Louis tertegun sesaat, mana mungkin ia akan segera memberi tanda pada hubungannya dengan Renata, semantara ia masih belum memikirkan jalan keluar hubungannya dengan Jeni.
“Kenapa kamu diam Louis, apa kamu tidak ingin segera bertunangan dan menikah denganku?”
Lagi-lagi Louis hanya menampilkan seulas senyuman manis di wajah bulenya yang sangat tampan.
“Aku akan memikirkannya, lagipula aku juga harus membicarakan hal ini terlebih dulu pada orangtuaku,” kilahnya.
“Baik, aku akan menunggunya.” Ujar Renata senang sambil mengalungkan tangannya pada leher jenjang Louis.
“Apa kamu tidak ingin memasak sesuatu untukku? Aku sangat lapar.”
Renata terkekeh pelan, lalu menggandeng lengan Louis dan mengajaknya ke dapur. Louis hanya menurut, padahal itu hanya alasannya saja agar Renata tidak terus-terusan membuatnya terpojok.
Meskipun begitu, Louis memang sangat menyukai masakan Renata, apapun yang dimasak oleh tangannya selalu lezat dan sangat diterima oleh lidah Louis yang pemilih.
Renata memang paket komplit di mata kaum Adam, selain cantik ia juga sangat lihai memasak, beberapa kejuaraan memasak telah diraihnya dengan mudah sejak beberapa tahun terakhir, bahkan ia sampai membuat chanel sendiri yang berkaitan dengan dunia memasak.
“This is special for you, semoga kamu menyukainya.”
Renata menyerahkan sepiring nasi goreng ebi kesukaan Louis, aromanya langsung menguar hingga membuat Louis bersemangat untuk mencobanya.
“Thanks Re, ini sangat lezat,” puji Louis.
Renata tersenyum puas, lalu duduk di samping Louis untuk menemaninya makan siang.
Sementara di jam yang sama, di tempat yang berbeda, Jeni berdiri lemah di depan cermin wastafel sambil menangisi nasibnya.
Ia sangat merindukan Louis dan menginginkan Louis ada untuknya saat ini, ia baru saja muntah untuk kesekian kalinya, padahal ia hanya meneguk segelas air putih.
Jeni menjerit pelan menangis di dalam kamar mandi. Rasanya ia ingin memukuli perutnya dan melenyapkan makhluk kecil yang sedang tumbuh di dalam rahimnya.
Namun entah kenapa tangannya tak kuasa untuk menyakiti makhluk kecil tak berdosa itu.
“Louis,” erangnya marah.
Jeni merasa sangat bodoh telah menaruh kepercayaan yang begitu dalam pada Louis sampai ia menyerahkan mahkotanya.
Ia menyesal hingga tangisannya semakin meraung-raung.
Detik itu juga, perutnya terasa sangat sakit. Ia segera sadar bahwa kesedihannya yang berlebihan itu menyakiti janinnya.
Maka Jeni menghentikan tangisannya seketika, lalu keluar dari kamar mandi.
Jeni terduduk lemas di sofa, saat ini ia hanya sendirian di kamar seluas itu, suster baru saja pergi karena Jeni yang menolak untuk ditemani.
Mata Jeni tak berhenti memandang handphonenya yang tergeletak di meja, ingin sekali ia menyuruh Louis ke sini, ditemani dan dipedulikan meski hanya sesaat saja.
Jeni menghela nafas, entah kenapa ia ingin sekali menghubungi Louis, jadi diambilnya handphone itu dan ia mencoba menghubungi Louis.
Sayang, seperti biasa Louis mengabaikannya dan tidak menjawab satupun panggilan darinya.
“Bodoh,” umpatnya sendiri.
Jeni lalu menyeringai, menertawakan dirinya sendiri lalu setelah itu ia berubah menangis terisak.
Sungguh ia merasa seperti orang gila sekarang.
Jeni lelah, maka ia kemudian merangkak ke tempat tidur. Ia ingin mengistirahatkan hati dan raganya meski hanya sesaat.
Saat ia bangun, hari sudah sore namun Steven belum juga datang menjenguk Jeni lagi. Sementara Jeni mulai sangat bosan berada di ruang VVIP itu, meskipun fasilitasnya sangat lengkap, tapi tetap saja Jeni begitu merindukan kamar kos kecilnya yang begitu nyaman.
