Suara sirine ambulans dan mobil polisi terdengar begitu ramai memekakkan telinga.
Para polisi sedang sibuk menjauhkan orang-orang yang berkerumun dari posisi kejadian. Terlihat, seorang polisi wanita mendatangiku.
“Maaf, Anda harus menjauh dari posisi ini,” ujar seorang polisi wanita itu dalam bahasa Inggris.
“S-saya b-bersama s-seorang p-pria yang b-berada di m-mobil i-itu,” tunjukku dengan berurai air mata dan tubuh yang masih gemetaran.
Mengerti yang aku maksudkan, seorang polisi wanita itu menuntunku masuk ke dalam mobil ambulans, di mana para perawat sedang berusaha menolong Finn. Entah kapan mereka membawa Finn, mataku yang tertutup air mata ini tidak sempat melihatnya.
Aku melihat sekujur tubuh Finn yang penuh dengan darah akhirnya kembali menangis histeris.
“Finn, maafkan aku! Maafkan aku!” ucapku tidak bisa berhenti meminta maaf.
Beberapa saat kemudian, aku melihat Finn membuka matanya sangat lemah dan melihat ke arahku. Aku tahu dia sedang memaksakan diri untuk tersenyum sambil menggerakkan bibirnya tanpa suara. “I love you.”
“I love you, Finn. Aku mohon, jangan tinggalkan aku! Maafkan aku!” Aku terus berkata sambil menangis.
‘Seandainya aku tidak memaksamu untuk mampir ke toko, mungkin kecelakaan ini tidak akan pernah terjadi. Maafkan aku, Finn.’ Aku melanjutkan perkataanku di dalam hati karena sudah tidak kuasa mengatakan semuanya. Lidahku terlalu kelu untuk berbicara.
Dengan tangan yang gemetaran, aku berusaha meraih tangan Finn. Dan Finn juga membalas genggaman tanganku. Namun, tiba-tiba tangan Finn terkulai lemas melepaskan pegangannya.
Deg!
“Finn! Jangan tinggalkan aku! Aku mohon!” seruku panik.
Salah seorang perawat yang duduk di samping Finn buru-buru melakukan pertolongan Resusitasi Jantung Paru (RJP) atau CPR, dan seorang perawat yang lain menenangkanku, sambil tetap fokus memeriksa seluruh peralatan yang digunakan.
“Tolong Finn!” pintaku dalam bahasa Inggris sambil menangis tersedu-sedu.
Begitu mobil ambulans tiba di depan rumah sakit, beberapa orang perawat pun bergegas menolong Finn dan membawanya ke ruang operasi.
“Tunggulah di sini, Nona!” perintah seorang perawat.
Aku sudah tidak bisa berpikir dengan jernih, jadi aku hanya bisa mengangguk dan terus menangis.
‘Tuhan, tolong Finn! Beri kesempatan untukku meminta maaf padanya saat sudah sadar nanti. Aku mohon,’ doaku dalam hati.
“Permisi.” Seorang perawat yang lain menghampiriku.
“Ya?” sahutku.
“Apa kami boleh meminta data pasien?” tanya seorang perawat itu.
“Ah, i-iya,” jawabku.
Dengan tangan yang masih gemetaran, aku meraih ponsel di dalam tas lalu memberikan nomor ponsel Finn dan orang tua Finn pada seorang perawat itu. “M-maaf, h-hanya i-ni yang a-aku t-tahu. A-aku t-tidak m-menyimpan k-kartu i-identitasnya.”
Mungkin karena melihatku sangat gemetaran, seorang perawat itu mengangguk dan membantuku menulis di sebuah formulir.
“Apa saya boleh tahu, apa hubunganmu dengan korban?” tanya seorang perawat itu.
“S-saya k-kekasihnya,” jawabku tidak bisa kalau tidak terbata-bata.
“Baik, kalau begitu, apa saya boleh membantumu menghubungi orang tua korban?” tanya seorang perawat itu.
Meskipun ragu, namun aku mengangguk. Saat ini, aku sudah siap kalau kedua orang tua Finn akan marah atau menuntutku, yang penting Finn kembali sadar.
