Satu minggu sudah Rania melahirkan, dia sudah bisa beraktifitas seperti biasanya. Tetapi masih sebatas di dalam rumah saja, Zahrana yang bergantian keluar rumah untuk berjualan di pasar.
Dia berjualan sayur-sayuran sejak kakaknya Rania pulang menggantikan ibunya dulu berjualan di pasar, tetapi jualannya tidak ramai seperti pedagang sayur di pasar.Banyak yang enggan membeli sayur pada Zahrana karena mereka mendengar kakaknya hamil di luar nikah entah dengan siapa laki-lakinya karena tidak ada yang tahu siapa. Jika ada yang menggunjingkan lakaknya di depannya secara terang-terangan, Zahrana langsung membelanya. Mengatakan kalau kakaknya itu menikah, bukan hamil di luar nikah."Mana buktinya kalau dia menikah? Kemana suaminya?" tanya para tetangga yang mempertanyakan siapa suami Rania.Zahrana tidak bisa menjawab, dia juga bingung siapa suami kakaknya itu. Bahkan datang ke kampungnya saja tidak pernah, jadi mereka pun sanksi dengan pembelaan Zahrana.Beberapa kali Zahrana tanya pada kakaknya, tetapi Rania tidak menjawabnya. Terkadang kesal, tetapi Zahrana tidak bisa memaksa kakaknya cerita siapa suaminya itu.Suasana pasar ramai, banyak para pedagang menawarkan dagangannya pada pembeli yang lewat. Tak terkecuali Zahrana, tetapi tidak banyak yang datang ke lapak sayurnya.Seorang perempuan datang kelapak Zahrana, dengan wajah pongah dia berdiri dan melihat-lihat berbagai sayur di lapak Zahrana itu."Masih banyak ya?" tanya perempuan itu memilih-milih sayur yang terlihat masih segar."Oh bibi, di pilih bi. Ini sayurnya masih segar kok." kata Zahrana."Huh, segar apanya. Ini sudah layu, mana ada segar." kata perempuan yang di panggil bibi oleh Zahrana.Dia memilih sayur selada di bolak balik sehingga banyak yanv sedikit rontok dan juga pada lepas."Bi, jangan di bolak balik saja. Kalau mau beli ya ambil saja yang masih segar." kata Zahrana.Perempuan itu berhenti, dia menatap tajam pada Zahrana. Ya, dia bibi Zahrana. Midah, perempuan yang di panggil bibi itu. Istri dari pamannya Zahrana, adik ibunya."Zahra, ini sayuran sudah layu. Seharusnya di buang saja, semua sayuranmu itu sudah layu. Lebih baik kamu pulang sana, jaga keponakanmu itu. Keponakan yang tidak punya bapak!" kata Mida dengan ketus.Semua yang lewat di depan lapak Zahrana menoleh ke arah Zahrana. Mereka menatap sinis dan pergi dengan cibiran pada gadis itu."Dia punya ayah, bi. Jangan sembarangan kalau bicara." kata Zahrana."Halah! Ayah dari mana sejak kakakmu pulang dan hamil besar lalu sekarang lahir, mana ayahnya? Tidak ada yang datang, itu sudah pasti anak haram!" ucap Mida dengan nada meninggi agar orang-orang mendengarnya."Bi, kak Rania juga keponakan bibi. Jangan menjelekkan keponakan sendiri, apa lagi dipasar. Kalau bibi tidak mau beli sayuran sama aku, mending pergi saja." kata Zahrana kesal."Huh! Adik sama kakak sama saja, bikin jengkel dan memalukan. Aku malu punya keponakan sepertimu dan kakakmu!" kata Mida.Dia pun pergi dengan melempar sayuran yang dia pegang tadi ke arah Zahrana. Zahrana terkejut, dia memundurkan wajahnya agar terhindar dari sayuran yang di lempar Mida tadi."Kenapa bi Mida selalu saja membenciku dan kak Rania, apa salah kami." ucap Zahrana menatap kepergian Mida.Orang-orang yang lewat di depan lapak Zahrana hanya menatap sinis, tidak ada yang peduli dengan gadis itu. Tetapi Zahrana tidak peduli dengan orang-orang di pasar, jika ada yang membeli sayurannya maka dia layani dengan baik. Itu saja yang Zahrana lakukan saat ini sejak dia mendengar desas desus tentang kakaknya._Hari demi hari berlalu, semakin banyak orang yang menggunjingkan Rania tentang anaknya yang di sebut haram. Bahkan imbasnya pada adiknya, Zahrana. Dia yang selalu di kucilkan oleh tetangganya, tetapi