Sementara suster yang beberapa kali diusir oleh Jeni, tetap saja muncul dan menawari Jeni makanan, Jeni belum menelan makanan apapun, ia takut muntah lagi, Jeni tidak mau itu terjadi, itu seperti sebuah hukuman baginya, bolak-balik ke kamar mandi hanya untuk muntah.
Padahal suster sebenarnya menawarkan Jeni agar muntah di tempat tidur dengan wadah khusus, tapi Jeni menolak.
“Aku akan memencet bel ini jika aku membutuhkanmu sus, terimakasih untuk pelayanan yang sangat baik,” ujar Jeni.
Lagi-lagi ia mengusir suster saat selesai disuntik, ia benar-benar tidak ingin ditemani padahal Steven yang menyuruh suster itu.
Pikiran Jeni sangat kacau.
Sial, Jeni jadi tak bisa lepas memikirkan Louis.
Tak lama kemudian Steven masuk ke ruangan Jeni, membawakan sebuah martabak coklat kesukaannya.
“Suster bilang kamu tidak makan sedikitpun.”
Jeni hanya mengangguk.
“Ayo makanlah sedikit, aku tahu kamu sangat menyukai ini kan? Kasihan dia.”
Lagi-lagi Steven mengingatkan bahwa ada makhluk kecil yang sedang tumbuh di dalam rahim Jeni, membuat Jeni seketika luluh karena ia tahu tidak boleh egois memikirkan kesakitannya sendiri.
Itu sudah resiko yang harus ia tanggung saat ini, seharusnya ia sudah memikirkan semuanya sebelum berbuat hal semacam itu dengan Louis.
Jeni akhirnya mengangguk, lalu membuka mulutnya perlahan. Steven tersenyum begitu manis padanya, ia begitu gemas dengan ekspresi Jeni saat ia menyuapinya.
“Kenapa kamu melihatku seperti itu Stev?”
“Tidak, aku hanya senang akhirnya kamu mau makan.”
Jeni tersenyum tipis, lagi dan lagi ia membayangkan bahwa Steven adalah Louis. Pasti ia tidak akan keberatan walau ia harus melewati perubahan hormonal yang baginya seperti sebuah siksaan, tapi sayangnya kenyataan tidak semanis itu.
“Kapan aku bisa pulang Stev? Aku sangat bosan di sini.”
Steven menautkan alisnya, lalu mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan dengan fasilitas pendukung yang sangat lengkap itu. Namun ia segera paham, bagaimanapun ruangan ini tetaplah ruang perawatan untuk orang sakit.
“Apa kamu sudah merasa lebih baik?”
Jeni mengangguk sambil meraih sendiri martabak manis dari kotak yang diletakkan Steven di meja yang ada di dekatnya.
“Kalau begitu besok aku akan mengantarmu pulang.”
“Kenapa tidak sekarang?” tanya Jeni merajuk.
Steven terdiam, rencananya untuk memberi surprise Jeni belum sepenuhnya sempurna, jadi ia harus memikirkan cara untuk menunda kepulangan Jeni.
“Emm, aku harus konsultasi dulu kepada Dokter Riska, dan beliau masih ada di luar kota.”
“Baiklah,” ujar Jeni pasrah.
“Aku janji akan menemanimu di sini.”
Jeni hanya tersenyum datar, bukan Steven yang ia harapkan.
“Apa aku tidak merepotkanmu? Aku tidak apa-apa sendirian di sini Stev, besok pagi kamu juga harus bekerja.”
Steven tertawa.
“Aku bekerja di perusahaan di bawah kepemimpinanku sendiri, aku yang mengatur. Lagipula aku memiliki asisten dan sekretaris yang siap membackup kapanpun. Aku rasa jika aku libur sehari saja tidak akan membuat perusahaan bangkrut,” goda Steven.
Jeni mengernyitkan dahinya.
“Bukannya kamu bekerja di perusahaan milik Om kamu?”
“Ya, tapi aku yang menghandle semua anak perusahaan di bawahnya.”