Cukup lama aku menunggu para Dokter menolong Finn di dalam ruang operasi hingga kedua orang tua Finn tiba.
Finn dan kedua orang tuanya berasal dari Indonesia. Jadi, mereka bisa berkomunikasi dalam bahasa Indonesia.
“Lilian, apa yang terjadi dengan Finn?” tanya Tante Iva, Mama Finn.
Aku menceritakan semua kejadiannya pada orang tua Finn, tanpa menutupi apa pun, dengan tubuh yang masih gemetaran.
Om Danendra, Papa Finn, hanya menghela napas ketika aku selesai menceritakan semuanya. Demikian juga Tante Iva, hanya bisa ikut menangis bersamaku.
“Tenang ya, Lilian, kami orang tua Finn akan melakukan apa pun untuk menolong Finn,” kata Tante Iva. Padahal dirinya juga pasti sangat khawatir.
Tepat ketika Tante Iva selesai bicara, seorang Dokter keluar dari ruang operasi.
“Apa saya bisa bicara dengan keluarga pasien bernama Finn?” tanya seorang Dokter itu dengan menggunakan bahasa Inggris.
Om Danendra, Tante Iva, dan aku praktis bangkit berdiri dan menghampiri Dokter itu.
“Ya, kami orang tuanya. Bagaimana kondisi Finn, anak kami?” tanya Om Danendra.
“Hm, ketika tiba di sini tadi, Finn sudah tidak sadarkan diri dan pendarahannya tidak bisa dihentikan lagi. Kami sudah melakukan semua yang terbaik tetapi—“
Belum selesai mendengar perkataan Dokter, aku merasa sekelilingku mendadak gelap, dan sudah tidak sadarkan diri.
*****
Keenan POV
Saat ini aku sedang berkeliling mengitari jalan-jalan di Singapura dengan mobil sedan berwarna biru kesayanganku. Aku tidak berniat ingin jalan-jalan, tetapi hanya sekadar menghabiskan waktu sambil menunggu Erina yang katanya sedang pergi bersama temannya.
Setelah merasa cukup lama berjalan-jalan, akhirnya aku memutuskan untuk ke apartment Erina dan menunggunya di sana saja. Aku tahu password-nya untuk masuk. Jadi, aku bisa menunggu sambil menonton televisi.
Baru saja mobilku berhenti dengan sempurna di tempat parkir gedung apartment yang menjadi tempat tinggal Erina, entah mengapa, mendadak perasaanku tidak enak.
Aku pun segera meraih ponsel dan menghubungi Erina, khawatir terjadi sesuatu dengannya. Erina tidak menjawab panggilanku namun dia mengirimiku pesan yang mengatakan agar aku sabar menunggu.
“Ha!” Aku menghela napas lega. Tapi, aku tetap saja berdebar-debar seakan sesuatu yang buruk sedang terjadi.
Kini pikiranku tertuju pada keluarga yang tinggal di Bali.
Aku bergegas mengirimkan pesan pada Papa Mario, dan Kei, adikku, untuk menanyakan kabar mereka.
Cukup lama aku menunggu hingga ponselku kembali berbunyi tanda pesan balasan masuk.
“Kami baik-baik saja di sini. Bagaimana denganmu, Nak?” balas Papa.
“Kabar baik, Pa. Syukurlah kalau begitu. Aku hanya ingin menanyakan kabar saja,” jawabku tak ingin membuat Papa kepikiran.
Tak lama kemudian, ada pesan lain yang masuk.
“Kabar baik, Kak. Mama juga baik-baik saja. Ada apa?” balas Kei.
“Tidak ada apa-apa. Kebetulan aku sedang menunggu Erina dan ingat kalian di Bali. Jadi, aku menanyakan kabar saja,” jawabku.
“Titip salam buat kak Erina ya,” balas Kei lagi, membuatku tersenyum senang. Adik kesayanganku itu selalu mampu membuatku merasa lebih tenang.
“Terima kasih,” ucapku.
Setelah memastikan pesanku terkirim, aku turun dari mobil dan melangkah masuk ke dalam lift, menuju ke lantai sepuluh. Unit apartment Erina nomor B1003.
