Keesokan harinya. Serena membuka matanya yang masih terasa lelah. Ia terkejut ketika menyadari tubuhnya tak terbalut kain dan tidur di ranjang entah milik siapa. Serena shock seketika dan segera menarik selimut untuk menutupi tubuhnya.
"Hey, good moring, Sweet heart. Bersiaplah, Gerry sudah menunggumu di bawah untuk mengantarkanmu pulang karena orang tuamu cemas. Sepertinya, mereka tidak begitu suka padaku. Aku sempat bicara dengan mereka tadi pagi," sapa Axton yang diakhiri bibir mengerucut di akhir kalimatnya.
Serena terlihat bingung. Ia memegangi kepalanya dan melihat di cermin, samping ranjang Axton jika rambutnya berantakan dan matanya silau karena matahari pagi di mana cuaca cukup terang di hari yang masih di selimuti salju.
"Oh, oke," jawab Serena terlihat masih belum sadar betul untuk memulai hari.
Axton terkekeh karena baginya, Serena sungguh menggemaskan. Serena adalah kekasih pertama Axton di bangku Senior High School.
Axton duduk bersama sang Kakek, Paul dan Gerry di ruang makan, untuk membahas strategi merekrut pasukan."Nama pasukan kita harus keren, Grand Pa. Hem, diberi nama apa ya?" ucap Axton antusias, sudah berandai-andai dengan pasukan bentukannya nanti."Ya. Kau saja yang beri nama, tapi tetap, Grand Pa yang nantinya memutuskan nama tersebut cocok atau tidak. Nah, sebaiknya kau tidur. Ini sudah malam. Esok kau bangun pagi dan mulai bergerak bersama orang-orang kepercayaan Grand Pa," jawab Giamoco menatap cucunya dengan senyuman."Yes, Grand Pa!" jawabnya riang dan segera beranjak dari dudukkannya.Axton memeluk Kakeknya erat terlihat begitu menyayanginya. Giamoco tersenyum.Hatinya merasa bahagia, melihat senyum cucu semata wayangnya yang selalu terpancar dari wajah tampannya setiap hari."Ia seperti Iva. Selalu tersenyum dan membawa keceriaan. Aku sangat menyesal, Iva. Membiarkan Leighton berbuat seenaknya pad
Axton sudah mengumpulkan semangat dan memantabkan jiwanya untuk menjadi seorang mafia demi sebuah nama. Gerry dan Paul memanfaatkan hal itu.Akhirnya, mobil berhenti di sebuah klub malam yang terlihat ramai oleh para pengunjung. Tiga buah mobil dari kubu Axton parkir di pinggir jalan.Axton terlihat gugup, tapi ia melihat orang-orang kakeknya begitu siap dalam menjalankan misi. Axton merapatkan mantel bulu dan berdiri di apit oleh Paul serta Gerry di kanan kirinya."Berpencar. Temui kami di bar itu," ucap Paul dan para pria yang mengenakan mantel hitam mengangguk paham.Axton melihat sekitar sepuluh orang bergerak menuju ke gang-gang gelap di sekitar kawasan tersebut. Axton terlihat bingung karena ia tak ikut berpencar seperti yang lainnya."Apa yang akan kita lakukan? Kenapa kita tak ikut mencari?" tanya Axton dengan kepulan asap keluar dari mulut karena udara dingin mulai mengusik tubuhnya meski sudah terbungkus mantel tebal."Kita bagian
Axton terlihat serius bagaikan ikut kursus les tari. Ia menari cukup lincah dengan hentakan kaki yang kuat, disertai tepuk tangan, mengikuti gaya menari seorang pria asal Spanyol yang mengajarinya.Senyum Kimberly merekah selama menari dengan Axton, begitupula remaja tampan itu. Aksi Axton menjadi tontonan seru para pengunjung kelas VVIP di ruangan tersebut.Tak terasa, sudah satu jam Axton menari. Hingga akhirnya, pintu ruangan kelas elite tersebut dibuka oleh seorang pria dari kelompok Gerry.Asisten Giamoco tersebut langsung memberikan kode dengan jari tengah dan telunjuknya, seperti meminta pria berambut pirang tersebut masuk ke dalam.Pria tersebut berbisik dan Gerry mengangguk. Gerry meneruskan informasi kepada Paul dan asisten Giamoco tersebut ikut mengangguk dengan wajah serius.Tiba-tiba, Gerry dan lainnya berdiri seperti bersiap pergi. Axton melihatnya."Hei! Kalian mau kemana?" tanya Axton bingung dan menghentikan tariannya seketi
