Kandungan Maria sudah memasuki minggu ke-35, artinya tinggal menghitung hari Maria akan melahirkan. Hari ini Jake memutuskan untuk libur dan menemani Maria untuk mendekorasi kamar calon anak mereka. Karena sampai saat ini mereka belum tahu jenis kelamin anak mereka, jadi mereka mengisi kamar itu dengan warna netral.
Kamar yang dulu dipakai oleh Maria sekarang menjadi kamar calon anak mereka. Jaccob memutuskan merenovasi untuk memberikan pintu penghubung ke kamarnya.
"Kau tak boleh kelelahan Mary, biarkan aku saja yang membersihkan kamar ini. Kau duduk saja dan lihatlah!" perintah Jaccob.
Tapi ucapan itu tak dihiraukan Maria. Dia bahkan dengan senang hati merapikan satu-persatu baju kecil yang terlihat lucu baginya. Dia memisahkan di antara perlengkapan lainnya.
"Benar yang dikatakan Jaccob, Maria, lebih baik kau istirahat saja," ucap Illene yang ada di sana membantu mereka.
"Kalian tak bisa melarangku. Aku juga ingin menyiapkan keperluan anakku," u
*5 tahun kemudian. "Xavier, jangan berlari nak. Kau bisa terjatuh nanti." Illene berteriak panik melihat cucunya berlari ke sana-sini di taman. Dia sampai kewalahan mengejar Xavier. Maria yang baru saja keluar dari arah dapur itu tersenyum. Dia meletakkan nampan berisi teh hangat dan beberapa cemilan di meja. "Sudahlah Bu, nanti juga dia berhenti sendiri. Tak udah dikejar atau Ibu yang akan kelelahan nanti." ucap Maria. Illene menghela nafas lalu duduk menyusul Maria. Wanita yang rambutnya sudah beruban itu tampak ngos-ngosan. Dia mencoba menarik nafas perlahan lalu mengambil secangkir teh hangat dan meminumnya. Dia menyesapnya sebentar sebelum menatap ke arah Maria. "Ya, kau benar Maria. Astaga, dia sangat aktif sekali." keluhnya. Maria hanya terkekeh, dia melirik ke arah anak lelakinya yang sekarang berumur 4 tahun. Dia lalu mengusap perutnya, kali ini Maria hamil lagi dan usia kandungannya sudah menginjak 7 bulan
Seorang lelaki duduk dengan tangan menopang kepala. Dia menatap jengah pada lelaki yang duduk bersimpuh di lantai di hadapannya saat ini. Suasana begitu hening, ada dua orang lainnya di ruangan ini, tetapi jika tidak diberi kesempatan berbicara oleh lelaki yang berkuasa itu, mereka tidak berani membuka mulut. "Dengan cara apa aku membunuhmu?" sindir lelaki penguasa itu bertanya tentang kematian, seolah dialah dewa yang menentukan takdir. "Tolong ampuni saya, Tuan, saya berjanji tidak akan melakukan hal ini lagi." Petra, lelaki yang duduk bersimpuh di lantai itu tampak memelas dengan penuh permohonan. Berkali-kali dia bersujud pada lantai yang terasa dingin, membenturkan kepalanya berkali-kali dan mengabaikan rasa sakit. Lelaki penguasa itu tersenyum sinis, menatap Petra penuh ejekan sambil menaikkan salah satu alisnya. Dia merasa seperti melihat lelucon. Embusan napas panjang terdengar dari bibir lelaki penguasa tersebut, dengan malas dia mulai berucap, "Sekali khianat, suatu saat
Maria pulang telat karena restoran sedang ramai tadi. Ya, meskipun dia masih menjadi mahasiswa di sebuah universitas, tetapi dia juga bekerja part-time untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Dia memang anak orang yang berkecukupan, tetapi dia diperlakukan berbeda oleh ayahnya karena dia hanyalah anak tiri. Wanita itu sampai di rumah ketika hari mulai larut malam. Dia memarkirkan motor begitu saja di halaman, lalu berjalan masuk ke rumah. Dia mengira semua penghuni rumah sudah tertidur, tetapi ternyata salah. Saat membuka pintu dan masuk, dia melihat ayah dan ibunya sedang duduk di ruang tamu. Dahi Maria berkerut heran sambil melirik jam yang ada di tangannya. Dia tidak salah lihat dan ini sudah hampir setengah dua belas malam. Namun, kenapa orang tuanya belum tidur? pikir Maria penasaran. "Maria, kemarilah sebentar!" perintah ayah tiri Maria, melambaikan tangan dengan wajah yang begitu datar. Lelaki paruh baya itu menatap anak tirinya dengan wajah yang menahan kesal. Mau tak mau Mar
Maria berjalan tergesa memasuki kelasnya, dia bahkan tak menghiraukan makian orang yang ditabraknya. Tujuannya saat ini adalah kelasnya. Dia harus cepat-cepat masuk sebelum Miss Claire berada di tempat.Tapi langkahnya menjadi pelan tatkala dia melihat Miss Claire sudah di kelasnya. Dia menjadi ragu ingin masuk atau tidak, tapi akhirnya dia memutuskan untuk mengetuk pintu yang sedikit terbuka itu.Tok tok tok..Seisi kelas menoleh kearahnya termasuk dosennya itu. Maria hanya bisa tersenyum meringis, sahabatnya yang duduk paling pojok tertawa karena melihat kelakuan Maria. Gadis yang biasanya bar-bar takut pada sosok dosen killer yang selalu menurunkan nilai jika terjadi sesuatu kesalahan di matanya.Miss Claire, seorang wanita paruh baya dengan badan sedikit gempal. Rambut di atas bahu dan memakai kacamata itu menoleh ke arah pintu. Melihat salah satu mahasiswanya yang telat datang hampir setengah jam."Tidak sekalian membolos?" ucap Miss Claire ketus.
