Bukankah tidak ada yang salah menjadi single mother? Kallula adalah wanita tangguh yang berjuang untuk membesarkan putranya seorang diri. Ia lebih memilih menjauh dari hidup Jaka, lelaki yang menghamilinya daripada harus terus terbelenggu dalam hubungan yang toxic bersamanya. Jaka yang selalu melakukan tindak kekerasan pada Kallula yang tengah hamil akhirnya lari dari tanggung jawabnya dan menikahi wanita lain. Lelaki yang berprofesi sebagai aparat negara itu, kini hanyalah seorang keparat di mata Kallula. Akankah Kallula hidup bahagia bersama anaknya?
View MoreNakas yang dibalut dengan cat berwarna putih dan terbuat dari bahan partikel board itu terletak rapi di sudut kanan tempat tidur.
Tercipta getaran dari nakas tersebut. Rupanya ada seseorang yang meletakkan benda yang menimbulkan getaran itu begitu saja di atasnya.
Tangan seorang wanita yang tengah berbaring di tempat tidur meraihnya pelan. Benda yang menimbulkan getaran itu adalah sebuah ponsel. Jemari lentiknya mulai menari di layar ponselnya. Ternyata ada notifikasi pesan yang masuk.
"Lula! Kamu jangan ganggu Jaka lagi, ya! Aku sama Jaka mau nikah lusa!" ~Lina
Begitulah isi pesan singkat yang dikirim oleh Lina. Ia adalah calon istri Jaka. Lina dan Jaka sudah menjalin hubungan sejak di bangku kuliah.
Kallula adalah seorang gadis berumur 23 tahun yang sebentar lagi akan menjadi seorang ibu. Ya, saat ini ia sedang hamil anak Jaka.
Alih-alih menikahi Kallula yang mengandung anaknya, Jaka malah memilih menikahi Lina. Lina pun tetap mempertahankan hubungannya hingga bertahun-tahun lamanya meski sudah dikhianati berkali-kali.
Meski begitu, Kallula tidak ingin mempertahankan Jaka untuk tetap berada di sampingnya. Ia merelakan Jaka menikah dengan Lina, karena bagi Kallula tidak ada gunanya mempertahankan lelaki pengecut yang lari dari tanggung jawabnya.
Setelah membuka pesan dari Lina, Lula tidak membalasnya sama sekali. Ia tak menghiraukan pesan dari Lina kemudian kembali meletakkan ponselnya di atas nakas. Ia pun lebih memilih untuk beranjak dari tempat tidurnya daripada harus menggubris pesan yang tidak penting baginya.
Lula berjalan pelan menyusuri ruangan-ruangan di rumah kecilnya seraya memegangi perutnya yang besar menuju kamar mandi.
"Ibuuuk!" Lula berteriak histeris memanggil Ibunya saat dirinya terkejut melihat ada cairan bening bercampur darah yang mengalir dari paha ke kakinya hingga menetes ke lantai.
"Kenapa, La?" Ibunya berlari ke arah dapur dengan tergopoh-gopoh. Ia terlihat sangat panik.
"Ketuban itu, La!"
"Terus aku harus gimana, Buk?" Lula bingung bercampur bahagia karena ia sadar akhirnya penantiannya selama ini datang juga. Memang sudah melebihi HPL, tapi bayinya belum lahir juga. Lula sempat khawatir dengan kondisinya beberapa hari terakhir.
"Perutmu gimana rasanya?" Ibu bertanya untuk memastikan.
"Gak kerasa apa-apa tuh, Buk." Sejauh yang Lula rasakan, perutnya memang tidak terasa sakit sama sekali.
"Ya sudah kalau gitu. Sekarang kamu mandi bersihin badan dulu! Nanti sewaktu-waktu kerasa kita bisa langsung ke klinik." Setelah mendengar titah dari sang Ibu, Lula segera masuk ke dalam kamar mandi dan membersihkan diri.
Setelah selesai membersihkan diri ia kembali beraktivitas seperti biasanya di rumah. Hingga waktu semakin siang dan perutnya sudah mulai merasakan mulas.
Lula menunggu hingga malam hari dan rasanya masih sama. Sedangkan keluarga besarnya sudah sigap berkumpul di rumah kecil itu untuk mendampingi persalinannya nanti.
