Steven menyuruh para petugas keamanan bubar dan ia menggiring Louis untuk ikut bersamanya.
“Aku tidak ingin membuang waktuku hanya dengan duduk-duduk bersamamu. Aku ingin Jeni sekarang.”
Steven tersenyum mengejek, “Untuk apa lagi kamu mencari Jeni? Apa kamu tidak puas sudah membuatnya sangat menderita ha?”
“Dia istriku Stev, kamu tidak tahu apa-apa tentangnya.”
“Aku lebih tahu semuanya, bahkan harusnya kamu berterimakasih padaku. Kalau saat itu aku tidak datang tepat waktu, Jeni pasti sudah tidak bisa selamat.”
Louis mendesis geram.
“Baiklah, aku mengaku salah. Tapi tolong kembalikan Jeni padaku, aku mohon padamu Stev.” Louis memohon, tentu saja semua ini demi jabatannya di Saloka Group.
“Tidak!”
Louis membeliak, ia tidak menyangka Steven akan begitu posesive pada perempuan yang masih menyandang sebagai istri sahnya.
“Dia istriku!”
“Steven, stop! Aku memang salah karena memang dari awal aku belum siap bertanggung jawab dan menikah di usiaku yang sekarang, tapi bukan berarti kamu bisa menekan Mami dan Papi seenak kamu.”Steven menyeringai, menarik salah satu alisnya ke atas.“Bukannya yang aku katakan tadi sudah jelas? Aku juga memberikan banyak pilihan, aku rasa dengan jabatanmu sebagai Dirut Saloka Group sekarang harusnya kamu bisa lebih bijak menyikapi masalah ini.”Louis menatap Steven dengan penuh amarah, ia mengepalkan tinjunya dengan erat dan rasanya ia ingin memukul Steven tanpa ampun.“Baiklah, tolong jangan bertengkar. Saya setuju dengan permintaan kamu Stev, asal kamu bisa tutup mulut sehingga itu tidak akan menghalangi jalan saya untuk maju sebagai gubernur. Lagipula anak Jeni juga keturunan Saloka, dia berhak mendapatkannya.”Monica dan Louis tercengang.“Saya setuju dengan pemikiran Om dan karena syarat saya telah
Entah apa yang ada dalam benak Jeni, tiba-tiba saja terbersit pertanyaan konyol yang membuat dirinya seketika malu dan cepat-cepat meralatnya.“Abaikan saja, pikiranku sedang kacau.”Steven dengan santai menanggapinya ,”Memangnya kamu ingin hubungan kita lebih dari sahabat?”Jeni tersipu malu sehingga memalingkan wajahnya.“Bagaimana kalau aku melamarmu begitu kamu bercerai nanti, apakah akan diterima? Atau aku akan kembali bertepuk sebelah tangan lagi?”Jeni benar-benar gugup, namun ia akui hatinya begitu senang.“Aku rasa hanya wanita bodoh saja yang akan menolakmu dua kali,” balasnya.Steven tersenyum dengan binar bahagia di wajahnya, “Jadi?”“Aku pasti akan menerimamu Stev,” balas Jeni tanpa ragu sedikitpun dan ia menatap Steven lekat-lekat.Ia hanya ingin bahagia dan menurutnya hanya Steven yang mampu membahagiakannya saat ini.“Ter
“Gausah ngebela Jeni deh Tan, kami tahu kalian bersahabat. Memangnya siapa suami Jeni?”Tania yang merupakan admin di grup itu kemudian menambahkan nomor seseorang.“Kenapa Tania begitu nekat?” Batin Jeni.Tak lama kemudian seseorang yang baru saja ditambahkan itu mengetik, hal itu membuat Jeni semakin deg-degan karena dia yakin seseorang yang ditambahkan itu adalah nomor Louis. Jeni masih hafal nomor belakangnya, meski ia sekarang sudah tidak menyimpan dan bahkan memblokir nomor Louis.“Aku suaminya Jeni dan kami sudah menikah beberapa bulan lalu. Jadi stop bully Jeni, atau kalian semua akan gagal skripsi. -Louis-Karena mereka semua tahu ayah Louis sangat berpengaruh di kampus, maka mereka semua diam dan tak berani membantah apapun lagi.Jeni merasa sangat lega dan ia tersenyum senang. Meski beberapa hari ia sangat membenci Louis, namun ia tidak menyangka Louis akan membelanya dan membungkam semua temannya di
Steven menggendong Jeni dan memindahkannya ke tempat tidur agar Jeni lebih nyaman. Setelahnya Steven memeriksa ponsel Jeni dan beberapa pesan dari Tamara juga Tania yang mengirim pesan untuk menguatkannya.Steven jadi semakin penasaran sehingga ia menghubungi mereka melalui ponselnya.“Lagi-lagi kamu Louis, kapan kamu akan berhenti mengganggu Jeni?” Gumam Steven setelah mengetahui semuanya.Steven jadi merasa sangat kasihan pada Jeni dan tidak sabar menunggu Louis menceraikan Jeni agar dirinya bisa maju sebagai pengganti Louis.***Tiga bulan berlalu dengan begitu cepat. Usia kandungan Jeni sekarang sudah menginjak sembilan bulan, hal itu membuat dirinya sangat was-was, apalagi kata dokter HPL Jeni tinggal dua minggu lagi.Jeni yang saat ini sedang menikmati segelas susu di balkon apartemennya sambil menikmati segelas susu hangat, tiba-tiba terbersit pikiran untuk menghubungi ibunya lagi, Jeni ingin sekali nanti pada saat lahiran