Jeni manggut-manggut, ia mengakui kehebatan Steven yang sudah terjun di dunia bisnis dan menghandle beberapa anak perusahaan milik ayah Louis.
Sementara Louis masih belum mandiri dan berkutat pada kuliahnya yang belum juga selesai.
“Kenapa aku baru mengenalnya sekarang?” batin Jeni.
Diam-diam Jeni jadi semakin mengagumi Steven yang cerdas, mandiri juga romantis. Tapi entah kenapa ia sulit mengganti Louis dengan laki-laki menyerupai malaikat seperti dia. Bodoh, Jeni terus mengumpat dirinya sendiri.“Kenapa kamu memandangku seperti itu?”Jeni menggeleng, tentu saja ia tidak akan mengaku bahwa ia mulai mengagumi Steven.“Mata kamu sembab, apa kamu menangis lagi?” Selidik Steven.Jeni mengangguk pelan.“Tapi, aku menangis karena aku lelah muntah terus,” kilahnya.“Sabar ya, jangan mengeluh. Kasihan dia.”Jeni berkaca-kaca saat Steven menyebut kata 'dia' dengan nada yang begitu lembut. Terlihat sekali bahwa Steven orang yang sangat penyayang. Jeni lalu mengangguk dan mengusap air matanya.“Kenapa menangis lagi?”“Andai aku bisa, aku ingin sekali mencintaimu Stev, tapi...”Jeni semakin terisak, ia tahu andai ia mencintai Steven
Jeni terpaksa mengatakan itu, padahal ia hanya ingin tahu reaksi Louis. Kalaupun Louis justru memang mendukungnya, ia pun tidak akan tega membunuhnya, tentu saja Steven pasti akan membencinya.“Apa yang terjadi denganmu Jeni, bukankah kamu masih sangat mencintaiku?”“Tidak penting, apa kamu menginginkannya?” cecar Jeni.Louis masih terdiam.“Ya, aku menginginkannya. Tolong jangan membunuhnya,” tegas Louis.Entah kenapa Jeni seperti mendapat kiriman hawa segar dari balik handphonenya, ia tersenyum haru. Jeni tidak menyangka Louis menginginkannya.“Lalu kenapa kamu tidak datang menemuiku Louis? aku... aku sangat merindukanmu.”Kalimat itu akhirnya meluncur juga dari mulut Jeni, seharian ini ia begitu tersiksa menahan rasa rindunya kepada Louis.“Aku pasti akan datang menemuimu.”“Kapan?”“Besok, di hari ulang tahunmu. Aku tidak pernah melu
“Grande Apartemen?” Tanya Jeni heran sambil melirik ke arah Steven dengan murung.Steven tak peduli, ia segera turun dari mobilnya, berbeda dengan Jeni yang masih duduk diam di mobil, ia enggan turun. Jeni berpikir negatif tentang Steven.Steven mengernyitkan dahi saat beberapa menit menunggu Jeni yang masih anteng di dalam mobilnya hingga ia mengetuk jendela mobilnya sendiri agar Jeni segera turun, tapi pikiran Jeni sudah mengembara kemana-mana, berpikir negatif, ia trauma dengan kejadian beberapa bulan lalu saat Louis tiba-tiba mengajaknya ke apartemen, hingga membuahkan janin sekarang.“Kenapa kamu tidak turun?” tanya Steven sedikit kesal karena ia harus kembali ke mobil dan menengok Jeni.Jeni menggeleng, wajahnya merah dan murung, ia ingin sekali menangis.Steven menghela nafas, melalui sorot mata Jeni yang seperti orang ketakutan, Steven segera tahu isi pikiran Jeni.“Kamu tahu? Aku sanga
Seketika itu Jeni membanting handphonenya ke sembarang arah sembari berteriak menangis penuh frustasi.Sementara di tempat lain, Renata tampak menyeringai senang setelah mengirim pesan itu kepada Jeni, ia tahu kalau hari ini adalah ulang tahun Jeni, maka ia sengaja untuk mengacaukan semuanya dengan datang pagi-pagi sekali ke apartemen Louis dan mengajaknya ke acara butik mamanya.Bukan hal yang kebetulan, sebenarnya acara penyerahan butik kepada Renata harusnya diaadakan beberapa hari ke depan, namun Renata merengek kepada orang tuanya untuk memajukan acara penting itu. Karena Renata anak tunggal, dengan mudah mamanya pun menyetujui.Berbeda dengan Renata yang terlihat bahagia, Louis tampak gelisah, berkali-kali ia mengecek jam tangan Richard Mille hitam yang melingkar di tangan kirinya, sudah menunjukkan pukul 02.00 pm tapi Renata justru mengajaknya keluar untuk makan siang.“Renata, aku harus pulang,” ujar Louis memberanikan diri.&ld