Setibanya di lantai sepuluh, aku berjalan sambil berdebar-debar. Hanya saja, aku terus berusaha mengabaikannya.
Begitu masuk di dalam ruang apartment, aku melangkah mendekati sofa hendak duduk. Namun, tiba-tiba aku mendengar suara yang berasal dari kamar Erina.
Aku segera meraih botol yang kebetulan ada di atas meja lalu perlahan melangkah menuju ke kamar Erina.
“Ahh ... sshhh ... ahh ... iya, di sana enak banget! Lebih cepat! Ahh ...!” Mendengar suara seorang wanita yang sedang mendesah sambil berbicara dalam bahasa Inggris membuatku sedikit ragu. Namun, tanganku tetap saja membuka pintu kamar.
Deg!
Aku melihat ke sekeliling ruang kamar VVIP, tempat aku dirawat sekarang. Hingga pandanganku berakhir pada sosok bayi perempuan mungil di dalam pelukanku.Namanya Gina, yang berarti wanita kuat. Aku ingin anakku tumbuh menjadi wanita kuat, tidak seperti aku yang suka menangis dan selalu terlihat lemah.Masih teringat rasa sakit saat kontraksi dan tak kunjung melahirkan. Namun, semuanya itu terbayarkan dengan rasa bahagia yang membuatku seketika melupakan rasa sakitnya.Saat ini, Keenan, Papa Mario, Mama Louisa, Papa, Mama, Tante Iva, dan Om Danendra sedang berada di dalam kamar, tempat aku dirawat.Begitu tahu aku merintih kesakitan, Mama Louisa mengajakku ke rumah sakit dan di dalam perjalanan beliau menghubungi semua orang terdekat.Aku tahu kalau keinginanku untuk melahirkan di Singapura memang tidak mungkin menjadi kenyataan karena Keenan tidak mengizinkanku bepergian. Meskipun demikian, aku tetap menaruh harapan bisa pergi ke Singapura di detik-detik menjelang mau melahirkan.Aku h
Untungnya, aku tidak sampai memuntahkan makan siangku. Namun, rasa mual membuatku sedikit lemas.Ketika aku keluar dari salah satu toilet yang ada di dalam mall ini, Keenan ternyata sudah menungguku di dekat pintu masuk toilet.“Apa kamu baik-baik saja?” tanya Keenan terlihat khawatir.“Baik. Hanya saja, bagaimana dengan Om Danendra dan Tante Iva? Mereka di mana?” Aku bertanya dengan sedikit perasaan tidak enak.“Mereka masih makan. Kita kembali, yuk!” ajak Keenan.Aku hanya mengangguk mengikuti Keenan.“Jangan dimakan kalau tidak selera, Li!” tegur Tante Iva.Aku memandangi makanan di atas piring yang ada di hadapanku dengan perasaan bersalah. Tapi, aku sungguh-sungguh tidak mampu memakannya lagi.“Maaf, Om, Tante,” ucapku lirih.“Eh, tidak apa-apa. Sudah … jangan dilihat terus! Nanti mual lagi.” Tante Iva menarik piringku.Sesudah Keenan, Om Danendra, dan Tante Iva menghabiskan makanan, kami segera beranjak dari tempat itu.“Li, kamu belum makan lho,” ujar Keenan.“Tidak apa-apa. Ta
Tiga bulan kemudian …Sejak menikah, selain menjadi istri dan ibu rumah tangga, status aku berubah menjadi pengangguran akut.Dalam sebulan, hanya sesekali saja aku merancang desain untuk produk mainan anak yang dibuat oleh Keenan. Sisa waktu yang lain, aku gunakan untuk membersihkan rumah, masak, pergi ke cafe terdekat, dan melakukan perjalanan ke Singapura.Biasanya, aku melakukan perjalanan ke Singapura kalau Keenan ada pekerjaan di Jakarta dan Singapura. Jadi, aku sengaja menghindari bertemu keluargaku dengan melakukan perjalanan ke Singapura terlebih dahulu. Nanti aku pulang ke Pulau Bali bersama Keenan.Di Singapura, aku membersihkan unit apartmentku dan mengunjungi Tante Iva. Bersama Tante Iva, aku jalan-jalan dan wisata kuliner.Seperti sekarang, aku dan Tante Iva sedang mencicipi hidangan laut yang ada di salah satu pujasera.“Huaaa … ini enak sekali, Li! Kamu tahu nggak, Tante sudah lama ingin makan di sini. Hm, sepertinya sejak sebelum kamu menikah, tapi Om tidak pernah mau,
