Share

2. Pertemuan Tak Sengaja

Maria pulang telat karena restoran sedang ramai tadi. Ya, meskipun dia masih menjadi mahasiswa di sebuah universitas, tetapi dia juga bekerja part-time untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Dia memang anak orang yang berkecukupan, tetapi dia diperlakukan berbeda oleh ayahnya karena dia hanyalah anak tiri.

Wanita itu sampai di rumah ketika hari mulai larut malam. Dia memarkirkan motor begitu saja di halaman, lalu berjalan masuk ke rumah. Dia mengira semua penghuni rumah sudah tertidur, tetapi ternyata salah.

Saat membuka pintu dan masuk, dia melihat ayah dan ibunya sedang duduk di ruang tamu. Dahi Maria berkerut heran sambil melirik jam yang ada di tangannya. Dia tidak salah lihat dan ini sudah hampir setengah dua belas malam.

Namun, kenapa orang tuanya belum tidur? pikir Maria penasaran.

"Maria, kemarilah sebentar!" perintah ayah tiri Maria, melambaikan tangan dengan wajah yang begitu datar. Lelaki paruh baya itu menatap anak tirinya dengan wajah yang menahan kesal.

Mau tak mau Maria mengangguk, dia pun berjalan mendekat ke arah mereka. Matanya menyipit saat melihat wajah ibunya sembab. Terlihat sekali jika ibunya itu baru saja menangis. Hal ini membuat Maria menatap ke arah ayah tirinya dengan tidak suka. Kenapa lelaki brengsek itu selalu menyakiti ibunya?

"Bereskan semua baju-bajumu. Mulai besok, kau akan bekerja dan tinggal di rumah bos Ayah," kata Petra, menatap anak tirinya lugas tanpa ekspresi.

"Kenapa tiba-tiba?" tanya Maria. Dia mengerutkan dahi dengan heran.

"Jangan banyak bertanya dan menurutlah. Kau tak perlu tahu alasannya. Jika kau menolak, ibumu yang akan merasakan akibatnya!" hardik Petra mengancam.

Maria langsung menatap geram ayahnya itu, giginya bergemeletuk dengan tangan mulai mengepal. Selalu saja ibunya yang akan menjadi sasaran saat dia tidak mengikuti permintaan lelaki itu.

Sudah lama dia tidak menyukai ayah tirinya, karena dia selalu bersikap kasar padanya dan ibunya. Mungkin jika dengan dirinya, Maria akan menerima itu, tetapi tidak dengan ibunya. Sudah cukup dia melihat ibunya selalu disiksa oleh ayah tirinya.

Setelah terdiam beberapa saat mengatur napasnya untuk tetap tenang, akhirnya Maria pun mengangguk dengan pasrah.

"Sayang, aku mohon. Jangan lakukan ini pada Maria. Kasihan dia … dia tidak tahu siapa bosmu itu," protes Ibu Maria kembali menangis menatap suaminya penuh permohonan.

Hal ini membuat Maria menghela napas panjang, dia mulai mendekati wanita yang melahirkannya itu dan memeluknya. "Sudahlah, Bu, tak apa. Aku akan baik-baik saja, aku akan menuruti ucapan Ayah agar Ibu baik-baik saja," ucapnya lembut. Meskipun begitu, matanya melirik tajam ke arah ayah tirinya.

"Kau dengar kata anakmu? Jadi berhentilah menangis. Aku muak melihatnya!" hardik Petra membentak. Setelahnya dia berbalik pergi untuk meninggalkan dua wanita yang masih ada di ruang tamu tersebut.

"Jangan, Maria … biarkan Ibu saja yang menderita. Kau tidak tahu siapa bos ayahmu itu, dia orang yang kejam. Ibu tidak ingin kau kenapa-napa, Nak," tutur Ibu Maria menatap anaknya lekat.

"Tenanglah, Bu, aku berjanji akan baik-baik saja. Aku tidak ingin Ibu yang menderita. Jika dengan begini ayah tidak akan menyiksa Ibu lagi … aku akan sangat senang hati menurutinya," balas Maria, tersenyum begitu manis untuk menenangkan ibunya.

Ibu Maria masih menangis dan hal ini membuat Maria kembali memeluk erat. Dia dengan lembut mengusap pundak ibunya.

