Lula hanyut dalam tangisan yang sedari tadi pagi ia pendam. Rasanya sudah tak kuasa lagi menahannya. Pelan - pelan Lula mulai menceritakan kejadian pagi tadi pada Bianca dan Fafa dengan perasaan bingung harus mulai dari mana.
Beruntung didalam mushola tidak terlalu ramai, karena memang itu belum waktunya jam sholat wajib. Selain mereka bertiga, hanya ada seorang ibu - ibu saja yang berada di dalam mushola tersebut.
"Mak sebenarnya aku tidak tahu pasti apa yang sebenarnya terjadi, tapi tadi pagi sebelum aku berangkat kekantor ada 2 orang polisi yang datang ke kosanku, mereka mengintrogasiku dan menggeledah seluruh isi kamarku." mereka berdua mendengarkan perkataan Lula dengan seksama.
"Hah? kok bisa?" Fafa dan Bianca sangat terkejut mendengar perkataan Lula. Raut wajah mereka terlihat sangat serius. Tampak jelas rasa khawatir pada raut wajah mereka.
Drrrrrrt.
Drrrrrrrt.Drrrrrrt.Belum sempat Lula melanjutkan perkataannya, tiba - tiba ponselnya bergetar. Sontak Lula mengambilnya dan melihat siapa yang menghubunginya. Matanya tertuju pada layar ponselnya yang menunjukkan nomor asing.
"Nomer baru?" terlihat nomer yang tak dikenal menghubunginya. Dengan hati - hati Lula menjawab panggilan tersebut.
"Hallo mba Lula?" terdengar suara lelaki yang berada di sebrang sambungan panggilan sana. Lula tidak yakin pernah mendengar suara itu kapan dan dimana.
"Maaf dengan siapa ini? ada yang bisa saya bantu?" Lula menjawab penuh tanya untuk memastikan.
"Ini saya Farhan Mba, yang tadi pagi bertemu Mba Lula." sahut Farhan. Rasa penasaran Lula seketika hilang setelah Farhan memberitahukan dirinya.
Rupanya dia sudah menyimpan nomor Lula saat menggeledah isi ponselnya tadi pagi. Tak heran dia bisa menghubungi Lula.
"Oh iya Pak, gimana gimana Pak?" tanyanya penasaran. Tanpa basa-basi lagi, Lula langsung menanyakan tujuan Farhan menghubunginya.
"Mba Lula sedang berada dimana sekarang?" tanyanya dengan nada lembut.
"Saya dikantor Pak." jawabnya singkat.
"Oh sedang kerja ya, maaf mengganggu sebentar Mba? ada yang ingin saya sampaikan. Sebenarnya saya berniat akan bertemu langsung dengan mba Lula, tapi berhubung Mba Lula sedang bekerja, jadi saya bicarakan langsung saja melalui telpon." ucap Farhan dengan pelan. Kali ini ia lebih hati-hati dengan ucapannya karena takut menyinggung perasaan Lula lagi.
"Iya pak silahkan." Lagi-lagi Lula menjawabnya dengan singkat.
"Saya ingin memberitahukan beberapa informasi dan meminta kerja samanya kepada Mba Lula. Jadi, sebenarnya paket yang Langit kirimkan ke alamat Mba berisi salah satu jenis narkoba. Langit juga merupakan residivis yang belum lama ini bebas Mba. Dia memanfaatkan Mba Lula untuk bertransaksi barang haram tersebut Mba." jelas Farhan. Rupanya dia sudah mendapat beberapa informasi tambahan.
"A - apa pak?" seketika badan Lula lemas mendengar penjelasan Farhan. Ia tak percaya jika Langit bisa berbuat hal semacam itu padanya.
