Share

03. Pendarahan

Satu minggu sudah Rania melahirkan, dia sudah bisa beraktifitas seperti biasanya. Tetapi masih sebatas di dalam rumah saja, Zahrana yang bergantian keluar rumah untuk berjualan di pasar.

Dia berjualan sayur-sayuran sejak kakaknya Rania pulang menggantikan ibunya dulu berjualan di pasar, tetapi jualannya tidak ramai seperti pedagang sayur di pasar.

Banyak yang enggan membeli sayur pada Zahrana karena mereka mendengar kakaknya hamil di luar nikah entah dengan siapa laki-lakinya karena tidak ada yang tahu siapa. Jika ada yang menggunjingkan lakaknya di depannya secara terang-terangan, Zahrana langsung membelanya. Mengatakan kalau kakaknya itu menikah, bukan hamil di luar nikah.

"Mana buktinya kalau dia menikah? Kemana suaminya?" tanya para tetangga yang mempertanyakan siapa suami Rania.

Zahrana tidak bisa menjawab, dia juga bingung siapa suami kakaknya itu. Bahkan datang ke kampungnya saja tidak pernah, jadi mereka pun sanksi dengan pembelaan Zahrana.

Beberapa kali Zahrana tanya pada kakaknya, tetapi Rania tidak menjawabnya. Terkadang kesal, tetapi Zahrana tidak bisa memaksa kakaknya cerita siapa suaminya itu.

Suasana pasar ramai, banyak para pedagang menawarkan dagangannya pada pembeli yang lewat. Tak terkecuali Zahrana, tetapi tidak banyak yang datang ke lapak sayurnya.

Seorang perempuan datang kelapak Zahrana, dengan wajah pongah dia berdiri dan melihat-lihat berbagai sayur di lapak Zahrana itu.

"Masih banyak ya?" tanya perempuan itu memilih-milih sayur yang terlihat masih segar.

"Oh bibi, di pilih bi. Ini sayurnya masih segar kok." kata Zahrana.

"Huh, segar apanya. Ini sudah layu, mana ada segar." kata perempuan yang di panggil bibi oleh Zahrana.

Dia memilih sayur selada di bolak balik sehingga banyak yanv sedikit rontok dan juga pada lepas.

"Bi, jangan di bolak balik saja. Kalau mau beli ya ambil saja yang masih segar." kata Zahrana.

Perempuan itu berhenti, dia menatap tajam pada Zahrana. Ya, dia bibi Zahrana. Midah, perempuan yang di panggil bibi itu. Istri dari pamannya Zahrana, adik ibunya.

"Zahra, ini sayuran sudah layu. Seharusnya di buang saja, semua sayuranmu itu sudah layu. Lebih baik kamu pulang sana, jaga keponakanmu itu. Keponakan yang tidak punya bapak!" kata Mida dengan ketus.

Semua yang lewat di depan lapak Zahrana menoleh ke arah Zahrana. Mereka menatap sinis dan pergi dengan cibiran pada gadis itu.

"Dia punya ayah, bi. Jangan sembarangan kalau bicara." kata Zahrana.

"Halah! Ayah dari mana sejak kakakmu pulang dan hamil besar lalu sekarang lahir, mana ayahnya? Tidak ada yang datang, itu sudah pasti anak haram!" ucap Mida dengan nada meninggi agar orang-orang mendengarnya.

"Bi, kak Rania juga keponakan bibi. Jangan menjelekkan keponakan sendiri, apa lagi dipasar. Kalau bibi tidak mau beli sayuran sama aku, mending pergi saja." kata Zahrana kesal.

"Huh! Adik sama kakak sama saja, bikin jengkel dan memalukan. Aku malu punya keponakan sepertimu dan kakakmu!" kata Mida.

Dia pun pergi dengan melempar sayuran yang dia pegang tadi ke arah Zahrana. Zahrana terkejut, dia memundurkan wajahnya agar terhindar dari sayuran yang di lempar Mida tadi.

"Kenapa bi Mida selalu saja membenciku dan kak Rania, apa salah kami." ucap Zahrana menatap kepergian Mida.

Orang-orang yang lewat di depan lapak Zahrana hanya menatap sinis, tidak ada yang peduli dengan gadis itu. Tetapi Zahrana tidak peduli dengan orang-orang di pasar, jika ada yang membeli sayurannya maka dia layani dengan baik. Itu saja yang Zahrana lakukan saat ini sejak dia mendengar desas desus tentang kakaknya.