Setelah kepergian wanita itu Jaccob kembali mengerjakan beberapa dokumen yang harus dilihatnya. Dia terlihat fokus dengan lembaran-lembaran kertas di depannya itu.Tiba-tiba pintu ruangannya terbuka dan dia mengira itu adalah staf karyawan, membuatnya menjadi kesal."Tidak bisakah kau mengetuk pintu terlebih dulu," ucap Jake tanpa mengalihkan pandangannya."Haruskah aku keluar kembali dan izin untuk memasuki ruanganmu," ucap seorang lelaki yang tak kalah tampan dari Jaccob. Tingginya hampir setara dengan Jake, mempunyai dada bidang dan tangan yang terlihat berotot. Rambutnya yang sedikit panjang dikuncir sebagian.Jake mengalihkan pandangannya ketika mengenali suara ini, dia menatap Sean, salah satu sahabatnya selain Kenzo. Mereka dulu berkuliah di universitas yang sama, mengambil satu jurusan membuat mereka bertiga menjadi dekat dan memutuskan untuk berteman.Tapi Sean termasuk anak orang kaya. Dia sekarang mengambil alih perusahaan ayahnya dan m
Jaccob juga kaget melihat wanita yang saat ini berdiri di samping Petra. Dia mengulum senyum, ternyata keberuntungan jatuh kepadanya. Dia memang tertarik pada Maria saat di kantor tadi, tak disangka dia adalah hadiah yang dimaksud oleh Petra."Selamat malam Tuan," ucap Petra sedikit menunduk ketika Jaccob duduk di sofa tunggal di depannya.Jaccob hanya menganggukan kepalanya. Dia masih melihat ke arah depan, bukan ke Petra, melainkan Maria.Maria menyipitkan mata tatkala melihat tatapan Jaccob yang baginya sangat mesum itu. Tapi dia akan diam, menilai situasi terlebih dahulu."Jadi ini hadiah yang kau maksud? Menarik juga," ucap Jaccob tersenyum sinis."Ya Tuan, dia akan menjadi milik anda." ucap Petra.Maria segera menoleh ke arah ayahnya. Apa maksud perkataannya itu."Mulai sekarang, kau akan menjadi wanita milik Tuan Jaccob," ucap Petra yang melihat tatapan bertanya dari Maria itu."Apa maksudmu, kau hanya bilang aku akan bekerja di
Maria terbangun dari tidurnya ketika pintu kamarnya diketuk dari luar. Dia bangun perlahan, kapalanya masih terasa sakit. Meskipun dia minum sedikit tadi malam, tapi benturan saat Jake mendorongnya menambah rasa sakit di kepalanya.Dia membuka pintu yang terkunci itu, melihat Rose, pelayan rumah ini ada di depannya."Nona, segeralah turun. Tuan Jake sudah menunggu anda untuk sarapan." ucap Rose."Baiklah, aku akan bersiap-siap dahulu." ucap Maria.Dia menutup pintu lalu bergerak ke arah kamar mandi dan membersihkan dirinya. Dia masih ingat bagaimana semalam Jake menciumnya dan itu membuat dirinya risih.Tak ingin membuat sang bos barunya itu marah, Maria segera menyelesaikan mandinya, berjalan ke ruang ganti dan memakai pakaiannya sendiri, sebuah blouse putih panjang dengan tali di perut, dan sebuah celana jeans longgar. Dia tak selera memakai sebuah gaun. Bagaimana dia akan naik montornya nanti jika dia pakai rok?.Maria hanya memoles lipba
Wanita yang berada di pangkuan Jake itu panik, dia segera berdiri dan terlihat merapikan pakaiannya. Melihat wanita yang menatapnya tajam, wanita itu berpikir mungkin dia salah satu wanita bosnya itu. Dia tidak ingin mencari masalah, dia hanyalah karyawan kecil di perusahaan ini, akhirnya dia pamit dan berjalan keluar dengan tergesa-gesa.Jake terlihat santai, dia menyenderkan tubuhnya dan melihat ke arah Maria yang bersedekap tangan masih memandangnya. Jake mengangkat sebelah alisnya tanpa mengatakan apapun.Maria berjalan mendekat dan langsung duduk di kursi yang ada di depan meja Jake, dia ikut menyenderkan badannya dan bersedekap."Kau menyuruhku kesini cepat-cepat hanya untuk melihatmu bercumbu?" tanya Maria ketus."Jika kau ingin dicumbu bilang saja, tidak usah berlagak cemburu seperti itu," kata Jake masih menatap Maria.Maria menganga mendengar ucapan bosnya itu, bagaimana bisa dia berpikir begitu."Cih, sudahlah. Itu tak penting, sekarang