"Kami minta kerjasama Mba Lula untuk menggiring Langit agar bisa kami tangkap. Karena, jika Mba Lula tidak membantu kami, maka kami juga tidak bisa membantu Mba Lula. Kami berusaha melindungi Mba Lula dikarenakan semua bukti tertuju kepada Mba Lula dan kami tahu kebenarannya bahwa Mba Lula hanya dimanfaatkan dan merupakan korban. Jadi, akan sangat berbahaya untuk Mba Lula karena dengan mudah Mba Lula bisa dijebloskan kepenjara." tutur Farhan. Ia mencoba menjelaskan situasinya secara rinci.
Lula mendengarkan penjelasan Farhan dengan lemas dan air mata yang tanpa henti mengalir. Lula merasa sangat kecewa, kenyataan bahwa ternyata Langit yang sangat baik didepannya itu ternyata sangatlah jahat kepadanya. Bagaimana tidak? kebaikannya ternyata ada maksud tertentu dibaliknya. Ia memanfaatkan dirinya dan menyeretnya dalam bahaya.
"Maka dari itu, mari bekerja sama untuk mendapatkan bukti dari Langit dan menggiringnya agar bisa kami tangkap sehingga Mba Lula akan aman." ucap Farhan. Ia mencoba meyakinkan Lula kembali.
"Bagaimana caranya Pak?" tanya Lula dengan nada bingung. Lula tak tahu apa yang bisa dia lakukan untuk menyelesaikan masalah yang sedang menimpanya.
"Tunggu sampai Langit menitipkan paket ke alamat Mba Lula lagi. Mungkin dalam waktu dekat dia akan transaksi lagi. Saya akan terus memantau Mba Lula karena dikhawatirkan komplotan Langit juga akan mengawasi Mba Lula, karena komplotan Langit yang ada di Bali sudah ditangkap." jelas Farhan. Ia menjelaskan keadaan yang sebenarnya agar Lula lebih paham dan waspada dengan situasi yang terjadi padanya.
Deg.
Deg.
"Kenyataan apa ini?" Lula bergumam dalam hati. Ia merasa semakin takut akan apa yang terjadi selanjutnya. Karena salah sedikit saja, bisa - bisa dirinya yang masuk penjara. Langit sangat pintar dan teliti dalam setiap aksinya. Ternyata dia sudah memperhitungkan semuanya dengan matang untuk keamanannya.
Langit, ternyata langit menjebaknya. dia pura - pura baik dan kembali dekat dengannya hanya untuk memanfaatkannya demi kepentingannya sendiri. sungguh keterlaluan.
bahkan dia tega membahayakan Lula."Apa salahku padamu Langiiiit?" Lula bertanya - tanya dalam hati dengan terisak. Lula masih tak percaya. Keadaan ini benar-benar jauh dari bayangannya.
"Pak, apa saya bisa mempercayai bapak? apa benar bapak akan melindungi saya? jika terjadi apa - apa, saya harus mencari bapak kemana?" tanyanya tersedu. Kali ini Lula merasa takut. Ia khawatir jika Langit dan komplotannya akan mencelakainya. Ditambah Farhan tidak menjamin keamanannya.
"Heii! heiii! sudah Mba Lula jangan menangis. Saya pasti akan membantu Mba Lula jika Mba Lula tetap mau bekerja sama dengan kami." ucap Farhan meyakinkan. Ia mencoba menenangkan Lula yang terdengar sangat takut.
Setelah selesai berbincang mereka pun segera mengakhiri sambungan telponnya.
Lula hanya bisa menyandarkan tubuhnya pada Bianca yang ada disamping kirinya, sedangkan Fafa mengusap lembut bahunya. Ia bermaksud menenangkan Lula yang sedari tadi tegang dan terus menangis.Mereka sebenarnya bingung akan apa yang terjadi padanya karena belum sempat Lula menyelesaikan ceritanya. Namun, mereka tak bertanya dan lebih memilih untuk menenangkannya. Sebenarnya mereka bertanya-tanya apa yang terjadi. Mereka sudah mengira pasti ada hal buruk terjadi pada Lula.