Saat tengah malam, frekuensi sakitnya semakin naik. Hingga kini, ia mulai merintih menahan rasa sakit saat perutnya terasa semakin kencang. Namun, ia tak segera bergegas ke klinik juga. Ia memutuskan untuk menunggu hingga pagi karena jarak sakitnya masih belum terlalu dekat.
Sebenarnya ia sangat gelisah. Tapi melihat seluruh keluarganya siap mendampingi, memberikan kekuatan tersendiri untuknya.
Lula tetap berada di ranjangnya. Posisi apapun yang ia lakukan tetap saja tidak mengurangi rasa sakitnya. Sepanjang malam ia terjaga hingga badannya mulai lelah. Kantung matanya menghitam, rambutnya berantakan. Ditambah nafsu makannya juga hilang. Ingin muntah rasanya setiap kali memasukkan makanan ke dalam mulutnya.
"Kamu harus tetep makan lho, La! Biar nanti kuat ngedennya! Ini diminum teh angetnya!" Ibu menyodorkan satu cangkir teh hangat untuknya.
"Tapi kok aku mual ya, Bu? Memang gini ya kalau mau lahiran? Ibu dulu begini gak?" Lula mencoba menggali informasi seputar persalinan dari ibunya.
"Dulu Ibu sih enggak. Orang hamil beda-beda pengalamannya, La" Ibu memberi penjelasan sesuai pengetahuannya.
Setelah minum teh, Lula pun berjalan-jalan di depan rumahnya. Kedua Tantenya pun menemaninya. Konon, berjalan kaki memudahkan proses persalinan. Ia berjalan-jalan selama berjam-jam berharap bisa mempercepat proses persalinannya.
Tenaga Lula mulai terkuras. Keluarganya pun semakin khawatir karena sudah menunggu begitu lama tapi tak kunjung ada kemajuan.
"Nak, kita ke klinik sekarang aja yuk!" Bapaknya memutuskan untuk membawanya ke klinik terdekat untuk memastikan kondisinya.
"Iya, Pak." Ibu dan Tantenya pun sudah siap membawakan perlengkapan persalinannya. Mereka membantu Lula naik ke atas mobil.
Tak butuh waktu lama hingga sampai di klinik. Tidak ada antrian sama sekali, Lula langsung mendapat kamar bersalin.
Seorang bidan memeriksa kondisinya. Ternyata masih bukaan 2 yang artinya perjalanan yang ditempuh masih lah sangat jauh untuk mencapai bukaan ke 10.
Perawat menyuruhnya untuk menunggu sembari berjalan-jalan hingga naik turun tangga lagi di sekitar klinik.
Baru bukaan 2 tapi rasa nyerinya sudah sangat sakit menurut Lula. Ia pun berkali-kali meringis, menunjukkan ekspresi wajah menahan kesakitan.
Ia memandang keluarganya yang tengah menemaninya di klinik. Dalam hatinya sedih, ia dan calon anaknya sedang berjuang mempertaruhkan keselamatan dan nyawa mereka, sedangkan Jaka malah sedang mempersiapkan pernikahannya dengan wanita lain. Pada umumnya suami lah yang menemani istrinya pada proses persalinan. Bukankah itu hal yang normal untuk wanita hamil? Tapi hal normal seperti itu pun tak bisa ia dapatkan.
Mungkin Tuhan sudah menggariskan takdir seperti ini untuknya. Tak bisa dipungkiri, sedikit penyesalan pun sering terlintas. Menyesal karena pernah mengalami fase yang hampir setiap orang alami. Fase di mana menjadi manusia sangat bodoh ketika sedang mencintai seseorang.
Terbuai akan rayuan maut mulut manis Jaka yang memberikan janji-janji indah untuknya. Berhasil meyakinkan perasaan Lula yang tulus kepadanya. Hingga ia akhirnya mengingkari janji-janji yang ia buat sendiri.
Lula mengutuki kebodohannya, menyesali kebodohannya. Begitu saja percaya dengan semua kebohongan Jaka. Lelaki yang berprofesi sebagai aparat negara itu, kini hanya menjadi lelaki keparat di mata Lula. Bagaimana tidak? Hanya untuk lari dari tanggung jawabnya ia tega memfitnah Lula di depan keluarganya.