“Kamu hamil kan?” Cecar Tania dan Tamara saat Jeni keluar dari toilet.Mereka memandang Jeni dengan sorotan tajam dan penuh intimidasi, berharap Jeni akan mengaku setelah itu, tapi Jeni justru membalas dengan tatapan yang tak kalah mengerikan.“Jika aku hamil, apakah aku akan membiarkan Louis pergi begitu saja dariku? Aku bahkan baru saja putus dengannya.”Tania dan Tamara tidak bisa membantah, mereka yang mengaku sangat mengenal karakter Jeni yang buta cinta, segera membenarkan sanggahan sahabatnya, maka dalam sekejap mereka langsung merasa bersalah dan meminta maaf.“Maafkan kami Jeni, istirahatlah, kami tidak akan mengganggumu hari ini, aku akan pergi sendiri mengantar Tania ke bandara.”Jeni mengangguk, dalam hati Jeni merasa sangat lega karena mereka berdua langsung percaya begitu saja.Jeni lalu mengantar mereka berdua sampai ke gerbang kos, setelah mobil Tamara sudah tak terlihat lagi, Jeni kembali
Steven baru saja keluar dari ruang kerja Aditya Saloka untuk mengambil kunci mobilnya, ternyata ia tidak sengaja berpapasan dengan Louis yang baru saja keluar dari kamarnya.“Kebetulan, aku tidak perlu mencarimu ke apartemen.”
“Benar begitu Louis?” tanya Aditya Saloka dengan tatapan tajam seperti pisau. Laki-laki berusia separuh abad itu tidak pernah menaruh kepercayaan kepada putranya sendiri, ia justru lebih menyukai karakter Steven yang penurut dan pekerja keras seperti dirinya di masa muda, namun Louis justru oposisi dari mereka berdua, lebih menyukai dunia luar yang bebas. Louis hanya mengangguk lemah sambil merintih kesakitan. “Awas saja kalau kamu terbukti bersalah dan menyinggung seseorang, Papi tidak akan segan untuk menghukummu lagi,” tegas Aditya. “Pi, aku yakin Louis kali ini adalah korban, percayalah!” Aditya Saloka hanya mengangkat alisnya lalu keluar dari kamar Louis bersama aura dingin dan ketegasannya. Barulah Louis seakan bisa merasakan kembali udara bebas, terbukti ia langsung menghela nafas lega. Ia lalu mencari ponselnya dan menjawab pesan dari Renata. 'Aku tidak menemui Jeni, percayalah. Pergilah ke rumahku besok kalau kamu tida
Steven tiba lima menit kemudian, beruntung saat mobilnya hendak memasuki area kos, ia sempat menangkap mobil Renata dari kejauhan. Maka Steven langsung mengurungkan niatnya untuk masuk ke kos itu dan justru mengejar mobil yang ia curigai, Steven yakin semua ini pasti ada sangkut-pautnya dengan Renata, mengingat Renata pernah seperti seorang psikopat saat di London dulu.Dengan kakinya menginjak pedal gas, mobil itu pada dasarnya melayang, Steven tak peduli, yang terpenting baginya adalah keselamatan Jeni dan janinnya. Ia bahkan bersumpah tidak akan mengampuni Renata jika Jeni terluka sedikit saja.Merasa diikuti oleh seseorang, Renata menyuruh pengawalnya untuk mempercepat laju mobilnya, tapi mobil Steven semakin dekat, membuat Renata ketakutan dan menyuruh pengawal lainnya untuk mengeluarkan Jeni dari mobilnya begitu saja.“Apa Bos yakin? Itu sangat berbahaya, bagaimana kalau...”“Diam! Pelankan mobilnya dan buang dia ke jalan secepat m