Tas dan sepatu yang terlempar asal itu membuktikan jika pemiliknya sedang tidak dalam mood yang baik sekarang. Bianca juga melepas jaket dan celana panjang yang ia pakai dengan kesal. Kemudian berjalan ke kamar mandi, mengguyur tubuhnya dengan air yang dingin.
Wanita itu menghela napas. Lelah, marah, sekaligus kesal. Semuanya bercampur jadi satu di dalam diri Bianca. Membuat wanita itu menjambak rambutnya frustasi.Ini sungguh hari yang buruk.Dipecat dan tak ada pria yang menggunakannya adalah kombinasi memuakkan bagi Bianca. Hanya tersisa dua hari bagi wanita itu untuk mengumpulkan uang.Bianca jatuh terduduk di atas lantai kamar mandi yang dingin. Menangis tanpa suara, merutuki kehidupannya yang sangat mencekik.Sepuluh tahun lalu dirinya masih bisa bahagia karena orang tuanya masih ada. Tetapi sekarang, ia bahkan tak tahu harus bersandar ke mana. Ayahnya meninggalkan hutang yang sangat banyak sebelum meninggal, membuat Bianca sel"Sudah mulai putus asa?" Bianca langsung memalingkan wajah mendapat pertanyaan seperti itu. Kendati yang dikatakan Ravindra benar, tetapi dirinya masih enggan mengakuinya. Bianca merasa malu karena sudah menjilat ludah sendiri. Namun, keadaan sungguh mendesaknya sekarang. Ia membutuhkan uang dengan cepat. Ravindra menenggelamkan kedua tangannya pada saku celana dengan pandangan menyorot ke lantai bawah. "Apa ada sesuatu yang mendesak?" Ravindra melirik Bianca dengan sudut mata, mencoba meneliti ekspresi wajah wanita cantik di sebelahnya. Tanpa sadar kedua sudut bibirnya tertarik, membentuk satu senyum tipis. Ravindra selalu senang saat dirinya bisa sedekat ini dengan Bianca. Wanita itu jauh lebih sexy dan cantik setelah tidak ia temui beberapa hari. "Jangan sungkan untuk bilang. Tawaranku masih sama," ujar Ravindra. Seakan menegaskan kalau dirinya masih menginginkan Bianca. Bianca memainkan lidah di dala
Kebanyakan saat bermain dengan seorang pria, Bianca menjadi wanita yang mengendalikan. Selalu menjadi orang yang memulai adalah keahlian Bianca. Wanita itu tidak pernah membiarkan dirinya dikuasai meski dirinya lah pihak yang dibayar. Namun, kali ini dia tidak diberi kesempatan. Ravindra begitu dominan dengan gayanya yang agresif. Pria itu melumatnya dengan brutal dan penuh tuntunan, tetapi Bianca masih bisa menikmatinya. Bianca mengumpat dalam hati, ciuman seorang Ravindra sangat memabukkan. Hanya dengan lidahnya saja bagian bawahnya sudah gatal dan basah. Bianca tidak menyangka kalau Ravindra akan sehebat ini. "Rav," lirih Bianca ketika bibir Ravindra menyapu leher mulus si wanita. "Hm?" Ravindra benar-benar menikmati kulit mulus Bianca dengan bibirnya yang hangat dan lembut. Kedua tangannya sudah melingkar di pinggang Bianca, menarik tubuh ramping itu semakin mendekat padanya. Ravindra berpindah kembali pada bibir Bianca yang sexy
Mendengar ucapan Ravindra tidak membuat Bianca lebih baik. Wanita itu justru merasa semakin kesal. Perkataan Ravindra seolah hanya untuk meyakinkan kalau memang bukan karena alasan itu dia berhenti. Tidak mau melakukan itu sebelum memiliki? Bullshit! Bianca tahu pasti Ravindra tadi begitu menginginkannya. Namun, karena sudah terlanjur kesal, Bianca mendorong bahu Ravindra menjauh. Ia memakai pakaiannya sendiri dan berniat untuk keluar dari kamar itu sebelum Ravindra menghalangi jalannya. "Kamu marah?" "Engga!" "Kamu kelihatan marah." "Itu bukan urusan lo," balas Bianca ketus. "Tutupin tuh burung lo," katanya menunjuk bagian diri Ravindra yang memang masih berdiri tegak. Bianca semakin tak mengerti dengan Ravindra yang menurutnya sangat munafik. Terlihat menginginkan tetapi enggan meraih padahal kesempatan sudah ada di depan mata. Bianca berdecih sebelum ia benar-benar pergi. Ravindra menghela
Bianca membanting pintu kamarnya dengan keras. Tubuhnya langsung ia hempaskan ke atas ranjangnya yang sempit. Dengan badan menelungkup, Bianca mulai terisak pelan. Merenungi nasibnya yang memang tidak pernah baik sejak dulu.Tidak ada tempat yang bisa dia jadikan bersandar kalau sedang kalut seperti ini. Dirinya tidak terlalu dekat dengan Sarah dan juga tidak mau menceritakan hal seperti ini pada sahabat dekatnya, Mila. Bianca khawatir Mila akan sangat khawatir padanya nanti.Selama ini Bianca merasa sudah sangat merepotkan sahabatnya itu. Karenanya Bianca merasa enggan jika ingin meminta tolong.Getaran yang ia rasakan di saku jaket membuat Bianca merubah posisinya menjadi duduk. Tangannya mengusap kasar air mata yang masih belum berhenti mengalir. Melihat pesan masuk dari nama Ravindra membuat Bianca langsung melempar ponselnya asal tanpa berniat membaca lebih dulu."Sialan, gue kesel banget," gerutunya sembari terisak.Tidak hanya kesal, tetapi