Zahrana sudah kebal dengan keadaan itu."Zahra, sini!" teriak kakaknya.Zahrana yang sedang menyiapkan makan siang pun mendekat pada kakanya. Dia duduk di kursi di sebalah kakaknya yang sedang menyusui anaknya Arthur Raka Ibrahim."Raka lahap banget ya kak minum asinya." kata Zahrana memperhatikan keponakannya itu."Iya, dan pipinya semakin berisi." kata Rania menyambungi."Oh ya, kak Rania mau bicara apa?" tanya Zahrana."Kakak mau minta maaf sama kamu, karena kakak kamu jadi di kucilkan oleh orang-orang di kampung ini." kata Rania."Kak Rania ini kenapa, aku ngga masalah kak. Mereka saja yang tidak mau mendengarkan penjelasan aku, kalau Raka sebenarnya punya ayah." kata Zahrana."Iya, maka dari itu. Kakak cuma mau bilang minta maaf sama kamu, kelak jika kakak pergi kakak minta tolong jaga Raka ya." kata Rania berubah sendu dengan ucapannya itu."Kakak bicara apa, kan aku sudah bilang akan menjaga kakak dan Raka dengan segenap jiwa ragaku. Hanya kakak dan Raka keluargaku sekarang." kata Zahrana ikut sedih dengan ucapan kakaknya."Iya, terima kasih. Kamu gadis yang baik, adik yang sangat sayang sama kakaknya. Hik hik hik, kamu mengorbankan masa remajamu hanya demi menjaga kakak, Zahrana." kata Rania terisak.Zahrana memeluk kakaknya, dia juga ikut menangis. Tapi dia hapus lagi air matanya, menguatkan kakaknya agar jangan bersedih lagi."Sudahlah kak, jangan sedih. Kita saling menguatkan saja, kita hidup bersama makan seadanya. Yang penting kebutuhan Raka tercukupi." kata Zahrana."Zahra, kakak punya tabungan. Tapi memang tidak banyak, kakak akan serahkan sama kamu. Kamu gunakan saja tabungan itu ya, kalau nanti ada keperluan kamu beli saja." kata Rania."Jangan kak, itu buat masa depan Raka saja. Aku juga ada sedikit tabungan, kakak tenang saja kalau masalah uang untuk makan. Biasanya juga sama-sama, dan kakak juga sudah memberikan modal buatku berjualan dipasar." kata Zahrana.Rania tersenyum, dia memeluk adiknya lagi. Lalu menyerahkan anaknya pada Zahrana."Gendong dia ya. Kakak mau kekamar dulu." kata Rania.Zahrana menerima bayi laki-laki yang sudah berusia satu bulan setengah itu, dia sangat gemas karena selama satu bulan lebih itu tubuhnya mulai berisi.Rania tersenyum, dia pun melangkah pergi menuju kamarnya. Perutnya sakit, sejak melahirkan dia merasa perutnya sering sakit. Terkadang dia mengeluarkan darah begitu banyak sekali bercampur dengan darah nifasnya.Rania tidak memberitahu Zahrana kalau dia ternyata sakit perut yang berkepanjangan. Dia juga tidak memeriksakan diri ke dokter atau bidan desa, karena dia tahu akan dapat cibiran dan gunjingan dari tetangga dan orang-orang.Dari penerimaan bidan ketika dia melahirkan saja sudah tampak kalau bidan desa juga lebih percaya pada omongan orang-orang kampung dan dia tidak di terima dengan baik oleh bidan desa itu ketika melahirkan secara mendadak dan waktu dimalam hari.Gubrak!Suara benda jatuh didalam kamar Rania, Zahrana terkejut. Dia berjalan cepat menuju kamar kakaknya dengan menggendong bayi kecil itu, sampai dikamar kakaknya membuka pintu kamar. Zahrana terkejut melihat kakaknya tergeletak bersimbah darah dibagian kakinya, diapun berteriak histeris."Kak Rania!"__************"Kak Rania!"Zahrana menjerit histeris, dia berjongkok dan menggoyangkan tubuh Rania yang tidak sadarkan diri. Dia panik dan bingung harus melakukan apa, dia bergegas menuju kamarnya mengambil ponselnya. Mencari bantuan pada pamannnya agar mau membawa kakaknya ke rumah sakit.Tuuut.Zahrana menelepon pamannya, belum di jawab. Dia semakin panik karena telepon pamannya belum juga di angkat. Zahrana terus menghubungi pamannya, dan tak lama sambungan telepon itu tersambung."Halo paman.""Ada apa Zahra?" tanya pamannya tenang."Paman, bisa tolong aku. Kak Rania jatuh pingsan." kata Zahrana."Ck, tunggu saja. Dia pasti sadar." kata pamannya dengan malas di seberang sana."Tapi paman, kak Rania berdarah.""Heh! Urus saja kakakmu itu! Jangan minta bantuan pada pamanmu, dia sibuk!"Klik!Sambungan telepon terputus, Zahrana diam. Dia pun kembali menuju kamar kakaknya, berpikir bagaimana harus membawa kakaknya yang pingsan akibat pendarahan itu. Tangannya masih menggendong Raka yang terdiam.Di