“Eee ….”Aku bahkan belum mulai bicara, tiba-tiba Keenan kembali melumat bibirku dan beralih menghisap leher bagian bawah. Itu sangat geli hingga membuatku tertawa kecil.Jangan lupakan tangannya yang mulai meremas kedua benda kenyal milikku! Pun ciumannya semakin turun sampai tulang selangka miliku.“Kee …! Aaaaahh.” Akhirnya lolos juga desahanku ketika merasakan lumatan di ujung salah satu bukit kembarku.Tubuhku benar-benar terasa tegang dan sepertinya Keenan bisa merasakan itu.“Maaf,” ucap Keenan tepat di telingaku, “tapi, aku sudah boleh melakukannya, bukan?”“Boleh,” sahutku singkat.Suamiku ini lucu juga. Sudah melakukan sampai sejauh ini baru minta maaf. Lagipula, aku bukannya keberatan, melainkan lebih ke arah malu dan khawatir karena belum pernah melakukannya.Di dalam hati, aku terus mencoba mengingat-ingat perkataan Cheryl agar tetap santai walaupun kenyataannya praktik itu sangat susah.“Baik. Kamu yang santai, Sayang!” ujar Keenan sambil mengusap-usap kepalaku.“Pelan-p
Keenan dan aku memang memilih untuk membuat acara pernikahan yang sederhana karena kami adalah pribadi yang tidak menyukai acara-acara besar.Jadi, kesederhanaan yang kami putuskan tidak ada sangkut pautnya dengan sikap Mama.Berhubung acara kami sangat sederhana, usai makan dan berbincang, kebanyakan tamu langsung pamit sehingga tidak sampai malam, keseluruhan acara sudah selesai.“Terima kasih untuk semua tim event organizer, tim dekorasi, salon, bridal, fotografer, video, pembawa acara, souvenir, dan semua tim yang terlibat. Kalian sudah bekerja keras hingga acara pernikahan saya dan istri dapat berjalan dengan lancar,” ucap Keenan sebelum mereka semua pulang.Mendengar Keenan menyebutku sebagai istri, membuatku sedikit tersipu. Status yang baru ini masih terdengar aneh di telingaku.“Sebelum pulang, jangan lupa makan dulu, ya!” sambungku.Keenan dan aku lantas pamit untuk masuk ke kamar hotel.Wah, iya … aku hampir saja lupa. Sekarang aku dan Keenan sudah akan tinggal di satu kama
Aku melihat Mama Louisa meletakkan tas di atas meja. Beliau lantas mengeluarkan sebuah kotak beludru berwarna merah dari dalam tasnya dan duduk di sebelahku.“Lilian, Mama minta maaf karena sewaktu pertama kali kita bertemu, Mama terkesan tidak menyukaimu, pun Mama menolak membuat gaun pengantin untukmu. Itu semua bukan karena Mama membencimu,” jelas Mama Louisa.“Iya, Ma ….”“Mama juga tidak pernah membenci Keenan,” potong Mama dengan suara pelan, “mungkin Keenan sudah menceritakan semuanya padamu.”Aku hanya diam karena tidak tahu harus berkata jujur atau tidak.“Tidak apa-apa. Jangan khawatir! Mama tidak marah,” sambung Mama Louisa sambil tersenyum.Cantik!Astaga! Mama mertuaku cantik sekali kalau tersenyum begini. Hidungnya mancung. Kulitnya masih kencang. Beliau bahkan tidak memiliki kantong mata.“Ma, Keenan sangat sedih ….” Aku tidak melanjutkan perkataanku karena tidak ingin salah bicara. Aku tidak mau memanfaatkan suasana.“Mama tahu dan di sini Mama memang sudah melakukan k