Bianca menggigit jari ketika dirinya sama sekali tidak mendapatkan satu pun pelanggan di Club. Padahal ia sudah berpakaian lebih terbuka dari biasanya. Sengaja agar para lelaki tidak mampu menolak. Namun, kenyataannya sama saja. Meski dirinya sudah mondar-mandir ke seluruh sudut Club pun, Bianca tetap diabaikan. Ia sangat malu. Sekarang dia pasti sudah menjadi bahan olok-olokan para wanita lain. "Bi, ada yang nyari." Bianca menegakkan tubuh, menatap Sarah dengan wajah sedikit senang. "Siapa? Tua apa masih muda?" Sarah yang mengerti maksud Bianca langsung menatap prihatin. Wanita berusia empat puluhan itu menggeleng. "Bukan pelanggan, tapi preman di luar sana." *** "Mana uangnya?" Kali ini tidak hanya empat, tapi hampir sepuluh orang yang berada di sekeliling Bianca. Bohong kalau wanita itu tidak merasa takut. Bianca hanya pura-pura terlihat tidak terpengaruh sama sekali dengan jumlah mereka, meski sebenarnya jantungnya berdetak dengan cepat. "Beri waktu lagi lah kalian ini. La
Karena Bianca tidak kunjung menghubungi dirinya, dengan tidak sabar Ravindra mendatangi kembali rumah wanita itu. Wajah tampannya masih terlihat menawan meski seharian sudah sibuk bekerja. Dengan langkah pasti, Ravindra masuk ke dalam pekarangan rumah Bianca. Tangannya mengetuk pintu dua kali. Kemudian mengulanginya lagi setelah ia tidak mendapatkan jawaban apapun. Ravindra menjilat bibir bawahnya, menurut sekretarisnya Bianca sudah ada di rumah. Jadi, tidak mungkin wanita itu tidak mendengar suara ketukan pintunya, kan? Ravindra melihat jam yang melingkar di lengan kirinya. Sudah pukul sembilan malam, satu jam lagi rombongan Panji pastinya akan datang menagih. Apakah Bianca bersembunyi? "Bianca?" Ravindra kembali mengetuk pintu. "Bianca? Ini aku, Ravindra." Masih tidak ada jawaban. Namun, kali ini ketika Ravindra akan mengetuk, pintu sudah terbuka. Mata tajam Ravindra langsung bertabrakan dengan netra putus asa Bianca. "Ravindra?" Bianca melangkah mundur, membiarkan Ravindra m
Bianca menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang. Tangannya meraih bantal untuk menutupi wajah. Rasanya ia ingin menjerit sekarang juga. Bianca lega karena dia sudah tidak memiliki hutang, namun juga berdebar karena dia sekarang adalah milik Ravindra. Ia tidak pernah menyangka jika akan melunasi hutang hanya dengan menjadi simpanan Ravindra. Kalau sudah seperti ini, rasanya Bianca ingin meluapkan kemarahan pada orang tuanya. Bisa-bisanya mereka meninggalkan hutang pada anak perempuan mereka. Bianca menyingkirkan bantal dari wajahnya. Ravindra sudah pulang setengah jam yang lalu. Tapi, kenapa bau parfum lelaki itu masih tercium? "Gue mau gila kayaknya," geram Bianca kesal. Wanita itu melepas pakaian yang melekat pada tubuhnya, kemudian berjalan ke arah kamar mandi. Berharap air dingin bisa mendinginkan kepalanya juga. *** "What? Kenapa lo nggak minta tolong sama gue, sih?" Mila menepuk lengan Bianca cukup keras. Merasa kesal karena Bianca tidak meminta tolong padanya terkait hutang.
Mila langsung meringis ketika melihat lirikan sinis dari Ravindra. Wanita itu mengibaskan tangan di depan wajah. "Bercanda, gue udah ada suami." Bianca melengos, kemudian menatap tajam pada Ravindra. "Lo jangan keseringan ke sini. Tetangga gue banyak bacot soalnya, entar yang ada gue digosipin yang aneh-aneh." Lelaki dengan setelan rapi itu memilih mendudukkan dirinya di sofa. Menatap lembut pada Bianca yang masih berdiri. Meski Ravindra tahu kalau Bianca belum mandi, tapi dia masih berpikir wanita itu cantik. "Kamu bisa tidur semalam?" Mengabaikan pertanyaan Bianca, Ravindra justru menanyakan hal yang lain. Membuat Mila mengerutkan dahi tidak suka. Lupakan wajah tampan Ravindra, Mila sudah tahu kalau lelaki muda ini begitu selfish dan keras kepala. Mila bisa melihat dari attitude-nya yang sama sekali nggak ada ramah-ramahnya. "Jelas dia nggak bisa tidur, lah. Keluar dari kandang macan masuk kandang buaya," sinis Mila. Wanita cantik itu kemudian berdiri di sebelah Bianca. "Awas k