Menuduh Lula seorang wanita mata duitan bahkan tidak mengakui darah dagingnya sendiri. Lula baru mengetahui sifat asli Jaka setelah dirinya hamil.
Demi Tuhan! Lula sama sekali tak menyesali kehadiran darah dagingnya ini. Semenjak pertama kali ia mendapati dirinya hamil pun ia sangat bahagia. Ia berharap Jaka memiliki perasaan bahagia yang sama, namun betapa terkejutnya mengetahui ternyata Jaka tak menginginkan darah dagingnya itu.
Kekuatan hati harus dimiliki Lula dengan tiba-tiba tanpa persiapan sama sekali. Keadaan seperti ini sangat jauh dari prediksi Lula. Sebelumnya Jaka sering bercerita kalau dirinya sangat menginginkan anak. Jaka sangat pandai membohonginya.
Lula tak percaya mampu menghadapi kerasnya hidup seorang diri saat hamil anak pertamanya hingga anaknya akan lahir. Sedangkan Jaka sendiri seketika membuangnya setelah mengetahui dirinya hamil.
Perlakuan buruk Jaka lah yang membuat Lula semakin kuat menjalani kehidupan beratnya.
Lula menjalani hidup selama 4 tahun terakhir ini seorang diri tanpa Ben. Ia membesarkan Raden dengan tangannya sendiri. 4 tahun sudah ia melewati semuanya. Ini adalah waktunya Raden masuk ke sekolah."Om? ada berapa uangku sekarang?" Waktunya untuk Lula menarik seluruh investasinya."Sekitar 20 milyar La." ya, investasi yang telah ia diamkan selama 4 tahun itu kini sudah terkumpul sebanyak itu.Hari ini dia datang kekantor tempat Om Dul bekerja untuk mencairkan uangnya. Hasilnya sama sekali tidak mengecewakan. Detik ini juga ia berubah menjadi seorang milyarder.Lula sangat senang karena akhirnya ia siap memasukkan Raden disekolah International terbaik di kotanya. Cita-cita yang selama ini ia impikan, akhirnya berhasil ia wujudkan.Perhitungannya sangat tepat, tanpa meleset sedikitpun. Meskipun selama 4 tahun ini ia hidup dalam kesederhanaan. Selalu menerima hinaan dari keluarga Jaka, tapi kini akhirnya ia bisa terlepas dari sem
Raden tertidur dalam pangkuan Ben dengan sangat nyenyak. Ia mungkin lelah hingga membuatnya tertidur di pangkuannya."Gua balik dulu ya?" Ben pamit pada Lula setelah meletakkan Raden ditempat tidurnya."Iya. Makasih ya Ben." Ben mengusap ujung kepala Lula dengan lembut, ia kemudian berjalan keluar dari kamar Lula."Langsung balik ke kota? gak tidur dirumah?" Ibu berjalan menghampirinya."Iya Buk. Besok pagi saya harus terbang ke Jakarta." Ben mencium tangan Ibu kemudian berjalan keluar dari rumah Lula. Lula pun berjalan mengikutinya dari belakang."Oh gitu? ya udah hati-hati. Makasih banyak ya Le." Ibu menepuk pundak Ben dua kali, mengungkapkan rasa terima kasihnya secara tidak langsung."Berapa lama di Tambun?" Lula memasukkan kepalanya ke pintu mobil Ben yang kacanya masih terbuka."Kenapa? gak mau lama-lama pisah ama gua ya? hahaha." Lula mengerucutkan bibirnya mendengar ucapan Ben. Ben pun mengusap waja
Lula mengerjapkan matanya perlahan, masih menyipitkan matanya menyesuaikan biasnya pantulan sinar matahari yang masuk kedalam kamar Ben. Ia tersenyum saat melihat Ben sedang memperhatikan wajahnya dari dekat."Bangun yuk! sarapan." Ben mengusap wajah Lula pelan. Membuat Lula menyunggingkan senyuman dan segera beranjak dari tempatnya."Gua pengen makan gudeg!" Lula berjalan menjauh dari tempat tidur dan masuk kedalam kamar mandi meninggalkan Ben begitu saja.Sesaat kemudian, ia keluar dari kamar mandi dan segera berjalan ke dapur karena sudah tak melihat keberadaan Ben dikamarnya."Nih diminum!" Ben memberikan segelas susu untuk Lula. Ia kemudian duduk didepan Ben.Tak lama kemudian, terdengar suara bel pintu rumah berbunyi."Bentar gua ambilin makannya dulu." Ben bergegas berjalan ke pintu untuk menerima kiriman makanan yang ia pesan.Sedangkan Lula sudah menyiapkan piring untuk tempat mereka makan. Ben mel