Setelah sedikit lebih tenang, Lula mengangkat badannya yang sedari tadi berada dipelukan Bianca. Matanya masih berkaca-kaca. Lula berusaha keras untuk menenangkan dirinya. Hingga sangat sulit untuknya berbicara.
"Sekarang aku harus bagaimana maaak? hiks hiks hiks." Lula masih tak kuasa untuk bercerita dan menghentikan tangisnya. Belum sempat ia menyelesaikan perkataannya tangisnya sudah pecah.
Bianca dan Fafa masih terus mencoba menenangkannya dengan sabar. Mereka tahu saat ini Lula benar-benar sedang merasa takut. Tidak biasanya Lula bertingkah seperti itu, bahkan di mata Bianca dan Fafa ia adalah gadis yang ceria. Biasanya Lula lah yang selalu menghidupkan suasana saat mereka bertiga sedang bersama. Tapi kali ini Lula terlihat sangat berbeda, ia benar-benar menunjukkan kelemahannya dihadapan kedua sahabatnya itu.
Lula menjalani hidup selama 4 tahun terakhir ini seorang diri tanpa Ben. Ia membesarkan Raden dengan tangannya sendiri. 4 tahun sudah ia melewati semuanya. Ini adalah waktunya Raden masuk ke sekolah."Om? ada berapa uangku sekarang?" Waktunya untuk Lula menarik seluruh investasinya."Sekitar 20 milyar La." ya, investasi yang telah ia diamkan selama 4 tahun itu kini sudah terkumpul sebanyak itu.Hari ini dia datang kekantor tempat Om Dul bekerja untuk mencairkan uangnya. Hasilnya sama sekali tidak mengecewakan. Detik ini juga ia berubah menjadi seorang milyarder.Lula sangat senang karena akhirnya ia siap memasukkan Raden disekolah International terbaik di kotanya. Cita-cita yang selama ini ia impikan, akhirnya berhasil ia wujudkan.Perhitungannya sangat tepat, tanpa meleset sedikitpun. Meskipun selama 4 tahun ini ia hidup dalam kesederhanaan. Selalu menerima hinaan dari keluarga Jaka, tapi kini akhirnya ia bisa terlepas dari sem
Raden tertidur dalam pangkuan Ben dengan sangat nyenyak. Ia mungkin lelah hingga membuatnya tertidur di pangkuannya."Gua balik dulu ya?" Ben pamit pada Lula setelah meletakkan Raden ditempat tidurnya."Iya. Makasih ya Ben." Ben mengusap ujung kepala Lula dengan lembut, ia kemudian berjalan keluar dari kamar Lula."Langsung balik ke kota? gak tidur dirumah?" Ibu berjalan menghampirinya."Iya Buk. Besok pagi saya harus terbang ke Jakarta." Ben mencium tangan Ibu kemudian berjalan keluar dari rumah Lula. Lula pun berjalan mengikutinya dari belakang."Oh gitu? ya udah hati-hati. Makasih banyak ya Le." Ibu menepuk pundak Ben dua kali, mengungkapkan rasa terima kasihnya secara tidak langsung."Berapa lama di Tambun?" Lula memasukkan kepalanya ke pintu mobil Ben yang kacanya masih terbuka."Kenapa? gak mau lama-lama pisah ama gua ya? hahaha." Lula mengerucutkan bibirnya mendengar ucapan Ben. Ben pun mengusap waja
Lula mengerjapkan matanya perlahan, masih menyipitkan matanya menyesuaikan biasnya pantulan sinar matahari yang masuk kedalam kamar Ben. Ia tersenyum saat melihat Ben sedang memperhatikan wajahnya dari dekat."Bangun yuk! sarapan." Ben mengusap wajah Lula pelan. Membuat Lula menyunggingkan senyuman dan segera beranjak dari tempatnya."Gua pengen makan gudeg!" Lula berjalan menjauh dari tempat tidur dan masuk kedalam kamar mandi meninggalkan Ben begitu saja.Sesaat kemudian, ia keluar dari kamar mandi dan segera berjalan ke dapur karena sudah tak melihat keberadaan Ben dikamarnya."Nih diminum!" Ben memberikan segelas susu untuk Lula. Ia kemudian duduk didepan Ben.Tak lama kemudian, terdengar suara bel pintu rumah berbunyi."Bentar gua ambilin makannya dulu." Ben bergegas berjalan ke pintu untuk menerima kiriman makanan yang ia pesan.Sedangkan Lula sudah menyiapkan piring untuk tempat mereka makan. Ben mel