"Tidurlah, Bu. Ini sudah malam, tidak baik untuk kesehatan Ibu. Aku juga ingin tidur karena besok ada mata kuliah pagi," tutur Maria merangkul ibunya dan mengajak berdiri. Dia mengantarkan ibunya masuk ke kamar, meskipun wanita paruh baya itu terlihat enggan.

Setelahnya, Maria naik ke lantai atas berjalan menuju ke kamarnya. Begitu sampai, dia menyalakan lampu dan menutup pintunya lagi. Dia membuang asal-asalan tas ransel dan sepatu, lalu bergerak menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.

Maria hanya mandi dengan singkat. Hari yang sudah malam membuatnya tak tahan dengan suasana dingin. Begitu dia selesai, dia segera mengambil baju hangat untuk dipakai. Dia merebahkan tubuhnya di atas ranjang, menatap langit-langit kamar dengan pandangan kosong. Entah apa yang dipikirkannya.

Maria Edelweis, itulah namanya. Dia berusia 23 tahun ini. Wanita itu masih menempuh pendidikan s2 jurusan manajemen di salah satu universitas kotanya.

Dia merupakan anak dari Irina dan Daren Edelweis. Ayahnya dulu mempunyai perusahaan sendiri di bidang properti. Sedangkan ibunya menjadi wanita rumahan yang selalu menyiapkan segala kepentingan tentang keluarga.

Namun, sayang Daren Edelweis meninggal saat Maria berumur enam belas tahun. Dan satu tahun sejak kepergian sang ayah, ibunya menikah dengan mantan sekretaris ayahnya di perusahaan. Namanya Petra, yang juga seorang duda, dia mempunyai anak perempuan yang umurnya dibawah Maria, namanya Jesslyn.

Tahun pertama pernikahan ibunya berjalan dengan lancar dan baik-baik saja. Namun, di tahun kedua dan berikutnya, ayah tirinya itu selalu menyiksa sang ibu, bahkan lelaki itu tak segan menyiksanya juga jika kedapatan membantu.

Sikap Petra juga mulai berubah. Hanya Jesslyn yang dimanja, dituruti apa yang dimau. Sedangkan Maria harus bekerja sendiri untuk biaya pendidikannya. Padahal dia mempunyai perusahaan peninggalan ayahnya. Namun, sejak Petra yang mengelolanya, Maria dan ibunya tidak memiliki kuasa apa pun.

Maria memejamkan mata, terlalu lelah menghadapi kehidupannya. Meskipun di luar dia terlihat kuat, tetapi sebenarnya itu hanyalah topeng agar dia tidak terlihat lemah di hadapan orang lain.

***

Sinar matahari yang menerobos jendela membuat Maria bangun dari tidurnya. Melirik jam di nakas, seketika matanya membelalak menyadari hampir pukul delapan. Dia segera bangun dan beranjak ke kamar mandi dengan tergesa.

Dia keluar kamarnya dengan sedikit berlari menuju ruang makan. Ternyata, di sana sudah ada keluarganya yang sedang berkumpul untuk sarapan. Maria mendekat, meminum susunya dengan cepat, bahkan masih dengan posisi berdiri.

"Duduklah, tidak baik minum dengan berdiri," tutur Irina memperingatkan.

"Aku sedang terburu-buru, Ibu," tutur Maria meletakkan gelas kosongnya. Menyahut sebuah roti yang tersedia di piring, lalu berjalan tergesa keluar dari sana.

"Jangan pulang terlambat, hari ini kau ada urusan dengan ayah!" teriak Petra saat melihat anak tirinya hampir tidak terlihat.

"Oke!" balas Maria yang juga ikut berteriak.

"Aku juga akan berangkat sekarang." Tiba-tiba Jesslyn menyela, wajahnya begitu datar saat mulai berdiri dan mengambil tas.

"Berhati-hatilah," balas Petra singkat, tetapi dengan senyuman.

Namun, belum sempat pergi Jesslyn mendekati sang ayah. Wanita yang masih duduk di bangku High School itu mulai merengek, "Ayah, uang Jesslyn sudah habis. Bisakah Ayah memberiku kartu kredit? Aku ada tugas sekolah penting hari ini."

"Pergilah, nanti akan Ayah kirimkan," kata Petra mengangguk.

Jesslyn tersenyum senang. Dia mengecup singkat pipi Petra, lalu berjalan keluar sambil menghiraukan ibu tirinya.