Axton mengikuti Bob yang memegangi lengannya karena terkena luka tembak. Axton cemas akan keadaan Bob karena darah yang merembes di balik kemejanya cukup banyak."Bob! Sebaiknya kita obati dulu lukamu. Aku miris melihatnya," pinta Axton memegang tangan Bob yang memegang botol sebagai senjata pelindungnya.Bob tersenyum. "Hanya luka seperti ini tak akan membunuhku, Axton. Kita sebentar lagi sampai ke pintu keluar. Di sana, akan ada seseorang yang akan mengevakuasimu. Namanya Gin. Dia bisa membawamu keluar dari sini dengan selamat sampai kau nanti dipertemukan dengan kakekmu, Giamoco," jawab Bob tetap terlihat untuk tetap tenang, meski Axton tahu jika Bob kesakitan karena luka di lengannya."Ayo cepat dan tetap waspada," ajak Bob dan Axton mengangguk dengan pistol dalam genggaman.Axton dan Bob berlari menelusuri koridor bercahaya remang dengan banyak tumpukan kotak kayu berisi jerami entah apa di dalamnya.Hingga akhirnya, mereka tiba di sebuah pint
Axton menelan ludah. Kejadian semalam masih belum hilang dari pikirannya dan kini, nama Camp Militer kembali di sebut. Praktis, membuat jantungnya semakin berdebar tak karuan."Setelah lulus. Setelah lulus sekolah aku akan pergi ke sana. Aku berjanji," jawabnya gugup dan sesekali mencuri-curi pandang ke orang-orang yang berdiri di sekitarnya.Kimberly dan semua orang di ruangan tersebut mengangguk pelan. Mereka tak sabar melihat Axton menepati janjinya.Usai sarapan dan membersihkan diri, Axton mendatangi Gerry yang terluka terkena tembakan. Kimberly menemani kekasihnya yang terlihat pucat karena menerima banyak luka tembak di tubuhnya."Em, Kim. Bisa bicara sebentar?" tanya Axton sungkan dan Kimberly mengangguk.Gerry tersenyum pada Axton dan remaja tampan itu meringis karena merasa tak enak hati bicara pada kekasih asisten kakeknya."Ada apa?" tanya Kimberly penasaran yang sudah berdiri di hadapannya."Apa yang sebenarnya t
Axton merasakan aura dari pria dewasa di depannya ini cukup membuat kulitnya merinding dan berkerut. Pria itu memegang pundak Axton erat dan mendorongnya masuk ke dalam rumahnya melewati koleksi hewan-hewan yang telah diawetkan olehnya. Mata Axton sibuk melihat sekitar di mana tak pernah sebelumnya, ia berkunjung ke sebuah rumah seperti kediaman pria tak dikenalnya ini. Tiba-tiba, Axton menghentikan langkah dan pria berhidung lancip itu terkejut. "Wait, wait. Karena aku akan tinggal di sini cukup lama dan mau tak mau kau akan menjadi teman ngobrolku sampai masa pelatihan usai, kita harus berkenalan," ucap Axton melepaskan dekapan pria berambut cokelat tersebut dan menjaga jarak dengannya. "Hem, oke. Aku sudah mengenalmu, tapi kau tak mengenalku. Giamoco dan orang-orangnya memanggilku Mister," jawabnya santai dengan senyum tipis dan bertolak pinggang. "Mister?" tanya Axton memperjelas. Lelaki yang mengaku bernama Mister mengangguk pela
Hari demi hari Axton lalui bersama Mister untuk berlatih agar menjadi seorang mafia tangguh. Sudah menjadi takdir bagi remaja itu karena ia adalah penerus kursi Giamoco kelak. Akhir musim dingin, Axton mendapatkan kabar dari Jeff jika Erik Benedict memutuskan untuk ikut ke Camp Militer yang berada di China. Camp Militer adalah sebuah tempat pelatihan yang diperuntukkan bagi seluruh mafia dalam jajaran 13 Demon Heads. Para instrukturnya pun orang-orang jebolan dari militer di seluruh dunia. Mereka berkumpul dan melatih para mafia dengan satu tujuan, menghancurkan pemerintahan dunia, tapi dengan cara yang apik dan elegant, bukan seperti penjahat kelas teri di jalanan. Kinerja mereka terstruktur, ahli dalam penyamaran seperti agent rahasia, hebat dalam bertarung, menggunakan segala jenis senjata, mengoperasikan kendaraan tempur militer yang pernah diciptakan oleh manusia, termasuk teknologi satelit mencakup pe
"AXTON!!"SWOOSHH!! BLUARRR!!Ledakan hebat langsung meruntuhkan tembok di sisi sebelah timur bangunan yang terbuat dari kombinasi kayu dan batu. Tubuh Mister terpental akibat gelombang ledakan.Pandangan Mister kabur dan telinganya berdengung karena suara yang memekakkan telinga tersebut. Ia melihat dalam samar saat beberapa langkah kaki bersepatu boots sedang berlari dalam kumpulan, mendatangi rumahnya dari lubang besar yang dibuat oleh misil militer."Hah, A-Axton," panggil Mister lirih berusaha bangun dengan susah payah."Get him!" perintah seorang lelaki berseragam hitam menunjuk Mister yang sedang berusaha untuk bangkit.Mister terkejut saat kedua tangannya dipegangi erat oleh dua pria berseragam militer hingga membuatnya berdiri. Mister merasa, dirinya seperti akan dibawa ke sebuah tempat. Ia melihat sebuah borgol akan dipasangkan di pergelangan tangannya.DUAK!"Arghh!" rintih salah s