Share

SEMAKIN FRUSTASI

Diam-diam Jeni jadi semakin mengagumi Steven yang cerdas, mandiri juga romantis. Tapi entah kenapa ia sulit mengganti Louis dengan laki-laki menyerupai malaikat seperti dia. Bodoh, Jeni terus mengumpat dirinya sendiri.

“Kenapa kamu memandangku seperti itu?”

Jeni menggeleng, tentu saja ia tidak akan mengaku bahwa ia mulai mengagumi Steven.

“Mata kamu sembab, apa kamu menangis lagi?” Selidik Steven.

Jeni mengangguk pelan.

“Tapi, aku menangis karena aku lelah muntah terus,” kilahnya.

“Sabar ya, jangan mengeluh. Kasihan dia.”

Jeni berkaca-kaca saat Steven menyebut kata 'dia' dengan nada yang begitu lembut. Terlihat sekali bahwa Steven orang yang sangat penyayang. Jeni lalu mengangguk dan mengusap air matanya.

“Kenapa menangis lagi?”

“Andai aku bisa, aku ingin sekali mencintaimu Stev, tapi...”

Jeni semakin terisak, ia tahu andai ia mencintai Steven dan melupakan Louis, mungkin segala penderitaan hidupnya akan usai, tapi entah kenapa itu sangat sulit. Ia terlalu mencintai Louis hingga sampai ke tulang sumsum, sudah merasuk dan sangat sulit untuk menggantinya dengan laki-laki lain.

“Aku pernah bilang sama kamu, aku tidak pernah memaksamu untuk mencintaiku, Jeni. Bagiku, bisa selalu ada di dekatmu adalah sebuah kebahagiaan tersendiri untukku.”

Jeni meraih tangan Steven dan mengusapnya dengan lembut. Steven justru kaget dan semakin salah tingkah, jantungnya berdegup sangat kencang.

Apalagi Jeni memandangnya dengan mata indahnya yang begitu teduh dan tulus, membuat Steven semakin terpesona dan balas memandangnya dengan tatapan penuh cinta.

Tiba-tiba handphone Steven berdering, Jeni lalu melepas tangannya dan mengalihkan pandangannya ke sembarang arah.

Sementara Steven lalu bangkit dan menerima panggilan itu. Hanya beberapa menit, setelah itu Steven kembali ke hadapan Jeni, duduk di kursi yang ada di samping tempat tidur Jeni.

“Oh ya, aku lupa menanyakan sesuatu padamu,” ujar Jeni untuk mengusir rasa canggungnya.

“Tentang apa?”

“Video saat kamu menggendongku, kenapa bisa viral?” tanya Jeni polos karena ia memang tidak tahu siapa Steven sebenarnya.

“Tidak usah memikirkan masalah itu, aku juga tidak tahu,” balas Steven pura-pura.

Menurutnya ia tidak perlu menjelaskan itu kepada Jeni saat ini, ia yakin suatu saat Jeni akan tahu sendiri siapa dirinya dan alasan mengapa segala hal yang berkaitan dengannya bisa menghebohkan sosial media.

“Sepertinya Steven sedang menyembunyikan identitas aslinya, aku akan cari tahu tanpa sepengetahuanmu Stev,” batin Jeni.

“Sebenarnya Om Aditya menyuruhku pulang,” ujar Steven mencoba mengalihkan pembicaraan.

“Pulanglah Stev, aku tidak masalah di sini sendirian.”

Steven menggeleng lalu tersenyum begitu manis, membuat Jeni sedikit gemas melihatnya.

“Tidak, aku sudah janji padamu. Janji itu tidak boleh diingkari.”

Jeni tersenyum dingin, ia jadi senang membandingkan Steven dan Louis sekarang, mereka bagai bumi dan langit, yang satu hobi mengingkari janji, sedangkan yang satunya lagi sangat teguh memegang janji.

“Andai saja Louis seperti kamu Stev,” gumam Jeni dengan suara yang begitu pelan.

Tapi entah kenapa Steven masih saja mendengarnya dengan sangat jelas.

“Louis berubah karena dia memiliki perempuan lain, kalau aku boleh menebak, hubungan kalian pasti baik-baik saja sebelum ada Renata?”

Pupil Jeni melebar, bagaimana Steven bisa mendengar suaranya yang sangat pelan, pikirnya.

Jeni lalu mengangguk pelan dan mengiyakan, meskipun sebenarnya sebelum ada Renata hubungannya juga tak sebaik yang Steven pikir, tapi setidaknya sikap Louis tidak separah sekarang.