Setelah kepergian anak-anak, ruangan itu menjadi hening. Hanya ada sepasang suami istri yang bahkan enggan untuk bicara, terlihat seperti sedang bertengkar.

"Bisakah jangan terlalu memanjakan Jesslyn?" sindir Irina memecah keheningan.

"Jangan terlalu ikut campur urusanku, Irina. Masih baik aku tetap membiarkanmu dan anakmu tinggal di sini!" hardik Petra kesal, sambil membanting alat makannya ke piring. Lelaki paruh baya itu berdiri begitu saja, lalu meninggalkan istrinya dengan raut wajah yang marah.

Sedangkan Irina hanya bisa menangis. Dia benar-benar merasa menyesal. Keputusannya dulu saat ingin menyelamatkan perusahaan mendiang suaminya malah berujung petaka bagi kehidupan anaknya dan dirinya.

***

Maria yang terburu-buru karena sudah telat jam mata kuliah, mulai melajukan motor dengan kecepatan tinggi. Bahkan saat dia melihat lampu lalu lintas akan berubah warna merah, bukannya memelankan laju motornya, dia malah secepat mungkin menarik gas agar tidak ketinggalan waktu.

Namun, naas di persimpangan jalan ternyata ada mobil yang melaju dari arah kanan yang membuatnya tak bisa menghindar. Maria berakhir jatuh berguling di aspal setelah menyerempet mobil itu.

Untung saja itu tidak berdampak parah. Maria masih bisa sadar dan dia mulai bangun. Dia meringis saat merasakan tubuhnya terasa remuk redam. Desahan kecil lolos menyadari tubuhnya lecet di beberapa bagian.

Seseorang keluar dari mobil yang diserempet Maria, dia terlihat marah saat tahu mobilnya tergores. Lelaki itu mendekati Maria dengan tergesa dengan sebelah tangan bertolak pinggang, sedangkan tangan lainnya menyugar rambut dengan kasar.

"Apa kau tidak punya mata, hah? Kenapa seenaknya saja menyerobot lalu lintas? Apa kau ingin dilaporkan ke polisi? Sialan! Aku tidak mau tahu, kau harus ganti rugi untuk kerusakan mobilku!" hardik lelaki itu menatap tajam pada Maria.

"Aku akan ganti rugi, Tuan. Tapi bisakah kau memberiku alamatmu saja? Sungguh, aku sedang terburu-buru sekarang." Maria yang menyadari jika waktunya menipis, mulai menatap lelaki yang mobilnya diserempet dengan penuh permohonan.

"Cih, mencari alasan untuk kabur?!" cibir lelaki itu seolah tak percaya.

Hal ini membuat Maria segera membuka tasnya. Dia mengambil dompet dan mengeluarkan sesuatu dari sana. Dengan tergesa, dia menyerahkan barang tersebut pada lelaki di depannya. Masih dengan penuh permohonan dia mulai berkata, "Ini, kau bisa membawa kartu identitas dan teleponku. Tolong, aku benar-benar diburu waktu sekarang."

Karena lelaki itu merasa tengah menjadi sorotan, dia pun menerima barang yang diberikan oleh Maria. Dia melihat sekitar dengan helaan napas kasar, sebentar lagi pasti akan ada polisi ke sini jika ada yang melaporkan kecelakaan ini. Dia sungguh malas jika harus berurusan dengan polisi. Akhirnya dengan keterpaksaan, dia mulai memberikan kartu namanya pada wanita di depannya.

"Jika urusanmu sudah selesai, segeralah datang ke kantorku. Aku akan tetap menagih ganti rugi!" tegas lelaki itu dengan serius.

"Baiklah, terima kasih, Tuan. Aku akan datang nanti setelah jam kuliahku selesai," balas Maria tersenyum simpul. Setelahnya dia mulai berbalik, lalu mengendarai motornya dan berlalu dari sana.

Lelaki itu pun sama, bergerak masuk ke dalam mobil dan segera melajukannya. Sambil menyetir, dia melihat kartu nama yang ada di tangannya. Matanya melirik sekilas foto yang terpampang di identitas itu.

"Cantik … dan nama yang indah," gumamnya pelan, lalu kembali memfokuskan matanya ke jalanan. Dia mempercepat laju mobilnya untuk menuju kantor, mau bagaimanapun, dia juga tergesa-gesa pagi ini untuk menghadiri meeting.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status