"Apa?! Tiga puluh juta?" tanya Zahrana kaget dengan biaya sebesar itu."Iya, mau di bayar lunas atau di cicil dulu mbak?" tanya petugas itu."Emm, bisa bayar pakai ATM?" tanya Zahrana."Bisa."Zahrana pun menyerahkan ATM yang dia pegang pada petugas itu. Petugas itu pun mengecek ATM yang di serahkan oleh Zahrana, dia meminta Zahrana memencet pin pada alat ATM mini tersebut. Tapi dia bingung karena tidak tahu pin ATM milik kakaknya itu."Kalau begitu, cicil saja mbak pakai uang tunai. Ini punya kakaknya yang lagi di operasi ya. Nantu bisa di lunasi melalui ATM atau tunai lagi." kata petugas itu."Oh ya, sebentar pak."Zahrana mengambil dompet kakaknya, melihat isi uang tunai di dompet itu. Di hitung hanya ada beberapa lembar ratusan saja, dia menyerahkan tujuh lembar uang ratusan tersebut."Apa segini dulu ngga apa-apa pak?" tanya Zahrana.Petugas itu menghitung uang yang di serahkan Zahrana. Zahrana memperhatikan apa yang di lakukan oleh petugas itu."Kalau bisa satu juta saja dulu mb
"Saya terima nikah dan kawinnya Rania Marlina dengan mas kawin tersebut di bayar tunai."Ucapan lantang laki-laki dingin itu membuat beku Rania, dia tidak tahu jika akan menikah dengan laki-laki yang tidak dia kenal. Bahkan baru bertemu saat ini juga, dan dalam waktu beberapa jam saja dia sudah jadi seorang suami.Entah apa yang akan dia perbuat, di mana dia harus mengadu dengan kejadian mendadak itu. Melihat sekeliling kamar hotel itu, membuatnya tiba-tiba jadi pengap. Menatap satu persatu orang-orang di depannya, tatapannya pun beralih pada laki-laki yang kini sudah jadi suaminya.Siapa dia?"Terima kasih pak penghulu." kata laki-laki itu datar saja."Aah ya, tuan. Semoga menjadi keluarga yang bahagia." ucap penghulu berbaju batik itu.Laki-laki itu hanya diam saja, tanpa menanggapi dengan anggukan apapun. Penghulu itu pun keluar dari kamar hotel itu, di susul dua perempuan yang sejak tadi menyaksikan perikahan singkat laki-laki dingin itu.Rania masih diam di tempat, pakaian yang d
Kenangan tentang dirinya dengan laki-laki bernama dalam kartu nama yang dia temukan itu, membuat Rania sedih. Apa lagi dia menemukan cek di meja sebesar seratus juta untuknya, sejak itu Rania menyelesaikan pekerjaan di toko lalu dia pun pulang ke kampungnya.Membawa cek serta kartu nama yang dia temukan. Kemudian di simpan di dompetnya tanpa pernah dia lihat lagi kartu nama itu.Dua bulan setelah pulangnya Rania dari rumah sakit, dia terlihat sehat. Tetapi terkadang merasa nyeri di bagian perutnya, dia hanya bisa menahan rasa sakit itu sendiri tanpa memberitahu adiknya Zahrana.Dia tidak mau adiknya ikut memikirkan penyakitnya itu, sedangkan Zahrana berjuang untuk mencukupi kebutuhan di rumah. Meski dia tahu di pasar banyak sekali yang menggunjingkannya karena melahirkan anak yang tidak tahu siapa bapaknya.Tok tok tok.Suara ketukan pintu dengan keras dari luar, Rania bergegas menghentikan menyusui anaknya yang kini sudah berusia dua bulan lebih itu. Dia berjalan menuju pintu dengan