"Ayo sekarang makan!" Ben menarik nafasnya panjang, mencoba menahan emosi dan perasaannya yang sedang campur aduk. Ia juga tak sanggup melihat wajah Lula yang terlihat pucat. Sedangkan Lula terus menangis dan menggelengkan kepalanya, menolak ajakannya.Ben beranjak dari duduknya, ia berdiri dan hendak melangkahkan kakinya keluar dari dalam kamar meninggalkan Lula. Namun Lula segera memegang tangannya erat."Jangan seperti itu." Lula kemudian berdiri dibelakang tubuh Ben dan semakin mengeratkan tangannya. Ben hanya terdiam tak bergeming dari tempatnya."Gua ngandelin lu banget. Gua jadi makin kuat karna lu. Gua gak takut apapun saat memikirkan ada lu dibelakang gua. Gua salah, gua gak akan kayak gitu lagi. Jadi, jangan pernah pergi tanpa bilang apapun sama gua. Sejak Raden hadir, ditinggalkan adalah hal yang paling menakutkan buat gua." Tangis Lula makin pecah, ia membenamkan wajahnya di punggung Ben."Kalau gitu, lu mau makan sekarang?" Be
Lula mengeluarkan SIM dan STNK nya dari dalam dompetnya. Ia kemudian menyerahkannya pada polisi yang menilangnya."Mba tahu apa kesalahannya?" polisi itu menyimpan surat-surat kendaraan Lula."Tau Pak." Lula menganggukkan kepalanya."Mau bayar denda sekarang apa sidang?" polisi itu bertanya tanpa basa basi lagi."Sidang aja Pak." Lula yang saat ini keadaannya sudah kacau, memutuskan untuk menyerah. Ia pasrah, mungkin ia memang tidak ditakdirkan untuk bertemu dengan Ben pikirnya."Ya udah kalau gitu ikut saya kekantor sekarang!" Lula terpaksa mengikuti polisi itu dari belakang karena surat surat kendaraannya sudah ditahan.Lula memasuki kantor kepolisian dengan motor bututnya. Ia kemudian memarkirkannya disebelah motor polisi yang tadi membawanya. Ia melepas jas hujannya yang sama sekali tak melindungi tubuhnya dari guyuran air hujan. Seluruh badannya basah kuyup, ia kedinginan. Sebagian rambutnya juga basah, hanya bag
Setelah kepulangan Tante Nda sekeluarga, Lula terlihat bersantai di sofa empuk yang ada didepan tv dengan sangat nyaman. Ditambah malam itu Raden sudah tidur, mungkin karena lelah seharian bermain bersama yang lain."La! anterin makan buat Ben sana!" Ibu menghampirinya, ia memberikan 1 kotak makan berukiran besar padanya."Aaah malas Bu!" Lula membalikkan badannya, ia menyembunyikan wajahnya."Cepetan sana! kasian dari tadi dia belum makan." Lula seketika beranjak, ia tiba-tiba ingat seharian Ben belum makan. Ia meraih makanan itu dari tangan Ibu dan berjalan keluar dari rumahnya.Lula masih berdiri didepan pintu, ia terlihat ragu-ragu untuk mengetuk pintu rumah Ben.Tok! Tok! Tok!Tak ada sahutan sama sekali, Lula kemudian mencoba untuk membuka pintu yang ternyata tidak terkunci. Ia hanya memasukkan kepalanya saja dan kemudian mengedarkan pandangannya kedalam rumah Ben yang masih tampak gelap itu.Brak!