_

Hari demi hari berlalu, semakin banyak orang yang menggunjingkan Rania tentang anaknya yang di sebut haram. Bahkan imbasnya pada adiknya, Zahrana. Dia yang selalu di kucilkan oleh tetangganya, tetapi Zahrana sudah kebal dengan keadaan itu.

"Zahra, sini!" teriak kakaknya.

Zahrana yang sedang menyiapkan makan siang pun mendekat pada kakanya. Dia duduk di kursi di sebalah kakaknya yang sedang menyusui anaknya Arthur Raka Ibrahim.

"Raka lahap banget ya kak minum asinya." kata Zahrana memperhatikan keponakannya itu.

"Iya, dan pipinya semakin berisi." kata Rania menyambungi.

"Oh ya, kak Rania mau bicara apa?" tanya Zahrana.

"Kakak mau minta maaf sama kamu, karena kakak kamu jadi di kucilkan oleh orang-orang di kampung ini." kata Rania.

"Kak Rania ini kenapa, aku ngga masalah kak. Mereka saja yang tidak mau mendengarkan penjelasan aku, kalau Raka sebenarnya punya ayah." kata Zahrana.

"Iya, maka dari itu. Kakak cuma mau bilang minta maaf sama kamu, kelak jika kakak pergi kakak minta tolong jaga Raka ya." kata Rania berubah sendu dengan ucapannya itu.

"Kakak bicara apa, kan aku sudah bilang akan menjaga kakak dan Raka dengan segenap jiwa ragaku. Hanya kakak dan Raka keluargaku sekarang." kata Zahrana ikut sedih dengan ucapan kakaknya.

"Iya, terima kasih. Kamu gadis yang baik, adik yang sangat sayang sama kakaknya. Hik hik hik, kamu mengorbankan masa remajamu hanya demi menjaga kakak, Zahrana." kata Rania terisak.

Zahrana memeluk kakaknya, dia juga ikut menangis. Tapi dia hapus lagi air matanya, menguatkan kakaknya agar jangan bersedih lagi.

"Sudahlah kak, jangan sedih. Kita saling menguatkan saja, kita hidup bersama makan seadanya. Yang penting kebutuhan Raka tercukupi." kata Zahrana.

"Zahra, kakak punya tabungan. Tapi memang tidak banyak, kakak akan serahkan sama kamu. Kamu gunakan saja tabungan itu ya, kalau nanti ada keperluan kamu beli saja." kata Rania.

"Jangan kak, itu buat masa depan Raka saja. Aku juga ada sedikit tabungan, kakak tenang saja kalau masalah uang untuk makan. Biasanya juga sama-sama, dan kakak juga sudah memberikan modal buatku berjualan dipasar." kata Zahrana.

Rania tersenyum, dia memeluk adiknya lagi. Lalu menyerahkan anaknya pada Zahrana.

"Gendong dia ya. Kakak mau kekamar dulu." kata Rania.

Zahrana menerima bayi laki-laki yang sudah berusia satu bulan setengah itu, dia sangat gemas karena selama satu bulan lebih itu tubuhnya mulai berisi.

Rania tersenyum, dia pun melangkah pergi menuju kamarnya. Perutnya sakit, sejak melahirkan dia merasa perutnya sering sakit. Terkadang dia mengeluarkan darah begitu banyak sekali bercampur dengan darah nifasnya.

Rania tidak memberitahu Zahrana kalau dia ternyata sakit perut yang berkepanjangan. Dia juga tidak memeriksakan diri ke dokter atau bidan desa, karena dia tahu akan dapat cibiran dan gunjingan dari tetangga dan orang-orang.

Dari penerimaan bidan ketika dia melahirkan saja sudah tampak kalau bidan desa juga lebih percaya pada omongan orang-orang kampung dan dia tidak di terima dengan baik oleh bidan desa itu ketika melahirkan secara mendadak dan waktu dimalam hari.

Gubrak!

Suara benda jatuh didalam kamar Rania, Zahrana terkejut. Dia berjalan cepat menuju kamar kakaknya dengan menggendong bayi kecil itu, sampai dikamar kakaknya membuka pintu kamar. Zahrana terkejut melihat kakaknya tergeletak bersimbah darah dibagian kakinya, diapun berteriak histeris.

"Kak Rania!"

_

_

************

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status