Rania kembali di bawa ke rumah sakit lagi karena dia pingsan setelah bicara dengan pamannya. Zahrana tentu saja sangat panik, dia kembali membawa Rania dengan memesan taksi online. Raka dia titipkan pada pelanggan yang sering dia beri sisa jualannya. Tidak seperti dulu dia pergi mengantar Rania ke rumah sakit, harus di bawa karena tidak ada yang mau membantu menjaga keponakannya.Mempercayakan pada paman dan bibinya sama saja menyerahkan semua hartanya. Apa lagi kakaknya pingsan itu karena tadi ada istri pamannya datang dan meminta sertifikat rumah, bisa jadi karena itu juga kakaknya pingsan."Apa kakak mbaknya tidak minum obat ya?" tanya dokter yang menangani Rania setelah meraka sampai di rumah sakit."Katanya cuma hari ini saja dokter kakakku tidak minum." jawab Zahrana."Ini mustahil, sudah hampir setengah bulan kakak anda tidak minum obat. Kalau cuma hari ini saja tidak minum obat, tidak akan pingsan dan lemah begitu." kata dokter.Zahrana diam, dia bingung dengan ucapan dokter i
Zahrana keluar dari rumahnya, dia agak ragu menuju rumah tetangganya untuk meminta bantuan. Keadaan masih sepi dan gelap, tapi ada beberapa orang keluar dari rumahnya untuk pergi ke masjid sholat subuh berjamaah, atau pun ada yang keluar pergi ke pasar berjualan.Rania mendekati seorang laki-laki berpakaian sarung dan koko, sepertinya mau pergi ke masjid di ujung jalan itu. Menjalankan sholat subuh berjamaah."Pak, tolong saya." kata Zahrana agak ragu, wajahnya kebingungan."Kenapa?" tanya laki-laki berpeci itu."Kakak saya meninggal pak, hik hik hik. Tadi malam, saya bingung mau bagaimana." ucapnya sambil menangis dan memeluk Raka erat."Innalilahi wainnailaihirojiuun." ucap laki-laki itu."Tolong saya pak, bagaimana mengurus jenazah kakak saya itu." ucap Zahrana lagi."Sebentar, saya ke masjid dulu ya. Nanti saya bicara sama pak ustad di masjid, kalau kakak kamu meninggal." kata laki-laki itu merasa kasihan pada Zahrana.Meski memang banyak yang tidak menyukai Zahrana dan Rania, tet
Satu minggu kepergian Rania, kini Zahrana kembali beraktifitas seperti biasanya. Dia berjualan lagi di pasar, Raka dia titipkan pada mbok Lastri. Setelah pulang dari pasar dia ambil lagi bayi itu dengan membawa beberapa sayuran dan lauk pauk lainnya.Dia dan mbok Lastri lebih dekat di bandingkan dengan keluarga pamannya. Bahkan sewaktu kematian Rania saja, pamannya saja yang datang. Itupun tidak ikut membantunya, hanya ikut pergi ke pemakaman saja dan langsung pergi.Memang pekerjaan pamannya itu terkadang sibuk sekali sebagai mandor sebuah proyek. Tetapi dia terlalu menurut pada istrinya Midah, apa lagi jika anaknya meminta sesuatu pasti di turuti.Zahrana sedang merapikan dagangannya, hari ini cukup lumayan habis sayurannya. Setiap dua hari sekali dia mengambil sayuran ke pasar induk untuk di jual kembali di pasar kampung. Makanya kadang dia harus meninggalkan Raka dengan mbok Lastri untuk belanja ke pasar induk.Hari ini Zahrana pulang lebih awal dari biasanya, karena jualannya hab
"Zahrana, ikut aku!"Ucapan keras berasal dari belakang Zahrana, dia menoleh ke belakang. Tampak pamannya Shalih kesal sekali padanya, Zahrana mendengus kasar. Dia ingin menolaknya, tetapi tangannya sudah di tarik oleh pamannya itu."Ikut kemana paman? Aku mau pulang, capek habis dari pasar." kata Zahrana mencoba menolak ajakan pamannya itu."Ikut saja, kamu akan paman kenalkan sama seseorang." kata Shalih."Aku tidak mau!" teriak Zahrana menepis tangan pamannya kasar."Heh! Anak lancang kamu ya. Aku pamanmu, seharusnya kamu menurut pada pamanmu setelah ibumu meninggal. Ibumu menitipkan padaku, jadi aku ingin kamu mau ikut dengan paman!" ucap Shalih memaksa Zahrana."Aku tidak mau paman!" ucap Zahrana kekeh dengan terus berjalan meninggalkan pamannya.Dia tidak peduli dengan pamannya yang masih marah padanya, tidak peduli dengan umpatan yang keluar dari mulut laki-laki itu. Langkahnya di percepat, tidak peduli dengan pamannya berdiri menatap kepergiannya."Huh, dia itu benar-benar pem