Jeni menatap Steven dan mengisyaratkan melalui matanya untuk menggendong bayinya dan mengazaninya.Steven kemudian mengangguk lalu menerima bayi itu dari gendongan suster, pada saat itu perasaan Steven campur aduk, perasaannya menjadi sangat emosional saat melihat bayi mungil yang begitu cantik itu, Steven menatapnya penuh haru hingga air matanya kembali berderai pelan, setelahnya ia menyeka air matanya dan kemudian mulai mendekatkan bayi itu ke dalam mulutnya lalu mengazaninya.Mendengar Steven mengazani bayinya, Jeni ikut menitihkan air mata, ia teringat Louis yang sama sekali tidak peduli padanya juga bayi tak berdosa itu. Hal itu membuat hati Jeni menjadi sesak dan kembali sakit luar biasa.“Apa kamu sudah punya nama untuknya?” tanya Steven setelah selesai mengazani bayi Jeni.“Sudah, namanya Aluna Janitra.”“Nama yang bagus, sesuai dengan wajahnya yang begitu cantik,” puji Steven sambil kembali mengecup pipi
Jeni terbangun saat hari sudah siang, ia sangat terkejut begitu melihat ranjang bayi besar berada di kamarnya dengan Aluna yang tertidur nyenyak di dalamnya karena ranjangnya bisa otomatis mengayun sendiri dengan alunan musik dan mainan di atasnya.“Kapan kamu belinya Stev?”“Aku menyuruh asistenku, agar kamu tidak begadang terus kalau malam. Ranjang ini juga bisa kamu dekatkan ke sampingmu dan kamu buka bagian sampingnya agar kamu dan Aluna seperti satu ranjang, memudahkan kamu kalau malam mau menyusui dia.”Jeni mengembangkan senyuman di wajahnya, rasanya ia semakin jatuh cinta pada Steven yang selalu baik padanya.“Terimakasih uncle Steven yang baik,” ujarnya senang.Steven ikut tersenyum dan ia merasa gemas dengan Jeni. Ia mengacak-ngacak puncak rambut Jeni pelan.“Ayo sekarang makan siang, aku sudah memesan makanan untukmu.”“Wah, kebetulan sekali aku sangat lapar Stev, hari i
“Bagus, jadilah suami yang baik, Louis!” Ujar Aditya Saloka sambil menepuk pundak Louis.Ia pun pergi setelah mengatakan itu.“Shit!” Louis menggebrak meja kerjanya dengan penuh amarah.Susah payah ia beberapa hari ini mengurus surat perceraiannya dengan Jeni dan sekarang ia harus datang meminta maaf hanya gara-gara Papinya.Louis rasanya tidak terima, tapi tidak ada yang bisa dilakukannya karena semuanya adalah milik papinya dan selama ini Louis hanyalah menikmati hidup hasil kerja keras Papinya sejak dulu, maka ia dengan terpaksa bangkit dari duduknya dan menyambar kunci mobil, Louis akan menemui Jeni hari ini juga.Tiba di Victory Apartemen, Louis yang merupakan tamu daftar hitam langsung dicegat oleh petugas keamanan.“Saya sudah ada janji dengan Jeni dan Steven.”“Kami tidak percaya, kami akan konfirmasi dulu kepada Pak Steven.”“Ya, silahkan!” balas Louis santai
“Jadi benar begitu Louis?” Tanya Jeni dengan suara yang lantang, ia benar-benar kecewa.Louis menggeleng dan membela diri, “Itu tidak benar Jen, aku ke sini murni karena ingin bertemu dengan baby dan minta maaf padamu.”“Bohong! Lebih baik kamu pergi sekarang. Aluna tidak butuh ayah sepertimu.” Bentak Jeni murka.Ia kemudian menghampiri Louis dan mendorong tubuhnya agar segera pergi dari unit apartemennya. Jeni sudah sangat muak dengan semua tipu daya Louis.Louis pasrah saja dan ia merasa sangat bersalah, akhirnya ia memilih untuk pergi dari unit apartemen Jeni dengan tatapan mengancam ke arah Steven.Begitu Louis pergi, Jeni membanting pintunya dengan kasar dan ia menjatuhkan dirinya di sofa dengan wajah yang menunduk dan kedua tangan yang ia gunakan untuk menutupi wajahnya, hatinya sangat kacau.“Jen, lupakan Louis!” Ujar Steven yang ikut duduk di samping Jeni, menenangkannya.Jeni me