante Iva mengangguk sambil tersenyum dan menerima paper bag yang aku berikan padanya.

“Terima kasih. Apa kamu ingin memberikannya sendiri?” tanya Tante Iva.

Meskipun ragu, aku memutuskan untuk mengangguk.

Aku melihat Om Danendra dan Tante Iva mengangguk sebagai tanda agar Cheryl membawaku masuk ke dalam ruangan yang aku tebak di sana Finn sedang tertidur.

Ya, mungkin sebaiknya aku menganggap Finn sedang tidur sekarang.

Begitu aku masuk ke dalam ruangan, aku melihat dua orang perawat hendak memakaikan jas untuk Finn.

“Tunggu dulu!” ujar Cheryl dalam bahasa Inggris.

Mendengar perkataan Cheryl, dua orang perawat itu praktis menoleh ke arah kami.

Cheryl mendorong kursi roda lebih dekat dengan brankar di mana Finn tertidur, sehingga aku bisa melihat Finn yang sedang memejamkan matanya rapat. Wajahnya terlihat sangat tenang dan sedikit pucat. Tetapi, Finn tetap tampan.

Lagi-lagi aku menangis tersedu-sedu di samping Finn sambil memegangi tangannya yang sudah memakai sarung tangan.

“Finn, maafkan aku. Tolong maafkan aku! Sebenarnya aku ingin membeli baju ini untukmu sebagai ucapan terima kasih atas cintamu padaku. Padahal kamu sudah melarangku. Tapi, aku terus memaksa. Aku tidak menyangka, keinginanku membawamu pada kecelakaan maut. Maafkan aku, Finn. Aku benar-benar minta maaf.” Aku mengeluarkan semua isi hatiku, walaupun aku tahu Finn tidak akan mendengarnya.

Biasanya, saat aku menangis begini, Finn pasti mengulurkan tangan untuk membelai kepalaku. Tapi, kali ini aku tidak lagi merasakan belaian itu. Finn tidur dengan pulas.

Cheryl meraih tas paper bag di atas pangkuanku lalu memberikannya pada salah satu perawat di sana.

“Tolong ganti kemejanya dengan yang ini. Saya mohon,” ujar Cheryl.

Seorang perawat itu menerima paper bag sambil mengangguk.

“Terima kasih,” ucap Cheryl mewakiliku.

“Aku sekarang sendirian, Finn,” lirihku.

Cheryl mengusap-usap punggungku.

“Sudah? Kita tidak boleh lama-lama di sini,” bisik Cheryl.

“Aku sangat mencintaimu, Finn. Selamanya kamu akan memiliki ruang di hatiku,” ucapku sebelum Cheryl mendorong kursi roda keluar dari ruangan.

Rasanya tidak rela melepaskan tangan Finn. Tapi, akhirnya aku mengangguk sebagai tanda kalau aku sudah selesai bicara dengan Finn.

“Suster, kami pamit dulu,” ujar Cheryl.

“Bye, Finn.” Aku pamit untuk terakhir kalinya.

Kemudian Cheryl mendorong kursi roda keluar dari ruangan.

“Sudah bertemu Finn?” tanya Tante Iva sambil tersenyum.

Aku mengangguk lemah.

“Ya sudah, sekarang kamu istirahat dulu ya. Om dan Tante pasti kabari kalau sudah ada info mengenai pemakaman Finn.” Itu suara Om Danendra.

“Terima kasih, Om,” ucapku.

Usai pamit, Cheryl mendorong kursi roda kembali ke kamar.

“Ryl, aku boleh keluar untuk lihat langit, nggak?” tanyaku.

Tak menjawab pertanyaanku, Cheryl langsung berbelok menuju ke arah pintu keluar.

Begitu tiba di luar, aku menghirup udara dalam-dalam, kemudian aku menatap ke arah langit.

“Kalau aku merindukan Finn, maka aku akan melihat ke langit. Mungkin dia ada di sana,” ujarku lirih.

Cheryl kembali mengusap-usap punggungku berusaha menenangkan.

Agak lama kami hanya diam hingga tiba-tiba suara sirine terasa begitu memekakkan telingaku.

Tanpa sadar aku menutup telinga dengan kedua tangan dan bayangan saat mobil Finn ditabrak kembali memasuki ingatanku.

“Tolong, Fin!”

“Li ... Lilian ....”