Dada Jeni kembali sesak mengingat beberapa kepingan memori indah tujuh tahun lalu bersama Louis.

“Kamu tahu? Renata itu tidak selembut yang kamu pikir, dia sangat licik dan nekat.”

“Maksud kamu?”

“Dia dulunya satu universitas denganku saat di London. Dia dikeluarkan karena terbukti menyakiti mahasiswi lain yang diduga adalah istri dari kekasihnya.”

Jeni membelalak kaget, ia jadi sedikit merinding dan berpikir buruk,  mengingat Renata enggan berbagi Louis bersamanya.

“Benarkah?”

“Ya, dia lalu dikirim ayahnya kembali ke Indonesia karena kejadian memalukan itu, aku kaget ternyata dia melakukan hal yang serupa saat di Indonesia, merebut Louis darimu.”

Jeni tertegun sesaat, ia masih tidak menyangka tentang Renata.

“Kamu harus hati-hati dengannya, Jeni. Jangan sampai Renata menyakiti kalian.”

Jeni melenguh nafas berat, kata-kata Steven yang terakhir memang terdengar mengkhawatirkan keadaannya, tapi entah kenapa Jeni juga menafsirkannya secara lain, ia jadi berpikir apa itu artinya Steven melarangnya untuk merebut Louis kembali? Agar tidak terjadi pertikaian dengan Renata.

“Iya Stev.” Ucap Jeni dengan seulas senyumannya yang sangat dingin.

“Maaf kalau aku terdengar mengatur.”

“Tidak apa-apa Stev, aku tahu maksud kamu baik,” kilah Jeni.

“Baiklah kalau begitu istirahatlah, aku juga ingin istirahat, seharian berkutat dengan pekerjaan ternyata membuatku sedikit lelah.”

Jeni hanya mengangguk lalu mempersilahkan Steven yang terlihat sangat mengantuk itu terlelap lebih dulu. Steven lalu menuju tempat tidur lain yang ada di ruangan itu, ruang perawatan VVIP yang ditempati Jeni menyediakan tempat tidur untuk anggota keluarga pasien di sudut lain.

Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 11 malam, namun Jeni sama sekali belum ingin terlelap, bahkan matanya yang sangat sembab pun tak bisa merayunya untuk tidur pulas, padahal biasanya saat di kos sebelum ada kejadian menyedihkan tentang hubungannya dengan Louis, Jeni sudah terlelap begitu nyenyak selepasnya pulang dari cafe 'Sky'.

Ah, semua gara-gara Louis.

“Tapi kenapa aku sangat mencintainya? Hidup seperti apa yang ingin kucari bersamanya?” batin Jeni berkecamuk.

Ia menarik nafasnya dalam-dalam, terkadang ia ingin sekali melepas Louis namun terkadang pula itu seperti mustahil baginya, apalagi ada buah cintanya bersama Louis yang sedang tumbuh dalam rahimnya.

 Ia tidak rela kalau sampai Louis tidak menikahi dan menjadi miliknya.

Tapi apakah itu mungkin? Setelah tahu pengakuan Steven tentang Renata yang rela berbuat nekat hanya demi mempertahankan seseorang yang dicintainya.

Jeni semakin bingung dengan pertanyaan- pertanyaan yang ia buat sendiri.

Jeni lalu melihat ke arah perutnya yang masih sangat rata, ingin sekali ia mengelusnya tapi sampai detik ini ia belum bisa menerima bahkan menyayanginya.

Dalam sepi seperti ini, Jeni justru ingin sekali melenyapkannya.

“Hey Louis junior, kenapa kamu tidak tumbuh dalam rahim Renata? Kenapa harus ikut aku? Hidupmu pasti akan lebih baik bersamanya,” gumam Jeni begitu frustasi.

Ia benar-benar merasa sedang gila karena makhluk kecil itu.

Di saat yang sama, saat ia benar-benar sangat frustasi karena keadaannya, tiba-tiba handphonenya berdering, sebuah panggilan dari Louis.

Tak ingin membiarkan kesempatan emas, Jeni langsung menjawabnya.

“Halo Jeni, apa kamu membutuhkan sesuatu? Tumben kamu menelfonku?” tanya Louis dengan nada yang terdengar khawatir, tak seperti biasanya.

“Aku hanya ingin bertanya satu hal padamu, bolehkah aku membunuhnya? Hari ini aku bahkan hampir mati karenanya, aku yakin kamu pasti paham siapa yang aku maksud, Louis.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status