"Ayo sekarang makan!" Ben menarik nafasnya panjang, mencoba menahan emosi dan perasaannya yang sedang campur aduk. Ia juga tak sanggup melihat wajah Lula yang terlihat pucat. Sedangkan Lula terus menangis dan menggelengkan kepalanya, menolak ajakannya.Ben beranjak dari duduknya, ia berdiri dan hendak melangkahkan kakinya keluar dari dalam kamar meninggalkan Lula. Namun Lula segera memegang tangannya erat."Jangan seperti itu." Lula kemudian berdiri dibelakang tubuh Ben dan semakin mengeratkan tangannya. Ben hanya terdiam tak bergeming dari tempatnya."Gua ngandelin lu banget. Gua jadi makin kuat karna lu. Gua gak takut apapun saat memikirkan ada lu dibelakang gua. Gua salah, gua gak akan kayak gitu lagi. Jadi, jangan pernah pergi tanpa bilang apapun sama gua. Sejak Raden hadir, ditinggalkan adalah hal yang paling menakutkan buat gua." Tangis Lula makin pecah, ia membenamkan wajahnya di punggung Ben."Kalau gitu, lu mau makan sekarang?" Be
Lula mengeluarkan SIM dan STNK nya dari dalam dompetnya. Ia kemudian menyerahkannya pada polisi yang menilangnya."Mba tahu apa kesalahannya?" polisi itu menyimpan surat-surat kendaraan Lula."Tau Pak." Lula menganggukkan kepalanya."Mau bayar denda sekarang apa sidang?" polisi itu bertanya tanpa basa basi lagi."Sidang aja Pak." Lula yang saat ini keadaannya sudah kacau, memutuskan untuk menyerah. Ia pasrah, mungkin ia memang tidak ditakdirkan untuk bertemu dengan Ben pikirnya."Ya udah kalau gitu ikut saya kekantor sekarang!" Lula terpaksa mengikuti polisi itu dari belakang karena surat surat kendaraannya sudah ditahan.Lula memasuki kantor kepolisian dengan motor bututnya. Ia kemudian memarkirkannya disebelah motor polisi yang tadi membawanya. Ia melepas jas hujannya yang sama sekali tak melindungi tubuhnya dari guyuran air hujan. Seluruh badannya basah kuyup, ia kedinginan. Sebagian rambutnya juga basah, hanya bag
Setelah kepulangan Tante Nda sekeluarga, Lula terlihat bersantai di sofa empuk yang ada didepan tv dengan sangat nyaman. Ditambah malam itu Raden sudah tidur, mungkin karena lelah seharian bermain bersama yang lain."La! anterin makan buat Ben sana!" Ibu menghampirinya, ia memberikan 1 kotak makan berukiran besar padanya."Aaah malas Bu!" Lula membalikkan badannya, ia menyembunyikan wajahnya."Cepetan sana! kasian dari tadi dia belum makan." Lula seketika beranjak, ia tiba-tiba ingat seharian Ben belum makan. Ia meraih makanan itu dari tangan Ibu dan berjalan keluar dari rumahnya.Lula masih berdiri didepan pintu, ia terlihat ragu-ragu untuk mengetuk pintu rumah Ben.Tok! Tok! Tok!Tak ada sahutan sama sekali, Lula kemudian mencoba untuk membuka pintu yang ternyata tidak terkunci. Ia hanya memasukkan kepalanya saja dan kemudian mengedarkan pandangannya kedalam rumah Ben yang masih tampak gelap itu.Brak!
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments